*Ahmad Dzakirin
Ikhwanul Muslim, gerakan Islam berpengaruh ini dicitrakan sama buruknya dimata Barat dan rejim aristokrat Arab yang korup. Dimata Barat, Islamisme Ikhwan telah menjadi palu godam politik yang sedemikian menakutkan. Sedangkan bagi rejim Arab, Islamisme menjadi alasan pembenar untuk mempertahankan kekuasaan dan aksi represifnya.
Di Mesir misalnya, Husni Mubarak menyatakan bahwa dia sebenarnya kenyang kekuasaan namun dia khawatir akan terjadi kekacauan yang pada akhirnya member jalan bagi Ikhwan mengambil alih kekuasaan. Ikhwan dalam rentang waktu lama menjadi telah menjadi pesakitan namun sekaligus hantu bagi kepentingan supremasi para rejim korup.
Pemberangusan kebebasan, penyiksaan dan pemenjaraan tanpa proses hukum serta manipulasi pemilu menjadi ide dan praktek politik yang diterima Barat. Rejim aristokrat Arab yang korup meghadapkan AS dan Barat kepada dua pilihan konyol, menghadapi Islamisme atau mendukung rejim despotik sekalipun minus dukungan rakyat. Pilihannyapun jatuh kepada kekonyolan serupa. Barat memihak rejim setan sekalipun menghadapi kemarahan rakyat yang menentangnya.
Barat tidak menyadari bahwa suka maupun tidak, Ikhwan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi masyarakat Muslim. Ikhwan adalah gerakan Islam popular di lebih 80 negara. Ikhwan telah bertransformasi baik secara politik dan kultural di pelbagai sudut dunia Islam. Dari Tunis, Maroko, Mesir, Jalur Gaza, Qatar, Islamabad maupun Jakarta. Menurut Wikileaks, Ikhwan akan menang pemilu di Negara-negara Teluk jika ada pemilu.
Alih-alih, melakukan pendekatan dan diplomasi, Barat secara salah mengembangkan ketakutan dan mispersepsinya sendiri. Pasca menang pemilu 2006, Barat tidak mengakui kemenangan Hamas- sayap Ikhwan di Palestina dan sebaliknya menghukum rakyat Gaza karena pilihan politiknya. Alasannya, Hamas tidak mengakui eksistensi Israel sebagai penjajah.
Namun ironisnya, Barat tutup mata dengan kebangkitan fundamentalisme Yahudi seiring kemenangan partai sayap kanan Likud dan ultra kanan, Beitenu Yisrael yang terang-terangan hendak membom bendungan Aswan, Mesir dan mengusir bangsa Arab dari tanah jajahannya. Clinton ‘cukup bersabar’ menghadapi Menlu Israel, Avigdor Lieberman yang rasis dan nihilis namun tidak sudi berdialog dengan Ismail Haniyeh yang mengirim isyarat kesediaan Hamas menerima perbatasan pra 1967.
Sehingga secara sinis dikatakan Barat lebih menyukai konstruksi rejim despotik ketimbang Demokrasi di negara-negara Islam. Jika selama ini, Barat hanya bernegosiasi dengan seorang tiran dan itu jauh mudah –karena hanya melibatkan kepentingan ekonomi dan finansial sang diktator- ketimbang harus bernegosiasi dengan aspirasi mayoritas rakyat. Untuk itu, Barat merasa nyaman dengan model tiran seperti Mubarak, Ben Ali, Bashar Ashad ataupun Hasan. Untuk itu, secara sadar ketakutan, mispersepsi dan kepentingan politik rejim despotik terinstitusionalisasi.
Ikhwan yang Transformatif
Sebagai ibu dari pelbagai gerakan Islam, Ikhwan telah mengalami sejarah pengalaman yang panjang. Gerakan ini bangkit dari retorika kebangkitan Islam dan anti penjajahan. Dalam perjalanannya, Ikhwan menjadi penentang utama kekuasaan status quo. Akibatnya, Ikhwan ditindas, para pemimpinnya ditangkap dan dibunuh serta organisasinya dilarang di beberapa negara.
Pelbagai tekanan dan pengalaman politik yang dilaluinya telah menjadikan Ikhwan kini sebagai gerakan Islam yang matang. Ikhwan belajar dari jejak sejarahnya dan kemudian bangkit dari keterpurukannya. Ikhwan sudah cukup lama berhenti dari eksploitasi ideologisnya dan berubah menjadi gerakan sipil yang dekat dengan rakyat.
Tranformasi Ikhwan telah dimulai sejak kepemimpinan Hasan Hudaibi saat dia menolak tuntutan sayap radikal untuk mengkafirkan dan mengangkat senjata melawan rejim despotik, Gamal Abdel Nasser. Rejim bengis yang membunuh dan memenjarakan ribuan kader Ikhwan. Sikap politiknya itu ditegaskan dalam karya masterpicenya. “Du’at la Qudhat” (Penyeru Bukan Hakim). Sikap politik itu yang menstrasformasikan garis politik Ikhwan sesudahnya, sekalipun pelbagai gerakan ekstrim pecahan Ikhwan timbul dan tenggelam.
Ikhwan lebih konsern dengan agenda reformasi dan institusionalisasi kultural. Bencana ‘diaspora’ para aktivis di era 70-an akibat kezaliman rejim Mesir alih-alih menjadi berkah tersendiri bagi gerakan ini. Para aktivis ini menjadi pioneer perluasan jaringan Ikhwan dengan agenda dan pendekatan baru. Muncul sosok-sosok inspiratif yang lahir dari paradigma ini, seperti Syaikh Yusuf Qaradhawi, Muhammad Ghazali, Kamal Halbawy, Muhammad Imarah dan Fahmi Hudaiby. Islam diperkenalkan dalam wajah peradaban yang kosmopolit dan ramah.
Di Eropa dan AS, Ikhwan mengembangkan jaringan dan asosiai professional yang berkontribusi dalam kebangkitan pemikiran keislaman modern. Ikhwan menjadi katalis pemikiran ekonomi syari’ah yang booming dewasa ini. Sementara di negara-negara Arab, Ikhwan secara kultural merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan sipil yang diminati rakyat. Jaringan pelayanan sosial dan pendidikan Ikhwan menjadi alternatif bagi kemacetan dan inefektifitas rejim sekuler dan korup. Ikhwan secara sadar telah menjadi bagian dari jaringan edukasi dan pemberdayaan masyarakat sipil. Ikhwan telah membangkitkan masyarakat dari apatisme kolektif karena minimnya peran negara, mengajak dan mengambil alih peran yang ditinggalkan tersebut secara damai.
Dalam konteks ini pula, kemudian dukungan masyarakat terhadap Ikhwan tidak hadir dalam ruang kosong. Dukungan politik publik kepada Ikhwan karena peran nyata yang mereka mainkan ditengah masyarakat. Ini serupa dengan pepatah, “siapa yang menanam maka dia yang akan menuai”. Kemenangan Ikhwan dibeberapa tempat sama sekali bukan karena ide-ide revolusioner, retorika anti barat ataupun kevakuman politik seperti Jerman pasca PD I atau revolusi Bolshevik, namun lebih merepresentasikan peran edukasi dan eksistensi kultural gerakan itu ditengah-tengah masyarakat. Ini artinya, amputasi atau menegasikan peran mereka dalam setiap arus perubahan baik di Mesir ataupun dimana saja adalah kesia-siaan.
Kini pilihan itu ada pada Barat. Bersama dengan masyarakat Mesir atau berpihak kepada rejim korup dan mempercayai demonisasi Zionis tentang Ikhwan. Barat telah banyak membuat kesalahan dan harus belajar dari kesalahan tersebut. Langkah yang salah kesekian kalinya hanya akan semakin memberi sinyal kuat kepada dunia Islam bahwa Barat hanya hendak beretorika. Barat sejatinya akan melakukan apa saja demi mempertahankan hegemoninya sekalipun menabrak prinsip-prinsipnya sendiri. Jika demikian, tidak dapat dihindari kemudian, ekstrimisme dan radikalisme menjadi pemenang.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: