Updates 15/6/11: Revolusi Dunia Islam...!!: Dear valued readers and friends, thank you very much for your comments and supports that please and energize me to share knowledge, understanding, virtual friendship and the avalaibleity for updating...:).Many thanks, anyway.
Diberdayakan oleh Blogger.
, Strategic Studies

STRATEGY THROUGH EROSION BETWEEN THEORY AND PRACTICE (The Comparative Study of Insurgency’s Indirect Strategy)

“Too much to defend; too small, ubiquitous, and agile an enemy to come to grips with. If the war continues long enough, the dog succumbs to exhaustion and anemia without ever having found anything on which to close its jaws or to rake with its claws.” (The War of the Flea)

, Strategic Studies

Engaging China: ASEAN Concerted Diplomacy in ARF (ASEAN Regional Forum)

The collapse of Soviet bloc affected the erosion of long standing strategic rationale behind the major US military deployment in East Asia. In addition to the US economic difficulties that was reflected in its domestic economic constraints on military expenditure and the Philippines refusal to extend the leases of the US’s military bases in Philippines. Philippines demanded a complete US military withdrawal by November 1992. It irrevocably created a “window of opportunity” for major powers such as China, Japan and India to be more assertive and independent after the US withdrawal.

, Indonesia Raya

Mengelola Perbatasan Indonesia dan Malaysia

Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.

, Indonesia Raya

Prosperous and Justice Party (PKS) : An Overview of Their Competitiveness and Strategies after 2004 Elections

This paper provides an analysis on the PKS Competitiveness, their strategies and its interaction with the Government of Indonesia (GOI) using Porter’s Diamond and J Curve frameworks with effort to smooth and to sustain their policy reform process. In the first section, it will analyze the background of PKS movement and analyze their competitiveness and their strategies movement in Indonesia political world. The second part will examine the PKS interaction and their impacts to the GOI. The third section will give recommendation for the PKS activities in the future to overcome and to sustain the PKS movement and conclude their role in the Indonesian political development.

, Strategic Studies

Pemanasan Global dan Potensi Ancaman Bagi Indonesia

Apakah perubahan iklim global (climate change) menyebabkan disintegrasi pada suatu negara dan memicu konflik antar negara? Para pakar non traditional security sejatinya bersepakat bahwa dampak perubahan iklim berpotensi besar melahirkan konflik domestik dan instabilitas keamanan baik dalam lingkup regional dan global. Namun para pakar ini tidak dapat memprediksikan apakah perubahan yang berimplikasi konflik itu terjadi secara gradual. Atau sebaliknya pelbagai faktor yang berkelindan (interacting factors) seperti deforestasi (penggundulan hutan) dan minimnya energi alternatif akan menjadikan ancaman itu cenderung dekat.

Tampilkan postingan dengan label Dirty War. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dirty War. Tampilkan semua postingan

Menangkal Sindrom Vietnam (2)

*Robert Parry

Perang-Perang Bush Pertama

Desember 1989, pengganti Reagan, George H.W Bush juga mendorong eskalasi intervensi militer dengan mengirimkan pasukan AS menggulingkan Jenderal Manuel Noriega, yang lemah kekuatannya. Perang berlangsung mudah dan menyenangkan.

Babak berikutnya dalam upayanya menghapus  Sindrom Vitenam dimulai Agustus 1990 ketika Diktator Saddam Hussein menyerang kerajaan keluarga al Sabah, Kuwait.

Kuwait telah meminjami uang Irak untuk biaya perang melawan Iran, 1980-1988 dan mencegah dampak revolusi pemerintah Syiah Iran yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah para Syaikh yang korup di Teluk Persia. Saddam menuntut pinjaman tersebut direnegoisasi dan Kuwait menghentikan mengebor ladang minyak Irak.

Karena Saddam sejak lama menganggap dirinya sekutu Amerika, dia berkonsultasi dengan duta besar April Glaspie, yang memberi tanggapan mendua tentang sikap Washington atas perselisihan perbatasan tersebut.

Melihat tidak ada penolakan yang tegas, Saddam mengirim tentaranya ke Kuwait dan merangsek ke Kota Kuwait. Keluarga al Sabah lari terbirit-birit dengan sedan Mercedesnya ke Arab Saudi.

Tampaknya upaya penaklukan itu hampir selesai, Saddam hendak mengirim pesan perdamaiannya bahwa dia telah menuntaskan ambisinya dan menarik mundur pasukannya dari Kuwait.


“Kami terpaksa masuk,” kata Saddam ke Raja Hussein dari Yordania pada hari invasi, menurut beberapa catatan rahasia dalam bukunya mantan sekretaris pers Kennedy, Pierre Salinger dan jurnalis Perancis, Eric Laurent. “Saya berkomitmen menarik mundur pasukan dari Kuwait. Akan mulai dalam beberapa hari dan berakhir dalam beberapa minggu.
Saddam minta bantuan Raja Hussein dari ancaman dari luar yang akan memaksa Irak berperang, ungkap Salinger dan Laurent.

Namun, Presiden George H W Bush yang baru saja menginvasi Panama beberapa bulan lalu memutuskan bahwa dalam masalah ini (invasi Kuwait) hukum internasional harus ditegakkan. Bush menegaskan kepada Raja Hussein “Ini telah melampaui dari semata perselisihan regional karena agresi telanjang tersebut.”

Didukung oleh PM Inggris Margareth Thatcher, Bush kembali ke Gedung Putih, 4 Agustus 1990 dan mengumumkan,”Ini tidak kita tolerir, agresinya atas Kuwait.” Dia memerintahkan adanya aksi militer.

Ketika Washingtom menghimpun dukungan sekutu Arabnya –mulai dari Presiden Husni Muabarak –Raja Hussein semakin cemas, kemudian menyatakan bahwa “hal ini akan merusak segala sesuatu dan memberi semua peluang memperluas konflik.”

Pesan Damai

Tiran kejam seperti Saddam Hussein tidak akan ragu memperdayai teman maupun lawan sepanjang sesuai dengan keinginannya. Namun tidak diketahui apakah solusi Arab atas krisis ini mungkin terjadi jika Mesir tidak menyerah atas tekanan Washington.

Presiden Bush merasakan adanya peluang lain dari krisis ini. Yakni memperkuat pengaruh di kawasan Timur Tengah dengan dalih membebaskan Kuwait. Saddam Hussein juga merasakan bahwa dirinya telah terperangkap dengan tindakannya sendiri. Dia mulai mengirim duta perdamaian ke Washington.

Salinger dan Laurent melaporkan bahwa deputi menlu Irak, Nizar Hamdoon menggunakan ketua PLO Yasir Arafat mengirim pesan itu, 7 Agustus di Wina melalui pengusaha Palestina yang dekat dengan Gedung Putih. Dia mengemukakan keinginan Irak untuk menarik semua pasukannya dari Kuwait kepada staff Gedung Putih, Michael Saba dan Samir Vincent yang menerima instruksi langsung dari Hamdoon.

Proposal penarikan total pasukan Irak dari Kuwait itu dijalankan dengan syarat adanya jaminan akses langsung Irak ke Teluk Persia melalui beberapa kesepakatan yang berkaitan dengan eksplorasi ladang minyak Rumailah yang masuk wilayah Kuwait dan negosiasi harga minyak dengan AS. 

Inisiatif itu disampaikan kepada mantan Direktur CIA dan pakar Timteng, Richard Helms yang khawatir adanya konsekuensi jangka panjang krisis dan setuju untuk membahas rencana perdamaian Irak ini dalam makan siang dengan penasehat keamanan nasional Bush, Brent Scowcroft, 21 Agustus. Namun Scowcroft menolak mentah-mentah inisiatif tersebut dengan mengatakan bahwa Gedung Putih ingin mengkaji dulu dampak sanksi ekonomi terlebih dahulu. 

Kemudian, konfrontasi bergulir tanpa kendali ketika Saddam mulai menaham sandera Amerika dan Bush memulai menjalankan propagandanya. Bush menempatkan Saddam dalam daftar penjahat paling keji di dunia diatas Adolf Hitler.

“Saya semakin bertekad untuk segera mendepak  dictator ini keluar dari Kuwait tanpa kompromi apapun,” ancam Bush. 

Saddam membalasnya dengan mengatakan bahwa tentara akan berenang dalam darah mereka. 

16 Oktober, Menlu James Baker secara resmi menolak gagasan melakukan konsesi apapun bagi penarikan mundur pasukan Irak. Dalam beberapa minggu kemudian, pemerintah Bush mengirim serangkaian ancaman dan ultimatum yang malahah menjadikan Saddam enggan mundur.

Kemudian, saya menemukan ringkasan rapat Konggres, Januari 1991 yang disiapkan oleh staff Demokrat yang menangani pengawasan intelejen. Rimgkasan itu menjelaskan bahwa invasi Kuwait akan menjadi upaya pembuka penting dalam negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan perbatasan bukan sebagai penaklukan permanen. 

Irak tampaknya percaya bahwa dengan menginvasi Kuwait mereka akan mendapatkan perhatian dunia, melakukan negosiasi untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka dan kemudian menarik mundur pasukannya,” simpul ringkasan tersebut. Laporan itu juga menambahkan bahwa jika Gedung Putih tertarik dengan “solusi diplomatik yang dapat memuaskan kepentingan AS maka dapat dilakukan sejak awal invasi”.

Namun sebaliknya –ungkap laporan itu- penasehat keamanan nasional Bush “tampaknya berkesimpulan dengan dasar profil psikologis Saddam Hussein dan menghindari segala upaya memahami invasi, menolak segala bentuk negosiasi dengannya dan menyimpulkan bahwa semua upaya itu sia-sia hingga AS memojokkan Saddam hingga tidak dapat lolos.”


Dalam wawancaranya dengan saya, mantan ketua CIA menjelaskan, “Pemerintah AS tidak mau bernegosiasi.



*Consortiumnews

Menangkal Sindrom Perang Vietnam (1)

*Robert Parry 

20 tahun silam, setelah menang perang darat selama 100 jam melawan pasukan Irak di Kuwait, pemerintahan Bush senior sukses memperoleh konsensus publik Amerika. AS harus memulihkan kembali perannya sebagai polisi imperial dunia.
Konsensus yang sebenarnya telah terbentuk sejak PD II ini berantakan karena Perang Vietnam. AS berupaya membangunnya kembali dan menjadi tujuan kunci dari perang darat di Teluk Persia yang diperintahkan Bush senior, 23 Februari 1991.
Bush tahu bahwa pembunuhan ekstra pasukan Irak dan Amerika sebenarnya tidak perlu dilakukan karena Saddam Hussein sendiri telah memberi sinyal untuk menarik mundur pasukannya dari Kuwait.
Namun Bush dan para penasehat politiknya, termasuk Menhan Dick Cheney bersikeras bahwa perang darat akan menjadi klimak skrip drama yang telah disiapkan untuk memukai rakyat Amerika dan menjadikan perang sebagai bagian yang menyenangkan dari karakter nasional mereka.
Bush, Cheney dan para pejabat senior lainnya menilai bahwa pembantaian ribuan prajurit Irak, yang kebanyakannya tidak terlatih dan tewasnya 147 prajurit Amerika adalah harga murah yang harus dibayar.
28 Februari 1991, 100 jam setelah perang berakhir, Bush memberi penjelasan kepada publik Amerika tentang  “agenda rahasia”nya itu dengan mengatakan, “Demi Tuhan, kita telah menyingkirkan sindrom Vietnam untuk selamanya.
Apa yang tidak diketahui rakyat Amerika pada saat itu dan juga belum dipahami hingga sekarang adalah bahwa perang pertama AS dengan Irak tidak berkaitan dengan kepentingan membebaskan Kuwait namun lebih merupakan upaya konsolidasi dukungan publik Amerika dalam memasuki fase baru kekaisaran Amerika –yang berlangsung hingga kini.
Setelah mengalami pengalaman pahit dalam perang Vietnam yang menewaskan 57.000 prajurit Amerika dan membuat rakyat Amerika terbelah, kini rakyat Amerika berpikir kembali tentang pentingnya mempertahankan peram kekaisaran dunia AS.
Petualangan militer AS di luar negeri telah menjadi target propaganda jangka panjang para serdadu tua dan intelektual hawkish yang tergabung dalam kelompok yang disebut neocon.
Sebuah dokumen internasional pada masa pemerintahan Reagan jelas mengungkapkan bahwa Sindrom Vietnam telah menjadi hambatan utama melakukan operasi militer AS yang dianggap penting dalam melindungi kepentingan strategis Amerika di dunia.
Isu ini telah menjadi semacam keyakinan tim kebijakan luar negeri Ronald Reagan bahwa kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam terjadi sebagai kolaborasi antara propaganda Komunis yang berhasil mengelabui rakyat Amerika, korps pers Amerika yang tidak loyal dan kalangan kiri yang berkhianat.
Menakut-Nakuti Rakyat Amerika
Untuk menangkal “musuh” yang dipersepsikan tadi, pemerintahan Reagan mengivestasikan banyak waktu dan tenaga menyusun apa yang disebut sebagai operasi psikologis massif untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa mereka tengah menghadapi musuh yang berbahaya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kampanye propaganda ini dimasukkan dalam bagian “diplomasi publik”, meskipun beberapa praktisi menyebutnya sebagai “manajemen persepsi”, yakni mempengaruhi persepsi rakyat Amerika melihat dunia sekelilingnya.
J Michael Kelly, pejabat senior Pentagon menyimpulkan tugas itu sebagai “misi operasi khusus yang paling penting yang kita lakukan sekarang…yakni mempersuasi rakyat Amerika bahwa komunis berupaya menghancurkan kita.”
Teknik utama pemerintahan Reagan dalam upayanya memprogram kembali persepsi rakyat Amerika adalah dengan mengintimidasi mereka tentang bahaya luar negeri. Mereka mengarang cerita tentang kebangkitan Uni Soviet yang berambisi menundukkan dunia. Padahal para analis CIA telah mendeteksi tanda-tanda keruntuhan Moskow.
Sayangnya para pejabat intelejen telah mempolitisasi dinas rahasia, menyingkirkan para professional dan menempatkan para oportunis yang sejalan dengan agenda ideology mereka yang membesar-besarkan ancaman Soviet.
Otak  dibalik operasi ini adalah Direktur CIA, William Cassey, penganut aliran garis keras perang Dingin dan seorang analis ambisius, Robert Gates yang kini menjabat Menhan.
Sementara itu, rakyat Amerika yang mendukung pendekatan damai dijinakkan dan dalam keadaan defensif karena Reagan mengadopsi taktik yang mempertanyakan patriotisme para politisi, jurnalis dan warga negara yang tidak setuju dengan kebijakannya atau mengkritisi kejahatan HAM yang dilakukan para sekutunya.
Isu utama Konvensi Republik di 1984 seperti diungkapkan Jeane Kirkpatrick adalah adanya orang Amerika yang menyalahkan Amerika.
Meski demikian, Reagan bertindak hati-hati. Dalam konflik di luar negeri, dia menjalankan kebijakan perangnya melalui pihak ketiga, seperti melalui militer sayap kanan Guatemala dan El Salvador atau melalui pemberontak Nicaragua. Ketika dia harus melakukan invasi ke negara lain, maka itupun atas Negara kecil, Granada di kepulauan Karibia di 1983.
Masih di Reagan di 1980-an, AS ingin pamer diri sebagai nomer satu.
Di akhir dasawarsa itu, rakyat dan institusi politik AS  memberikan penghargaan kepada Reagan karena memenangkan Perang Dingin, meskipun sejatinya mereka tidak berbuat banyak hal yang menyebabkan kejatuhan kekaisaran Soviet.
Para analis CIA telah melihat 3 tahun sebelumnya keruntuhan Soviet disebabkan kebusukan internal system komunis. Namun analisis itu dibungkam pemerintahan Reagan. Generasi baru para analis yang telah terpolitisasi seperti Gates dan sejawatnya dikondisikan untuk tidak melihat tanda-tanda kelemahan Moskow.
Ketika tembok Berlin runtuh di Novemver 1989 maka rejim Eropa Timur yang didukung Sovietpun berjatuhan. Maka para neocon dan sekutunya itu mengarang cerita bahwa kemenangan itu karena peran Amerika.

Siapakah Omar Suleiman?


*Ahmad Dzakirin
Setelah diguncang dengan aksi demo besar-besaran, 29 Januari, Hosni Mubarak mendepak kabinet dan mengangkat kepala intelejen, Omar Suleiman orang dalamnya menjadi Wapres. Mubarak masih hendak memainkan kartu politiknya yang tersisa. Berupaya keras meredam kemarahan massa namun tetap berharap memegang kendali kekuasaannya. Berdasarkan pasal 82, konstitusi Mesir, posisi Wapres yang disandang Suleiman sekarang menjadikan dirinya presiden de facto Mesir.  

Namun rakyat Mesir melihatnya berbeda. Sosok Suleiman tidak lebih dari Mubarak jilid II yang kontroversial, kotor dan tangannya bersimbah darah. Sosok Mubarak dan Suleiman dalam politik Mesir adalah kelindan kepentingan antara seorang Presiden yang korup dan kepala intelejen bengis namun menjadi anak kesayangan AS di Mesir.  Mubarak membutuhkan Suleiman sebagai pelobi instan Langley dan Washington dan sebaliknya, Mubarak memberi jalan bagi karir politiknya. Jika tidak ada rintangan, posisi Suleiman ini akan mengantarkannya sebagai pengganti Mubarak. 

Suleiman memulai karirnya di militer sejak umur 19 tahun. Dia juga menyelesaikan  pendidikan SI di  Universitas Ains Syam dan S2-nya political scince di Universitas Kairo. Suleiman memulai karir di dunia intelejen sejak 1986, menjabat berturut-turut sebagai deputi kepala intelejen militer, direktur, 1991 dan akhirnya kepala Mukhabarat (intelejen) Mesir yang sangat ditakuti karena kebengisannya, 1993.

Sebelumnya, Suleiman lebih banyak berperan sebagai man of shadow yang berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Karena ‘reputasi’nya itu, Dailly Telegraph menabalkannya sebagai salah satu kepala intelejen terkuat di dunia, satu level diatas Meir Dagan, kepala Mossad. Namun sejak namanya digadang-gadang mengisi posisi Wapres yang kosong selama 30 tahun, dia mulai menyukai tampil di depan publik. 

Reputasi Suleiman didunia intelejen tidak terlepas dari karakternya ambisius. Dia dikenal sangat dekat dengan Amerika dan sangat disukai Israel karena sikapnya yang anti Islamisme dan sangat membenci Iran. Dia berada dibalik upaya pembinasaan Hamas. Dia sendiri memerintahkan penghancuran terowongan-terowongan yang menjadi jalur suplai bahan makanan dan senjata bagi kelompok Hamas yang diembargo Israel. 

CIA Man

Suleiman sejak lama menjadi asset utama CIA di Mesir. Di era 90-an, Suleiman bekerjasama dengan pemerintahan Clinton menyusun dan menjalankan program rendisi. Rendisi adalah program penculikan berikut pemindahan para tersangka teroris ke negara  ketiga untuk kepentingan interogasi (baca: penyiksaan) dan pengadilan. Omar Suleiman bernegosiasi dan menjalankan langsung program rendisi tersebut. 

Namun dibawah kendali Bush, program rendisi menjadi semakin liar. Rendisi tidak lagi untuk kepentingan pengadilan namun lebih untuk kepentingan interogasi dan kegiatan intelejen. Negara-negara ketiga berubah menjadi penjara-penjara rahasia dan sarang penyiksaan. Mesir kembali menjadi tempat tujuan pemindahan dan Suleiman menjadi actor utamanya. 

Dalam salah satu kesaksian yang diungkap Mamdouh Habib, korban salah culik warga Australia keturunan Mesir menyatakan bahwa Suleiman melakukan penyiksaan langsung terhadap dirinya.  Dia ditangkap di atas bus oleh aparat keamanan Pakistan dan dikirim ke Mesir dibawah pengawasan CIA. Selama dalam penjara, dia mengaku dipukuli, ditenggelamkan dan disetrum beberapa kali.  Dalam salah satu kesempatan, dia dipukul sangat keras sekali sehingga kain penutup mukannya tersingkap. Sejak itu, dia mengenali bahwa penyiksannya adalah sang Wapres. Dia juga menyaksikan sendiri jika pengganti Mubarak ini menyuruh orangnya membunuh tahanan  yang tengah sekarat itu dengan tendangan yang mematikan. Sejak kasus tersebut diungkap Washington Post, Habib kemudian dibebaskan dari tuduhan dan dikembalikan Autralia. 

Suleiman juga terlibat langsung dalam penyiksaan Ibn Syeikh Libbyi yang diduga menjadi pelatih di kamp Khaldan, Afghanistan. Setelah ditangkap di Pakistan, dia dikirim ke Mesir untuk dikorek informasinya. Interogasi tersebut membuahkan ‘pengakuan’ yang mengejutkan -pengakuan yang sejak lama diinginkan Bush- yakni Saddam Hussein bekerjasama dengan Al Qaida untuk melakukan aksi terorisme dan dua agennya mendapatkan pelatihan penggunaan senjata kimia. Kesaksian bohong al Libi ini yang dijadikan bukti didepan PBB dan dalih Bush menyerang Irak.
Dalam testimoninya, mantan kepala CIA, John Tenet mengakui bahwa kesaksian bohong Libi sangat terkait dengan upayanya menghindari penyiksaan di Mesir. Dan sejak itu, kabar tentang libi hilang. Dia secara diam-diam dipindahkan Suleimanke  Libya dan di 2009, dia dinyatakan tewas karena bunuh diri. Menurut pakar al Qaeda, Eva Kohlmann, kematian Libi berbarengan dengan kunjungan resmi pertama Suleiman ke Libya.  “Sejak pengakuan palsu Libi tersebut, rejim Mesir merasa dipermalukan dan pemerintahan Bush menerima kecaman luas dunia internasional. Tampaknya,Suleiman hendak membuat perhitungan dengan Libi. Sesaat pesawatnya meninggalkan Tripoli, Libi bunuh diri,” urainya. 


Ditengah hiruk pikuk keinginan rakyat Mesir untuk membawa kebebasan dan demokrasi ke negeri mereka, maka satu hal yang pasti, adalah kebebasan dan demokrasi itu tidak dapat melibatkan para elit politik yang tangannya bersimbah darah dan masa memiliki masa lalu yang kotor. Untuk itu, setidak-tidaknya mensyaratkan dua hal: pertama tersingkirnya Mubarak dan kedua, mundurnya Omar Suleiman. Orang yang memberi pilihan konyol kepada rakyat Mesir, “Berhenti berdemo atau kudeta militer.” Pilihan sosok dan pemikiran yang tidak kompatibel dengan demokrasi….:)

Konspirasi Perang Bush dan Tony Blair


*Dave Lindorff
Kebanyakan rakyat Amerika tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang perang Irak. Namun di Inggris, sebuah komisi yang dibentuk karena tekanan aktivis anti perang mulai melakukan penyelidikan atas keterlibatan Inggris dalam invasi Irak di 2003.

Bahkan sebelum testimoni dimulai, media telah membocorkan dokumen yang didapatkan dari komisi. Dokumen itu menyebutkan bahwa pemerintahan PM Tony Blair telah berbohong perihal keterlibatan Inggris dalam perencanaan perang. 

Koran Telegraph selama sepekan mempublikasikan pelbagai dokumen dari para pemimpin militer Inggris, termasuk memo dari kepala pasukan khusus, Mayjen Graeme Lamb yang mengaku diperintahkan “mempersiapkan perang sejak awal 2002.” Ini berarti bahwa pengakuan Blair di depan parlemen di Juli 2002 bahwa tidak ada sama sekali persiapan untuk menginvasi Irak dusta. 

Kini isu menjadi semakin memanas ketika komisi mulai melakukan dengar pendapat. Komisi memiliki kekuasaan untuk memaksa testimoni atas para pejabat pemerintah termasuk Blair sendiri.

Sementara beberapa koran Amerika, termasuk Philadelphia Inquirer memberitakan pengungkapan tersebut, media kunci lainnya seperti New York Times bungkam. Diluar adanya pelbagai kepentingan, namun pengungkapan kasus tersebut tidak sebanding dengan konspirasi yang dilakukan pemerintahan Bush dan Cheney. 

Kembali di 2002, Bush berdalih didepan Konggres bahwa perang Irak dilakukan karena Irak berada dibalik serangan 9/11 dan Irak dianggap sangat berbahaya karena memiliki senjata pemusnah massal. 

Tentunya argumen tersebut sekalipun palsu tidak akan efektif jika rencana itu dilakukan awal tahun dan jika pernyataan kegentingan itu tidak disampaikan kedua kepala negara itu. Mereka beralasan bahwa serangan senjata pemusnah massal Irak akan dilakukan diawal pemerintahan Bush sehingga AS harus bertindak segera.

Dalam buku saya, The Case for Impeachment, ada banyak bukti bahwa Bush dan Cheney telah mempersiapkan perang bahkan jauh sebelum Bush berkantor di Gedung Putih, 20 Januari 2001. Menteri Keuangan dalam bukunya, The Price of Loyalty, yang ditulis setelah disingkirkan Bush menyatakan bahwa pertemuan pertama Dewan Keamanan Nasional (NSC) dalam pemerintahan Bush membahas agenda perang dan penggulingan Saddam. Segera setelah serangan 9/11, Bush segera memerintahkan ketua program anti terorisme NSC menemukan “keterkaitan” dengan Irak. 


Dalam beberapa hari kemudian, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld memerintahkan para jenderalnya mempersiapkan invasi Irak. Jenderal Tommy Franks yang memimpin perang di Afghanistan diperintahkan memindahkan pasukannya ke Kuwait bagi persiapan perang baru. 

Jadi cukup mengherankan jika kemudian berita investigasi Inggris atas asal usul perang tidak sah ini sedikit sekali diberitakan media besar AS. Namun yang lebih mengherankan lagi jika konggres dan presiden sendiri tutup mata atas rekayasa perang yang menguras anggaran AS lebih 1 trilyun dollar (akan membengkak menjadi 3 trilyun jika ditambah pembayaran hutang dan biaya veteran), merenggut 4 ribu nyawa pemuda AS dan lebih besar lagi satu juta nyawa penduduk tidak berdosa Irak. 


*Jurnalis yang tinggal di Philadelphia. Buku terbarunya, “The Case for Impeachment” (St. Martin's Press, 2006). Lamannya www.thiscantbehappening.net.

Menyuap Para Raja Perang


*Pratap Chatterjee
Kabul, Afghanistan, setiap pagi, lusinan truk yang mengangkut diesel berangkat dari Turkmenistan menyeberangi kota perbatasan Hairaton menuju Kabul dalam dua hari perjalanan. Diantara pemilik lusinan truk itu terdapat dua perusahaan yang saling terhubung satu sama lain, yakni Ghafanzar dan Zahid. Keduanya membantu kemenangan Hamid Karzai dan menjadi bisnis keluarga Wapres baru, Muhammed Qasim Fahim, mantan raja perang.

Diantara truk itu menuju dua pembangkit listrik di bagian utara Kabul, yang baru saja diperbaiki. Pembangkit itu selama kurang dari seperempat abad memasok listrik untuk Kabul. Fasilitas pembangkit baru sendiri dijadwalkan selesai tahun depan atas bantuan USAID. 

Para analisis politik Afghan mengamati bahwa Ghazanfar dan Zahid Walid adalah contoh para konglomerat bisnis trilyunan dollar yang sukses dibiayai dari bantuan AS dan pajak rakyat Afghanistan karena terkait dengan tokoh politik yang sedang berkuasa pasca kejatuhan Taliban. Fenomena ini adalah bagian kultur korupsi disini. Nasrullah Stanikzai, Profesor Hukum di Universitas Kabul menyebut perusahaan-perusahaan tersebut milik wapres baru. ”Kita tahu siapa Ghazanfar dan Zahid Walid. Para elit pemerintah secara langsung dan tidak langsung terkait dengan perusahaan-perusahaan itu, korupsi tidak hanya terbatas kepada rakyat Afghanistan namun juga masyarakat internasional.”

Benar, kisah ’rekonstruksi’ suplai listrik di Kabul adalah cerita klasik bagaimana bantuan internasional mengucur ke kantong para kontraktor internasional dari negara donor dan para elit politik lokal. Biasanya, proyek yang dibiayai bantuan ini gagal karena jeleknya perencananaan dan raibnya uang yang digelontorkan.

Bangkitnya Broker Kekuasaan

Abdul Hasin dan saudaranya, wapres menjadi contoh sempurna elit bisnis baru. Keduanya adalah saudara sambung yang dilahirkan dari dua isteri seorang ulama yang dihormati dari desa Marz di lembah Pansjshir, Utara Kabul. 

Di awal 1980-an, Fahim bergabung dengan pasukan Mujahidin, pimpinan Ahmed Shah Massoud bertempur melawan pendudukan Uni Soviet. Di 1992, Fahim diangkat sebagai kepala intelejen Afghanistan oleh Presiden Burhanuddin Rabbani ditengah perang sipil. Ketika Taliban menguasai Afghanistan beberapa tahun kemudian, Fahim menjadi kepala intelejen Aliansi Utara yang dipimpin Massoud yang hanya mampu menguasai sepertiga negeri itu. Dua hari sebelum serangan atas WTC di New York, Massoud dibunuh al Qaeda dan Fahim mengambil alih Aliansi Utara yang kemudian didukung dan dibiayai AS. 

CIA menggelontorkan jutaan dollar kepada Fahim untuk memerangi Taliban sebelum invasi dilakukan. “Saya dapat mengambil Kabul dan Kunduz jika kamu menghantam front Taliban untukku. Anak buah saya siap, “Kata Fahim kepada Agen CIA. 

Segera setelah Taliban kalah, Fahim diangkat sebagai wapres dalam pemerintahan transisi yang dipimpin Hamid Karzai, posisi yang dipegangnya selama dua tahun. Pada saat itulah, saudaarnya Abdul Hasin memulai kerajaaan bisnisnya. Sejak itu pula, dia dihujani pelbagai kontrak besar untuk rekonstruksi Afghanistan. 

Januari 2002, saat Fahim berkunjung ke Washington dan London, menemui Jenderal Tommy Frank, kepala pasukan AS di Afghanistan, Zahid Walid, perusahaan anak tertua Abdul Hasin memenangkan kontrak besar, menyuplai beton pangkalan NATO, kedutaan AS dan bandara.

Abdul Hasin juga membiayai konstruksi gedung tingkat “Goldpoint” yang sebelumnya ditempati lusinan toko perhiasan. Zahid juga melakukan impor gas dari Rusia. Abdul Hasin mendirikan Gas Group yang mensuplai gas ke perumahan dan industri kecil di Tarakhil.

Musim semi 2006, Zahid Walid memenangkan kontrak 12 juta dollar dari kementerian energi dan air untuk mensuplai bahan bakar ke pembangkit tua di Kabul. Musim panas 2007, Zahid kembali mendapatkan kontrak 40 milyar dollar dan kontrak ketiga senilai 22 juta dollar untuk suplai bahan bakar diesel.  

19 Oktober, Ramin Seddiqui, direktur manajernya baru saja menandatangani kontrak tambahan dari pemerintah senilai 17 juta dollar. Zahid Walid kini mensuplai bahan bakar diesel kepada pembangkit listrik 100 megawatt yang selesai dibangun oleh Black &  Veatch, perusahaan konstruksi asal Kansas melalui USAID. 

Kebanyakan orang Afghanistan membincangkan sebab musabab Zahid Walid memenangkan semua kontrak itu. Dalam kunjungan saya ke Kementerian Perdagangan, saya bertanya kepada Noor Mohammed Wafa, Dirjen Produksi Minyak dan Gas Cair perihal mereka. Dia serta merta menjawab bahwa dia tidak pernah mendengar perusahaan itu. Dia kemudian berpaling ke asisten Afghan saya dan berkata dalam bahasa Dari: ”Itu perusahaan bos Fahim, bukan?” ketika saya tanya apakah ada perlakukan berbeda bagi para tokoh politik yang berkuasa, Wafa membantahnya. Faktanya, banyak orang menyakinkan saya bahwa korupsi dan hak istimewa menjadi bagian pemerintahan Karzai dengan bantuan AS. 

Ada bukti kuat bahwa kontrak suplai diesel senilai hampir 100 juta dollar itu dihambur-hamburkan. Awal tahun ini, KEC, perusahaan India menyelesaikan salah satu dari dua jalur pembangkit listrik bertegangan tinggi dari negara-negara tetangga di Asia Tengah. Pembangkit itu akan menghasilkan energi listrik yang murah dan efisien untuk ibukota. Pembangkit awal sebesar 220 kilovolt senilai 35 juta dollar itu ada di Uzbekitan- sejalur dengan rute truk diesel Zahid Walid yang melewati Hindu Kush. Namun disini letak perbedaannya. Memang para insinyur India mengalami kesulitan membangun pembangkit tersebut ditengah badai salju di puncak Salang, tetapi proyek itu dapat diselesaikan. Namun disisi lain, truk-truk Afghan itu setiap harinya mengangkut bahan bakar diesel dengan harga 22 sen per 1 kilowatt (kw), sementara listrik Uzbek, yang disalurkan melalui transmisi yang dibangun KEC hanya memerlukan biaya 6 sen per kw. 

Yang memalukan, bahan bakar yang digunakan untuk pembangkit listrik USAID di Tarakhil ini menjadi simbol bagi rekontruksi besar-besaran yang sia-sia dan banyak penyelewengan selama bertahun-tahun. Pembangkit yang dibangun Balck & Veatch itu menelan biaya 300 juta dollar, tiga kali harga pembangkit di Pakistan, namun hanya mampu mensuplai sepertiga dari pembangkit listrik Uzbek yang dibangun dengan harga jauh lebih murah. Kali ini, KEC kembali membangun pembangkit kedua di Tajikistan yang akan mensuplai 300 megawatt listrik ke Kabul, tiga kali kemampuan pembangkit di Tarakhil. 

“Dengan kapasitas penuh, kami dapat membakar 600 ribu liter sehari,” tutur Jack Currie, manajer pembangkit Tarakhil asal Skotlandia. “Dan banyak hal yang didapatkan dari para pembayar pajak?” saat saya kunjungi pembangkit itu suatu hari. “Satu dollar per satu liter diesel.” Saya coba hitungkan didepannya dan didapatkan ongkos tahunan sebesar 219 juta dollar, itupun tidak termasuk biaya pemeliharaannya yang mencapai 60 juta per tahun. Currie terkejut dengan angka tersebut. 

Saya tunjukkan angka itu kepada Mohammed Khan, anggota parlemen Afghan dari komite energi. ”Apakah anda setuju dana itu untuk pembangkit listrik itu?”, selidik saya. Khan, insinyur listrik itu serta merta menjawab, “Enggak kecuali kita dalam keadaan darurat.” 

Mengapa membangun pembangkit listrik yang biayanya 26 kali lebih tinggi ketimbang biaya jalur pembangkit yang dibangun India? Anwar ul Haq Ahadi, mantan menteri keuangan mengingat kembali proses itu. Gagasan itu –ungkapnya- berasal dari Ronald Neumann yang kemudian menjadi Dubes Afghanistan. Dia ingin membangun pembangkit sebelum meninggalkan negeri itu di 2007. Sebelumnya  jalur pembangkit Uzbek diharapkan menjadi alternatif strategis bagi pasokan listrik namun seiring penolakan rejim represif Uzbek atas penggunaan Kharsi Khanabad sebagai pangkalan militer AS, maka AS menganggap Uzbek tidak lagi menjadi partner cocok bagi rejim Hamid Karzai. 

Selanjutnya, USAID memberitahu pemerintah Karzai bahwa mereka akan membangun pembangkit listrik diesel di Kabul senilai 120 juta dollar dalam 2 tahun. Ini berarti pembangkit itu akan dapat digunakan tepat sebelum pemilu 2009 sehingga Karzai dapat mengklaim hasil pembangunannya. Tidak pelak, sang presiden pun menyetujuinya dan menginstruksikan menteri keuangannya menandatangani skema itu. Dia pun diminta menyetujui tambahan 20 juta dollar pajak rakyat Afghanistan bagi proyek itu. 

Pada saat itu, Afghanistan menghadapi kesulitan pasokan listrik di Kabul karena musim dingin yang parah. Ketika penduduk Kabul putus asa menunggu janji pasokan listrik itu maka muncullah elit politik dengan perusahaannya seperti Zahid Walid memenangkan kontrak suplai diesel. 

Zahid Walid bukan satu-satunya kelompok bisnis yang berkoneksi kuat. Ada Ghazanfar, perusahaan dari Mazar i Sharif juga memenangkan kontrak suplai diesel 17 juta dollar di musim dingin 2006-2007, dan kemudian 78 juta dollar di 2008-2009. Ghazanfar adalah bisnis keluarga dekat Presiden Karzai. (satu saudara perempuannya menjadi menteri urusan perempuan dan saudara lain menjadi anggota parlemen). Di Maret 2009, keluarga Ghazanfar membuka bank baru di ibukota. Kurang dari enam bulan, bank memberi pinjaman bebas bunga untuk kepentingan pemilu Karzai. 

Mohammed Qasim Fahim telah disumpah sebagai wapres. Pemerintahan baru ini harus mengeluarkan dananya untuk memasok bahan bakar diesel bagi Tarakhil. Ini berarti uang akan lebih banyak lagi mengalir ke kantong keluarga Wapres. 

Hamid Jalil, kordinator bantuan untuk Menkeu menyatakan bahwa penghamburan uang untuk proyek yang tidak dibutuhkan telah menghambat kemajuan Afghanistan dalam 8 tahun terakhir. “Proyek dari donor merusak legitimasi pemerintah dan menghambat kita mengembangkan kemampuan,” ungkapnya. “Korupsi kini terjadi dimana saja.”
 
Mantan Menkeu Afghan, Ashraf Ghani berkesimpulan bahwa keseluruhan system korup ini mengantar Afghanistan kepada keadaan absurd, karena tidak adanya rasa kepemilikan dan keberlangsungan bagi Afghanistan.


*Pratap Chatterjee adalah jurnalis investigative dan editor senior CorpWatch. Karnyanya, Halliburton's Army: How a Well-Connected Texas Oil Company Revolutionized the Way America Makes War (Nation Books, 2009) and Iraq, Inc. (Seven Stories Press, 2004). Dr Ali Safi menyumbang pemikiran untuk tulisan ini.

Israel dan Insiden 9/11


*Jeff Gates
Pada hari serangan 9/11, mantan PM Benyamin Netanyahu ditanya apa makna serangan itu bagi hubungan AS-Israel. Jawaban spontannya adalah: “Ini sangat baik…well  ini tidak baik namun peristiwa ini akan membangkitkan simpati (untuk Israel).”

Perang intelejen ini mengandalkan model matematis dalam mengantisipasi respon atas “tanda” untuk melakukan provokasi. Oleh karena itu, reaksinyapun dapat diamati –dalam rentang kemungkinan yang dapat diterima. Ketika pakar matematika Israel, Robert J Aumann menerima Hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi, dia dikutip mengatakan bahwa “seluruh mahzab pemikiran yang kita kembangkan disini di Israel telah ‘mengubah’ Israel menjadi pemegang otoritas terkemuka dalam bidang ini.”

Dengan provokasi yang terencana, respon antisipasipun dapat menjadi senjata bagi agen provokator. Sebagai respon 9/11, betapa sulit untuk memprediksikan bahwa AS akan mengerahkan militernya untuk melakukan serangan balasan? Betapa sulit untuk langsung menyatakan bahwa respon itu adalah bukan untuk kepentingan AS namun demi mewujudkan agenda Israel Raya?

Komponen emosional sebuah provokasi memainkan peran kunci dalam hal teori permainan rencana perang. Dalam konteks ini pula Israel menjadi pakarnya. Dengan penanyangan 3000 warga Amerika tewas karena serangan itu maka tak pelak mindset kengerian, keterkejutan dan kemarahan bercampur aduk. Kondisi ini tak pelak memudahkan menyakinkan para pengambil kebijakan AS bahwa Pelaku Keji itu aksi terorisme itu adalah Irak sekalipun tanpa didukung fakta yang kuat. 

Pencampuradukkan pelbagai fakta strategis dengan keyakinan yang diinjeksikan menghendaki adanya periode “persiapan mindset” sehingga “tanda” itu dapat menempati keyakinan mereka dalam rangkaian skenario fiksi tahap awal. Mereka yang mendorong invasi Irak Maret 2003 sejatinya telah “meletakkan jalinan mental dan  asosiasi mental”  yang dapat mewujudkan agenda mereka 10 tahun lebih awal. 

Yang terkenal diantara jalinan mental ini adalah publikasi artikel professor Harvard Samuel Huntington di Foreign Affairs 1993. Pada waktu itu, analisisnya muncul setebal buku di 1996 sebagai “The Clash of Civilization”, lebih 100 akademisi dan lembaga think tank dipersiapkan untuk mempromosikannya, melakukan pra “konsensus tentang pertarungan” itu, 5 tahun sebelum 9/11.

Juga dipublikasikan di 1996 dibawah bimbingan Richard Perle sebuah kajian yang bertitel “A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm (salah satunya Israel)”. Perle adalah anggota Dewan Penasehat Kebijakan Pertahanan AS sejak 1987, dikenal sebagai pendukung Zionis fanatik, yang kemudian diangkat sebagai ketuanya di 2001. Sebagai  penasehat kunci PM Israel Benyamin Netanyahu, maka posisinya sebagai pejabat senior Pentagon, dia meletakkan fondasi yang dikehendaki dalam menyingkirkan Saddam Hussein sebagai bagian upaya menyokong strategi Israel Raya. Pandangan ini menjadi salah satu tema utama “Clean Break” yang dirilis 5 tahun sebelum 9/11. 

Namun pembunuhan massal, artikel, buku, lembaga think tank dan orang dalam Pentagon belumlah cukup untuk mengatur pelbagai variabel dalam model perencanaan perang “probabilistik” ini.  Para pembuat kebijakan yang pro juga dibutuhkan untuk kepentingan legitimasi dan kredibilitas bagi pelaksanaan sebuah operasi intelejen yang ditentukan sebelum pra agenda.

Peran itu secara pas diisi oleh Senator John McCain, Joe Liberman, Zionis Yahudi dari Connecticut dan Jon Kyl, Zionis Kristen dari Arizona. Mereka  menggagas UU Pembebasan Irak 1998. Memasukkan agenda Tel Aviv dalam “A Clean Break”, RUU ini juga meletakkan jalinan mental lainnya dalam membentuk mindset masyarakat untuk mendukung penyingkiran Saddam Hussein 3 tahun sebelum 9/11.

Legislasi itu juga menyediakan 97 juta dollar, yang sebagian besarnya digunakan untuk mempromosikan agenda Zionis. Terimbas pemilihan sela Konggres dan pengajuan impeachment sebagai reaksi atas skandal hubungan gelap presiden dengan pegawai magang Monica Lewinsky, Bill Clinton akhirnya menandatangani UU itu 31 Oktober 1998, atau lima tahun sebelum invasi. 

Pasca 9/11, John McCain dan Joe Lieberman menjadikan isu ini sebagai tema perjalanan kampanyenya. Keduanya menjadi pendukung yang tidak tergoyahkan invasi Irak. Dalam perjalanan “kepresidenan” di kapal induk USS Theodore Roosevelt, January 2002, McCain meletakkan jalinan kunci lainnya saat dia melambaikan topi jenderal disamping Lieberman sambil meneriakkan,”Menuju Baghdad”.   

Strategi game theory mereka mengalami kemajuan lewat terobosan yang dibuat oleh Deputi Menhan, Paul Wolfowitz, orang dalam Zionis di Pentagon. 4 hari setelah 9-11, dalam pertemuannya dengan para pejabat penting di Camp David, dia mengusulkan bahwa AS harus menginvasi Irak. Namun intelejen pada waktu itu tidak memiliki bukti keterlibatan Irak dan Osama bin Laden yang diduga bersembunyi di wilayah pedalaman Afghanistan. 

Kecewa karena Presiden George H.W. Bush menolak untuk menggulingkan Saddam Hussein dalam Perang Teluk I, 1991, Wolfowitz mengusulkan Zona Larangan Terbang di Irak Utara. Menjelang 2001, Mossad menempatkan para agennya di Mosul, Irak Utara selama satu dekade. Laporan intelejen tentang hubungan Irak dengan Al-Qaeda juga berasal dari Mosul. Laporan ini kemudian hari terbukti palsu. Mosul muncul lagi di November 2004 sebagai pusat perlawanan untuk mendestabilisasi Irak. 

Sumber umum intelejen yang mendorong Amerika berperang di Irak sendiri belum diketahui.  Meskipun para pakar intelejen bersepakat bahwa aksi tipu daya secara besar-besaran menuntut adanya perencanaan sekurangnya satu dekade. Dua pemimpin laporan Komisi 9-11 mengakui bahwa mereka dicegah para anggotanya dari memberikan testimoni perihal isu hubungan AS-Israel yang melatari motivasi 9-11. 

Fiksi itupun diterima seperti diterimanya tuduhan senjata pemusnah masal, hubungan Irak dengan Al-Qaeda, pertemuan Irak dengan Al-Qaeda di Praha, laboratorium senjata biologis bergerak dan pembelian uranium “kue kuning” Irak dari Niger sebagai kebenaran. Fakta terakhir inipun terbukti bohong diawalnya. Sementara fakta lainnya baru diketahui setelah perang berlangsung. Upaya untuk menutup-nutupi kasus “kue kuning” menyebabkan kepala staff wakil presiden Lewis Libby, orang dalam Zionis lainnya diadili. 

Apakah model pra aksi dalam game theory itu termasuk didalamnya provokasi Israel yang mengakibatkan pecahnya Intifadha Kedua? Intifadha adalah perlawanan “menggoncang” penindas. Intifadha Kedua di Palestina di bulan September 2000 pecah karena PM Ariel Sharon memimpin parade bersenjata ke Temple Mount, Yerusalem -setahun sebelum 9-11.

Setelah setahun masa tenang –pada saat rakyat Palestina percaya akan prospek perdamaian, pemboman bunuh diri kembali terjadi pasca provokasi tingkat tinggi itu. Sebagai respon atas perlawanan itu, Sharon dan Netanyahu menyimpulkan bahwa dengan “berbagi kepedihan kita”, AS akan dapat memahami kondisi Israel sebagai korban. Kedua pemimpin Israel itu mengusulkan bahwa “mindset bersama” (merasakan kepedihan kita) membutuhkan jumlah korban di pihak sipil AS antara 4500 hingga 5000 karena aksi terorisme, taksiran awal mereka atas korban tewas  di dua menara kembar WTC New York –yang terjadi setahun kemudian. 

Ketika sukses, war game theory akan semakin memperkuat agen provokator dengan meninggalkan “tanda” sebagai reaksi atas provokasi yang pas. Dengan standar game theory inilah, 9/11 adalah keberhasilan strategis karena sukses menempatkan AS sebagai pihak yang irasional dalam bereaksi, yakni menginvasi Irak.  Sebagai akibatnya, AS demikian Irak menghadapi konsekuensi yang mematikan. 

Pemberontakan adalah reaksi model yang paling mudah atas invasi sebuah negara karena (a) tidak membutuhkan provokasi dan (b) wilayah itu dihuni oleh tiga sekte yang saling berperang dalam rentang waktu yang lama. Keadaan  damai yang rentan ini dicoba dipertahankan oleh bekas sekutu AS yang dicap sebagai “Pelaku Keji”. Karena biaya nyawa dan harta membengkak maka AS mengalami kondisi overextended dalam militer, keuangan dan diplomasi.  

Ketika “tanda” (AS) muncul di permukaan, maka agen provokator mundur teratur. Namun itu terjadi setelah mereka sukses mengkatalisasi dinamika dengan menguras kredibilitas dan sumber daya AS. Kemenangan “probabilistik” ini juga menjamin munculnya sinisme yang meluas, perasaan tidak aman, ketidakpercayaan dan disilusi yang berbarengan dengan semakin merosotnya kemampuan untuk mempertahankan kepentingannya karena disebabkan duplikasi game theory

Sementara itu publik Amerika menderita dibawa rejim yang mengawasi, memata-matai dan mengintimidasi mereka melalui terminologi keamanan “tanah air” (homeland). Operasi domestik ini mengingatkan “operasi fatherland” AS dalam PD II yang bertujuan menyingkirkan anasir asing dari wilayah AS. Apakah operasi ini dimaksudkan melindungi Amerika atau sebaliknya melindungi mereka yang bertanggung jawab atas operasi orang-orang dalam dari jangkauan kemarahan rakyat Amerika?

Dengan memanipulasi ‘mindset’ bersama, para perencana game theory yang cakap dapat mengobarkan peperangan dengan cara sederhana dan di pelbagai front dengan sumber daya minimal. Satu strategi mujarab mereka: tampakkan sebagai sekutu negara yang memiliki persenjataan canggih yang berencana mengerahkan militernya sebagai balasan atas pembunuhan massal. Dalam kasus ini, hasilnya adalah destabilisasi Irak, menciptakan krisis yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan strategis mereka dengan memperluas konflik hingga ke Iran, tujuan kunci Israel lainnya seperti yang dijelaskan dalam “A Clean Break” 7 tahun sebelum invasi Irak. 

Negara mana yang menangguk untung pengerahan kekuatan koalisi ke kawasan itu? Hasil model matematik ini sejatinya merusak keamanan nasional AS karena Negara adidaya itu mengalami overstreching kekuatan militernya, rusak kredibilitas pemimpinnya, hancur kondisi finansialnya dan kemauan politiknya tidak dapat dijalankan. Dalam terminologi game theory, hasil ini secara sempurna dapat diprediksi dengan rentang probabilitas yang dapat diterima. 

Dalam kondisi asimetri yang mencirikan perang konvensial sekarang ini, mereka yang memiliki sumber daya terbatas harus menjalankan perang melalui tipu daya dan dengan alat yang dapat menjamin  dampaknya.  Siapa lagi jika bukan Israel yang cocok dengan pendeskripsian ini. 

Para perencana perang game theory memanipulasi lingkungan mental yang sama dengan membentuk persepsi dan menciptakan kesan bahwa hal itu adalah konsensus opini. Dengan bantuan krisis yang dirancang secara tepat, para pembuat kebijakan masuk dalam agenda yang telah diatur sebelumnya –bukan disebabkan musuh mereka adalah Pelaku Kejahatan atau “imperialis” sebenarnya namun karena mindset bersama yang telah dikondisikan sebelumnya. Aksi ini bukan untuk merespon fakta namun lebih merefleskikan emosi dan keyakinan konsensus yang dimanipulasi. Tanpa pembunuhan 3000 jiwa dalam peristiwa 9 September, kredibilitas Amerika tidak dapat dirusak dan ekonomi Amerika akan jauh lebih baik. 

Dengan memanipulasi fakta terus menerus maka “tanda” itu dapat dimasukkan dalam mindset publik sehingga lambat laun dipercaya. Dengan memanipulasi mindset publik, para perencana war game theory dapat mengalahkan musuhnya dengan sumber daya superior melalui serangkaian dorongan keputusan yang menjamin kekalahan itu. 

Perang intelejen dikobarkan dengan cara mudah melalui kover keyakinan bersama tadi. Dengan memanipulasi opini konsensus, perang semacam itu dapat dimenangkan dari dalam dengan mendorong orang dengan bebas memilih kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kebebasan mereka. Dalam abad informasi, kekuasaan tidak proporsional dapat ditempa oleh mereka yang memiliki pengaruh luar biasa dalam media, pelbagai lembaga think tank, budaya pop, akademisi, dan para politisi yang dikenal berada dibawah domain pengaruh Zionis. 
 
Keyakinan yang disorongkan itu bekerja sebagai pengganda kekuatan dalam mengobarkan perang intelejen dari belakang. Dalam inti operasional perang ini adalah kemampuan mengantisipasi respon “tanda” terhadap provokasi dan memadukan alasan itu sebagai senjata mereka. Bagi mereka yang menjalankan perang dengan cara ini, fakta hanya menjadi penghalang yang harus diatasi. Bagi negara-negara yang mengandalkan fakta, aturan hukum dan persetujuan yang berbasis pengetahuan demi melindungi kebebasan mereka maka pengkhianatan dari dalam akan menjadi ancaman terbesar mereka. 

Amerika jauh kurang aman ketimbang sebelum 9/11. Tel Aviv jelas bermaksud melanjutkan provokasi berikutnya seperti yang ditampakkan dalam perluasan pemukiman mereka yang ilegal. Israel tidak menunjukkan keinginan sama sekali melakukan negosiasi secara tulus atau mengambil langkah yang mendorong perdamaian. Hingga kini, Barack Obama sendiri tidak ingin mengangkat pembantu seniornya yang bukan pendukung fanatik Israel. Ancaman terbesar perdamaian dunia sejatinya bukan teroris namun ancaman itu ada dalam hubungan AS-Israel. 

Dengan cara yang sama, satu dekade persiapan perang dilakukan untuk memberi alasan yang masuk akal bagi AS untuk menginvasi Irak, strategi yang sama kini sedang berjalan yang mendorong AS untuk menginvasi Iran atau mendukung dan membiarkan serangan yang dilakukan Israel. Kerumitan yang sama sedang bekerja termasuk profiling tingkat tinggi yang dibutuhkan untuk mencap Pelaku Kejahatan. Dari awal, jaringan Zionis menfokuskan kepada hegemoni di Timteng. Aliansi kuat dengan AS memungkinkan komplotan ini menempatkan kekuatan Amerika untuk tujuan ini. 

Hanya ada satu negara yang memiliki alat, motif, kesempatan dan kekuatan intelejen yang dibutuhkan untuk membawa AS dalam perang di Timteng dan menjadikan sebagai ancaman. Jika Barack Obama terus menerus terlambat menyikapi maka dia akan disalahkan jika serangan berikutnya terjadi di AS atau Uni Eropa. Haruskah pembunuhan massal lainnya terjadi dimana peristiwa itu sendiri sejatinya dapat dilacak dalam hubungan AS-Israel dan dari kegagalan para pengambil kebijakan AS membebaskan Amerika dari musuh didalam.


*Jeff Gates adalah penulis Guilt By Association, Democracy at Risk and The Ownership Solution. Silahkan kunjungi www.criminalstate.com.

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

Visitors By Countries

free counters

Kalender

Jam

Link Facebook

Advertorial

Advertorial

Total Visitors

Rincian Pengunjung

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Top Readings of The Week

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget