*Heru Susetyo
A. PENDAHULUAN
Namun, berbeda dengan batas fisik, batas kultural antara Indonesia dan Malaysia tak pernah jelas. Dan tidak hanya dengan Malaysia, dengan Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philippina Selatan-pun bangsa Indonesia memiliki kesamaan kultural karena berasal dari rumpun etnolinguistik yang sama yaitu Austronesia (Malayo Polynesia). Sehingga memiliki akar bahasa yang nyaris sama, dan pengalaman sejarah yang hampir sama, yaitu sempat berada di bawah kesultanan-kesultanan Islam sebelum mengalami penjajahan Eropa Barat (terkecuali untuk Thailand Selatan). Tak heran beberapa kesenian khas Indonesia seperti wayang ataupun seni batik mudah juga ditemukan di Malaysia maupun Thailand Selatan dan Brunei Darussalam.
Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pulau Sipadan dan Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002) dan blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya beberapa persoalan krusial seperti buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan di wilayah perbatasan.
Maka, permasalahan perbatasan kini kian kompleks. Salah satu permasalahan yang kini menjadi aktual dan menarik dikaji adalah bagaimana mengelola masalah perbatasan Indonesia-Malaysia, dan pendekatan keamanan seperti apa yang harus digunakan demi menghadapi masalah di perbatasan yang begitu kompleks?
B. PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau state’s border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.
Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebutkan bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah dibangun oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan perendahan harkat dan kebebasan manusia.
O.J. Martinez sebagaimana dikutip Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan ada empat tipe perbatasan :
Alienated borderland : suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik.
Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya strategis di perbatasan.
Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah.
Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah pesekutuan yang erat.
Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk diantara tipe kedua dan ketiga yaitu Coexistent dan Interdependent borderland. Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari Kalimantan Utara-Malaysia adalah sejauh 2004 kilometer, kemudian di Nusa Tenggara Timur – Timor Leste sejauh 240 kilometer, dan di Papua – Papua New Guinea sepanjang 760 kilometer.
C. PENDEKATAN KEAMANAN NON TRADISIONAL
Pasca perang dingin (cold war), konsep tentang keamanan (security) telah banyak mengalami perkembangan. Mely Caballero-Anthony menyebutkan minimal ada tiga pandangan tentang keamanan. Pandangan pertama adalah yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas daripada semata-mata keamanan militer (military security). Pandangan kedua adalah menentang perluasan ruang lingkup daripada keamanan dan lebih cenderung konsisten dengan status quo. Pandangan ketiga tidak saja memperluas cakupan bahwa keamanan adalah lebih luas dari semata-mata ancaman militer dan ancaman negara, namun juga berusaha untuk memperlancar proses pencapaian emansipasi manusia (human emancipation).
Pandangan yang beranggapan bahwa ruang lingkup keamanan adalah lebih luas dari semata-mata keamanan militer sering disebut sebagai paradigma keamanan non tradisional. Pihak lain menyebutnya paradigma keamanan alternatif (alternative security).
Dalam konsepsi klasik ataupun tradisional, keamanan lebih diartikan sebagai usaha untuk menjaga keutuhan teritorial negara dari ancaman yang muncul dari luar. Konflik antar negara khususnya dalam upaya memperluas imperium daerah jajahan membawa definisi security hanya ditujukan kepada bagaimana negara memperkuat diri dalam upaya menghadapi ancaman militer. Disini negara (state) menjadi subyek dan obyek dari upaya mengejar kepentingan keamanan.
Pandangan kelompok ini menilai bahwa semua fenomena politik dan hubungan internasional adalah fenomena tentang negara. Dalam alam pemikiran tradisional ini negara menjadi inti dalam upaya menjaga keamanan negara. Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non tradisional.
Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan critical security studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak asumsi bahwakeamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa pondasi dari keamanan adalah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi. Pencapaian kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu maupun kelompok mendapatkan keamanannya. Maka, bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/ freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear). Bukan dengan cara memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat.
Beberapa cabang dari pendekatan keamanan non tradisional antara lain konstruktivisme (constructivism), sekuritisasi (securitization) dan keamanan manusia (human security).
D. MENGELOLA PERBATASAN INDONESIA– MALAYSIA DENGAN PENDEKATAN KEAMANAN NON TRADISIONAL
Masalah perbatasan Indonesia- Malaysia dapat dibedakan antara batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara. Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan petugas penjaga perbatasan, maupun kantor imigrasi. Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral. Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005 – 2006 membuktikan bahwa kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di –legal- kannya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tahun 2002 oleh International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat.
Persoalan lain adalah keamanan di perbatasan laut Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-Singapura (SMS) sering terjadi perompakan dilaut (sea robbery) sehingga issue tersebut oleh negara-negara pemakai selat telah bergeser menjadi issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara pemakai selat yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di SMS. Padahal berdasarkan konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS), tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing. Saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan Philippina yang menangkap ikan secara illegal ke Laut Banda dan Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun.
Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu, terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006, sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu.
Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi wajar apabila berperan lebih dominan. Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau Kalimantan dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat, kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non tradisional yang bertumpu pada human security, tak semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi) dan food security (keamanan pangan).
Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kalimantan Barat, yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia:
Masalah perbatasan Indonesia- Malaysia dapat dibedakan antara batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara. Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan petugas penjaga perbatasan, maupun kantor imigrasi. Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral. Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005 – 2006 membuktikan bahwa kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di –legal- kannya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tahun 2002 oleh International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat.
Persoalan lain adalah keamanan di perbatasan laut Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-Singapura (SMS) sering terjadi perompakan dilaut (sea robbery) sehingga issue tersebut oleh negara-negara pemakai selat telah bergeser menjadi issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara pemakai selat yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di SMS. Padahal berdasarkan konvensi hukum laut 1982 (UNCLOS), tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing. Saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan Philippina yang menangkap ikan secara illegal ke Laut Banda dan Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun.
Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu, terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006, sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu.
Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi wajar apabila berperan lebih dominan. Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau Kalimantan dan pulau-pulau kecil di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat, kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non tradisional yang bertumpu pada human security, tak semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi) dan food security (keamanan pangan).
Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kalimantan Barat, yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia:
Warga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata banyak yang memiliki kartu kewarganegaraan Malaysia. Ini dibuktikan dengan kepemilikan kartu identitas (identity card/IC) Malaysia. Pengurusannya juga tidak tidak terlalu sulit sehingga banyak warga yang mengurus IC. Sebagai contoh adalah warga Desa Suruh Tembawang, desa terpencil dan terisolasi yang terletak di perbatasan Kalbar-Sarawak dengan jarak sekitar 64 km dari pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) Entikong. Sejauh ini sedikitnya 139 warga Desa Suruh Tembawang beralih statusnya jadi WN Malaysia. Hal ini dikarenakan Desa Suruh Tembawang berbatasan langsung dengan dusun Gun Sapit di Serawak. Penduduk Suruh Tembawang juga sering berniaga ke Gun Sapit karena mereka memang masih memiliki hubungan kekerabatan karena berasal dari etnis yang sama. Di saat petugas Jabatan Pendaftar Negara (JPN) Malaysia mendaftar, mereka turut mendaftar sehingga memperoleh IC.
Kasus lain yang tak kalah unik dan menarik sekaligus menghadirkan permasalahan kesejahteraan di perbatasan terjadi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan- Kalimantan Timur. Harian Suara Merdeka edisi 17 Mei 2005 menyajikan reportase menarik tentang kronik kehidupan di perbatasan Pulau Sebatik :
Puluhan rumah panggung tampak berderet-deret sepanjang jalanan berbatu. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu. Tidak ada pagar kawat berduri atau tembok tinggi seperti laiknya perbatasan dua negara. Kecuali beberapa patok yang tersembul setinggi 10 cm, tak setitik pun tengara bahwa rumah-rumah itu berdiri di atas wilayah Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatiksenyatanya merupakan pulau terluar Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Secara administratif, pulau kecil berpenduduk 26.400 jiwa di seberang Kalimantan ini "terbelah" menjadi dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan Desa Aji Kuning adalah bagian dari tanah air yang "terbagi" itu. Ketidakjelasan batas Indonesia-Malaysia sesungguhnya tak hanya terjadi di lautan seperti yang kini terjadi di Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Di daratan seperti Desa Aji Kuning, kesimpangsiuran batas negara bukanlah hal yang luar biasa. Sebut saja RT 14 Desa Aji Kuning, secara de jure sesungguhnya masuk wilayah Malaysia. Meski demikian, penduduk yang sudah bermukim di pulau itu sejak tahun 1975 tak pernah merisaukan sejengkal pun tanah batas wilayah. ''Boleh dibilang setiap hari kami pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak, ruang tamu ada di Indonesia, dapur ada di Malaysia,'' kelakar H Bedu Rahang. Namun persoalan batas negara bukanlah harga mati di Sebatik. Sebab petugas dan fasilitas penjagaan terbilang minim. Sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia-sekitar 1.950 kilometer misalnya, hanya tersedia 30 pos perbatasan. Artinya, setiap pos harus menjaga wilayah sepanjang 65 kilometer. Seorang petugas TNI, Harianja (30), menuturkan, pemeriksaan di daerah tak berpenjaga jauh lebih longgar. Sebab warga sering lalu-lalang ke daerah perbatasan. ''Kalau setiap saat harus menunjukkan paspor, tentu repot. Lha wong saban sore kami musti jalan kaki mengambil air ke sumur Malaysia,'' ujar pria asal Sidoarjo Jawa Timur itu. Apa yang dikatakan Harianja bukanlah mengada-ada. Saat musim kemarau tiba, warga Aji Kuning harus mencari air hingga ke Malaysia. Mereka berjalan kaki menembus perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan sumber kehidupan. ''Kami cukup menunjukkan KTP kepada petugas yang berjaga jaga di perbatasan Malaysia. Atau, kalau sudah hapal ya lewat saja. Toh penduduk sini tak banyak, mereka hapal siapa-siapa yang butuh air,'' tutur Harianja.
Studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah – Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan, Sarawak – Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis yang sama (Sellato, 1994 dan Crain 1994). Sampai saat ini, kendati menghadapi kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian propinsi yang lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan perekonomian tersebut masih berlangsung.
Berdasarkan ilustrasi ketiga kasus di atas, nampaklah bahwa masalah perbatasan tidak semata-mata masalah keamanan militer (hankam) saja. Namun juga masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Berapa banyakpun jumlah tentara ditugaskan menjaga perbatasan, apabila masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial tak tuntas ditangani maka pelanggaran-pelanggaran terhadap perbatasan fisik akan selalu ada.
Maka pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada aspek kemiliteran saja tidaklah cukup. Namun harus juga mengakomodasi pendekatan keamanan non tradisional dengan perspektif human security-nya. Dalam hal ini adalah jaminan terhadap economic security dan food security.
D.1. Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan dan Pulau Miangas, Sulawesi Utara
Kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di
Apa dasar kemenangan Malaysia? Menurut putusan ICJ pada 17 Desember2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut.
Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara. Pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005. Matinya sekretaris desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI. Merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippina. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi. Mereka merasa lebih dekat dengan Philippina daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao dan transaksi sehari-harinya menggunakan Philippines Pesos daripada Rupiah.
E. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Mengelola perbatasan Indonesia – Malaysia bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik Indonesia- Malaysia jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat).
Kasus-kasus yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan seperti bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi, harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya. Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994. Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.
Mengelola perbatasan Indonesia – Malaysia bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik Indonesia- Malaysia jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat).
Kasus-kasus yang terjadi di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan seperti bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi, harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya. Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994. Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.
*Dosen FH UI
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: