Rejim visa baru ini tak pelak mengundang perdebatan dan kritik tajam. Kebijakan tersebut dianggap sama buruknya dengan respon pasif Uni Eropa saat itu. Bosnia digempur habis-habisan oleh senjata berat Serbia dalam perang Bosnia 1992-1995 yang menewaskan 250 ribu Muslim Bosnia, namun Uni Eropa tidak berbuat apa-apa untuk mencegah pembantaian tersebut. Selama tiga tahun, Uni Eropa menolak desakan dunia untuk melakukan intervensi pembantaian atas Muslim Bosnia. Bahkan ketika PBB melakukan embargo senjata dalam kenyataannya embargo itu hanya berlaku bagi para pejuang Bosnia.
Para pakar menyatakan bahwa Uni Eropa sedang melakukan hal sama, yakni menghukum rakyat Bosnia karena penolakan warga kroasia Bosnia dan Serbia Bosnia untuk memberikan hak pengeluaran paspor kepada pemerintah Federal. Partai Hijau dan sayap pemuda JEF (Young European Federalist) mengkritik tajam keputusan itu dan mengatakan langkah itu hanya akan menciptakan perpecahan baru di wilayah bekas Yugoslavia. Daniel Cohn Bendit pemimpin partai Hijau di Parlemen Eropa mengecam rejim visa baru itu sebagai kebijakan hipokrit. Dia menuduh Uni Eropa secara sengaja memecah belah Eropa Tenggara dan mendiskriminasikan korban pembantaian Sebrenica.
Para pakar dalam parlemen Eropa juga mengecam langkah tersebut dan menggambarkan kebijakan itu sebagai bentuk diskriminasi telanjang atas Muslim Bosnia. Mereka menganggap alasan yang secara resmi disebutkan komisi Uni Eropa tidak mengada-ada. Bosnia belum memiliki sistem paspor mocrochip yang memuat data biometric. Alasan itu sendiri terbantahkan karena masih ada jutaan pengguna paspor Uni Eropa yang belum menggunakan paspor biometric. Sebaliknya, para pakar menyatakan, “Satu-satunya alasan tidak masuknya Bosnia dan Kosovo adalah karena tidak ada satu negarapun Uni Eropa yang memperjuangkannya”, tutur mantan ahli dalam parlemen Uni Eropa.
Saat mengumumkan rejim baru ini, komisioner UE, Olli Rehn ditanya apakah dengan diberlakukan kebijakan visa baru ini berarti Mladic, sang jagal yang berpaspor Serbia akan dapat bepergian bebas ke seluruh negara Uni Eropa sementara keluarga Bosnia yang menjadi korban kekejamannya justru dilarang. Rehn serta merta menolak interpretasi tersebut . Dia mengatakan Uni Eropa tidak akan mendiskriminasikan setiap negara di Balkan manapun termasuk Bosnia dan Kosovo. Sebaliknya dia menyebutkan bahwa pengecualian bagi Bosnia karena dalam pandangannya negara itu terlalu sibuk dengan wacana nasionalisme dan tidak memfokuskan kepada upaya memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi bagian Uni Eropa.
Dengan rejim visa baru ini, warga Macedonia, Montenegro dan Serbia dapat bepergian bebas ke seluruh negara Uni Eropa tanpa menggunakan visa mulai 1 Januari mendatang. Proposal ini sendiri masih membutuhkan dukungan secara resmi dari 27 negara uni Eropa dalam sidang Oktober mendatang.
Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa kebijakan baru Uni Eropa itu bersifat diskriminatif:
pertama, pembatasan visa bagi Bosnia ternyata hanya kepada Muslim Bosnia bukan kepada etnik Kroasia dan Serbia yang menjadi bagian penduduk Bosnia Herzegovina. Kedua etnik itu selama ini menikmati paspor ganda yang diterbitkan pemerintah Serbia dan Kroasia. Dengan demikian, pembatasan itu hanya berlaku bagi etnis Bosnia. Secara de facto, kriteria etnik sendiri akan dapat memutuskan apakah seseorang dapat menikmati rejim bebas visa atau tidak.
Kedua, Uni Eropa ,mengabaikan fakta bahwa Bosnia Herzgovina berada dalam taraf yang sama dalam perberlakukan sistem biometrik. Kedua negara itu juga meloloskan beberapa regulasi yang berkaitan dengan isu liberalisasi visa.
Ketiga, yang paling menyakitkan, Serbia Bosnia dan Kroasia Bosnia menolak memberikan hak kepada pemerintahan federal di Sarajevo mengeluarkan sistem paspor biometrik. Namun Uni Eropa sama sekali tidak membantu upaya memperkuat pemerintah federal.
Dalam pernyataan pedasnya, Cohn Bendit menyatakan bahwa tindakan Uni Eropa hipokrit dan cacat moral. Uni Eropa telah kehilangan kredibilitasnya karena hanya semakin memperkuat kedudukan etnis Sebia dan Kroasia di Bosnia yang sebetulnya telah menikmati dwi kewarganegaraan sementara menyudutkan etnis Bosnia. Mereka dulu menderita karena kebijakan Uni Eropa yang merugikan mereka selama perang di era 90-an. Jika kebijakan liberalisasi visa dianggap sebagai upaya menempa harapan bagi rekonsiliasi maka alih-alih kebijakan Uni Eropa terbaru justru semakin mempertajam perpecahan dan membangkitkan permusuhan. (22 Juli 2009)S
(Setahun kemudian, tepatnya 15 Desember 2010, Uni Eropa akhirnya mencabut pembatasan visa bagi Bosnia dan Albania).
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: