*James Petras
Perang dan pendudukan Irak dilakukan oleh beberapa kekuatan politik besar dan didorong kepentingan imperial. Namun kepentingan tersebut tidak dengan sendirinya dapat menjelaskan kedalaman dan lingkup kerusakan massif yang terus berlangsung atas masyarakat dan akibat atas terjadinya perang secara permanen. Pelbagai kekuatan politik yang mendorong perang dan disusul dengan pendudukan Amerika atas Irak termasuk didalamnya yang terpenting namun jarang didiskusikan adalah:
Konfigurasi Kekuatan Zionis (KKZ) melibatkan diantaranya para pendukung negara Israel tanpa syarat dari kalangan Yahudi Amerika. Mereka adalah para pejabat penting yang menduduki pelbagai pos penting baik di Pentagon (Douglas Feith dan Paul Wolfowitz), di Kantor Wakil Presiden (Irving (Scooter) Libby), Departemen Keuangan (Stuart Levey), di Badan Keamanan Nasional (Elliot Abrams) dan para konsultan perang, penulis pidato Presiden (David Frum), maupun para pejabat dan penasehat politik Departemen Luar Negeri.
Orang-orang yang komit atas Zionis dengan didukung ribuan fungsionaris 51 organisasi Yahudi Amerika membentuk organisasi payung Presiden Organisasi-Organisasi Yahudi Amerika Utama (PMAJO). Mereka secara terbuka menyatakan bahwa prioritas utama mereka adalah mendukung agenda Israel. Diantaranya perang AS untuk menjatuhkan rejim Saddam Hussein, menduduki dan membagi Irak, menghancurkan kemampuan militer dan industrinya dan menempatkan rejim boneka pro AS dan Israel.
Jika Irak secara etnik dibagi seperti yang diusulkan PM ultra kanan Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden “liberal” Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) Leslie Gelb maka akan ada banyak rejim klien yang terbentuk.
Para pengambil kebijakan Zionis pro perang memang tidak secara langsung menghancurkan keseluruhan peradaban Irak. Namun dukungan dan desain kebijakan pendudukan mencakup penghapusan aparat pemerintahan Irak dan rekrutmen para penasehat Israel dalam teknik interograsi, penindasan perlawanan sipil dan konter insurgensi.
Keahlian Israel tentu memainkan peran dalam memicu kerusuhan etnik dan agama dikalangan masyarakat Irak. Model Israel itu berupa perang dan pendudukan kolonial seperti invasi Lebanon 1982 dan praktek ‘penghancuran total yang menggunakan perbedaan etno-relijius seperti terlihat dalam insiden pembantaian Sabra Shatilla di Beirut dimana Israel terlibat dalam memberikan supervisi militer atas milisi Kristen.
Kekuatan politik berpengaruh kedua dibalik Perang Irak adalah para militaris sipil (seperti Donald Rumsfeld dan Wakil Presiden Cheney) yang berusaha memperluas jangkauan imperial AS di Teluk Persia dan memperkokoh posisi geo-politik AS dengan menyingkirkan para pendukung nasionalis sekular Arab yang mendukung perlawanan anti imperialis di Timur Tengah. Para militaris sipil ini berupaya memperluas basis militer AS yang memojokkan kekuatan Rusia dan menjamin kontrol atas persediaan cadangan minyak Irak sebagai upaya untuk menekan China.
Para militaris sipil ini digerakkan oleh Wapres Dick Cheney karena ikatan masa lalu sang Wapres yang berkiprah di industri minyak dan perannya sebagai CEO Halliburton. Halliburton melalui anak perusahaannya Kellogg-Brown and Root menjadi kontraktor pangkalan militer Amerika raksasa. Halliburton berperan mengkonsolidasikan kekuasaan imperial Amerika melalui pembangunan pangkalan militer AS di seluruh penjuru dunia. Banyak perusahaan besar minyak Amerika yang ketakutan kalah bersaing dengan para pesaingnya dari Eropa dan Asia sehingga diam-diam melakukan perjanjian dengan Saddam Hussein. Industi minyak pro Bush juga melakukan hal yang sama. Mereka terlibat dalam perdagangan minyak illegal dengan rejim Saddam yang sedang diembargo. Industri minyak cenderung tidak mendukung langkah instabilitas di kawasan tersebut.
Strategi militer penaklukan dan pendudukan didesain untuk penempatan militer dalam jangka panjang dalam bentuk basis militer strategis dengan keberadaan secara signifikan dan terus menerus para penasehat militer dan unit-unit tempurnya. Pendudukan militer brutal atas negara sekular independen dengan sejarah nasionalisme yang kuat serta mewarisi infrastruktur militer dan aparat militer yang cukup maju tak pelak akan menumbuhkan sikap dan gerakan anti pendudukan.
Untuk mencegahnya, para pejabat kolonial Amerika, CIA dan Badan Intelejen Pertahanan menyusun strategi ‘pecah belah’ (yang sering disebut sebagai “Solusi El Salvador” merujuk strategi mantan duta besar AS di wilayah-wilayah panas dan juga Direktur Intelejen Nasional, John Negroponte) memicu konflik sektarian dan mendorong terjadinya pembunuhan antar pemeluk agama sebagai upaya memecah upaya penyatuan gerakan nasionalis anti imperialis.
Pembubaran birokrasi sipil dan militer itu didesain kalangan Zionis dalam pemerintahan Bush untuk memperkuat Israel dan mendorong bangkitnya kelompok-kelompok militan yang dulunya ditindas oleh rejim Baathis Saddam Hussein. Israel telah melakukan strategi ini sebelumnya.
Hasilnya, kebijakan kolonial Amerika didanai untuk menggandakan potensi-potensi konflik internal. Para mullah, pemimpin suku, penjahat politik, ekspatriat dan kelompok-kelompok pembunuh bermunculan. Perang ‘semua melawan semua’ bertindak untuk kepentingan kekuatan pendudukan. Irak menjadi tempat tumbuhnya anak muda pengangguran yang kemudian direkrut sebagai pasukan bayaran.
‘Perang sipil’ dan ‘konflik etnik’ menyediakan dalih bagi AS dan rejim boneka Irak untuk membebas tugaskan ratusan ribu tentara, polisi dan fungsionaris rejim sebelumnya (khususnya jika mereka dari Sunni atau campuran). Dibawah dalih “perang melawan terror”, pasukan khusus Amerika dan CIA memerintahkan pasukan pembunuh menyebarkan terror dalam pemerintahan sipil Irak, menarget siapapun yang kritis terhadap rejim boneka.
Perang Irak didorong oleh kelompok neo-konservatif dan liberal yang sangat berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan Israel. Mereka memandang keberhasilan perang Irak (yang berarti penghapusan total sejarah Irak) sebagai ‘kartu domino’ pertama dalam serangkaian perang untuk ‘rekolonialisasi’ Timur Tengah (dalam istilah mereka “menggambar kembali peta”). Mereka menyamarkan ideologi imperial mereka dengan retorika palsu tentang ‘mempromosikan demokrasi’ di Timur Tengah (tentunya dengan perkecualian kebijakan tidak demokratis ‘tanah air mereka’ Israel atas rakyat Palestina).
Berpadunya ambisi hegemonik Israel dengan kepentingan imperial Amerika, para pengikut konservatif dan neo-liberal di partai Demokrat pertama mendukung Presiden Bush dan kemudian Presiden Obama dalam mendorong perang dengan Afghanistan dan Pakistan. Mereka bersepakat mendukung kampanye pemboman brutal atas Lebanon, dengan serangan udara dan darat demikian pula pembantaian ribuan warga sipil yang terjebak di Gaza, pemboman fasilitas militer Suriah dan menjustifikasi kebijakan serang lebih dahulu (pre emptive strike) serta merancang serangan militer besar-besaran atas Irak.
Para pendukung perang terus menerus menyatakan bahwa mereka hanya dapat melepaskan kekuatan penuh mereka setelah mereka dapat mengontrol secara penuh korban pertama mereka yakni Irak. Mereka yakin bahwa perlawanan Irak dapat dengan mudah ditundukkan setelah 13 tahun strategi sanksi ekonomi yang brutal dijatuhkan atas AS dan PBB. Untuk mengkonsolidasikan kendali imperial, para pembuat kebijakan politik Amerika secara permanen membungkam semua pemberontak sipil Irak. Mereka beralih membiayai para ulama Syiah dan para pembunuh Sunni serta mengontrak ribuan pasukan bayaran diantara para suku perang Peshmerga dari suku Kurdi untuk melakukan serangkaian pembunuhan selektif atas para pemimpin gerakan masyarakat sipil yang independen.
AS menciptakan dan melatih 200 ribu anggota pasukan keamanan rejim boneka yang terdiri keseluruhannya atas para pasukan Syiah dan mengeluarkan para mantan anggota militer yang berpengalaman pada rejim Saddam baik dari kalangan Sunni, Kristen maupun Sekular.
AS dan para penasehat Israel sadar jika para pemeluk Kristen Irak telah memainkan peran penting dalam pengembangan nasionalis sekuler rejim Baath dan pengahapusan dalam struktur militer Irak bukan hal kebetulan. Hasil kebijakan itu adalah penghapusan para pemimpin dan gerakan anti imperialis dari kalangan sekular dan sebagai gantinya mendatangkan kolaborator etno relijius sebagai partner yang tak tertandingi dalam menjustifikasi keberadaan jangka panjang Amerika di Irak. Dengan rejim boneka, Irak akan menjadikan titik landas bagi pencapaian strategis domino-domino lainnya (Suriah, Iran, dan Asia Tengah).
Pertumpahan darah yang berlangsung terus menerus dalam pendudukan AS mengakibatkan terbunuhnya 1,3 juta rakyat Irak setelah 7 tahun invasi Bush, Maret 2003. Hingga pertengahan 2009, invasi dan pendudukan Irak telah menelan lebih 666 milyar dollar uang Amerika. Ini adalah pengeluaran terbesar dalam menjalankan kebijakan imperial AS di kawasan Timur Tengah, Asia Selatan dan Tengah.
Kebijakan Washington untuk mempolitisasi dan memiliterisasi perbedaan etno relijius, mempersenjatai dan mendorong terjadinya pertentangan etnis dan agama telah menyebabkan terjadinya pertumpahan darah sehingga merusak perlawanan dan persatuan nasional. Taktik pecah belah dan upaya mengandalkan organisasi keagamaan dan sosial kembali ke masa yang terburuk adalah contoh yang paling biasa dalam upaya melakukan penundukan negara nasionalis yang bersatu dan maju.
Memecah negara nasional, menghancurkan kesadaran nasionalis dan mendorong loyalitas kedaerahan, feudal, dan etno-relijius yang primitif menuntut adanya penghancuran sistemik kesadaran nasionalis, memori kesejarahan, serta pikiran ilmiah dan sekular. Memprovokasi kebencian etno-relijius merusak hubungan pernikahan, keberagaman komunitas dan institusi dengan ikatan persaudaraan dan profesionalisme diantara pelbagai latar belakang yang berbeda.
Penyingkiran secara fisik para akademisi, penulis, guru, intelektual, ilmuwan dan professional khususnya para ahli fisika, insinyur, pengacara, hakim dan jurnalis adalah hal yang dibutuhkan sebagai upaya memaksakan aturan etno-relijius dibawah pendudukan kolonial. Untuk menegakkan dominasi jangka panjang dan menopang para penguasa klien etno relijius tadi maka segala sesuatu warisan klutural yang ada yang menopang negara nasional secular tadi secara fisik dihancurkan oleh AS dan rejim bonekanya. Ini mencakup penghancuran perpustakaan, kantor sensus dan semua bentuk peninggalan lainnya.
Ratusan ribu professional Irak dan anggota keluarganya diliputi oleh terror sehingga mengungsi keluar Irak. Semua pendanaan bagi institusi pendidikan, ilmiah dan secular dipotong. Pasukan pembunuh melakukan pembunuhan sistemik atas ribuan akademisi dan professional yang dicurigai menjadi pemberontak atau setidaknya memiliki sentimen nasionalis. Setiap orang yang setidaknya berupaya merekonstruksi republik akan ditandai.
November 2008 artikel yang dipublikasikan oleh Daily News Pakistan menyebutkan 154 akademisi kenamaan yang tinggal di Baghdad dibunuh bersama dengan 281 intelektual lainnya yang mengajar di pelbagai universitas terkenal di Irak menjadi korban ‘kelompok pembunuh’ dibawah pendudukan AS.
Sebelum pendudukan AS, Universitas Baghdad memiliki fakultas kedokteran dan lembaga penelitian yang menarik ratusan doctor muda diseluruh Timur Tengah untuk kepentingan pelatihan medis lanjutan. Program ini hilang pasca pendudukan AS dan munculnya rejim kelompok pembunuh. Hampir-hampir tidak ada kemungkinan bangkitnya program itu lagi. Dari mereka yang terbunuh, 25 persennya (21 orang) adalah para professor dan pengajar senior di Fakultas Kedokteran Universitas Baghdad, persentase tertinggi diantara fakultas lainnya.
Persentase kedua adalah professor dan peneliti dari fakultas teknik terkenal (12), diikuti oleh para akademisi kenamaan di fakultas humaniora (10), fakultas fisika dan ilmu sosial (8 akademisi senior) dan pendidikan (5). Para akademisi top lainnya yang terbunuh di Universitas Baghdad tersebar diantara fakultas agronomi, bisnis, pendidikan fisika, komunikasi dan pendidikan agama.
Tiga universitas Baghdad lainny, 53 akademisi senior dibunuh, termasuk 10 dari ilmu sosial, 7 dari fakultas hukum , 6 dari kedokteran dan humaniora, 9 dari ilmu fisika dan 6 dari teknik. Menhan Donald Rumsfeld dalam kelakarnya sebelum invasi 20 Agustus 2002 mengatakan,”….orang harus menduga mereka (para ilmuwan) ini tidak sedang memainkan permainan anak-anak” ketika menjustifikasi terbunuhnya para ilmuwan di bidang fisika dan kimia. Sebuah sinyal jelas bagi pembunuhan para akademisi pasca invasi.
Pembunuhan yang sama atas akademisi juga terjadi di universitas-universitas di semua provinsi. 127 akademisi dan para ilmuwan senior dibunuh di pelbagai universitas terkenal di Mosul, Kirkuk, Basra dan tempat lain. Universitas-universitas provinsidengan tingkat pembunuhan tertinggi atas para akademisi seniornya terjadi di kota-kota dimana AS, Inggris dan sekutu Kurdi aktif. Basra (35), Mosul (35), Diyala (15) and Al-Anbar (11).
Militer Irak dan kelompok pembunuh sekutu melakukan kebanyakan pembunuhan sistemik para akademisi di kota-kota dibawah control sekutu atau AS. Pembunuhan sistematik para akademisi adalah upaya nasional dan lintas disiplin untuk menghancurkan fondasi pendidikan dan cultural peradaban Arab modern. Para kelompok pembunuh yang melakukan pembunuhan adalah kelompok-kelompok etno relijius, pra modern dan primitif yang ‘dibiarkan’ atau difasilitasi oleh para ahli strategi militer AS untuk menyingkirkan para intelektual dan ilmuwan nasionalis yang berupaya membangun kembali republic Irak yang merdeka, bersatu sekuler dan modern.
Dalam kepanikannya untuk mencegah invasi AS, Direktorat Pengawasan Nasional Irak menyediakan daftar 500 para ilmuwan kunci Irak kepada PBB 7 Desember 2002. Ada dugaan bahwa daftar itu jatuh ketangan AS dan kemudian menjadi target pembunuhan. Dalam pidatonya di depan PBB, Menlu Collin Powell mengutip daftar 3500 ilmuwan dan teknisi Irak yang harus diwaspadai untuk mencegah keahliannya dipakai negara lain.
AS telah membuat bujet ratusan juta dollar yang diambil dari program ‘Oil for Food’ Irak untuk membuat program reedukasi sipil dalam rangka melatih kembali para ilmuwan dan insinyur Irak. Namun program besar tidak pernah secara serius dijalankan. Cara termurah membatasi apa yang dikatakan seorang pakar kebijakan Amerika di Carnegie Endowment Paper (RANSAC Policy Update April 2004) sebagai kelebihan ilmuwan, insinyur dan teknisi sudah sangat jelas. AS memutuskan mengadopsi dan mengembangkan operasi rahasia Mossad dalam membunuh para ilmuwan kunci dalam industri Irak.
Pasang naik terror atas para akademisi berbarengan dengan serangan terbaru militer AS atas Baghdad dan provinsi-provinsi lainnya. Dari total jumlah pembunuhan akademisi yang tinggal di Baghdad berdasarkan tahun tercatat (110 intelektual kenamaan dibunuh), hampir 80 persennya (87) terjadi di tahun 2006 dan 2007. Pola yang sama ditemukan di tingkat provinsi dengan 77 persen dari total 84 pakar dibunuh diluar ibukota selama periode yang sama. Pola ini jelas. Tingkat pembunuhan para akademisi naik ketika tentara pendudukan AS mengorganisir militer dan polisi Irak serta menyediakan uang bagi pelatihan dan perekrutan kelompok yang bermusuhan, Syiah dan Sunni sebagai alat mengurangi korban dari pihak pasukan pendudukan dan menyingkirkan kelompok penentang pendudukan.
Kampanye terror atas para akademisi semakin meningkat di pertengahan 2005 dan mencapai puncaknya di 2006-2007, yang mengakibatkan pelarian massal puluhan ribu para pakar, ilmuwan, professional dan sanak keluarga mereka keluar negeri. Seluruh akademisi fakultas kedokteran menjadi pengungsi di Suriah dan negara lain. Mereka yang tidak bisa meninggalkan orang tua atau saudara mereka dan memilih tinggal di Irak harus mengambil langkah khusus untuk menyembunyikan identitas mereka. Beberapa diantaranya akhirnya bekerjasama dengan pasukan pendudukan AS atau menjadi bagian rejim boneka dengan harapan terlindungi jiwanya atau diijinkan beremigrasi beserta keluarganya ke AS atau Eropa meskipun negara-negara Eropa khususnya Inggris tidak bersedia menerima para ilmuwan itu.
Setelah 2008, ada penurunan tajam kasus pembunuhan, hanya ada 4 kasus. Ini disebabkan karena saking banyaknya para intelektual Irak yang melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi ketimbang karena perubahan kebijakan politik AS dan rejim bonekanya. Akibatnya, fasilitas riset Irak terbengkalai. Kehidupan staff pendukung yang masih ada termasuk diantaranya teknisi, pustakawan dan mahasiswa berantakan dengan masa depan pekerjaan yang tidak jelas.
Perang dan pendudukan AS di Irak sebagaimana Presiden Bush dan Obama nyatakan adalah keberhasilan sebuah –negara merdeka dengan 23 juta penduduknya diduduki oleh kekuatan asing, rejim boneka yang merasa nyaman dengan keberadaan pasukan bayaran yang patuh kepada para pejabat Amerika dan ladang-ladang minyak mereka dijual. Semua hukum nasionalis Irak yang melindungi tanah air, warisan budaya dan sumber alamnya telah dibatalkan. Para penjajah telah memaksakan konstitusi yang menguntungkan imperium AS.
Israel dan para pendukung Zionis dalam pemerintahan Bush maupun Obama merayakan kematian musuh terkininya dan perubahan Irak menjadi padang gersang politik dan budaya. Sejalan dengan persetujuan yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri AS dan para pejabat Pentagon kepada para kolektor berpengaruh dari Dewan Amerika untuk Kebijakan Kultural (American Council for Cultural Policy) di Januari 2003, maka warisan kuno Mesopotamia kini menjadi koleksi para elit di London, New York dan tempat-tempat lain. Para kolektor kini merancanakan untuk menjarah Iran.
Invasi, pendudukan dan perusakan peradaban cultural moderan oleh AS seperti yang terjadi di Irak adalah awal bagi apa yang akan terjadi pada Iran jika AS dan Israel melakukan serangan militer. Ancaman imperial atas fondasi kultural negara Iran modern sama sekali tidak pernah disinggung ataupun menjadi pembicaraan para demonstran mahasiswa Iran dan LSM yang dibiayai Amerika selama aksi protes ‘Revolusi Lipstik” pasca pemilu. Mereka seharusnya ingat apa yang terjadi di 2004 ketika warga Irak terdidik di Baghdad merasa nyaman dengan optimisme sesat bahwa ‘setidaknya negeri mereka tidak seperti Afghanistan’.
Mereka kini meringkuk dalam kamp pengungsian kumuh di Suriah dan Yordania dan negeri mereka sekarang ini tak ubahnya seperti Afghanistan ketimbang sama dengan negara-negara di Timur Tengah. Janji mengerikan Bush di April 2003 untuk mentransformasi Irak seperti bayangan Afghanistan yang dibebaskan akan terpenuhi. Laporan bahwa para penasehat pemerintah AS telah mengkaji kebijakan Mossad untuk melakukan pembunuhan atas para ilmuwan Iran seharusnya menyadarkan para intelektual Teheran pro Barat untuk mempertimbangkan secara serius pelajaran yang terjadi atas nasib para akademisi dan ilmuwan Irak selama 2006-2007.
Apa AS (demikian Inggris dan Israel) dapatkan dari mendirikan rejim klien yang berdasarkan struktur sosio-politik abad pertengahan di Irak? Pertama dan terutama, Irak akan menjadi salah satu wilayah jajahan dari sebuah imperium. Kedua, rejim yang lemah dan terbelakang tidak akan mampu menyaingi dominasi militer dan ekonomi di kawasan itu sehingga tidak lagi mempertanyakan kebijakan pembersihan etnik penduduk asli Arab di Yerusalem, Tepi Barat dan Gaza. Ketiga, penghancuran fondasi hukum, cultural, akademis dan keilmuan sebuah negara berdaulat berarti meningkatkan ketergantungan atas korporasi multinasional barat dan (China) demikian pula infrastruktur teknisnya untuk menopang eksploitasi dan penetrasi ekonomi imperium.
Di pertengahan abad 19, setelah revolusi 1848, sosiologis konservatif Perancis, Emil Durkheim mengakui bahwa burjuisi Eropa mengalami konflik kelas dengan kelas pekerja anti kapitalis. Durkheim mencatat bahwa apa saja kesalahan filosofis dalam agama dan sistem kependetaan, kaum borjuis akan tetap saja menggunakan mitos agama tradisional untuk menciptakan kohesi sosial dan menolak polarisasi kelas. Dia meminta kelas kapitalis Parisian yang terdidik untuk menghentikan sikap menjadikan dogma agama sebagai instrumen mempertahankan dominasi politik mereka.
Dengan cara yang sama, para pakar strategi AS termasuk kalangan Zionis Pentagon menggunakan kekuatan kesukuan, mullah dan etno relijius merusak kepemimpinan politik nasional dan budaya modern Irak untuk kepentingan konsolidasi kekuasaan imperial sekalipun strategi ini mencakup pembunuhan kelas professional dan ilmiah.
Kekuasaan imperial AS kontemporer berbasis dukungan dari sector masyarakat yang paling terbelakang secara politik dan sosial dengan menerapkan strategi perang yang berbasis teknologi canggih.
Para penasehat Israel memainkan peran penting dalam memerintahkan pasukan pendudukan di Irak dengan praktek anti pemberontakan kota dan penindasan sipil berdasarkan pengalaman 60 tahun mereka menghadapi rakyat Palestina. Pembantaian Deir Yasin di 1948 adalah gambaran pembasmian Zionis atas ratusan desa-desa pertanian yang produktif yang telah dihuni penduduk asli Arab dengan ikatan budaya dan peradaban mereka demi menegakkan tata aturan kolonial baru.
Kebijakan penghancuran total Palestina adalah nasehat utama Israel kepada para pengambil kebijakan AS di Irak. Pesan mereka dilaksanakan oleh para pendukung Zionis dalam pemerintahan Bush dan Obama, yang intinya penghapusan memori birokrasi sipil dan negara Irak modern dengan menggunakan kelompok pembunuh tribal pra modern demi membersihkan institusi riset dan universitas dari pengaruh mereka.
Penaklukan imperial AS di Irak didirikan diatas kehancuran republik sekular Irak. Gurun gersang budaya yang masih ada dikontrol oleh para penjarah kekayaan, penjahat bayaran yang menjadi pejabat Irak, para buta huruf etnik kultural dan figur keagamaan abad pertengahan. Mereka bekerja dibawah bimbingan dan arahan para lulusan West Point yang membawa cetak biru imperium dan kemudian diformulasi oleh para lulusan Princeton, Harvard, Johns Hopkins, Yale dan Chicago yang berambisi melayani kepentingan korporasi multi nasional AS dan Eropa.
Ini yang dinamakan ‘pembangunan gabungan yang tidak setara’. Perkawinan mullah fundamentalis dengan liga beracun Zionis untuk melayani AS.
*James Petras adalah Professor (Emeritus) Sociology di Binghamton University, New York
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: