Menangkal Sindrom Vietnam (2)

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 10.42

*Robert Parry

Perang-Perang Bush Pertama

Desember 1989, pengganti Reagan, George H.W Bush juga mendorong eskalasi intervensi militer dengan mengirimkan pasukan AS menggulingkan Jenderal Manuel Noriega, yang lemah kekuatannya. Perang berlangsung mudah dan menyenangkan.

Babak berikutnya dalam upayanya menghapus  Sindrom Vitenam dimulai Agustus 1990 ketika Diktator Saddam Hussein menyerang kerajaan keluarga al Sabah, Kuwait.

Kuwait telah meminjami uang Irak untuk biaya perang melawan Iran, 1980-1988 dan mencegah dampak revolusi pemerintah Syiah Iran yang dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah para Syaikh yang korup di Teluk Persia. Saddam menuntut pinjaman tersebut direnegoisasi dan Kuwait menghentikan mengebor ladang minyak Irak.

Karena Saddam sejak lama menganggap dirinya sekutu Amerika, dia berkonsultasi dengan duta besar April Glaspie, yang memberi tanggapan mendua tentang sikap Washington atas perselisihan perbatasan tersebut.

Melihat tidak ada penolakan yang tegas, Saddam mengirim tentaranya ke Kuwait dan merangsek ke Kota Kuwait. Keluarga al Sabah lari terbirit-birit dengan sedan Mercedesnya ke Arab Saudi.

Tampaknya upaya penaklukan itu hampir selesai, Saddam hendak mengirim pesan perdamaiannya bahwa dia telah menuntaskan ambisinya dan menarik mundur pasukannya dari Kuwait.


“Kami terpaksa masuk,” kata Saddam ke Raja Hussein dari Yordania pada hari invasi, menurut beberapa catatan rahasia dalam bukunya mantan sekretaris pers Kennedy, Pierre Salinger dan jurnalis Perancis, Eric Laurent. “Saya berkomitmen menarik mundur pasukan dari Kuwait. Akan mulai dalam beberapa hari dan berakhir dalam beberapa minggu.
Saddam minta bantuan Raja Hussein dari ancaman dari luar yang akan memaksa Irak berperang, ungkap Salinger dan Laurent.

Namun, Presiden George H W Bush yang baru saja menginvasi Panama beberapa bulan lalu memutuskan bahwa dalam masalah ini (invasi Kuwait) hukum internasional harus ditegakkan. Bush menegaskan kepada Raja Hussein “Ini telah melampaui dari semata perselisihan regional karena agresi telanjang tersebut.”

Didukung oleh PM Inggris Margareth Thatcher, Bush kembali ke Gedung Putih, 4 Agustus 1990 dan mengumumkan,”Ini tidak kita tolerir, agresinya atas Kuwait.” Dia memerintahkan adanya aksi militer.

Ketika Washingtom menghimpun dukungan sekutu Arabnya –mulai dari Presiden Husni Muabarak –Raja Hussein semakin cemas, kemudian menyatakan bahwa “hal ini akan merusak segala sesuatu dan memberi semua peluang memperluas konflik.”

Pesan Damai

Tiran kejam seperti Saddam Hussein tidak akan ragu memperdayai teman maupun lawan sepanjang sesuai dengan keinginannya. Namun tidak diketahui apakah solusi Arab atas krisis ini mungkin terjadi jika Mesir tidak menyerah atas tekanan Washington.

Presiden Bush merasakan adanya peluang lain dari krisis ini. Yakni memperkuat pengaruh di kawasan Timur Tengah dengan dalih membebaskan Kuwait. Saddam Hussein juga merasakan bahwa dirinya telah terperangkap dengan tindakannya sendiri. Dia mulai mengirim duta perdamaian ke Washington.

Salinger dan Laurent melaporkan bahwa deputi menlu Irak, Nizar Hamdoon menggunakan ketua PLO Yasir Arafat mengirim pesan itu, 7 Agustus di Wina melalui pengusaha Palestina yang dekat dengan Gedung Putih. Dia mengemukakan keinginan Irak untuk menarik semua pasukannya dari Kuwait kepada staff Gedung Putih, Michael Saba dan Samir Vincent yang menerima instruksi langsung dari Hamdoon.

Proposal penarikan total pasukan Irak dari Kuwait itu dijalankan dengan syarat adanya jaminan akses langsung Irak ke Teluk Persia melalui beberapa kesepakatan yang berkaitan dengan eksplorasi ladang minyak Rumailah yang masuk wilayah Kuwait dan negosiasi harga minyak dengan AS. 

Inisiatif itu disampaikan kepada mantan Direktur CIA dan pakar Timteng, Richard Helms yang khawatir adanya konsekuensi jangka panjang krisis dan setuju untuk membahas rencana perdamaian Irak ini dalam makan siang dengan penasehat keamanan nasional Bush, Brent Scowcroft, 21 Agustus. Namun Scowcroft menolak mentah-mentah inisiatif tersebut dengan mengatakan bahwa Gedung Putih ingin mengkaji dulu dampak sanksi ekonomi terlebih dahulu. 

Kemudian, konfrontasi bergulir tanpa kendali ketika Saddam mulai menaham sandera Amerika dan Bush memulai menjalankan propagandanya. Bush menempatkan Saddam dalam daftar penjahat paling keji di dunia diatas Adolf Hitler.

“Saya semakin bertekad untuk segera mendepak  dictator ini keluar dari Kuwait tanpa kompromi apapun,” ancam Bush. 

Saddam membalasnya dengan mengatakan bahwa tentara akan berenang dalam darah mereka. 

16 Oktober, Menlu James Baker secara resmi menolak gagasan melakukan konsesi apapun bagi penarikan mundur pasukan Irak. Dalam beberapa minggu kemudian, pemerintah Bush mengirim serangkaian ancaman dan ultimatum yang malahah menjadikan Saddam enggan mundur.

Kemudian, saya menemukan ringkasan rapat Konggres, Januari 1991 yang disiapkan oleh staff Demokrat yang menangani pengawasan intelejen. Rimgkasan itu menjelaskan bahwa invasi Kuwait akan menjadi upaya pembuka penting dalam negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan perbatasan bukan sebagai penaklukan permanen. 

Irak tampaknya percaya bahwa dengan menginvasi Kuwait mereka akan mendapatkan perhatian dunia, melakukan negosiasi untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka dan kemudian menarik mundur pasukannya,” simpul ringkasan tersebut. Laporan itu juga menambahkan bahwa jika Gedung Putih tertarik dengan “solusi diplomatik yang dapat memuaskan kepentingan AS maka dapat dilakukan sejak awal invasi”.

Namun sebaliknya –ungkap laporan itu- penasehat keamanan nasional Bush “tampaknya berkesimpulan dengan dasar profil psikologis Saddam Hussein dan menghindari segala upaya memahami invasi, menolak segala bentuk negosiasi dengannya dan menyimpulkan bahwa semua upaya itu sia-sia hingga AS memojokkan Saddam hingga tidak dapat lolos.”


Dalam wawancaranya dengan saya, mantan ketua CIA menjelaskan, “Pemerintah AS tidak mau bernegosiasi.



*Consortiumnews

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget