20 tahun silam, setelah menang perang darat selama 100 jam melawan pasukan Irak di Kuwait, pemerintahan Bush senior sukses memperoleh konsensus publik Amerika. AS harus memulihkan kembali perannya sebagai polisi imperial dunia.
Konsensus yang sebenarnya telah terbentuk sejak PD II ini berantakan karena Perang Vietnam. AS berupaya membangunnya kembali dan menjadi tujuan kunci dari perang darat di Teluk Persia yang diperintahkan Bush senior, 23 Februari 1991.
Bush tahu bahwa pembunuhan ekstra pasukan Irak dan Amerika sebenarnya tidak perlu dilakukan karena Saddam Hussein sendiri telah memberi sinyal untuk menarik mundur pasukannya dari Kuwait.
Namun Bush dan para penasehat politiknya, termasuk Menhan Dick Cheney bersikeras bahwa perang darat akan menjadi klimak skrip drama yang telah disiapkan untuk memukai rakyat Amerika dan menjadikan perang sebagai bagian yang menyenangkan dari karakter nasional mereka.
Bush, Cheney dan para pejabat senior lainnya menilai bahwa pembantaian ribuan prajurit Irak, yang kebanyakannya tidak terlatih dan tewasnya 147 prajurit Amerika adalah harga murah yang harus dibayar.
28 Februari 1991, 100 jam setelah perang berakhir, Bush memberi penjelasan kepada publik Amerika tentang “agenda rahasia”nya itu dengan mengatakan, “Demi Tuhan, kita telah menyingkirkan sindrom Vietnam untuk selamanya.”
Apa yang tidak diketahui rakyat Amerika pada saat itu dan juga belum dipahami hingga sekarang adalah bahwa perang pertama AS dengan Irak tidak berkaitan dengan kepentingan membebaskan Kuwait namun lebih merupakan upaya konsolidasi dukungan publik Amerika dalam memasuki fase baru kekaisaran Amerika –yang berlangsung hingga kini.
Setelah mengalami pengalaman pahit dalam perang Vietnam yang menewaskan 57.000 prajurit Amerika dan membuat rakyat Amerika terbelah, kini rakyat Amerika berpikir kembali tentang pentingnya mempertahankan peram kekaisaran dunia AS.
Petualangan militer AS di luar negeri telah menjadi target propaganda jangka panjang para serdadu tua dan intelektual hawkish yang tergabung dalam kelompok yang disebut neocon.
Sebuah dokumen internasional pada masa pemerintahan Reagan jelas mengungkapkan bahwa Sindrom Vietnam telah menjadi hambatan utama melakukan operasi militer AS yang dianggap penting dalam melindungi kepentingan strategis Amerika di dunia.
Isu ini telah menjadi semacam keyakinan tim kebijakan luar negeri Ronald Reagan bahwa kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam terjadi sebagai kolaborasi antara propaganda Komunis yang berhasil mengelabui rakyat Amerika, korps pers Amerika yang tidak loyal dan kalangan kiri yang berkhianat.
Menakut-Nakuti Rakyat Amerika
Untuk menangkal “musuh” yang dipersepsikan tadi, pemerintahan Reagan mengivestasikan banyak waktu dan tenaga menyusun apa yang disebut sebagai operasi psikologis massif untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa mereka tengah menghadapi musuh yang berbahaya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Kampanye propaganda ini dimasukkan dalam bagian “diplomasi publik”, meskipun beberapa praktisi menyebutnya sebagai “manajemen persepsi”, yakni mempengaruhi persepsi rakyat Amerika melihat dunia sekelilingnya.
J Michael Kelly, pejabat senior Pentagon menyimpulkan tugas itu sebagai “misi operasi khusus yang paling penting yang kita lakukan sekarang…yakni mempersuasi rakyat Amerika bahwa komunis berupaya menghancurkan kita.”
Teknik utama pemerintahan Reagan dalam upayanya memprogram kembali persepsi rakyat Amerika adalah dengan mengintimidasi mereka tentang bahaya luar negeri. Mereka mengarang cerita tentang kebangkitan Uni Soviet yang berambisi menundukkan dunia. Padahal para analis CIA telah mendeteksi tanda-tanda keruntuhan Moskow.
Sayangnya para pejabat intelejen telah mempolitisasi dinas rahasia, menyingkirkan para professional dan menempatkan para oportunis yang sejalan dengan agenda ideology mereka yang membesar-besarkan ancaman Soviet.
Otak dibalik operasi ini adalah Direktur CIA, William Cassey, penganut aliran garis keras perang Dingin dan seorang analis ambisius, Robert Gates yang kini menjabat Menhan.
Sementara itu, rakyat Amerika yang mendukung pendekatan damai dijinakkan dan dalam keadaan defensif karena Reagan mengadopsi taktik yang mempertanyakan patriotisme para politisi, jurnalis dan warga negara yang tidak setuju dengan kebijakannya atau mengkritisi kejahatan HAM yang dilakukan para sekutunya.
Isu utama Konvensi Republik di 1984 seperti diungkapkan Jeane Kirkpatrick adalah adanya orang Amerika yang menyalahkan Amerika.
Meski demikian, Reagan bertindak hati-hati. Dalam konflik di luar negeri, dia menjalankan kebijakan perangnya melalui pihak ketiga, seperti melalui militer sayap kanan Guatemala dan El Salvador atau melalui pemberontak Nicaragua. Ketika dia harus melakukan invasi ke negara lain, maka itupun atas Negara kecil, Granada di kepulauan Karibia di 1983.
Masih di Reagan di 1980-an, AS ingin pamer diri sebagai nomer satu.
Di akhir dasawarsa itu, rakyat dan institusi politik AS memberikan penghargaan kepada Reagan karena memenangkan Perang Dingin, meskipun sejatinya mereka tidak berbuat banyak hal yang menyebabkan kejatuhan kekaisaran Soviet.
Para analis CIA telah melihat 3 tahun sebelumnya keruntuhan Soviet disebabkan kebusukan internal system komunis. Namun analisis itu dibungkam pemerintahan Reagan. Generasi baru para analis yang telah terpolitisasi seperti Gates dan sejawatnya dikondisikan untuk tidak melihat tanda-tanda kelemahan Moskow.
Ketika tembok Berlin runtuh di Novemver 1989 maka rejim Eropa Timur yang didukung Sovietpun berjatuhan. Maka para neocon dan sekutunya itu mengarang cerita bahwa kemenangan itu karena peran Amerika.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: