Gardina Kartasasmita*
Pendahuluan

Sengketa klaim wilayah darat dan maritim telah menjadi peristiwa yang berulang disepanjang sejarah hingga kini. Meskipun perselisihan ini sebagian besar karena pertimbangan alasan geografis, namun upaya penanganannya pada dasarnya bersifat politik. Akibatnya semakin memperkeruh sengketa dan bahkan jika tidak terkendali akan berujung pada konflik senjata.  

Salah satu pendekatan teoritis dalam memahami pendirian dan perilaku politik sebuah negara dalam konteks perselisihan wilayah darat dan maritim adalah melalui telaah konsep kedewasaan politik sebuah negara. Gambaran kunci dari konsep ini adalah bahwa sebuah negara yang ragu dengan indentitas politiknya dan sedang mengalami kondisi ketidakpastian cenderung menjadi hipersensitif atas isu-isu yang berkaitan dengan kedaulatan wilayahnya. Hipersensitivitas ini sering terefleksikan dalam perilaku provokatif saat menghadapi perselisihan wilayah darat dan maritimm dengan meningggalkan upaya penyelesaian konflik secara damai.

Dalam konteks itu pula, makalah ini mencoba menguji sengketa Blok Ambalat yang berdampak pada ketegangan dua negara, Indonesia dan Malaysia dengan fokus pada perspektif Indonesia. Indonesia dibawah kepemimpinan Suharto selama 23 tahun tumbuh mencapai kedewasaan politik yang termanifestasikan pada komitmennya yang kuat dan berkelanjutan untuk menyelesaikan sengketa wilayah darat dan maritimnya. Kondisi berbeda yang ditunjukkan Indonesia dalam kasus Ambalat menjadi titik balik perubahan radikal dari fase tumbuh dewasa kembali pada fase remaja secara politik. Fase remaja Indonesia terjadi karena proses transisi sebagai dampak gerakan reformasi 1998.

2. Signifikansi Konseptual Perselisihan dan Konflik Maritim

Sengketa maritim pada dasarnya adalah konstruk politik, dimana perilaku negara dalam menangani perselisihan itu sebagian besar berpijak pada dua sikap, yakni sikap politik yang dewasa atau keremajaan.

2.1  Sengketa Maritim Sebagai Konstruk Politik

Perselihan maritim antara dua negara, termasuk sengketa karena perilaku ekspansionis atau saling klaim wilayah maritim sering menjadi sebab utama perang dimasa lampau. Tuomas Forsberg mengartikulasikan pandangan ini dalam artikelnya menyatakan bahwa teritorial harus dipahami sebagai terminologi yang bersifat emotif, seperti berikut ini:
“Wilayah (teritori) berisi sejumlah unsur emosional dan normatif yang hingga kini masih melampaui nilai strategis dan ‘rasional’. Oleh karena itu, upaya penyelesaian masalah territorial yang tidak mempertimbangkan dimensi normatif yang ada dalam sengketa tadi akan gagal.”

Forsberg berpendapat bahwa bahwa sengketa territorial seharusnya tidak dipahami dalam istilah zero sum game (konflik habis-habisan) karena pelbagai studi menunjukkan bahwa “perspektif psikologis, sosial dan politik dari batas dan teritori lebih akurat ketimbang semata perspektif geografis.” Oleh karena itu, Tuomas menjelaskan bahwa “norma dan konsepsi keadilan yang subyektif“ menjadi penjelasan yang lebih cocok ketimbang penjelasan yang semata bertumpu pada pada hubungan kekuasaan dan kepentingan rasional negara.

Oleh karena itu, kesulitan dalam menangani wilayah maritim dan pembagian sumber maritim secara efektif -dibiarkan tanpa kejelasan sehingga bereskalasi menjadi perselihan dan konflik yang memuncak- pada dasarnya bersifat politik. Vivian L. Forber menegaskan bahwa kemauan politik yang besar   dibutuhkan dalam mengelola wilayah dan sumber daya  maritim yang berkelanjutan. Forbes menyebutkan realitas geografis, diplomasi dan prosedur administratif yang memadai menjadi faktor kunci dalam pengelolaan wilayah maritim berikut sumber dayanya.

Lebih jauh, Forbes mengutarakan bahwa ledakan penduduk dunia dan fakta bagi kepentingan perluasan pemanfaatan sumber daya alam yang mencakup wilayah laut dan samudera sekitarnya maka menjadikan manusia mau tak mau harus saling berdekatan satu sama lain. Namun respon yang muncul biasanya adalah manusia cenderung akan melindungi apa yang telah menjadi miliknya atau mengkhawatirkan bahwa sesuatu mungkin tidak lagi dimilikinya di masa depan. Persepsi tersebut berbuah frustasi, kesia-siaan, konflik namun sebaliknya suatu ketika berubah menjadi kerjasama. Hal ini penting karena hasil studi menunjukkan bahwa gagasan kedaulatan territorial sendiri berubah-ubah, karenanya dapat menyebabkan sengketa dan konflik.

Dalam pengertian umumnya, Forbes menyatakan bahwa konflik kepentingan terjadi ketika “satu pihak merasa yakin bahwa untuk mencapai kepuasan maka kepentingan pihak lain harus dikorbankan.” Dapat disimpulkan bahwa konflik perbatasan wilayah maritim menjadi hal yang lazim dalam hubungan internasional dan sekaligus menjadi refleksi interaksi dinamis antar negara. Konflik karena perbatasan maritim tidak dapat diabaikan karena perbatasan maritim sendiri secara terus menerus berkembang. Perbatasan modern sendiri adalah refleksi stabilitas ekonomi, politik, sejarah dan geografis dari sebuah negara serta wujud interaksi negara tersebut dengan tetangga-tetangganya. Realitas ini penting dalam konteks negara-negara Asia-Afrika. Karena pengaruh nasionalisme yang terjadi di Asia-Afrika, kebanyakan negara-negara merdeka pasca Perang Dunia II membawa serta tekanan, negosiasi dan persetujuan atas perbatasan-perbatasan baru mereka.

Di wilayah Laut China Selatan dan Samudera India, Forbes menengarai dari 60 kasus perbatasan maritim di 2001 hanya 29 diantaranya yang dapat diselesaikan.  Ini menyiratkan bahwa konflik karena perbatasan maritim yang tidak terselesaikan dapat berlanjut menjadi ganjalan dalam hubungan internasional bagi mereka dimasa datang.

Forbes mengidentifikasi konflik territorial terjadi karena kombinasi sejumlah faktor. Pertama, fakta bahwa suplai territorial yang terbatas menjadikan segala sesuatunya dilihat dalam terminologi kedaulatan. Faktor lainnya, negara-negara yang berbeda mengejar kepentingan yang berbeda pula, sehingga memercikkan ketegangan dan konflik diantara mereka. Disamping itu, pelbagai faktor lainnya seperti iklim, fisik, logistik, ekonomi, politik dan militer akan memperkeruh konflik karena sengketa territorial.

2.2.         Sengketa Maritim dalam Konteks Negara Remaja.

Sengketa maritim pada umumnya berpotensi memicu konflik antar negara. Namun, konsekuensi konflik bagi negara-negara yang dikategorikan ‘negara-negara remaja secara politik’ oleh Jean-March F. Blanchard, dapat menjadi bencana besar. Blanchard mendefinisikan negara tersebut sebagai berikut:
            “Sebuah negara yang berkembang pesat dan kemungkinan tidak seimbang, karena ragu dengan identitasnya, yang belum mengadopsi perilaku dewasa, yang secara berlebihan memperhatikan wilayah dan statusnya.”

Berkaitan dengan problema identitas, Blanchard menjelaskan bahwa identitas nasional mencakup komponen “perasaan disini” disamping “perasaan kita”, oleh karena itu, tidak mengejutkan jika negara-negara mencari identitas melalui ruang teritorialnya. Negara-negara remaja tersebut sagat sensitive atas wilayah mereka. Blanchard juga menjelaskan bahwa negara-negara remaja menjalankan perilaku yang tidak terarah karena kontrol lemah pemimpinnya atas corpus negara”, baik militer, birokrasi maupun konstituennya. Celakanya, para pemimpin politik cenderung memanfaatkan kelemahanannya itu sebagai amunisi demi mendapatkan dukungan masyarakat.

Dalam menganalisis dinamika maritim di Asia, konsepsi negara remaja relevansi digunakan karena empat faktor. Pertama, banyak negara Asia sedang mengalami pertumbuhan pesat. Kedua, identitas sejumlah negara-negara Asia sedang berubah. Ketiga, sejumlah negara di Asia memberikan prioritas yang ekstrim dan hipersensitif atas perlindungan teritorial dan status perluasan kedaulatan mereka. Keempat, fakta bahwa banyak negara yang belum dapat menegaskan kontrol penuh atas asset mereka.

Blanchard juga menegaskan bahwa sejarah kolonial di banyak negara Asia telah mendorong mereka sangat peduli dalam melindungi wilayah kedaulatannya karena adanya perasaan rentan. Perhatian yang tinggi atas kedulatannya itu berdampak besar. Pertama, upaya penyelesaian konflik karena klaim wilayah kepulauan dan maritim menjadi sulit. Kedua, negara cenderung mengadopsi  pendirian yang keras dalam hal hak navigasi di wilayah lautnya, laut kepulauan dan rejim transitnya sehingga berdampak keamanan SLOC. Ketiga, negara-negara dalam kawasan itu enggan untuk menerima skema eksploitasi sumber-sumber maritim secara bersama-sama dan melibatkan banyak pihak.

Blanchard berpendapat bahwa isu fase remaja ini telah membawa implikasi maritim bagi banyak negara Asia. Pertama, klaim wilayah maritim yang kaya akan sumber daya tinggi. Kedua, perhatian yang tinggi atas kontrol SLOC. Ketiga, negara-negara akan cenderung rentan atas praktek pembajakan.

Meskipun Blanchard menyatakan bahwa negara-negara Asia mungkin mempunyai banyak insentif untuk menjamin kepentingan ekonominya dalam mempertahankan klaim wilayah maritimnya dan sengketa yang terjadi, namun dia juga menegaskan bahwa kepentingan ekonomi bukan satu-satunya dorongan bagi sengketa tersebut. Faktor utama yang mendorong banyak negara Asia terlibat konflik adalah karena adanya perasaan mendesak untuk melindungi kedaulatannya. Oleh karena itu, kontroversi yang paling sensitif dalam konteks sengketa maritim adalah kontroversi yang melibatkan isu kedaulatan, identitas nasional dan sumber daya alam.

2.3.           Apa Faktor yang Memperteguh Kerjasama?

Keamanan maritim di Asia Tenggara salah isu penting karena laut mencakup 80 persen dari keseluruhan wilayah ini.  Letnan John F. Bradford menjelaskan bahwa perubahan ekonomi, normatif dan struktural atas sistem regional memungkinkan kerjasama keamanan yang lebih besar. Beberapa perubahan ini sebagiannya terjadi karena peristiwa 11 September 2001. Banyak negara memandang peristiwa itu menjadi  ancaman keamanan yang serius pasca Perang Dingin. Perubahan dalam sistem regional itu terlihat dalam lima faktor kunci, yakni: longgarnya sensitivitas kedaulatan, adanya kepentingan pihak diluar wilayah, bangkitnya norma kerjasama, perbaikan sumber daya negara dan peningkatan prioritas keamanan maritim.

  1. Kedewasaan Indonesia yang Tumbuh Cepat Selama Era Orde Baru Suharto (1967-1998) dan Implikasinya pada Penyelesaian Perselisihan Teritorial

Dalam penjelasan konsep negara remaja, Blanchard menyimpulkan bahwa level remaja suatu negara tidaklah permanen. “Perubahan pemimpin atau rejim politik domestik”, bersama factor-faktor lainnya dapat mendorong suatu negara membuang identitas nasionalnya yang lama dan menerapkan yang baru.  Dalam konteks itu, Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai negara remaja. Dalam banyak hal Indonesia tergolong dalam klasifikasi itu. Indonesia adalah negara yang baru merdeka.

3.1.           Kedewasaan Indonesia yang Tumbuh Cepat Selama Era Orde Baru Suharto

Indonesia dibawah rejim militer Suharto yang represif selama 32 tahun. Periode kepemimpinan Suharto dinamai Era Orde Baru yang secara politik nedak menunjukkan keinginannya pindah dari Rejim Orde Lama, Sukarno. Sandaran keamanan dan politik demikian pula perilaku personal Suharto jauh berbeda dari pendahulunya, Sukarno yang anti kolonial. Suharto secara perlahan melakukan stabilisasi ekonomi, keamanan dan politik di tanah air karena dipandang dapat menjadi jalan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Suharto menekankan pembangunan nasional sebagai prioritas utama serta mengarahkan kedekatan pemerintahannya dengan Barat. Indonesia memperoleh bantuan pembangunan, teknis dan arus investasi sembari tetap mempertahankan kebijakan luar negeri bebas aktif.

Suharto juga serius membangun orde keamanan regional. Indonesia secara aktif mempromosikan proses dan norma regional melalui konsensus dalam ASEAN. Sebagai negara besar di Asia Tenggara Indonesia membatasi dari perilaku hegemonik atas negara-negara tetangganya yang lebih kecil. Hal itu menjadi kontribusi penting bagi terciptanya keamanan regional di kawasan Asia Tenggara selama hampir 40 tahun.

Esensinya, selama dekade pertama Era Orde, Indonesia mulai mendapatkan kondisi kedewasaan, seperti yang dijelaskan dalam parameter Blanchard. Pertama, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kedua, perwujudan identitas Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat dan sejahtera menguat dibawah kendali militer seiring dengan terbentuknya orde keamanan regional dengan Indonesia sebagai payungnya. Ketiga, Indonesia dipimpin oleh rejim otiritarian dengan Suharto sebagai sentralnya. Oleh karena itu, kontrol atas korpus Indonesia jarang menjadi isu yang serius.

3.2.         Kedewasaan Indonesia atas Perlindungan Kepentingan Wilayahnya Selama Era Orde Baru. 

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia.   Terdiri dari lima pulau besar dan sekitar 35 kelompok pulau-pulau yang lebih kecil. Indonesia memiliki 17.000 pulau dimana sekitar 6000 diantaranya didiami. Indonesia pertama kali mendeklarasikan prinsip negara kepulauan untuk menjamin kedulatan wilayahnya, Desember 1957 dan kemudian diakui secara internasional dalam Konvensi Hukum laut Ketiga PBB, Desember 1982. Prinsip kepulauan Indonesia yang dinamai Wawasan Nusantara bertujuan menjamin kesatuan geografis dan persatuan penduduknya.”

Indonesia berbagi wilayah dan perbatasan maritim dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Pilipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste dan Australia. Indonesia dipuji karena telah menunjukkan keinginan politik untuk menegosiasikan perbatasan maritim dengan negara-negara tetangga.” Sejak akhir 1960-an, Indonesia melakukan pelbagai upaya untuk menyelesaikan isu perbatasan maritim dengan negara-negara tetangganya secara damai. Upaya Indonesia ini menghasilkan serangkaian persetujuan yang mencakup “penentuan tiga perbatasan wilayah laut, delimitasi setidaknya bagi 10 batas continental shelf atau jurisdiksi cekung laut, pendirian dan penegakkan pengawasaan batas penangkapan ikan (provisional fisheries surveillance and enforcement line) serta zona kerjasama eksplorasi dan eksploitasi sumber hydrocarbon di Laut Timur yang berdekatan dengan ‘Celah Timor’. Forbes menyatakan bahwa persetujuan-persetujuan ini bukan perkara mudah karena dilakukan hanya dalam rentang dua dekade.”

Penandatanganan Perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan Australia dapat digarisbawahi sebagai pendekatan kedewasaan Indonesia atas sengketa maritim mereka dalam waktu yang lama. Perjanjian yang berlaku 9 Februari 1991 mencakup eksplorasi bersama sumber minyak di wilayah Laut Timur yang kini menjadi wilayah Timor Leste hingga Australia Utara. Perjanjian ini juga menciptakan zona kerjasama yang dibagi menjadi tiga zona dimana kedua negara sepakat untuk mengendalikan ketiga zona ini bagi kepentingan eksplorasi.

Ketiga zona terdiri dari Zona A, B dan C. Zona C terletak berdekatan dengan Timor Timur, Zona B berdekatan dengan Australia sementara Zona A terletak diantara Zona C dan B. Eksploitasi sumber daya alam oleh kedua negara berbeda untuk masing-masing wilayah. Indonesia memiliki kontrol sumber daya alam di Zona C, Australia untuk Zona B sedangkan Indonesia dan Australia melalalu otoritas gabungan mengelola di Zona A.

Meskipun perjanjian ini kemudian tidak berlaku seiring lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia, namun pembentukannya menjadi bukti yang nyata kemampuan dan komitmen Indonesia di masa lalu untuk mencapai penyelesaian perselisihan perbatasan maritim melalui cara-cara damai. Perilaku ini dapat dipahami sebagai refleksi percaya diri Indonesia dalam hal keamanan dan integritas kedaulatan wilayahnya.

4.     Dari Tumbuh Dewasa Kembali ke Remaja: Indonesia dalam Masa Transisi.

Namun stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati selama Orde Baru memburuk sebagai akibat pukulan krisis keuangan Asia, 1997. Nilai Rupiah secara dramatis merosot hampir sepuluh kali dari nilai asalnya. Tidak seperti negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia gagal mengelola krisis keuangannya sehingga menghasilkan rangkaian krisis dalam sektor politik, keamanan dan sosial. Multi krisis tersebut memicu kerusuhan sosial. Mahasiswa menuntut Suharto mundur. Demonstrasi dan kerusuhan akhirnya memaksa Suharto turun dari jabatannya, Mei 1998 dan mengawali era baru reformasi demokratis dan transparansi.

Setelah euphoria berakhir, bukti empiris menunjukkan bahwa kedewasaaan politik Indonesia yang ditunjukkan selama ini kembali ke fase remaja. Setelah sepanjang satu dekade reformasi demokratis, Indonesia ternyata masih dalam masa transisi. Indonesia masih mencari dalam proses pencarian bentuk dan bergulat dengan wacana demokrasi. Ekonomi Indonesia masih melemah dan tidak menarik bagi investasi asing. Disisi lain, kepemimpinan yang ada tidak sepenuhnya mampu mengendalikan negara sehingga berdampak kepada terciptanya stabilitas.

Indonesia, dalam kondisinya sebagai negara remaja, menjadi hipersensitif atas isu integritas teritorialnya. Perasaan ringkih dalam konteks ini memiliki keterkaitan dengan dua peristiwa yang memukul Indonesia dalam rentang tiga tahun. Pertama, 1999 ketika Indonesia kehilangan salah satu provinsinya, Timor Timur melalui proses jajak pendapat yang berujung kekerasan dan pertumpahan darah. Kedua, ketika Mahkamah Internasional, Den Haag, 2002 memutuskan memberikan hak kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di Laut Sulawesi kepada Malaysia. Makalah ini akan membahas fase keremajaan Indonesia dalam menyikapi isu integritas territorial dan maritimnya dalam kasus Ambalat.

5.     Perselisihan Ambalat

5.1.          Latar Belakang Perselisihan Ambalat

Wilayah Ambalat berada di Laut Sulawesi, sebelah timur pantai Kalimantan. Indonesia dan Malaysia saling klaim atas lempeng benua (continental) shelf) dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah itu. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi tidak bersifat territorial.  Clive Schofiled dan Ian Storey menduga bahwa “Malaysia menganggap perbatasan Maritimnya ditentukan atas dasar sama jarak (equidistant), dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun problemnya, ICJ tidak memutuskan batas maritime tersebut. Disisi lain, Indonesia mengklaim bahwa pulau-pulau kecil itu tidak lebih dari pulau karang berdasarkan definisi UNCLOS. Oleh karena itu, Indonesia menuntut haknya atas jurisdiksi 12 mil laut dari territorial lautnya yang tidak mencakup perluasan continental shelf ataupun EEZ.  Oleh karena itu, penentuan garis perbatasan maritim dalam pandangannya berdasarkan pada kompromi kedua belah pihak atas status legal wilayah tersebut dan dampak potensialnya pada delimitasi yang berbasis prinsip jarak yang sama.

Schofield dan Storey secara tepat mencatat apa yang terjadi dalam ketegangan Indonesia dan Malaysia atas Blok Ambalat antara Februari dan Maret 2005. Desember 2004, Indonesia memberi ijin eksplorasi wilayah yang diklaimnya di Blok Ambalat kepada Perusahaan Minyak ENI Italia dan UNOCAL AS. Ketegangan mulai muncul ketika Malaysia memberikan ijin eksplorasi di wilayah yang diperselisihkan kepada Petronas Carigali dan International Royal Dutch/Shell Group, 16 Februari 2005. Konsesi blok yang diberikan bertubrukan dengan bagian blok Ambalat yang diklaim Indonesia.

Departemen Luar Negeri menganggap tindakan Malaysia melanggar kedaulatan dan berikutnya mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia. Langkah seruap diambil Malaysia.  

Ketika hubungan diplomatik memburuk, militer dikirim ke wilayah yang diperselisihkan. 3 Maret, Presiden Indonesia SBY menginstruksikan “militer untuk melindungi kedaulatan Indonesia dan mengamankan wilayah sengketa.” Saat tiga kapal AL Indonesia berpatroli di wilayah sengketa, gugus tugas dari armada Indonesia Timur secara bertahap dikirim hingga mencapai 8 kapal perang dengan dibantu 4 jet tempur F-16 yang ditempatkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, 7 Maret.

Angkatan bersenjata Malaysia juga menempuh langkah yang sama sambari mengupayakan jalur diplomasi. 4 Maret, angkatan laut dan kapal polisi laut Diraja Malaysia dimobilisasi ke Blok Ambalat.  Unit angkatan udara juga diperkuat di Sabah dan Sarawak. Ketika pembicaraan diplomatik dimulai, militer Indonesia mengurangi kehadiran sejumlah kapal perangnya di wilayah Ambalat namun menolak untuk ‘menarik diri’.

Meski demikian, pengurangan armada kapal perang di wilayah sengketa tidak mencegah terjadinya insiden kecil. Kapal perang Indonesia KRI Tedung Naga bertabrakan dengan kapal patroli KD Rencong.

Kedua belah pihak saling menuduh menjadi penyebab tabrakan. Dalam pertemuan darurat merespon insiden tersebut, Presiden Yudhoyono memerintahkan panglima militer untuk menahan diri dan memberikan kesempatan kepada pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara damai. Langkah yang sama juga ditempuh Malaysia.  

Presiden SBY semakin meningkatkan posisi politiknya ketika mengunjungi Pulau Sebatik, wilayah Indonesia terdekat dengan Blok Ambalat, 8 Maret 2005, sehari sebelum Menlu kedua negara dijadwalkan menyelenggarakan pertemuan darurat. Kunjungan SBY ke pulau Sebatik berbarengan dengan klaim militer Indonesia bahwa 7 kapal perangnya mengejar kapal patroli Malaysia. Selain, itu diumumkan  penempatan batalion angkatan laut dari Jawa ke Kalimantan Timur.

5.2.         Respon Kedua Belah Pihak atas Isu Ambalat dan Bangkitnya Nasionalisme Indonesia

Blok Ambalat secara strategis sangat penting karena potensi hydrocarbon yang dikandungnya serta nilainya dalam perspektif SLC. Meskipun nilai blok itu strategis, namun dimensi nasionalisme dalam isu ini di Indonesia lebih menonjol. Isu ini menarik perhatian masyarakat Indonesia dan memicu gelombang anti Malaysia di semua tingkatan masyarakat dari rakyat kecil hingga elit politik. Dalam isu ini, masyarakat Indonesia secara kompak menyuarakan penentangannya atas klaim Malaysia, sehingga mengingatkan kembali slogan propaganda pada era Sukarno, ‘Ganyang Malaysia’. Pelbagai demonstrasi diadakan di depan gedung Kedutaan Malaysia.  Bendara Malaysia dibakar selama demo anti Malaysia. Kondisi ini berbeda sekali dengan apa yang terjadi di Malaysia. Respon masyarakatnya atas perselisihan ini relatif tenang dan bahkan cenderung apatis.

Meski demikian, sentimen yang tinggi di Indonesia atas kasus Ambalat tidaklah berdiri sendiri. Selain karena kekecewaan atas keputusan ICJ dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan,  rakyat Indonesia marah atas perlakuan Malaysia yang dipandang tidak manusiawi dalam kasus repatriasi (pemulangan) sekitar 1 juta tenaga kerja illegal Indonesia. Malaysia dipandang berlebihan dalam memburu para pekerja illegal tersebut, termasuk didalamnya pemenjaraan berat dan isolasi.  Tindakan Malaysia dipandang sangat arogan.

Media Indonesia juga memainkan peranan penting dalam menyulut retorika anti Malaysia. Perseteruan Ambalat antar kedua negara juga merambah ke  dunia maya. Para hakcker Indonesia menyerang sejumlah situs resmi pemerintah Malaysia. Para hakcker Malaysia pun membalasnya dengan menggangu situs pemerintah Indonesia. Sengketa Ambalat lebih dari isu kedaulatan maritim dan sumber daya alam. Isu itu telah menjadi refleksi sentimen murni masyarakat Indonesia atas buruknya hubungan kedua negara.

5.3.         Status Saat ini Kasus Ambalat

Hingga kini kasus Ambalat belum dapat diselesaikan. Menurut van Zorge Report, 9 April 2007 tentang Indonesia, ”ada indikasi Indonesia khawatir kehilangan Blok Ambalat sehingga tidak mau menempuh arbitrase Internasional. Para pemimpin militer Indonesia yang cenderung konservatif tampak lebih menyukai solusi militer jika situasi di Ambalat tidak terselesaikan.  Dalam pandangan seorang pejabat lebih baik berperang sekalipun kemudian kalah sehingga kehilangan Ambalat ketimbang kehilangan harga diri bangsa.”

6.     Apakah Keremajaan dalam Politik Mempunyai Dampak pada Pamer Kekuatan antara Indonesia dan Malaysia?

Keremajaan politik negara berdampak pada ajang unjuk kekuatan dua negara dalam sengketa Ambalat meski kedua negara sejatinya telah menikmati hubungan bilateral yang relatif bersahabat. Derajat sifat keremajaan negara menjadi semakin kental sehingga berpotensi merusak pertimbangan rasional atau bahkan ikatan primordial tradisional semisal kesamaan ras, agama dan budaya.

Keremajaan politik akan mengarah  kepada pendekatan bermusuhan dalam menyelesaikan isu Ambalat. Padahal di masa lampau, Indonesia telah secara tepat menunjukkan keinginan dan kemampuannya untuk menyelesaikan perselisihan maritim secara damai. Satu kasus yang pantas dicatat adalah Perjanjian Celah Timor dengan hasil zona kerjasama dicapai antara Indonesia dan Australia. Dalam konflik ini, Indonesia bukan negara yang tumbuh dewasa.

Blanchard menyatakan bahwa “perubahan dalam kepemimpinan atau rejim politik domestik” dapat secara potensial menjadikan negara membuang identitas nasional yang lama. Dalam konteks ini saya berpandapat bahwa banyak negara mengalami periode transisional antara membuang identitas nasionalnya dengan mencari yang baru. Selama rentang periode itu, negara cenderung menjadi tidak dewasa. Dalam kasus Indonesia, Indonesia tidak hanya mengalami perubahan pemimpin namun juga perubahan rejim politik dalam negeri dari otoritarianisme menuju demokrasi di 1998. Namun perubahan tersebut berlangsung demikian cepat sehingga tidak disertai dengan kesiapan yang memadai. Kendati diakui,  kedewasaan permanen suatu negara tidak mudah diperoleh ataupun dipertahankan.

Menurut Bradford, derajat keremajaan suatu negara, khususnya karena sikap hipersensivitas atas isu territorial secara melekat mempengaruhi faktor-faktor kerjasama dalam pengertiannya yang negatif atau bahkan berpengaruh pada hilangnya lingkungan kondusif bagi munculnya faktor-faktor tersebut.  Saya setuju dengan pendapat ini karena negara yang remaja secara politik kurang siap untuk memperlonggar sensitifitas kedaulatannya dan berpegang kepada nilai-nilai kerjasama.

Pendekatan keremajaan Indonesia atas penyelesaian sengketa perbatasan maritim adalah fenomena yang dapat ditemui di wilayah lain dalam kehidupan nasionalnya. Keraguan akan identitas nasionalnya telah menjadikan ringkih para pemimpin dan rakyat Indonesia merasa lemah sehingga sangat sensitif atas tindakan yang dianggap sebagai serangan atas kedaulatannya. Sementara secara berbeda, Malaysia menunjukkan derajat kedewasaan yang lebih tinggi melalui respon mereka yang bersifat menahan diri.

7.     Implikasi atas Stabilitas Kawasan dan Keamanan Samudera India

Ujian kasus Ambalat dapat mengganggu perkembangan kawasan Asia Tenggara dan Samudera India. Jika pola perilaku keremajaan menjadi sebab bagi munculnya ketegangan dalam sengketa Ambalat dan kawasan sekitarnya, maka pelbagai isu perbatasan wilayah darat dan maritim yang belum terselesaikan niscaya akan berpotensi merusak stabilitas regional secara lebih luas jika tidak dicegah. Terlebih jika negara-negara dikawasan Asia Tenggara dan Samudera India mewarisi sikap keremajaan dalam berpolitik. Jika demikian proses yang dibutuhkan menuju dewasa menjadi tidak mudah.

Kerusakan karena adanya ketegangan militer di kawasan ini akan cukup besar karena hampir semua negara-negara kini tengah melakukan modernisasi militer. Disamping, sejumlah negara di Asia Tenggara juga melakukan kerjasama ekstra regional dengan kekuatan lain. Indonesia misalnya tengah memulai kerjasama militer dengan China sebagai bagian dari kerangka kerjasama startegis dibuat pada 2005.

Dalam konteks ini, saya menggarisbawahi tiga poin, pertama, keremajaan dan kedewasaan politik bagi negara berkembang bukanlah keadaan permanent. Oleh karena itu, apapun sinyal keremajaan yang muncul dalam hubungan bilateral sejatinya dapat selalu berkembang karena keberlangsungan sebuah negara terlihat dari hal itu. Kedua, kerjasama maritim adalah sesuatu sangat mungkin namun tergantung kepada derajat kedewasaan negara bersangkutan. Ketiga, implikasi dari factor-faktor yang disebutkan diatas akan mengarah kepada ancaman dalam upaya mencapai tatanan yang baik di kawasan Samudera India. 


*pegawai Deplu RI






0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget