Politik dalam Pandangan Islam

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 07.22


*Ahmad Dzakirin
Untuk memperkaya dan sekaligus membandingkan ruang lingkup definisi politik dalam pandangan Barat dengan Islam maka patut kiranya kita melihat bagaimana pengertian politik baik secara terminologis maupun definitif dalam Islam. Dalam pelbagai kitab Islam klasik dan kontemporer banyak diungkap pandangan para ulama dan cendekiwan Islam tentang hal ikhwal politik Islam atau biasa disebut dengan siyasah syar’iyyah.  

Besarnya perhatian umat Islam akan isu ini menurut Bakhtiar Effendi -cendekiwan Muslim- adalah wajar dan bukan hal yang baru karena Islam, umat Islam ataupun kawasan Islam tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.
Secara terminologis, siyasah merupakan mashdar dari akar kata sâsa – yasûsu - siyasatan. Dalam kalimat “sasa addawaba yasusuha siyasatan” memiliki arti “qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha” yakni mengurusi, melatih, dan mendidiknya. Bila dikatakan “sasa al amra” maka berarti “dabbarahu” yakni mengurusi atau mengatur perkara. Jadi makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).
Menukil keterangan Ibnu Mundzir dalam Lisanul Arab, assus yang berasal dari kosa kata sawasa memiliki arti kepemimpinan. Sasuhum susan berarti mereka mengangkat pemimpin dan jika dikatakan sawwasuhu wa asasuhu wa sasal amra siyasatan maka berarti seseorang yang mengatur urusan politik. Adapun orang yang mengatur dan memimpin suatu kaum maka disebut sasah was sawwas.
Rasulullah SAW sendiri menggunakan istilah siyasah dalam sabdanya:
            “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist ini menjelaskan makna siyasah sebagai upaya mengurusi urusan Bani Israil yang dilakukan para nabi dan adapun setelah sepeninggal Rasulullah SAW, para khalifah akan menggantikan tugas Nabi dalam mengurusi urusan kaum Muslimin.
Jadi ruang lingkup pengertian as-siyasah adalah kewajiban menjalankan sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan dan adapun as-sais adalah pemimpin yang mengatur dan menangani urusan rakyat serta mampu mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.
As-siyasah jika dikaitkan dengan urusan kaum Muslimin atau sering disebut dengan as- siyasah as syar’iyah dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk melakukannya, kaum Muslimin hendaknya mengetahui apa yang dilakukan pemimpin, mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin atas rakyatnya, menasehati pemimpin jika melakukan kedurhakaan kepada rakyat dan memeranginya jika melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawahan).
Ruang lingkup peran siyasah ini sejalan dengan pengertian hadist:
“Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin maka dia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
“Jihad yang utama adalah kalimat haq didepan penguasa jahat.” (HR. Ahmad)

Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama
Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”                     
Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”
Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.
Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
“Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”
Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah,
“Hal memikirkan persoalan internal (yang mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).”
            Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Daulah mendefinisikan Siyasah Syar’iyah:
            “Fiqh Islami yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern disebut sistem ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem hubungan internasional.
            Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
            “Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”. (Asy Siyasah Asyar’iyyah, hal 12-127) 
Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni:
1.   Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam).
2.   Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah.
3.  Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.
Adapun dalam ruang lingkup regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat pemimpin atau imam, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga aspek pembahasan (fiqh siyasah):
1.   Peraturan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan dalam mewujudkan kemaslahatan umat,
2.   Pengaturan dan pengorganisasian dalam mewujudkan kemaslahatan,
3.  Pengaturan hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget