*Pratap Chatterjee
Kabul, Afghanistan, setiap pagi, lusinan truk yang mengangkut diesel berangkat dari Turkmenistan menyeberangi kota perbatasan Hairaton menuju Kabul dalam dua hari perjalanan. Diantara pemilik lusinan truk itu terdapat dua perusahaan yang saling terhubung satu sama lain, yakni Ghafanzar dan Zahid. Keduanya membantu kemenangan Hamid Karzai dan menjadi bisnis keluarga Wapres baru, Muhammed Qasim Fahim, mantan raja perang.
Diantara truk itu menuju dua pembangkit listrik di bagian utara Kabul, yang baru saja diperbaiki. Pembangkit itu selama kurang dari seperempat abad memasok listrik untuk Kabul. Fasilitas pembangkit baru sendiri dijadwalkan selesai tahun depan atas bantuan USAID.
Para analisis politik Afghan mengamati bahwa Ghazanfar dan Zahid Walid adalah contoh para konglomerat bisnis trilyunan dollar yang sukses dibiayai dari bantuan AS dan pajak rakyat Afghanistan karena terkait dengan tokoh politik yang sedang berkuasa pasca kejatuhan Taliban. Fenomena ini adalah bagian kultur korupsi disini. Nasrullah Stanikzai, Profesor Hukum di Universitas Kabul menyebut perusahaan-perusahaan tersebut milik wapres baru. ”Kita tahu siapa Ghazanfar dan Zahid Walid. Para elit pemerintah secara langsung dan tidak langsung terkait dengan perusahaan-perusahaan itu, korupsi tidak hanya terbatas kepada rakyat Afghanistan namun juga masyarakat internasional.”
Benar, kisah ’rekonstruksi’ suplai listrik di Kabul adalah cerita klasik bagaimana bantuan internasional mengucur ke kantong para kontraktor internasional dari negara donor dan para elit politik lokal. Biasanya, proyek yang dibiayai bantuan ini gagal karena jeleknya perencananaan dan raibnya uang yang digelontorkan.
Bangkitnya Broker Kekuasaan
Abdul Hasin dan saudaranya, wapres menjadi contoh sempurna elit bisnis baru. Keduanya adalah saudara sambung yang dilahirkan dari dua isteri seorang ulama yang dihormati dari desa Marz di lembah Pansjshir, Utara Kabul.
Di awal 1980-an, Fahim bergabung dengan pasukan Mujahidin, pimpinan Ahmed Shah Massoud bertempur melawan pendudukan Uni Soviet. Di 1992, Fahim diangkat sebagai kepala intelejen Afghanistan oleh Presiden Burhanuddin Rabbani ditengah perang sipil. Ketika Taliban menguasai Afghanistan beberapa tahun kemudian, Fahim menjadi kepala intelejen Aliansi Utara yang dipimpin Massoud yang hanya mampu menguasai sepertiga negeri itu. Dua hari sebelum serangan atas WTC di New York, Massoud dibunuh al Qaeda dan Fahim mengambil alih Aliansi Utara yang kemudian didukung dan dibiayai AS.
CIA menggelontorkan jutaan dollar kepada Fahim untuk memerangi Taliban sebelum invasi dilakukan. “Saya dapat mengambil Kabul dan Kunduz jika kamu menghantam front Taliban untukku. Anak buah saya siap, “Kata Fahim kepada Agen CIA.
Segera setelah Taliban kalah, Fahim diangkat sebagai wapres dalam pemerintahan transisi yang dipimpin Hamid Karzai, posisi yang dipegangnya selama dua tahun. Pada saat itulah, saudaarnya Abdul Hasin memulai kerajaaan bisnisnya. Sejak itu pula, dia dihujani pelbagai kontrak besar untuk rekonstruksi Afghanistan.
Januari 2002, saat Fahim berkunjung ke Washington dan London, menemui Jenderal Tommy Frank, kepala pasukan AS di Afghanistan, Zahid Walid, perusahaan anak tertua Abdul Hasin memenangkan kontrak besar, menyuplai beton pangkalan NATO, kedutaan AS dan bandara.
Abdul Hasin juga membiayai konstruksi gedung tingkat “Goldpoint” yang sebelumnya ditempati lusinan toko perhiasan. Zahid juga melakukan impor gas dari Rusia. Abdul Hasin mendirikan Gas Group yang mensuplai gas ke perumahan dan industri kecil di Tarakhil.
Musim semi 2006, Zahid Walid memenangkan kontrak 12 juta dollar dari kementerian energi dan air untuk mensuplai bahan bakar ke pembangkit tua di Kabul. Musim panas 2007, Zahid kembali mendapatkan kontrak 40 milyar dollar dan kontrak ketiga senilai 22 juta dollar untuk suplai bahan bakar diesel.
19 Oktober, Ramin Seddiqui, direktur manajernya baru saja menandatangani kontrak tambahan dari pemerintah senilai 17 juta dollar. Zahid Walid kini mensuplai bahan bakar diesel kepada pembangkit listrik 100 megawatt yang selesai dibangun oleh Black & Veatch, perusahaan konstruksi asal Kansas melalui USAID.
Kebanyakan orang Afghanistan membincangkan sebab musabab Zahid Walid memenangkan semua kontrak itu. Dalam kunjungan saya ke Kementerian Perdagangan, saya bertanya kepada Noor Mohammed Wafa, Dirjen Produksi Minyak dan Gas Cair perihal mereka. Dia serta merta menjawab bahwa dia tidak pernah mendengar perusahaan itu. Dia kemudian berpaling ke asisten Afghan saya dan berkata dalam bahasa Dari: ”Itu perusahaan bos Fahim, bukan?” ketika saya tanya apakah ada perlakukan berbeda bagi para tokoh politik yang berkuasa, Wafa membantahnya. Faktanya, banyak orang menyakinkan saya bahwa korupsi dan hak istimewa menjadi bagian pemerintahan Karzai dengan bantuan AS.
Ada bukti kuat bahwa kontrak suplai diesel senilai hampir 100 juta dollar itu dihambur-hamburkan. Awal tahun ini, KEC, perusahaan India menyelesaikan salah satu dari dua jalur pembangkit listrik bertegangan tinggi dari negara-negara tetangga di Asia Tengah. Pembangkit itu akan menghasilkan energi listrik yang murah dan efisien untuk ibukota. Pembangkit awal sebesar 220 kilovolt senilai 35 juta dollar itu ada di Uzbekitan- sejalur dengan rute truk diesel Zahid Walid yang melewati Hindu Kush. Namun disini letak perbedaannya. Memang para insinyur India mengalami kesulitan membangun pembangkit tersebut ditengah badai salju di puncak Salang, tetapi proyek itu dapat diselesaikan. Namun disisi lain, truk-truk Afghan itu setiap harinya mengangkut bahan bakar diesel dengan harga 22 sen per 1 kilowatt (kw), sementara listrik Uzbek, yang disalurkan melalui transmisi yang dibangun KEC hanya memerlukan biaya 6 sen per kw.
Yang memalukan, bahan bakar yang digunakan untuk pembangkit listrik USAID di Tarakhil ini menjadi simbol bagi rekontruksi besar-besaran yang sia-sia dan banyak penyelewengan selama bertahun-tahun. Pembangkit yang dibangun Balck & Veatch itu menelan biaya 300 juta dollar, tiga kali harga pembangkit di Pakistan, namun hanya mampu mensuplai sepertiga dari pembangkit listrik Uzbek yang dibangun dengan harga jauh lebih murah. Kali ini, KEC kembali membangun pembangkit kedua di Tajikistan yang akan mensuplai 300 megawatt listrik ke Kabul, tiga kali kemampuan pembangkit di Tarakhil.
“Dengan kapasitas penuh, kami dapat membakar 600 ribu liter sehari,” tutur Jack Currie, manajer pembangkit Tarakhil asal Skotlandia. “Dan banyak hal yang didapatkan dari para pembayar pajak?” saat saya kunjungi pembangkit itu suatu hari. “Satu dollar per satu liter diesel.” Saya coba hitungkan didepannya dan didapatkan ongkos tahunan sebesar 219 juta dollar, itupun tidak termasuk biaya pemeliharaannya yang mencapai 60 juta per tahun. Currie terkejut dengan angka tersebut.
Saya tunjukkan angka itu kepada Mohammed Khan, anggota parlemen Afghan dari komite energi. ”Apakah anda setuju dana itu untuk pembangkit listrik itu?”, selidik saya. Khan, insinyur listrik itu serta merta menjawab, “Enggak kecuali kita dalam keadaan darurat.”
Mengapa membangun pembangkit listrik yang biayanya 26 kali lebih tinggi ketimbang biaya jalur pembangkit yang dibangun India? Anwar ul Haq Ahadi, mantan menteri keuangan mengingat kembali proses itu. Gagasan itu –ungkapnya- berasal dari Ronald Neumann yang kemudian menjadi Dubes Afghanistan. Dia ingin membangun pembangkit sebelum meninggalkan negeri itu di 2007. Sebelumnya jalur pembangkit Uzbek diharapkan menjadi alternatif strategis bagi pasokan listrik namun seiring penolakan rejim represif Uzbek atas penggunaan Kharsi Khanabad sebagai pangkalan militer AS, maka AS menganggap Uzbek tidak lagi menjadi partner cocok bagi rejim Hamid Karzai.
Selanjutnya, USAID memberitahu pemerintah Karzai bahwa mereka akan membangun pembangkit listrik diesel di Kabul senilai 120 juta dollar dalam 2 tahun. Ini berarti pembangkit itu akan dapat digunakan tepat sebelum pemilu 2009 sehingga Karzai dapat mengklaim hasil pembangunannya. Tidak pelak, sang presiden pun menyetujuinya dan menginstruksikan menteri keuangannya menandatangani skema itu. Dia pun diminta menyetujui tambahan 20 juta dollar pajak rakyat Afghanistan bagi proyek itu.
Pada saat itu, Afghanistan menghadapi kesulitan pasokan listrik di Kabul karena musim dingin yang parah. Ketika penduduk Kabul putus asa menunggu janji pasokan listrik itu maka muncullah elit politik dengan perusahaannya seperti Zahid Walid memenangkan kontrak suplai diesel.
Zahid Walid bukan satu-satunya kelompok bisnis yang berkoneksi kuat. Ada Ghazanfar, perusahaan dari Mazar i Sharif juga memenangkan kontrak suplai diesel 17 juta dollar di musim dingin 2006-2007, dan kemudian 78 juta dollar di 2008-2009. Ghazanfar adalah bisnis keluarga dekat Presiden Karzai. (satu saudara perempuannya menjadi menteri urusan perempuan dan saudara lain menjadi anggota parlemen). Di Maret 2009, keluarga Ghazanfar membuka bank baru di ibukota. Kurang dari enam bulan, bank memberi pinjaman bebas bunga untuk kepentingan pemilu Karzai.
Mohammed Qasim Fahim telah disumpah sebagai wapres. Pemerintahan baru ini harus mengeluarkan dananya untuk memasok bahan bakar diesel bagi Tarakhil. Ini berarti uang akan lebih banyak lagi mengalir ke kantong keluarga Wapres.
Hamid Jalil, kordinator bantuan untuk Menkeu menyatakan bahwa penghamburan uang untuk proyek yang tidak dibutuhkan telah menghambat kemajuan Afghanistan dalam 8 tahun terakhir. “Proyek dari donor merusak legitimasi pemerintah dan menghambat kita mengembangkan kemampuan,” ungkapnya. “Korupsi kini terjadi dimana saja.”
Mantan Menkeu Afghan, Ashraf Ghani berkesimpulan bahwa keseluruhan system korup ini mengantar Afghanistan kepada keadaan absurd, karena tidak adanya rasa kepemilikan dan keberlangsungan bagi Afghanistan.
*Pratap Chatterjee adalah jurnalis investigative dan editor senior CorpWatch. Karnyanya, Halliburton's Army: How a Well-Connected Texas Oil Company Revolutionized the Way America Makes War (Nation Books, 2009) and Iraq, Inc. (Seven Stories Press, 2004). Dr Ali Safi menyumbang pemikiran untuk tulisan ini.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: