*Ahmad Dzakirin
Nabi SAW adalah pribadi mulia yang unik. Semua penisbatan keagungan manusia ada dan melekat pada diri beliau. Mulai dari seorang suami yang romantis dan penuh perhatian, guru yang bijak, panglima perang yang tegas, pedagang yang jujur hingga pemimpin politik yang cerdas. Maka tepat sekali jika dikatakan oleh Sayyid Qutb jika Nabi adalah penjelmaan Alqur’an yang hidup.
Nabi SAW adalah pribadi mulia yang unik. Semua penisbatan keagungan manusia ada dan melekat pada diri beliau. Mulai dari seorang suami yang romantis dan penuh perhatian, guru yang bijak, panglima perang yang tegas, pedagang yang jujur hingga pemimpin politik yang cerdas. Maka tepat sekali jika dikatakan oleh Sayyid Qutb jika Nabi adalah penjelmaan Alqur’an yang hidup.
Pun dalam ranah politik, kita mendapatkan banyak i’tibar dari Siroh Nabi. Nabi telah melakukan musyarokah siyasi dengan kaum Musyrikin di Mekkah melalui dua perjanjian Muthayyibun dan Fudhul. Perjanjian ini sejatinya mencerminkan partisipasi politik Rasulullah di tengah tradisi dan kultur politik masyarakat Jahiliyyah, atau lebih tepatnya sistem Jahiliyyah. Namun hal itu tidak menghalangi beliau disepanjang karakter perjanjian itu mencerminkan semangat universalitas Islam.
Perjanjian Muthayyibun
Diriwiyatkan dalam Musnad Ahmad, Abdul Manaf hendak merebut tanggung jawab dalam menjaga Ka’bah (Hijabah), menyediakan makanan (rifadah), militer (liwa’) dan zam-zam (siqoyah) dari Kabilah Abdud Daar. Tentu saja Kabilah Abdud Daar menolakknya karena tanggung jawab tersebut merupakan perwujudan reputasi sosial dan politik kabilah mereka ditengah masyarakat Jahiliyyah. Untuk mencegah pertumpahan darah muncul inisiatif penyelesaian yang digaransi oleh berbagai kabilah yang disebut Ahlaf (yakni : Abdud Daar, Jamah, Salim, Makhzum dan Adi dalam sebuah perjanjian yang dinamai Muthayyibin). Para peserta perjanjian mencelupkan tanganya disebuah mangkok minyak wangi dan berjanji untuk tidak saling berebut kekuasaan dan menumpahkan darah.
Nabi mengomentari perjanjian itu,”Aku menyaksikan ketika berlangsungnya perjanjian Al Muthayyibun, aku tidak mengingkarinya, dan walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.”
Ada dua pelajaran yang dapat dipetik dalam komentar Nabi tersebut:
- Nabi secara substansi tidak mengingkari diktum perjanjian itu karena membawa kemaslahatan bagi manusia demi terjaganya darah dan hak orang lain.
- Untuk itu, Nabi bersemangat terlibat sekalipun dengan partisipasi dan konsesi yang minimal.
Ketika Fathul Mekkah sebagaimana diriwiyatkan Ibnu Ishaq, Nabi masuk kota Mekkah menuju Ka’bah untuk melakukan Thawaf tujuh putaran diatas onta dan kemudian mengusap rukun Zamani dengan tongkatnya. Nabi lantas mengundang Usman Bin Thalhah (kalangan Ahlaf dalam perjanjian Muthayyibin) untuk membukakan pintu Ka’bah. Setelah itu Nabi berucap,”Wahai Bani Thalhah, Ambil kunci itu untuk selamanya dan tidak akan ada yang merebutnya, kecuali dia berbuat aniaya.” Ali bin Abi Thalib mendekatinya seraya berujar,”Ya Rasulullah, kita telah menguasai kunci ka’bah dan air zam-zam. Nabi menjawab,”Biarkan dia, sesungguhnya Allah telah meridhoi kalian dengan perjanjian Muthayyibin baik di zaman Jahiliyyah maupun Islam."
Sangat menarik komentar Syaikh Munir Al Ghadban tentang peristiwa ini,”Ini adalah pelajaran yang sangat baik bagi Da’i, yaitu agar mereka menghargai suatu perjanjian dan kesepakatan yang telah mereka setujui sekalipun mereka tidak ikut serta dalam penandatanganannya-jika perjanjian itu dapat menolong orang yang dizalimi atau melawan orang yang berbuat zalim.”
Perjanjian Fudhul (hilful Fudhul)
Perjanjian ini diilhami oleh Perjanjian Muthayyibun. Orang-orang Qurays yang terdiri atas Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad Bin Abdul Uzza, Zuhrah Bin Kilab dan Taim Bin Murrah berkumpul di rumah Abdullah Bin Jad’an, orang yang disegani dan paling tua usianya membuat kesepakatan untuk tidak membiarkan kezaliman di Kota Mekkah baik terhadap terhadap warga Mekkah sendiri maupun pendatang. Mereka bersumpah untuk menghadapi kezaliman sampai kelompok yang berbuat zalim itu meninggalkannya.
Perjanjian ini telah menyelamatkan banyak orang lemah dari kalangan Quraisy maupun pendatang. Demikian pula substansi Hilful Fudhul telah menjadi spirit penyelesaian konflik pada masa Islam. Dan bahkan Rasul sendiri memperkenankan pemanggilan nisbat Fudhul pada masa Islam sebagai sebuah pengecualian. Sedangkan pemanggilan selainnya dinilai sebagai panggilan jahiliyyah. Nabi mengenang peristiwa Fudhul itu dengan sabdanya, “Aku telah menyaksikan pelaksanaan perjanjian Fudhul dirumah Abdullah Bin Jad’an, suatu perjanjian yang tidak akan aku batalkan walau aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”
Apa pelajaran yang kita dapat petik dari Hilful Fudhul? Syaikh Munir Ghadban menyebutkan dalam kitabnya, Al-Hilful Siyasi Fil Islam beberapa kesimpulan dalam perjanjian ini:
- Perjanjian Fudhul dilaksanakan berdasarkan azas kesukuan dan kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai wakil dari Kabilah Bani Hasyim.
- Perjanjian itu bertujuan untuk membela dan mengembalikan hak orang yang dizalimi.
- Substansi perjanjian itu mengandung nilai-nilai universal Syari’at sehingga Nabi menyetujuinya jika dilaksankan pada masa Islam. “sekiranya perjanjian ityu diserukan pada masa Islam niscaya aku menyetujuinya."
- Substansi anti penindasan dan pembelaan terhadap yang lemah selalu memiliki ruang dukungan didalam Islam, sebagaimana sabda Nabi SAW,”Setiap perjanjian yang dilakukan pada masa Jahiliyah sangat didukung oleh Islam."
2 Komentar
subhanallah, memang shiroh dibaca berulang-ulang ga ada habis2nya ya pak ...
nice topic! cool blog!
kakbita.blogspot.com
Posted on 6 September 2012 pukul 10.49
subhanallah.. Allahumma shalli 'ala Muhammad :)
Posted on 16 Agustus 2014 pukul 12.29
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: