Israel dan Insiden 9/11

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 06.45


*Jeff Gates
Pada hari serangan 9/11, mantan PM Benyamin Netanyahu ditanya apa makna serangan itu bagi hubungan AS-Israel. Jawaban spontannya adalah: “Ini sangat baik…well  ini tidak baik namun peristiwa ini akan membangkitkan simpati (untuk Israel).”

Perang intelejen ini mengandalkan model matematis dalam mengantisipasi respon atas “tanda” untuk melakukan provokasi. Oleh karena itu, reaksinyapun dapat diamati –dalam rentang kemungkinan yang dapat diterima. Ketika pakar matematika Israel, Robert J Aumann menerima Hadiah Nobel dalam ilmu ekonomi, dia dikutip mengatakan bahwa “seluruh mahzab pemikiran yang kita kembangkan disini di Israel telah ‘mengubah’ Israel menjadi pemegang otoritas terkemuka dalam bidang ini.”

Dengan provokasi yang terencana, respon antisipasipun dapat menjadi senjata bagi agen provokator. Sebagai respon 9/11, betapa sulit untuk memprediksikan bahwa AS akan mengerahkan militernya untuk melakukan serangan balasan? Betapa sulit untuk langsung menyatakan bahwa respon itu adalah bukan untuk kepentingan AS namun demi mewujudkan agenda Israel Raya?

Komponen emosional sebuah provokasi memainkan peran kunci dalam hal teori permainan rencana perang. Dalam konteks ini pula Israel menjadi pakarnya. Dengan penanyangan 3000 warga Amerika tewas karena serangan itu maka tak pelak mindset kengerian, keterkejutan dan kemarahan bercampur aduk. Kondisi ini tak pelak memudahkan menyakinkan para pengambil kebijakan AS bahwa Pelaku Keji itu aksi terorisme itu adalah Irak sekalipun tanpa didukung fakta yang kuat. 

Pencampuradukkan pelbagai fakta strategis dengan keyakinan yang diinjeksikan menghendaki adanya periode “persiapan mindset” sehingga “tanda” itu dapat menempati keyakinan mereka dalam rangkaian skenario fiksi tahap awal. Mereka yang mendorong invasi Irak Maret 2003 sejatinya telah “meletakkan jalinan mental dan  asosiasi mental”  yang dapat mewujudkan agenda mereka 10 tahun lebih awal. 

Yang terkenal diantara jalinan mental ini adalah publikasi artikel professor Harvard Samuel Huntington di Foreign Affairs 1993. Pada waktu itu, analisisnya muncul setebal buku di 1996 sebagai “The Clash of Civilization”, lebih 100 akademisi dan lembaga think tank dipersiapkan untuk mempromosikannya, melakukan pra “konsensus tentang pertarungan” itu, 5 tahun sebelum 9/11.

Juga dipublikasikan di 1996 dibawah bimbingan Richard Perle sebuah kajian yang bertitel “A Clean Break: A New Strategy for Securing the Realm (salah satunya Israel)”. Perle adalah anggota Dewan Penasehat Kebijakan Pertahanan AS sejak 1987, dikenal sebagai pendukung Zionis fanatik, yang kemudian diangkat sebagai ketuanya di 2001. Sebagai  penasehat kunci PM Israel Benyamin Netanyahu, maka posisinya sebagai pejabat senior Pentagon, dia meletakkan fondasi yang dikehendaki dalam menyingkirkan Saddam Hussein sebagai bagian upaya menyokong strategi Israel Raya. Pandangan ini menjadi salah satu tema utama “Clean Break” yang dirilis 5 tahun sebelum 9/11. 

Namun pembunuhan massal, artikel, buku, lembaga think tank dan orang dalam Pentagon belumlah cukup untuk mengatur pelbagai variabel dalam model perencanaan perang “probabilistik” ini.  Para pembuat kebijakan yang pro juga dibutuhkan untuk kepentingan legitimasi dan kredibilitas bagi pelaksanaan sebuah operasi intelejen yang ditentukan sebelum pra agenda.

Peran itu secara pas diisi oleh Senator John McCain, Joe Liberman, Zionis Yahudi dari Connecticut dan Jon Kyl, Zionis Kristen dari Arizona. Mereka  menggagas UU Pembebasan Irak 1998. Memasukkan agenda Tel Aviv dalam “A Clean Break”, RUU ini juga meletakkan jalinan mental lainnya dalam membentuk mindset masyarakat untuk mendukung penyingkiran Saddam Hussein 3 tahun sebelum 9/11.

Legislasi itu juga menyediakan 97 juta dollar, yang sebagian besarnya digunakan untuk mempromosikan agenda Zionis. Terimbas pemilihan sela Konggres dan pengajuan impeachment sebagai reaksi atas skandal hubungan gelap presiden dengan pegawai magang Monica Lewinsky, Bill Clinton akhirnya menandatangani UU itu 31 Oktober 1998, atau lima tahun sebelum invasi. 

Pasca 9/11, John McCain dan Joe Lieberman menjadikan isu ini sebagai tema perjalanan kampanyenya. Keduanya menjadi pendukung yang tidak tergoyahkan invasi Irak. Dalam perjalanan “kepresidenan” di kapal induk USS Theodore Roosevelt, January 2002, McCain meletakkan jalinan kunci lainnya saat dia melambaikan topi jenderal disamping Lieberman sambil meneriakkan,”Menuju Baghdad”.   

Strategi game theory mereka mengalami kemajuan lewat terobosan yang dibuat oleh Deputi Menhan, Paul Wolfowitz, orang dalam Zionis di Pentagon. 4 hari setelah 9-11, dalam pertemuannya dengan para pejabat penting di Camp David, dia mengusulkan bahwa AS harus menginvasi Irak. Namun intelejen pada waktu itu tidak memiliki bukti keterlibatan Irak dan Osama bin Laden yang diduga bersembunyi di wilayah pedalaman Afghanistan. 

Kecewa karena Presiden George H.W. Bush menolak untuk menggulingkan Saddam Hussein dalam Perang Teluk I, 1991, Wolfowitz mengusulkan Zona Larangan Terbang di Irak Utara. Menjelang 2001, Mossad menempatkan para agennya di Mosul, Irak Utara selama satu dekade. Laporan intelejen tentang hubungan Irak dengan Al-Qaeda juga berasal dari Mosul. Laporan ini kemudian hari terbukti palsu. Mosul muncul lagi di November 2004 sebagai pusat perlawanan untuk mendestabilisasi Irak. 

Sumber umum intelejen yang mendorong Amerika berperang di Irak sendiri belum diketahui.  Meskipun para pakar intelejen bersepakat bahwa aksi tipu daya secara besar-besaran menuntut adanya perencanaan sekurangnya satu dekade. Dua pemimpin laporan Komisi 9-11 mengakui bahwa mereka dicegah para anggotanya dari memberikan testimoni perihal isu hubungan AS-Israel yang melatari motivasi 9-11. 

Fiksi itupun diterima seperti diterimanya tuduhan senjata pemusnah masal, hubungan Irak dengan Al-Qaeda, pertemuan Irak dengan Al-Qaeda di Praha, laboratorium senjata biologis bergerak dan pembelian uranium “kue kuning” Irak dari Niger sebagai kebenaran. Fakta terakhir inipun terbukti bohong diawalnya. Sementara fakta lainnya baru diketahui setelah perang berlangsung. Upaya untuk menutup-nutupi kasus “kue kuning” menyebabkan kepala staff wakil presiden Lewis Libby, orang dalam Zionis lainnya diadili. 

Apakah model pra aksi dalam game theory itu termasuk didalamnya provokasi Israel yang mengakibatkan pecahnya Intifadha Kedua? Intifadha adalah perlawanan “menggoncang” penindas. Intifadha Kedua di Palestina di bulan September 2000 pecah karena PM Ariel Sharon memimpin parade bersenjata ke Temple Mount, Yerusalem -setahun sebelum 9-11.

Setelah setahun masa tenang –pada saat rakyat Palestina percaya akan prospek perdamaian, pemboman bunuh diri kembali terjadi pasca provokasi tingkat tinggi itu. Sebagai respon atas perlawanan itu, Sharon dan Netanyahu menyimpulkan bahwa dengan “berbagi kepedihan kita”, AS akan dapat memahami kondisi Israel sebagai korban. Kedua pemimpin Israel itu mengusulkan bahwa “mindset bersama” (merasakan kepedihan kita) membutuhkan jumlah korban di pihak sipil AS antara 4500 hingga 5000 karena aksi terorisme, taksiran awal mereka atas korban tewas  di dua menara kembar WTC New York –yang terjadi setahun kemudian. 

Ketika sukses, war game theory akan semakin memperkuat agen provokator dengan meninggalkan “tanda” sebagai reaksi atas provokasi yang pas. Dengan standar game theory inilah, 9/11 adalah keberhasilan strategis karena sukses menempatkan AS sebagai pihak yang irasional dalam bereaksi, yakni menginvasi Irak.  Sebagai akibatnya, AS demikian Irak menghadapi konsekuensi yang mematikan. 

Pemberontakan adalah reaksi model yang paling mudah atas invasi sebuah negara karena (a) tidak membutuhkan provokasi dan (b) wilayah itu dihuni oleh tiga sekte yang saling berperang dalam rentang waktu yang lama. Keadaan  damai yang rentan ini dicoba dipertahankan oleh bekas sekutu AS yang dicap sebagai “Pelaku Keji”. Karena biaya nyawa dan harta membengkak maka AS mengalami kondisi overextended dalam militer, keuangan dan diplomasi.  

Ketika “tanda” (AS) muncul di permukaan, maka agen provokator mundur teratur. Namun itu terjadi setelah mereka sukses mengkatalisasi dinamika dengan menguras kredibilitas dan sumber daya AS. Kemenangan “probabilistik” ini juga menjamin munculnya sinisme yang meluas, perasaan tidak aman, ketidakpercayaan dan disilusi yang berbarengan dengan semakin merosotnya kemampuan untuk mempertahankan kepentingannya karena disebabkan duplikasi game theory

Sementara itu publik Amerika menderita dibawa rejim yang mengawasi, memata-matai dan mengintimidasi mereka melalui terminologi keamanan “tanah air” (homeland). Operasi domestik ini mengingatkan “operasi fatherland” AS dalam PD II yang bertujuan menyingkirkan anasir asing dari wilayah AS. Apakah operasi ini dimaksudkan melindungi Amerika atau sebaliknya melindungi mereka yang bertanggung jawab atas operasi orang-orang dalam dari jangkauan kemarahan rakyat Amerika?

Dengan memanipulasi ‘mindset’ bersama, para perencana game theory yang cakap dapat mengobarkan peperangan dengan cara sederhana dan di pelbagai front dengan sumber daya minimal. Satu strategi mujarab mereka: tampakkan sebagai sekutu negara yang memiliki persenjataan canggih yang berencana mengerahkan militernya sebagai balasan atas pembunuhan massal. Dalam kasus ini, hasilnya adalah destabilisasi Irak, menciptakan krisis yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan strategis mereka dengan memperluas konflik hingga ke Iran, tujuan kunci Israel lainnya seperti yang dijelaskan dalam “A Clean Break” 7 tahun sebelum invasi Irak. 

Negara mana yang menangguk untung pengerahan kekuatan koalisi ke kawasan itu? Hasil model matematik ini sejatinya merusak keamanan nasional AS karena Negara adidaya itu mengalami overstreching kekuatan militernya, rusak kredibilitas pemimpinnya, hancur kondisi finansialnya dan kemauan politiknya tidak dapat dijalankan. Dalam terminologi game theory, hasil ini secara sempurna dapat diprediksi dengan rentang probabilitas yang dapat diterima. 

Dalam kondisi asimetri yang mencirikan perang konvensial sekarang ini, mereka yang memiliki sumber daya terbatas harus menjalankan perang melalui tipu daya dan dengan alat yang dapat menjamin  dampaknya.  Siapa lagi jika bukan Israel yang cocok dengan pendeskripsian ini. 

Para perencana perang game theory memanipulasi lingkungan mental yang sama dengan membentuk persepsi dan menciptakan kesan bahwa hal itu adalah konsensus opini. Dengan bantuan krisis yang dirancang secara tepat, para pembuat kebijakan masuk dalam agenda yang telah diatur sebelumnya –bukan disebabkan musuh mereka adalah Pelaku Kejahatan atau “imperialis” sebenarnya namun karena mindset bersama yang telah dikondisikan sebelumnya. Aksi ini bukan untuk merespon fakta namun lebih merefleskikan emosi dan keyakinan konsensus yang dimanipulasi. Tanpa pembunuhan 3000 jiwa dalam peristiwa 9 September, kredibilitas Amerika tidak dapat dirusak dan ekonomi Amerika akan jauh lebih baik. 

Dengan memanipulasi fakta terus menerus maka “tanda” itu dapat dimasukkan dalam mindset publik sehingga lambat laun dipercaya. Dengan memanipulasi mindset publik, para perencana war game theory dapat mengalahkan musuhnya dengan sumber daya superior melalui serangkaian dorongan keputusan yang menjamin kekalahan itu. 

Perang intelejen dikobarkan dengan cara mudah melalui kover keyakinan bersama tadi. Dengan memanipulasi opini konsensus, perang semacam itu dapat dimenangkan dari dalam dengan mendorong orang dengan bebas memilih kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kebebasan mereka. Dalam abad informasi, kekuasaan tidak proporsional dapat ditempa oleh mereka yang memiliki pengaruh luar biasa dalam media, pelbagai lembaga think tank, budaya pop, akademisi, dan para politisi yang dikenal berada dibawah domain pengaruh Zionis. 
 
Keyakinan yang disorongkan itu bekerja sebagai pengganda kekuatan dalam mengobarkan perang intelejen dari belakang. Dalam inti operasional perang ini adalah kemampuan mengantisipasi respon “tanda” terhadap provokasi dan memadukan alasan itu sebagai senjata mereka. Bagi mereka yang menjalankan perang dengan cara ini, fakta hanya menjadi penghalang yang harus diatasi. Bagi negara-negara yang mengandalkan fakta, aturan hukum dan persetujuan yang berbasis pengetahuan demi melindungi kebebasan mereka maka pengkhianatan dari dalam akan menjadi ancaman terbesar mereka. 

Amerika jauh kurang aman ketimbang sebelum 9/11. Tel Aviv jelas bermaksud melanjutkan provokasi berikutnya seperti yang ditampakkan dalam perluasan pemukiman mereka yang ilegal. Israel tidak menunjukkan keinginan sama sekali melakukan negosiasi secara tulus atau mengambil langkah yang mendorong perdamaian. Hingga kini, Barack Obama sendiri tidak ingin mengangkat pembantu seniornya yang bukan pendukung fanatik Israel. Ancaman terbesar perdamaian dunia sejatinya bukan teroris namun ancaman itu ada dalam hubungan AS-Israel. 

Dengan cara yang sama, satu dekade persiapan perang dilakukan untuk memberi alasan yang masuk akal bagi AS untuk menginvasi Irak, strategi yang sama kini sedang berjalan yang mendorong AS untuk menginvasi Iran atau mendukung dan membiarkan serangan yang dilakukan Israel. Kerumitan yang sama sedang bekerja termasuk profiling tingkat tinggi yang dibutuhkan untuk mencap Pelaku Kejahatan. Dari awal, jaringan Zionis menfokuskan kepada hegemoni di Timteng. Aliansi kuat dengan AS memungkinkan komplotan ini menempatkan kekuatan Amerika untuk tujuan ini. 

Hanya ada satu negara yang memiliki alat, motif, kesempatan dan kekuatan intelejen yang dibutuhkan untuk membawa AS dalam perang di Timteng dan menjadikan sebagai ancaman. Jika Barack Obama terus menerus terlambat menyikapi maka dia akan disalahkan jika serangan berikutnya terjadi di AS atau Uni Eropa. Haruskah pembunuhan massal lainnya terjadi dimana peristiwa itu sendiri sejatinya dapat dilacak dalam hubungan AS-Israel dan dari kegagalan para pengambil kebijakan AS membebaskan Amerika dari musuh didalam.


*Jeff Gates adalah penulis Guilt By Association, Democracy at Risk and The Ownership Solution. Silahkan kunjungi www.criminalstate.com.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget