Kita Negara Besar

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 06.32

*Ahmad Dzakirin

Ada pesan kuat yang saya tangkap dari kunjungan sepekan kami di Pilipina, khususnya Provinsi Lanao del Sur, salah satu kawasan Muslim yang kumuh dan terbelakang. Tidak ada perbedaan signifikan ciri fisik kita dengan mayoritas penduduk Filipina baik mereka Muslim maupun tidak. Disepanjang perjalanan dari pintu keluar pesawat hingga jalanan kota, Pilipino, mereka menyapa kami dengan bahasa mereka. Tidak mengetahui jika kami dari Indonesia. Saya hanya tersenyum, menyapa kembali mereka dalam bahasa Inggris dan mereka pun meminta maaf. 

Alamnyapun tak jauh berbeda. Ketika sutradara film Dangerous Living yang mengambil latar sejarah pemberontakan PKI tidak mendapat ijin shooting dari pemerintahan Orde Baru, maka merekapun memindahkan lokasi di Pilipina. Peristiwa demi peristiwa tersebut menyentakkan kesadaran bahwa saya adalah bagian dari komunitas ras Melayu yang menjadi etnik dominan di Asia Tenggara. 

Di Provinsi Lanao Del Sur dengan ibukotv a Marawi City- misalnya, keterikatan emosi ada pada kami dengan mereka, sebagai sesama Muslim. Mereka menyambut hangat kami dan berbincang laiknya sahabat yang telah kami kenal lama. Tidak ada batas dan terasa dekat. Mereka mengatakan Indonesia adalah saudara tua mereka dan kalangan Muslim di Mindanao menjadi bagian dari keluarga besar mereka. 

Tentu ini bukan tanpa alasan. Selain ciri fisik yang tidak banyak berbeda. Artinya, jika kita berada diantara mereka tanapa mengucapkan kata sepatahpun maka kita bukanlah orang asing dimata mereka. Kita memiliki rekam jejak sebagai bangsa besar. Kekuasaan Majapahit meliputi kawasan Nusantara dan sebagian Asia Tenggara, diantaranya mencakup wilayah Mindanao, Pilipina Selatan. Ada banyak kemiripan frasa dan diksi antara bahasa Marawi dengan bahasa Jawa. Misalnya dalam penghitungan angka dari numerik satu hingga delapan. Di salah sebuah restoran sederhana dikawasan Marawi City, ada pemberitahuan dalam tulisan tangan yang tertempel di kaca. “No Money No Utang”. Saya menebak jika tulisan itu maksudnya tidak punya uang tidak boleh hutang. 

Untuk itu, mereka mengharap peran besar dan kontribusi kaum Muslimin Indonesia sebagai negara Muslim terbesar atas nasib dan masa depan minoritas kuliah kami di Singapura. Dia adalah sedikit perwira polisi Filipina yang Muslim dan berasal dari kawasan Filipina Selatan yang bergolak. Pokok perbincangan kami diseputar harapan mereka peran Indonesia sebagai big brother bagi minoritas Muslim disana. Dalam logika mereka, kebangkitan mereka akan mengikuti kebangkitan kaum Muslimin di Indonesia. Pulihnya harga diri mereka akan berkait erat dengan kembalinya harga diri dan kehormatan umat Islam di Indonesia. Sejatinya, secara geopolitis, Indonesia menjadi sedemikian penting bagi dinamika dan stabilitas politik kawasan Asia Tengara. Belum lagi kita berbicara perihal potensi dan rekam sejarah kita. 

Ketersentakan kesadaran saya itu berangkat dari fenomena kebangkitan kalangan Melayu di era-90-an. Saat itu, saya sangat mengagumi isu kebangkitan Melayu yang digawangi duo Mahathir dan Anwar Ibrahim sebelum pecah kongsi. Gagasan Islam Anwar Ibrahim dengan pelbagai proyek keumatannya seperti Universitas Islam antar Bangsa (UIC) dan kebangkitan ekonomi telah memberi inspirasi dan sekaligus apresiasi bagi kalangan aktivis Muslim di Indonesia. Karena itu pula, gerakan Darul Arqom mendapat sambutan luas di Indonesia sebelum dilarang dan dibredel pemerintah Malaysia. 

Namun saya kemudian menyadari jika ada satu faktor penting kebangkitan yang tidak dimiliki kaum Muslimin Malaysia, yakni kapasitas. Artinya, besarnya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor kapasitas atau kemampuan daya tampung. Anda boleh setuju ataupun tidak. Ada relevansi kuat antara negara besar dengan besarnya jumlah penduduk. Ada satu titik bagi negara-negara seperti Jepang, Inggris dan Belanda tidak dapat “push beyond their limit”, mendorong maju melampaui keterbatasan mereka karena minimnya jumlah penduduk mereka. Ada satu titik, kemajuan mereka tidak lagi ‘sustained’ karena keterbatasan mereka. negara-negara besar sekarang semakin berelevansi dengan besarnya jumlah penduduk: AS, China, India, Rusia, Turki dan Indonesia. Teori saya ini diperkuat dengan kesaksian para aktivis Muslim di Malaysia dalam diskusi kami di sela-sela transit sehari dalam perjalanan menuju Pilipina. “Kami menunggu Indonesia dalam garda depan kebangkitan Muslim Melayu.” Era kebangkitan Melayu Malaysia telah mencapai ujungnya untuk dilanjutkan estafetanya oleh kaum Muslimin di Indonesia. 

Namun repotnya, kita tidak banyak menyadari kenyataan itu. Ibaratnya, kaum Muslimin seperti macan tidur. Hanya saja, kita tidak sepenuhnya mengetahui kapan macan itu bangkit dari tidur panjangnya dan bagaimana kita membangkitkannya. Telah cukup lama, kita hidup dalam paradoks dan anomali. Paradok dan anomali yang terjadi karena sekian banyak teori dan konsep sosiologis kebangkitan suatu bangsa ternyata tidak berlaku bagi kita. Di era 90-an, saya sangat yakin dengan teori bahwa kebangkitan Indonesia terjadi karena bangkitnya kelompok menengah yang educated. Namun sejujurnya, saya tidak melihat dan merasakan langsung dampak langsungnya kini. Yang ada sebaliknya, sekali lagi paradoks dan anomali. Karena itu, saya teringat keluh kesah Bung Hatta tentang bangsa ini, “Sayang negeri besar ini telah melahirkan orang-orang yang berjiwa kerdil.”

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget