*Dave Lindorff
Kebanyakan rakyat Amerika tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang perang Irak. Namun di Inggris, sebuah komisi yang dibentuk karena tekanan aktivis anti perang mulai melakukan penyelidikan atas keterlibatan Inggris dalam invasi Irak di 2003.
Bahkan sebelum testimoni dimulai, media telah membocorkan dokumen yang didapatkan dari komisi. Dokumen itu menyebutkan bahwa pemerintahan PM Tony Blair telah berbohong perihal keterlibatan Inggris dalam perencanaan perang.
Koran Telegraph selama sepekan mempublikasikan pelbagai dokumen dari para pemimpin militer Inggris, termasuk memo dari kepala pasukan khusus, Mayjen Graeme Lamb yang mengaku diperintahkan “mempersiapkan perang sejak awal 2002.” Ini berarti bahwa pengakuan Blair di depan parlemen di Juli 2002 bahwa tidak ada sama sekali persiapan untuk menginvasi Irak dusta.
Kini isu menjadi semakin memanas ketika komisi mulai melakukan dengar pendapat. Komisi memiliki kekuasaan untuk memaksa testimoni atas para pejabat pemerintah termasuk Blair sendiri.
Sementara beberapa koran Amerika, termasuk Philadelphia Inquirer memberitakan pengungkapan tersebut, media kunci lainnya seperti New York Times bungkam. Diluar adanya pelbagai kepentingan, namun pengungkapan kasus tersebut tidak sebanding dengan konspirasi yang dilakukan pemerintahan Bush dan Cheney.
Kembali di 2002, Bush berdalih didepan Konggres bahwa perang Irak dilakukan karena Irak berada dibalik serangan 9/11 dan Irak dianggap sangat berbahaya karena memiliki senjata pemusnah massal.
Tentunya argumen tersebut sekalipun palsu tidak akan efektif jika rencana itu dilakukan awal tahun dan jika pernyataan kegentingan itu tidak disampaikan kedua kepala negara itu. Mereka beralasan bahwa serangan senjata pemusnah massal Irak akan dilakukan diawal pemerintahan Bush sehingga AS harus bertindak segera.
Dalam buku saya, The Case for Impeachment, ada banyak bukti bahwa Bush dan Cheney telah mempersiapkan perang bahkan jauh sebelum Bush berkantor di Gedung Putih, 20 Januari 2001. Menteri Keuangan dalam bukunya, The Price of Loyalty, yang ditulis setelah disingkirkan Bush menyatakan bahwa pertemuan pertama Dewan Keamanan Nasional (NSC) dalam pemerintahan Bush membahas agenda perang dan penggulingan Saddam. Segera setelah serangan 9/11, Bush segera memerintahkan ketua program anti terorisme NSC menemukan “keterkaitan” dengan Irak.
Dalam beberapa hari kemudian, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld memerintahkan para jenderalnya mempersiapkan invasi Irak. Jenderal Tommy Franks yang memimpin perang di Afghanistan diperintahkan memindahkan pasukannya ke Kuwait bagi persiapan perang baru.
Jadi cukup mengherankan jika kemudian berita investigasi Inggris atas asal usul perang tidak sah ini sedikit sekali diberitakan media besar AS. Namun yang lebih mengherankan lagi jika konggres dan presiden sendiri tutup mata atas rekayasa perang yang menguras anggaran AS lebih 1 trilyun dollar (akan membengkak menjadi 3 trilyun jika ditambah pembayaran hutang dan biaya veteran), merenggut 4 ribu nyawa pemuda AS dan lebih besar lagi satu juta nyawa penduduk tidak berdosa Irak.
*Jurnalis yang tinggal di Philadelphia. Buku terbarunya, “The Case for Impeachment” (St. Martin 's Press, 2006). Lamannya www.thiscantbehappening.net.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: