(Laksamana Thomas Moorer, mantan KSAL AS (1970-1974)
Mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Jimmy Carter, akhirnya menemui Naser al-Shaer, mantan wakil perdana menteri di masa pemerintahan Hamas, di Ramallah ditengah ancaman dan boikot Israel atas dirinya yang berencana menemui Khlaed Meshaal, Pemimpin tertinggi Hamas di Suriah. Pertemuan tersebut gagal dilakukan di Jalur Gaza karena Israel tidak memberi ijin Carter masuk ke Gaza. Dalam pernyataannya, Carter ingin mendengar dan melibatkan semua pihak dalam penyelesaian masalah Israel dan Palestina seraya berjanji untuk terus melakukan kontak dengan Hamas.
Kunjungan Jimmy Carter, pemprakarsa perjanjian damai Arab-Israel, 1979 merupakan terobosan penting dan perubahan pandang sebagian mantan petinggi dan kalangan akademisi AS terhadap konflik di timur Tengah ini. Dalam bukunya yang terbit 2006, Carter menuduh Israel menerapkan sistem apartheid di wilayah pendudukan. Sebelumnya, beberapa akademisi terpandang AS semisal Kenneth Waltz (Universitas Chicago) dan John Meirshamer (Universitas Harvard) mengeritik pedas kebijakan rasialis Israel dan perilaku politik negara Zionis yang dipandang merugikan AS. Kecaman tersebut mengundang perdebatan serius dikalangan akademis baik yang pro maupun kontra Zionis. Carter memandang kebijakan isolatif terhadap Hamas dan Suriah tidak akan membantu menyelesaikan konflik Palestina dan Israel.
Demi memikat hati kaum Yahudi yang amat berpengaruh dalam dunia finansial AS, Barack Obama mengecam mantan Presiden Jimmy Carter yang bertemu dengan para pemimpin Hamas. Di depan perkumpulan Yahudi AS di Philadelphia, Rabu, ia mengecam keras tindakan Jimmy Carter, seniornya di Partai Demokrat yang menemui kelompok teroris. Pernyataan Obama ini jelas dimaksudkan untuk mencari simpati kalangan Yahudi yang punya pengaruh kuat dalam dunia finansial dan industri maupun politik AS. Karena pengaruh tersebut, kebijakan politik luar negeri AS, khususnya di Timur Tengah, tidak pernah keluar dari kerangka melindungi kepentingan Israel.
Hampir semua kandidat Presiden AS menghindari mengkritik Israel dan acapkali menyatakan ‘sumpah setia’ kepada Israel sebelum masuk ke bursa pencalonan di internal partai Republik maupun Demokrat demikian pula dalam pemilu kepresidenan AS. Beberapa kandidat, anggota Konggres dan bahkan presiden AS terjungkal karena diduga sikap atau kebijakannya dipandang tidak pro Israel.
Sebelumnya jauh hari, pesaingnya Hillary telah menemui perkumpulan Yahudi Di Ohio dan menyatakan dukungannya bagi Israel. Hal serupa yang pernah ditempuh suaminya, Bill Cllinton saat masih menduduki jabatan kursi kepresidenan. Dalam pertemuannya dengan kelompok lobi Yahudi terkenal di AS, Liga Anti Defamasi (ADL), dia pernah mengatakan: “jika Suriah dan Iran menyerang Israel maka saya akan meninggalkan AS dan bergabung dengan Israel. Menggali parit, memanggul senapan dan berjuang sampai mati.” Walau pernyataan tersebut dianggap sebagai bagian strategi mengambil hati kelompok Yahudi, namun tak pelak juga menggambarkan betapa kokoh cengkraman Yahudi dalam kehidupan rakyat dan struktur politik AS. Wallahu A’lam.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: