*Dmitri Trenin, Alexei Malashenko
Warisan 10 tahun invasi Uni Soviet di Afghanistan dan kekalahan memalukan mereka ditangan Mujahidin masih tertanam dalam ingatan rakyat Rusia hingga kini. Kondisi ini terefleksikan dalam keengganan mereka untuk terlibat kedua kalinya. Bahkan pasca 9/11, Rusia tetap menolak untuk menjejakkan kaki mereka di Afghanistan dan menyerahkan urusan negara itu kepada pasukan koalisi AS. Setelah penarikan mundur pasukan Uni Soviet dari Afghanistan di 1989, konsentrasi Rusia lebih diarahkan ke Asia Tengah dan lebih luas lagi ke negara-negara Islam. Namun dalam keyataannya, problem di Afghanistan menjadi sulit diabaikan.
Laporan Carnegie Endowment bertitel, “Afghanistan: A View From Moscow“ membeberkan sikap Rusia atas keterlibatan mereka di Afghanistan dan dampak “Sindrom Afghanistan” yang hinggi kini masih menghantui mereka. Rusia sebagai salah satu kekuatan utama dunia harus tersingkir secara memalukan dalam perang Afghanistan. Laporan ini mengungkap perspektif Rusia. Pada kenyataannya, Rusia hingga kini memiliki banyak hal yang dipertaruhkan di Afghanistan dan sebagiannya kerumitan hubungannya dengan negara-negara tetangganya yang tidak stabil di Asia Tengah. Demikian pula hubungannya dengan AS dan negara-negara lain yang berebut pengaruhdi kawasan tersebut.
Meskipun tidak menempatkan pasukannya di Afghanistan namun tidak dapat dihindari jika Rusia menjadi pemain penting dalam menentukan nasib Afghanistan. Rusia secara geografis lebih dekat dengan Afghanistan ketimbang AS maupun Inggris. Afghanistan berbatasan dengan lima negara penyangga (buffer) Rusia yakni, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan, Kazakhstan dan Turksmenistan. Rusia merasakan sendiri dampak langsung instabilitas yang terjadi di perbatasan negara-negara tersebut karena konflik etnis di Chechnya, Tajikistan dan negara-negara tetangga lainnya. Rusia ingin mengisolasi konflik di Afghanistan sebelum konflik itu menyebar kearah utara. Operasi Enduring Freedom yang dipimpin Amerika pada awalnya sukses namun kini dengan cepat berubah menjadi memburuk. Rusia kini menjadi semakin cemas ketika kelompok Taliban membuat kewalahan pasukan koalisi.
Rusia memiliki dua kepentingan berkaitan dengan Afghanistan. Salah satunya membangun kembali pengaruh Rusia di kawasan itu. Mereka tidak begitu peduli dengan isu melawan ekstrimisme Islam, Rusia lebih memfokuskan kepada pembangunan kembali kekuatan Rusia secara ekonomi dan memulihkan kembali otoritas yang dulu dimiliki di kawasan tersebut. Keinginan tersebut diikuti dengan penjalinan hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara tetangga lainnya. Padahal, hubungan Rusia dengan Pakistan, India dan China tidak dapat dipisahkan dengan perlakuan negara itu atas Afghanistan.
Hubungan itu sendiri cukup rumit. Rusia menyukai India, China sedang mendekati Pakistan namun India dan Pakistan saling membenci satu sama lain. Ditambah dengan masalah Afghanistan menjadikan hubungan negara-negara tetangga di kawasan itu tidak ubahnya seperti reuni keluarga yang saling bermusuhan. Meski demikian mereka semua menginginkan satu tujuan sama, yakni adanya stabilitas di Afghanistan. Namun jika Taliban berhasil dan pasukan koalisi mundur, Asia Tengah akan menjadi lahan subur bagi ekstrimisme Islam. Hal ini tentu akan berdampak kepada keamanan internal negara-negara tetangga dan Timur Tengah secara lebih luas. Asia Tengah menjadi tempat berkembang ekstrimisme Islam. Kerusuhan di Kyrgyzstan baru-baru ini tidak dapat dihindari akan menjadi katalis konflik yang lebih luas di kawasan ini.
Kepentingan Rusia kedua, adalah perdagangan narkoba. Laporan menyebutkan, “100 ribu pecandu narkoba yang tewas di dunia, antara 30-40 ribunya adalah warga Rusia.” Maka tidak sulit untuk ditebak dari mana pasokan narkoba itu berasal. Perdagangan narkoba dari Afghanistan melalui Asia Tengah masuk ke Rusia. Sejak kedatangan pasukan koalisi di Afghanistan, perdagangan narkoba meningkat 44 kali. Namun Laporan PBB juga menyebutkan bahwa korupsi dan inefesiensi badan anti narkoba Rusia menjadi masalah terbesarnya, tidak semata problem produksi narkoba di Afghanistan.
Dan bagaimana Kremlin berperan di Afghanistan? Ada beberapa pandangan yang berbeda. Sebagian menghendaki AS kelimpungan di sana, menyakinkan lawan politik utamanya itu akan kalah dalam perang. Kelompok ini berharap pada akhirnya dapat mengambil dan memilih sisi menangnya. Sebaliknya sebagian lain justru ingin menjalin hubungan yang lebih dekat dengan AS dan NATO sehingga dapat memetik keuntungan diplomatik dan memulihkan pengaruh Rusia di wilayah bekas Uni Soviet. Kendati diakui banyak pejabat senior Rusia yang secara pribadi ingin melihat AS gagal di Afghanistan seperti halnya dialami oleh Inggris dan Uni Soviet di masa lalu namun konsensus dikalangan para pemimpin Rusia menginginkan pasukan koalisi menang disana.
Berkaitan dengan ambisi Rusia untuk memulihkan dominasi politik di Asia Tengah, ada beberapa langkah yang diambil pemerintahan Putin. Diantaranya, dua pangkalan militer Rusia telah dibangun di Tajikistan dan Kyrgyzstan dan pada saat yang bersamaan Rusia juga mendorong keluar beberapa pangkalan militer AS di negara-negara Asia Tengah.
Oleh karena itu, ambisi Rusia ini sangat kontradiktif. Mereka menginginkan hal yang terbaik di kedua belah pihak, yakni AS sukses melakukan pekerjaan kotornya untuk menyingkirkan Taliban namun Rusia berambisi menguasai Asia Tengah. Dua hal tersebut jelas tidak sejalan. Kehadiran AS di Afghanistan akan menjadikannya sebagai kekuatan dominan. Dengan demikian, Rusia sulit untuk memonopoli Asia Tengah. Namun problemanya, tanpa kehadiran AS, Rusia tidak akan dapat berperang sendiriaan di Afghanistan yang menjadi ancaman terbesarnya. Padahal faktanya, China adalah pesaing terbesarnya di kawasan itu. Hanya saja Rusia memandang kekuatan militer AS sebagai ancaman yang lebih besar. Selain itu, Rusia telah berpartner dengan China di Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang mencakup negara-negara Asia Tengah dan Asia. Koalisi itu bertujuan menangkal pengaruh AS di kawasan itu.
Dalam posisinya itu, Rusia mau tidak mau akan menjadi bagian upaya internasional bersama dengan NATO, China, India, Asia Tengah dan Negara-negara Teluk dalam menjamin stabilitas di Afghanistan. Kedepan akan dibutuhkan peran aktif Rusia di Afghanistan. Rusia sendiri telah mendorong adanya industrialisasi di Afghanistan namun untuk saat ini Rusia kelihatannya cukup puas untuk menyediakan dukungan intelejen dan finansial kepada pasukan koalisi dengan tetap menjauhkan pasukannya dari wilayah panas tersebut. Rusia masih dihantui ketakutan jika sejarah kelamnya akan berulang kembali.
*Carnegie Endowment
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: