*Jonathan Cook
Apa komentar anda atas perbandingan terkini Ehud Barak tentang Israel dengan Afrika Selatan?
Politisi senior Israel terakhir yang berbicara tentang “apartheid” adalah Ehud Olmert dan kita perlu ingat mengapa dia menggunakan istilah itu. November 2003 ketika menjabat deputi PM, dia mencoba menakut-nakuti bosnya, Ariel Sharon sehingga meninggalkan kebijakan pembangunan pemukiman dan melepaskan Gaza. Olmert berpandangan bahwa dengan seolah-olah melepaskan Gaza dari proyek Israel Raya, Israel akan lepas dari ancaman minoritas Palestina dan sekaligus menghindari cap sebagai negara apartheid. Langkah itu berhasil. Sharon menjadi “tokoh perdamaian” yang diingat hingga kini.
Barak sedang memainkan permainan yang sama dengan Netanyahu. Kali ini menekan Netanyahu untuk memisahkan diri dari Tepi Barat. Tidaklah mengejutkan jika tugas itu jatuh ketangan pemimpin partai Buruh karena pendukung utama gagasan ini sendiri tidak berada didalam pemerintahan. Olmert sedang menghadapi kasus hukum dan Tzipi Livni kini dalam posisi oposisi. Barak berharap dapat menekan dari dalam. Dia tampaknya sangat cocok untuk kualifikasi ini. Dia menggunakan mantel proses perjanjian Oslo pasca terbunuhnya Yitzhak Rabin dan mencoba merekayasa pemisahan akhir Oslo dalam pertemuan di Camp David, 2000 yang sangat menguntungkan Israel. Bisakah dia merubah pikiran Netanyahu? Tampaknya sulit.
Avi Shlaim baru-baru ini menggambarkan Tony Blair sebagai “pengkhianat besar Gaza’. Bagaimana pendapat anda tentang perannya sebagai utusan damai Timur Tengah?
Blair adalah pramuniaga yang baik yang menjual minyak ular yang sama kepada pelanggan yang berbeda. Pertama, dia disini memajang etalase konsern Barat dalam memperbaiki kondisi Timur Tengah. Dia menyatakan bahwa Barat harus berkomitmen kepada aksi, sekalipun gagal melakukan intervensi dan situasi di Palestina semakin memburuk. Dia menjual kepada kita keadaan rakyat Palestina yang tidak memiliki negara dalam botol yang bernama “perdamaian”.
Dia disini juga semacam penasehat AS tentang bagaimana mengemas ulang kebijakannya. AS menjadi sadar telah kehilangan kredibilitasnya di mata dunia. Pekerjaan Blair adalah mendesain kembali botol yang berlabel “AS sebagai perantara yang jujur” sehingga kita siap membeli produknya kembali.
Tugas berikutnya adalah merayu Israel agar bersedia memberikan sedikit konsesinya buat rakyat Palestina dan meminta Israel untuk bekerjasama menjual botol kosong yang bernama “harapan” sebagai terobosan proses damai. Dan akhirnya dia berhasil menciptakan kesan bahwa tugas utamanya adalah membela kepentingan rakyat Palestina. Pada akhirnya, dia mengumpulkan ketiga botol tersebut, menempatkannya dalam kertas pembungkus yang cantik dan menulisnya dengan nama “Negara Palestina”.
Anda menggambarkan bagaimana Israel menjadi represif dengan penduduk Arab. Dengan cara bagaimana?
Jelas, Israel selalu represif kepada minoritas Arab. Dalam dua dekade pertama ditandai dengan pemerintah militer yang amat kasar kepada penduduk Palestina di Israel. Ribuan suku Badui misalnya diusir dari kampung halamannya di Nejef 7 tahun setelah berdirinya Israel. Mereka dipindahkan paksa ke Sinai. Masa lalu Israel tidak pantas dipuji.
Saya berpandapat bahwa langkah Israel sejak proses Oslo semakin membahayakan rakyat Palestina. Sebelum Oslo, Israel hanya tertarik dengan kebijakan membatasi dan mengontrol minoritas. Namun setelah Oslo, Israel mencoba merekayasa situasi dimana penduduk Palestina di Israel tidak lagi mendapatkan kewarganegaraan. Hal ini sangat berkait dengan kebijakan umum Israel tentang “pemisahan unilateral dari Palestina dibawah pendudukan”. Di Gaza melalui politik disengagement (penarikan mundur pasukan Israel) dan Tepi Barat melalui pembangunan tembok pemisah. Perhatian utama Israel adalah -kendati pasca pemisahan, penduduk Palestina tetap berada dibawah pendudukan Israel- oleh karenanya, mereka pasti akan menuntut hak yang sama dengan penduduk Yahudi. Israel menganggap dukungan bagi adanya hak kembali -dan dengan demikian dapat membentuk mayoritas Palestina- dapat menjadi ancaman eksistensial. Masalah bagi Israel adalah bahwa keinginan penduduk Palestina dapat merusak klaim Israel sebagai negara demokratis.
Untuk itu, Israel berpikir bagaimana menyingkirkan minoritas Palestina atau setidaknya bagaimana memisahkannya sedemikian rupa sehingga tampak demokratis. Para pengambil kebijakan sedang mempertimbangkan pelbagai pendekatan yang berbeda dari secara fisik mengusir mereka dari wilayah Israel ke wilayah ‘semi’ negara yang diciptakan Israel untuk rakyat Palestina sehingga ada alasan bagi mereka untuk kehilangan hak kewarganegaraannya. Kebijakan ini yang tampaknya akan ditempuh. Hanya saja mereka menginginkan adanya iklim politik yang tepat untuk melakukannnya.
Klaim yang sering disampaikan adalah bahwa Israel negara demokrasi dan Arab Israel diperlakukan sama dengan warga lainnya. Apa pandangan anda?
Asumsi bahwa Israel negara demokrasi adalah hal yang aneh. Ini adalah demokrasi tanpa jenis definisi yang jelas karena mencakup sebagian wilayah asing, Tepi Barat dimana para pemukim Yahudi dapat memberikan suara sementara kelompok Palestina tidak. Anehnya, para pemukim yang tinggal diluar perbatasan Israel itu ternyata memenangkan Netanyahu dan Avigdor Lieberman.
Inikah yang dimaksud demokrasi karena telah memindahkan kontrol atas 13 persen wilayah kedaulatannya kepada organisasi luar negeri, seperti Jewish National Fund. Organisasi ini telah mencegah 20 persen warga Palestina Israel agar tidak bisa mendapatkan akses tanah karena mereka bukan Yahudi.
Apakah inipula yang dimaksud demokrasi dimana Yahudi secara historis meningkat konstituensi elektoralnya karena mengusir kebanyakan penduduk aslinya dai kampung halamannya –kini disebut pengungsi Palestina- untuk menjamin Yahudi tetap mayoritas. Israel terus melanjutkan basis suaranya dengan memberikan hak istimewa kepada Yahudi diseluruh dunia untuk secara otomatis menjadi warga negara Israel sementara disisi lain menolak hak kelompok lainnya, yakni Arab Palestina.
Apakah yang dimaksud dengan demokrasi adalah tindakan yang secara konsisten menyingkirkan satu kelompok partai, yakni dari Palestina dan anti Zionis dari pemerintahan. Faktanya, demokrasi Israel bukan kompetisi antara pelbagai visi yang berbeda namun demokrasi yang dikontrol tunggal ideologi Zionis. Artinya, hanya ada partai penguasa tunggal sejak lahirnya. Semua partai yang terlibat dalam pemerintahan sejak lama setuju atas satu hal: Israel harus menjadi negara yang memberikan hak istimewa kepada Yahudi. Jika ada ketidaksetujuan lebih karena kepentingan sektoral perihal bagaimana mengelola pendudukan- yakni isu yang berkaitan dengan wilayah diluar perbatasan Israel.
Pembela gagasan Israel negara demokrasi hanya mengacu kepada hak pemberian suara. Tentu kriteria ini jauh dari cukup. Israel telah dianggap sebagai negara demokrasi di era 50-60an –sebelum pendudukan dimulai- dimana seperlima penduduknya, yakni minoritas Palestina berada dibawah pemerintahan militer. Kini mereka memiliki hak suara namun masih membutuhkan ijin jika hendak keluar dari kampung halamannya.
Poin saya adalah bahwa dengan memberikan suara kepada 20 persen pemilih Palestina Israel tidak dapat dijadikan bukti Israel sebagai negara demokrasi. Yahudi Israel sendiri telah merusak “demokrasi” mereka dengan aksi pembersihan etnis (perang 1948), kebijakan imigrasi yang diskriminatif (Hukum Kembali) dan manipulasi perbatasan dengan memasukkan para pemukim Yahudi dan mengeluarkan warga Palestina dalam pemilu kendatipun tinggal di wilayah yang sama.
Para akademisi Israel yang melihat hal itu mau tak mau harus memasukkan klasifikasi baru untuk menjelaskan gambaran aneh demokrasi Israel. Ada yang bermurah hati dengan menyebutnya “demokrasi etnik”. Bagi yang kritis menamainya “etnokrasi”. Namun banyak yang setuju bahwa Israel bukan demokrasi liberal seperti yang ada dalam pikiran orang Barat.
Anda menggambarkan aktivis anti pendudukan dan penulis Uri Avnery sebagai seorang “kritikus yang berkompromi” dengan Israel. Apa maksud anda? Apa yang salah dengan posisi Avnery?
Tidak ada yang salah dengan posisi Avnery tentang pendudukan. Dia ingin mengakhirinya dan dia telah bekerja tanpa lelah dengan penuh keberanian selama berdekade. Masalahnya datang dari kita, pembacanya sendiri yang cenderung menyalahpahami alasannya untuk mengakhiri pendudukan. Saya kira peranannya dalam gerakan solidaritas Palestina tidak cukup membantunya. Avnery ingin penjajahan berakhir. namun seperti yang dijelaskan dalam tulisannya, niat itu sangat didorong oleh keinginannya melindungi Israel sebagai negara Yahudi, atau negara etnokratis seperti yang saya terangkan tadi. Avnery tidak menyembunyikan hal ini. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai Zionis. Dalam pandangan saya, pencantolannya atas negara yang memberikan keistimewaan kepada Yahudi mengurangi kemampuannya mengkritik logika yang melekat dalam ideologi Yahudi dan responnya atas kebijakan Israel. Avnery terjebak dalam romantisme di era 1970 dan 1980-an, saat puncaknya perlawanan Palestina. Perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan pembebasan nasional. Pada saat itu, perannya Avnery ada didalam organisasi pembebasan Palestina bukan di dalam Israel. Dia mendukung solusi dua negara disaat banyak pihak didalam PLO mempromosikan satu negara demokratis yang mencakup baik Palestina dan Israel. Arafat akhirnya menyerah dan menerima solusi dua negara. Dia kemudian ditunjuk sebagai kepala otoritas Palestina, sambil menunggu berdirinya negara Palestina.
Namun dengan Oslo dan persetujuan formal Palestina atas pemisahan wilayah Palestina, Avnery harus merubah focus perjuangannya ke Israel, dimana banyak pihak yang menentang dengan gagasan itu. Pada saat banyak pemimpin Palestina yang antusias dengan proses Oslo sebaliknya para pemimpin Israel sendiri tidak minat. Mereka menginginkan pemerintahan diktator di Palestina dibawah Arafat yang akan menindas semua lawan-lawan politiknya sementara itu, Israel akan leluasa mengeksploitasi sumber alam dan airnya serta tenaga kerja Palestina untuk kepentingan zona industrinya.
Karena investasi emosionalnya dengan kebijakan pemisahan dalam perjanjian Oslo, Avnery menjadi kurang peka dengan niat buruk Israel dalam proses ini. Ketika pembantaian di Gaza terungkap, saya meneliti seksama tulisannya. Isinya membingungkan. Dia menolak rencana untuk memboikot dan memberi sanksi Israel. Meski demikian, dia masih memberi tawaran solusi yang menarik.
Anda adalah pendukung solusi satu negara. Bagaimana tentangan dari mayoritas orang Israel atas solusi ini?
Perlu saya jelaskan diawal. Saya tidak memandang diri saya sebagai “pembela” solusi tertentu atas konflik ini. Saya akan dengan senang mendukung solusi dua negara jika ini yang diinginkan. Saya tidak punya pandangan tentang hal-hal teknis yang dibutuhkan agar rakyat Israel dan Palestina bahagia dan hidup dalam keadaan aman. Jika itu dapat dicapai dengan solusi dua negara maka saya pasti dukung.
Dukungan saya atas solusi satu negara datang dari fakta bahwa saya belum melihat ada hal yang menyakinkan dalam solusi dua negara saat ini. Mereka mendukung solusi dua negara karena pengetahuan mereka yang terbatas atas konflik ini dan kini telah kadaluarsa. Mereka sedikit tahu tentang apa yang mendorong munculnya kebijakan Israel atas perbatasan yang diakui internasional. Ini berkaitan dengan pertanyaan bagaimana Israel dapat menang. Untuk memutuskan apakah sebuah solusi itu masuk akal adalah dengan melihat apakah solusi itu sendiri dapat diterima publik Yahudi. Dalam pandangan ini, solusi dua negara sama bermasalahnya dengan solusi satu negara. Tidak ada dukungan rakyat di Israel atas penarikan total Israel dalam perbatasan 1967, hubungan Gaza dan Tepi Barat, pembukaan perbatasan untuk Palestina merdeka dan hak Palestina untuk menjalin aliansi diplomatik seperti yang dikehendaki, tentara Palestina dan angkatan udaranya, hak Palestina atas sumber daya airnya, Yerusalem sebagai ibukota Palestina dan sebagainya. Hampir tidak ada rakyat yang akan memberikan suara kepada pemerintah yang mendukung solusi itu.
Ketika kami dengar hasil polling yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Israel mendukung solusi dua negara, ini bukan apa yang dimaksudkan responden. Yang mereka maksudkan adalah wilayah otonom Palestina yang dikelilingi Israel dan para pemukimnya sehingga merusak kontrol Palestina atas kedua wilayah (Tepi Barat dan Gaza) tersebut. Negara Palestina beribukota di Abu Dis atau desa lain dekat Yerusalem. Israel tetap mengontrol air, tidak ada tentara Palestina dan seterusnya. Pandangan publik Israel atas Palestina sebangun dengan pandangan pemimpinnya: perluasan model Gaza untuk Tepi Barat.
Yang menarik, meskipun salah asumsi bahwa rakyat Israel mendukung solusi dua negara, ada indikasi koalisi besar rakyat Israel yang berpandangan momen solusi dua negara telah lewat. Meron Benvenisti, mantan deputi walikota Yerusalem adalah salah satu Zionis kiri. Namun secara mengejutkan dia kini bergabung dengan Tzipi Hotovely, seorang anggota legislatif berpengaruh dari partai Likud yang membela pemberian hak warga negara atas rakyat Palestina di Tepi Barat.
Penulis lain seperti Noam Chomsky dan Norman Finkelstein mendukung solusi dua negara, yang menunjukkan bahwa opini dunia dan hukum internasional kuat dengan ide itu. Bagaimana pendapat anda?
Saya sangat menghormati Finkelstein dan Chomsky, namun saya melihat argumen ini lemah. “Opini dunia” dalam hal ini berarti tidak lebih dari opini Washington dan seperti Chomsky tunjukkan di banyak kesempatan, AS bersama Israel adalah pihak rejeksionis atas konflik ini. Kita harus khawatir bahwa solusi dua negara menjadi tidak visibel dalam menyelesaikan konflik. Saya melihat AS dan Israel tidak sungguh-sungguh dengan solusi ini dan hanya bersilat lidah untuk menutupi keadaan sebenarnya, yakni praktek rasisme yang tengah terjadi. Dalih ini dibutuhkan agar sifat dan karakter apartheid rejim tidak dketahui dunia. Sejak Oslo, Barak, Sharon, Olmert dan Livni paham bahwa “opini dunia” dapat dikesampingkan sepanjang Israel tampak mendukung solusi dua negara. Netanyahu mempermalukan Barat dan AS berpura-pura.
Argumen hukum internasional dalam konteks ini tidak banyak membantu. Sementara hukum internasional menawarkan serangkaian prinsip-prinsip yang tidak jelas sepanjang berkaitan dengan aturan perang maka dalam konteks ini, hukum menjadi tidak jelas ketika berkaitan dengan perbatasan dan wilayah. Mana hukum internasional yang hendak dirujuk? Mengapa tidak mengacu rencana pembagian 1947 yang akan melihat separoh sejarah Palestina kembali ke rakyat Palestina dan Yerusalem dibawah kontrol internasional? Dan apa yang akan kita lakukan dengan Resolusi 242 yang mengacu “akuisisi teritori” dalam bahasa Inggris dengan “akuisisi teritori” dalam versi bahasa Perancis? Akankah rakyat Palestina ditawari 28 persen tanah airnya atau kurang dari 28 persen? Dan apa makna perjanjian Oslo dalam praktek negara Palestina, dimana isu status finalnya dibiarkan mengambang? Kita dapat berargumentasi bahwa perdebatan tersebut tidak pernah berakhir dan akhirnya kondisi status quo yang tetap dipertahankan.
Tujuan utama hukum internasional adalah dua hal: menjaga kehormatan manusia dan menjamin hak menentukan pendapat. Dalam pandangan saya, tujuan tersebut tidak dapat direalisasi dalam solusi dua negara karena realitas kedaulatan Palestina yang diinginkan Israel dan masyarakat internasional. Sebaliknya kita harus melihat hukum internasional dalam kerangka menemukan solusi politik konflik Israel-Palestina yang tidak justru mengikat kedua tangan kita. Sasarannya adalah menemukan cara politik yang kreatif dan praktis yan mempunyai legitimasi di kedua belah pihak dan dapat menjamin rakyat Israel dan Palestina dapat hidup dengan bahagia dan aman. Tujuan ini bukan solusi teknis namun perdamaian yang langgeng.
Pemberitaan media Inggris tampak lebih simpatik kepada Israel ketimbang Palestina dan pada umumnya tidak menceritakan latar belakang sejarah konflik ini secara pas. Mengapa media bersikap seperti ini?
Ada banyak alasan yang kadang sulit untuk diurai. Untuk mudahnya, ada tiga kategori: masalah praktis yang dihadapi para jurnalis yang meliput konflik ini, harapan tentang “profesionalisme” jurnalisme, serta batasan struktural dan ideologi yang merefleksikan dominasi jurnalisme korporat.
Dalam konteks isu praktis, satu hal yang paling penting untuk disebutkan adalah adanya fakta bahwa urusan berita tentang Israel di media Inggris sering diberikan kepada wartawan Yahudi. Kondisi ini tak pelak berpengaruh kepada preferensi jurnalis tersebut tentang berita (Israel adalah berita bukan Palestina) dan kecenderungannya untuk lebih suka bernegosiasi dengan Israel. Ketika menerima jurnalis, redaksi lebih suka menggunakan jurnalis yang cakap berbicara bahasa Yahudi dan memiliki keluarga atau kerabat di Israel sehingga memudahkan menjalin kontak dan memahami kehidupan disana.
Saya tahu dari pengalaman saya sendiri bahwa kebanyakan pejabat Israel akan mengetahui apakah seorang wartawan itu keturunan Yahudi atau bukan. Ini penting bagi reporter Yahudi ketika memulai pekerjaannya di Yerusalem. Patut ditambahkan bahwa kecenderungan kesejarahan media Inggris untuk mengangkat jurnalis Yahudi telah semakin surut karena media Inggris sudah semakin sadar tentang hal itu. Namun fenomena itu masih cukup kuat terjadi di media Amerika. Media Amerika menseting agenda dalam konflik ini. Misalnya, Ethan Bronner dari New York Times. Pemuatan berita harian ini lebih mencerminkan kepentingan Israel. Hal ini wajar karena putranya bergabung dengan militer Israel.
Isu praktis kedua adalah lokasi kantor biro Inggris di Yerusalem Barat. Ini tak pelak berakibat kepada adanya identifikasi alamiah mereka dengan kepentingan Israel. Sebenarnya, akan lebih mudah dan murah bagi para jurnalis ditempatkan di Ramallah atau yang berdekatan dengan Yerusalem Timur, meski demikian sedikit yang melakukannya. Kemudian, mereka juga mengandalkan sumber-sumber informasi lokal, kebanyakan dari media Israel yang memiliki edisi Bahasa Inggris. Mereka mengikuti perkembangan konflik melalui komentar para jurnalis berbahasa Inggris. Sementara bagi para jurnalis yang bisa bahasa Yahudi malah semakin menyakini kebenarannya. Apakah para jurnalis itu membaca media Palestina. Saya tidak yakin.
Para juru bicara Israel dapat menjadi sumber informasi. Mereka berbahasa Inggris lancar, mudah diakses khususnya jika dia Yahudi atau setidaknya bersimpati dengan Israel. Mereka dipandang memiliki otoritas dalam kacamata jurnalis. Sebaliknya, rakyat Palestina sering dalam posisi lemah. Siapa yang pantas menjadi juru bicara Palestina. Biasanya para reporter mengacu kepada Otoritas Palestina meskipun posisi mereka lemah dan opini rakyat Palestina sendiri sangat terpecah. Para juru bicara ini sering terkekang dalam birokrasi yang ketat, kurang dapat dipercaya, menghadapi kendala bahasa, serta sedikit pengetahuan mereka tentang kebijakan yang diambil Tel Aviv dan Jerusalem Barat.
Isu yang berkaitan dengan “profesionalisme” jurnalis menjadi faktor juga. Pendidikan profesionalisme jurnalisme mendorong mereka percaya apa yang disebut dengan kriteria obyektif sebuah berita. Dalam konteks kasus Palestina-Israel, opini mereka dibentuk oleh perspektif para elit politik, akademisi dan diplomat yang memiliki pandangan tersendiri tentang konflik ini. Pandangan itu adalah bahwa proses damai sekarang ini berjalan dengan baik. Para pemimpin Israel tulus dalam proses ini. Penjajahan adalah hal yang tidak diinginkan namun dibutuhkan dalam konteks sekarang ini. Rakyat Palestina adalah musuh terburuk mereka dan secara genetik mewarisi terorisme, pendudukan di Gaza telah berakhir dan Amerika adalah broker netral dalam konflik ini dan seterusnya.
“Keseimbangan” juga dilihat sebagai kualitas jurnalisme. Keseimbangan “apa kata Israel dan apa kata Palestina” mendorong adanya pandangan bahwa dua pihak dalam konflik ini memiliki kedudukan sama. Tentu ini mendukung pandangan status quo yang hanya menguntungkan Israel sebagai pihak yang dominan.
Isu lain yang merusak berita adalah adanya kenyataan bahwa jurnalis professional yang ada di lapangan mengikuti petunjuk dari editor senior yang berada jauh dari tempat tugasnya. Media arus utama biasanya sangat hirarkis dan para jurnalis tidak ingin bertengkar berkali-kali dengan editor seniornya jika ingin sukses karirnya. Problem bagi editor senior terutama di AS dalam konflik ini adalah mereka tertalu dekat dengan pusat kekuasaan. Ini berarti komentator zionis seperti Thomas Friedman dan William Saphire akan membentuk cara pandang editor Inggris tentang Timur Tengah demikian pula model pemberitaan yang diharapkan dari para reporternya. Para jurnalis tentu tidak serta merta melakukan apapun untuk memuaskan editor mereka namun yang jelas mereka akan tetap bekerja dengan topik dan segaris dengan asumsi para editor mereka.
Terlebih kecenderungan itu ditekankan oleh lobby pro Israel di Inggris yang memberi kesulitan kepada para reporter dan editor mereka jika berbeda dari asumsi umum namun salah tentang Israel. Kuatnya lobby Yahudi di Inggris akan membuat takut media. Masalah kecil yang bersifat interpretatif dalam isu ini akan dibesar-besarkan sehingga menjadi skandal tuduhan anti Yahudi. Pemberitaan yang akurat namun kritis kepada Israel dapat merusak reputasi jurnalis. Jeremy Bowen harus menghadapi gugatan dari BBC Trust tahun lalu karena sikap kritisnya atas Israel.
Dampak lobby di Inggris semakin diperkokoh oleh kekuatan lobby pro Israel di AS. Para editor di Inggris akan melihat para komentator AS sebagai tolok ukurnya. Lobby di AS sangat mempengaruhi pandangan media AS dan berpengaruh kepada pandangan media Inggris. Masalah ini sangat berkaitan dengan dengan isu ideologis dan struktural yang sangat mempengaruhi jurnalisme modern dalam pemberitaan Israel-Palestina. Di awal karir, saya adalah seorang jurnalis liberal. Baru setelah menjadi jurnalis lepas, dan melaporkan langsung dari di kota Palestina, saya baru merasakan perubahan cara pandang. Asumsi lama saya tentang media Inggris yang liberal tidak lagi dapat dipertahankan. Itu adalah periode disilusi dimana saya harus membuat pilihan yang mengejutkan: mereportase konflik dengan cara yang sama dengan media arus utama kendati salah atau menjadi jurnalis “pemberontak”. Awalnya saya membuat pilihan pertama, bergabung dengan Guardian dan International Herald Tribune dengan beban nurani yang berat. Pada saat itu, saya mendengar nama Ed Hermann dan Noam Chomsky serta media Lens yang kemudian membentuk pengalaman saya sendiri. Masalah struktural ini kini menjadi masalah terbesar para jurnalis modern.
Jurnalis professional eksis karena dibayar pemilik dan pengiklan yang kaya. Keduanya mewakili kepentingan elit korporat yang kini memerintah rakyat kita. Media yang dimiliki korporat akan menjamin bahwa para jurnalis mereka dapat menerima nilai-nilai korporat melalui proses pemfilteran. Jurnalis yang menduduki posisinya sebagai kepala biro di Yerusalem telah melalui proses seleksi yang panjang. Biasanya jurnalis yang tidak dinginkan pasti akan gagal memenuhi syarat-syarat implisit yang ditetapkan. Jika ada jurnalis yang tidak dapat diintimidasi kekuasaan, tidak hanya mencari sumber dari para elit kekuasaan dan menolak gagasan tidak netral dan obyektif dan seterusnya maka dapat dipastikan dia akan mentok dengan jabatan yang rendah atau terusir.
Hasil ini tidak lebih seperti proses seleksi alami Darwinian. Para jurnalis yang berpihak dan mau mengikuti keinginan mereka akan cepat naik ke puncak. Dengan cara pandang ini akan memudahkan kita memahami mengapa media di Barat dengan kepentingan finansial, militer dan industri bersimpati kepada Israel.
*Penulis tinggal di Nazaret, Israel.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: