*Walid El Hourican
20 Juni 2009, Neda Agha Soltan ditembak mati pasca aksi protes menentang hasil pemilu di Iran. Peristiwa ini tak pelak menghiasi semua media dunia dengan pelbagai komentar dan analisis. Intinya, rejim Iran berada dibawah ambang kejatuhannya dan fajar kebebasan akan bangkit di negeri yang dianggap “poros kejahatan” ini.
Kematian Neda sendiri menjadi ikon oposisi Iran dan dianngap sebagai simbol bagi jutaan rakyat Iran yang tertindas oleh rejim. Walhasil, kematiannya dalam pandangan media ditempatkan dalam konteks yang sebenarnya bersifat personal menjadi cermin perjuangan rakyat yang menuntut keadilan.
1 Juli, Marwa El Sherbini, peneliti asal Mesir yang tinggal di Jerman ditusuk sebanyak 18 kali tusukan hingga syahid didepan anaknya yang masih berusia 3 tahun didalam ruangan sidang kota Dresden, Jerman. Dia sebelumnya mengajukan gugatan atas seorang priaJerman keturunan Rusia yang secara verbal melakukan penghinaan atas hijab yang dikenakanya. Ironisnyam suaminya yang hendak menyelamatkannya ditembak polisi. Kematian Marwa tidak diberitakan media Barat hingga pasca penguburannya. Namun media kemudian lebih memfokuskan kepada aksi protes kematiannya yang pecah di Mesir dan pembunuhannya sendiri digambarkan sebagai aksi barbar yang dilakukan oleh “seekor serigala sendirian” yang lepas dari konteks dan situasi sosial yang ada.
Fakta media bias dan pilih-pilih berita sesuai dengan keinginannya bukan hal baru lagi. Perbedaan respon media dalam dua kasus pembunuhan itu menunjukkan kegagalan masyarakat barat memahami pentingnya kasus kedua ini dalam konteks sosial, politik dan historis mereka.
“serigala sendirian” yang menusuk Marwa hingga 18 kali didalam ruang sidang adalah produk sosial dimana dia tinggal. Pembunuhan atas Marwa adalah aksi rasisme laten yang tengah tumbuh atas Muslim dalam beberapa tahun terakhir. Sangat sulit untuk menghindari jika aksi kejahatan itu berkaitan dengan diskusi yang tengah terjadi atas pelarangan hijab. Isu ini dan beberapa isu lainnya telah menjadi bagian perdebatan publik di beberapa negara Eropa. Demikian pula sulit untuk tidak memperhatikan kecenderungan kebangkitan partai-partai populis sayap kanan dan beberapanya berkuasa di beberapa negara Eropa dalam 10 tahun terakhir. Mereka telah mengembangkan wacana ketakutan atas Islam dan “masalah imigrasi”.
Tidak adanya reportasi yang memadai atas aksi pembunuhan ini dan kewaspadaan atas bahaya ini merefleksikan pengabaian jika wacana tersebut telah benar-benar berpengaruh.
Pada saat Eropa berpidato pentingnya kebebasan berekspresi dan pentingnya menerima eksistensi pihak lain, bahaya sekterianisme dan rasisme di dunia ketiga, kami justru melihat kejahatan, prasangka dan wacana kebencian semakin mendapatkan legitimasi di Perancis, Jerman, Austria, Denmark dan negara-negara demokrasi lainnya di benua Eropa. Kejahatan rasisme terus menerus dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat yang toleran. Namun dengan terjadinya peristiwa demi peristiwa maka hal itu menjadi tanda tanya.
Absennya berita Marwa dari pemberitaan media dan kegagalannya memulai debat tentang bahayanya rasisme anti Muslim di Eropa menunjukkan betapa dalamnya masalah ini dan juga mengindikasikan bakal suramnya masa depan Muslim di Eropa. Umat Islam seperti Neda hanya mendapat perhatian jika kisah ini sesuai dengan pandangan mereka bahwa Islam adalah ancaman besar bagi kebebasan. Namun sebaliknya orang seperti Marwa yang mencoba mengekspos aksi rasisme dan menentang stereotype yang ada justru gagal mendapat perhatian media.
Apa yang penting untuk dicatat adalah bahwa dalam kasus Neda, media menuduh rejim Iran bertanggung jawab dalam konteks atas kejahatan yang terjadi ketimbang mencoba menelisik siapa yang sebenarnya membunuhnya. Media menjadikan pemerintah atau institusi yang berada dibawahnya sebagai pihak tertuduh, bukannya seorang penembak individual. Namun sebaliknya, dalam kasus Marwa, media konsisten menekankan aspek individualitas dalam pembunuhan tersebut dengan menyebut pelakunya “serigala sendirian”. Sebutan itu menyiratkan pelaku adalah orang yang terbuang secara sosial dan tidak ada kaitannya dengan perilaku masyarakat. Pembunuh diidentifikasi bernama Alex sementara institusi dan masyarakat dimana dia tinggal dilepaskan dari peristiwa itu.
Sementara kematian Neda menarik banyak interpretasi dan diletakkan dalam perspektif sosial politik yang tengah terjadi di Iran sebaliknya kematian Marwa dicoba dilepaskan dari konteksnya tersebut dan hanya dideskripsikan sebagai tragedi individual yang terjadi anatara orang gila dengan korban. Pada saat Eropa bergeser semakin kekanan, sterotipe kultural mereka atas Muslim justru semakin menguat. Alih-alih, miskomunikasi dan krisis finansial semakin menyuburkan wacana populis dan chauvinistik partai-partai sayap kanan.
Di 1930-an, sebagai akibat krisis ekonomi 1920-an, partai sayap kanan yang baru muncul menang di Jerman namun sedikit yang memprediksikan apa yang bakal terjadi. Tidak ada bukti realistik untuk mengatakan bahwa Eropa lebih toleran ketimbang masyarakat lainnya atau mengatakan bahwa orang perlu belajar dari sejarah mereka sendiri atau juga mengatakan jika beberapa masyarakat terbebas dari perilaku rasis. Semua bukti tadi mengarah kepada akhir mitos toleransi pasca perang. Sayangnya media sendiri tidak juga mencoba menghubungkan pelbagai titik tersebut sebelum sejarah itu sendiri kembali berulang. (16 Juni 2009)
*Walid El Hourican be kolumnis di CounterPunch.org.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: