*Ahmad Dzakirin 


Tidak dapat dipungkiri, gerakan Islamis sukses membangun basis politik dan sosial di banyak belahan dunia Islam. Secara evolutif, gerakan Islamis telah menjadi kekuatan politik yang semakin diperhitungkan. Bahkan lebih jauh, mampu menjawab tantangan Olivier Roy dalam “Failure of Political Islam”. Kritiknya, kalangan Islamis tidak menawarkan apapun kecuali gagasan moral. Alih-alih, pendulum tranformasi Islam Hasan al-Banna –ungkapnya- bergeser menjadi gerakan neo-fundamentalisme ala Arab Saudi. Setali tiga uang, revolusi Islam Iran tidak melahirkan gagasan baru yang lebih genial tentang konsep negara Islam modern dan demokratis. Kendati Presiden Khatami sempat menggagas demokrasi Islam, namun ide itu redup ditelan konservatisme elit politik Iran.

Kemenangan AKP dan mandat penuh yang dinikmatinya dari rakyat Turki dua kali berturut-turut membatas tesis Olivier Roy. AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) menyabet 363 dari 550 kursi parlemen atau setara 34 persen dalam Pemilu 2002 dan meningkat 341 atau setara 47 persen. Gerakan Islam tidak hanya menawarkan ideologi yang menjawab kegelisahan spiritual kalangan urban ditengah modernisme, namun juga menjawab tantangan profesionalisme yang selama ini banyak disangsikan. “Kemenangan AKP adalah kemenangan gagasan Islam moderat”, puji Prof. Hamid al Ghazali, cendekiawan Ikhwan. Kemenangan itu juga menjawab keraguan tentang kompatibilitas Islam dan demokrasi.

Namun lebih dari itu, gerakan Islam sukses mentransformasikan Islam dalam wacana modernisme dan demokrasi. Peran itu dinilai banyak pengamat tidak terlepas dari kontribusi pemikiran Ikhwanul Muslimin. Gerakan yang mengembalikan relasi agama, politik dan negara ini pasca keruntuhan Turki Usmani ini sukses melakukan –meminjam terminologi Greg Fealy dalam “Joining the Caravan, Islamism, Middle East and Indonesia” proses seleksi (selection), adaptasi (appropriation) dan pribumisasi (indigenization) gagasan Islamisme dalam konteks.

Dari Gerakan Ide Menuju Gerakan Politik dan Kultural

Salah satu kemampuan adaptasi dan apropriasi gerakan Islam adalah mentransformasi ide dalam gerakan politik. Gerakan Islam secara perlahan melakukan adopsi gagasan Islam kedalam wacana politik. Ikhwan –misalnya- di era 50-an merilis proposal politik yang cukup integratif dimaksudkan sebagai desain negara Mesir masa depan. Dokumentasi politik Ikhwan ini dimaksudkan menjawab tantangan negara Islam modern dan demokratis. Ikhwan menawarkan gagasan genial dan sangat ‘maju’ termasuk didalamnya tentang kebebasan dan HAM untuk masa itu, mengingat kondisi negara-negara Muslim yang baru mengecap kemerdekaan serta situasi politik dunia yang diliputi rasisme, termasuk AS sendiri. Salah satu pasal dalam rancangan konstitusi Ikhwan disebutkan bahwa orang tidak bisa dihukum karena pikirannya.

Sebagai upaya transformasi demokratis pasca hengkangnya Inggris dari Mesir, Ismail Hasan Hudaibi –Mursyid Aam kedua- menawarkan opsi politik plebisit nasional untuk mengetahui preferensi politik rakyat Mesir. Katanya,“Jika mereka memilih hukum Islam maka Majelis harus tunduk kepada putusan itu, namun jika mereka menolak –kendati mustahil dilakukan oleh kaum Muslimin- maka kami akan memahami realitas tadi dan bekerja keras mengajari bangsa ini untuk taat kepada Allah dan berlaku benar.” Namun keberuntungan politik tidak berpihak kepada gerakan Islam. Ikhwan terjebak dalam konfrontasi politik dengan rejim diktator Gamal Abdel Nasser serta konflik internal dalam transformasi kepemimpinan dan masa depan Ikhwan. Gerakan ini mengalami malaise kaderisasi dan transformasi kultural sebagai gerakan ide.

Setelah mengalami eksperimentasi dan transformasi politik yang panjang dan menyakitkan. Ikhwanul Muslimin diawal 80-an mengembangkan kebijakan yang lebih berorientasi pada penciptaan –meminjam istilah Huttington- ‘infrastruktur pemerintahan Islami’ secara sosial dan kultural. Ikhwan secara internasional memfokuskan kerja dalam paradigma ini. Penciptaan basis-basis kultural, sosial dan profesional di seluruh sayap Ikhwan di seluruh penjuru dunia. Mulai dari Timur Tengah hingga kawasan Eropa dan Amerika. Di tahun 1990-an, Ikhwan telah mampu mengembangkan jaringan luas institusi pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan pelayanan sosial lainnya. Ikhwan mengklaim menjadi katalis bagi proyek internasional pembentukan institusi perbankan non ribawi. Kiprah gerakan Islam ini dapat dilihat sebagai rekonstruksi masyarakat sipil Islam sehingga dapat menjadi alternatif atau bahkan menggantikan peran institusi serupa yang dimiliki rejim sekular. Selain itu, sepak terjang Ikhwan sedikit banyak menjawab tantangan profesionalisme. Di Mesir sendiri, kendati secara politik dilarang, Ikhwan sukses mengendalikan hampir seluruh sindikasi dan asosiasi professional yang ada.

Misalnya, Yordania negeri berpenduduk 4 juta, Ikhwan mengendalikan sebuah rumah sakit besar dengan kapasitas 80 operasi besar dan kecil setiap harinya, 20 klinik, 2 perguruan tinggi kenamaan dari 7 perguruan tinggi yang ada, 40 sekolah Islam dan 120 pusat studi Qur’an. Sedangkan di wilayah pendudukan Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza, Hamas sebagai sayap gerakan Ikhwan secara signifikan mengendalikan pelbagai organisasi mahasiswa, sukarelawan, sosial dan pendidikan baik dari taman kanak (TK) hingga perguruan tinggi, klinik, panti asuhan dan bahkan sistem peradilan Islam. Hamas telah memberikan nafas atas setiap institusi tadi sehingga posisinya tidak dapat tergantikan. Sarah Roy, Dosen tamu untuk studi Timur Tengah Universitas Harvard berkomentar,” Hamas menjalankan jaringan pelayanan sosial yang terbaik di jalur Gaza. Hamas dipercaya rakyat miskin (mayoritas masyarakat Gaza) untuk menyalurkan bantuan dan dianggap jauh dari korup ketimbang patronase yang ditunjukkan partner nasionalis sekulernya, yakni al Fatah.”

Walhasil, setelah bertransformasi kedalam partai politik, 2006, Hamas sukses meraup kemenangan telak dalam pemilu legislatif di daerah pendudukan, terutama Gaza. Mematahkan dominasi faksi Fatah yang selama ini mengklaim menjadi juru bicara tunggal rakyat Palestina. Proses transformasi kultural yang dijalankan gerakan Islam disepanjang 20 tahun di daerah pendudukan membawa popularitas Hamas. Namun sedikit keraguan adalah apakah sukses politik Hamas dalam pemilu yang demokratis dapat diikuti kesuksesan lain dalam unifikasi Palestina dan menjelaskan politik ‘zero sum game’ Hamas kepada masyarakat internasional. Rivalitas antara Hamas dan PLO tidak kalah sengitnya –sesengit permusuhan Hamas dengan Israel. Kita masih menunggu hasil perundingan damai antar faksi Palestina yang dimediasi Mesir setelah kesepakatan Mekah yang disponsori Raja Abdullah gagal menghentikan pertikaian antar faksi.
Proses transformasi politik dan kultural gerakan Islam pada satu sisi menunjukkan kedewasaan politik (political maturity) gerakan Islam disepanjang 8 dekade. Gerakan Islam telah sampai kepada kesimpulan bahwa tranformasi evolutif dalam kerangka demokrasi dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita politiknya. Pilihan politik ini dinilai memiliki relevansi dengan spirit dakwah yang bersifat edukatif dan evolutif. Di sisi lain, Gerakan Islam banyak dinilai sukses mengambil pilihan strategis dalam menentukan arah masa depan secara damai dengan meninggalkan kekerasan. Terbukti, proses penguatan politik domestik gerakan Islam mendorong mitigasi dan penerimaan nilai dan simbol Islam oleh para pesaing politiknya. Partai Republik Rakyat (CHP) yang super sekuler di Turki membangun masjid di kantor pusatnya dan mengakomodasi para Muslimah berjilbab dalam struktur Partai.

Transformasi Demokrasi Gerakan Islam dan Skeptisme Barat

Tidak diragukan, demokratisasi gerakan Islam berkontribusi positif baik secara internal dan eksternal. Gerakan Islam membawa arus baru berupa adaptasi ide-ide baru demokrasi–seperti keterbukaan, transparansi, koalisi politik dan penghargaan atas perbedaan pendapat- yang dulu dipandang tidak akrab bagi mereka. Sebenarnya dalam spektrum yang lebih luas, redefinisi dan adapatasi nilai-nilai baru secara ‘lebih berani’ dilakukan oleh kelompok-kelompok Islamis yang terinspirasi Ikhwan di pelbagai belahan dunia Islam seperti AKP (Turki), Hizbul Wasat (Mesir), Front Islam Nasional-nya Turabi (Sudan) dan -dalam beberapa hal- PKS (Indonesia).

Ikhwan mulai menampakkan wajah modernnya dengan membuka dikusi tentang gerakan ini baik dalam sisi positif maupun negatifnya. Ikhwan mengadaptasi suara kelompok muda kritis dan lebih ‘liberal’ yang tergabung dalam Hizbul Wasat. Membangun koalisi dengan kelompok Liberal, Komunis dan Naseris dalam gerakan ‘Kifaya’. Bahkan lebih maju lagi, Ikhwan mempromosikan kebijakan ‘women friendly’ yang mengakomodasi keterlibatan wanita dalam kepemimpinan gerakan serta pencalonan mereka dalam parlemen.
Untuk ini, Dr. Isobel Coleman memiliki tesis yang menarik: kebangkitan gerakan Islam berelevansi positif dengan isu kesetaraan gender. Alasannya? Berbeda dengan gerakan reformasi sosial yang dilakukan kalangan sekular yang hanya menyentuh kalangan elit urban, gerakan Islam sebaliknya mampu menjangkau segmen masyarakat yang lebih luas. Selain itu, mengembangkan kebijakan politik yang jauh lebih progresif.

Hasil risetnya menjelaskan mobilisasi vertikal perempuan dari kelompok Islamis dalam politik lebih tinggi ketimbang kelompok sekular. Partisipasi perempuan AKP dalam parlemen meningkat drastis dari 4,2 persen di 2002 menjadi 9.1 persen dalam Pemilu 2007, lebih banyak dari partai-partai sekuler. Selain itu, Erdogan menerapkan kebijakan 20 persen partisipasi perempuan dalam struktur partai serta memperbanyak nominasi calon walikota perempuan. Pun dengan Hamas. Dalam pemilu 2006, Hamas sukses menempatkan 13 anggota Parlemen perempuan. Padahal 2 dekade silam, Hamas masih mengharamkan wajah wanita di depan umum dan menyerang orang yang tidak bercadar. Pelbagai proses tranformatif ini dalam jangka menengah dan panjang –tinjau Coleman- akan membantu proses moderasi gerakan Islam dalam interpretasi Islam dan mendorong ketulusan mereka dalam berdemokrasi.

Namun problemnya, kritik John L. Esposito, ketika reformasi demokrasi tengah terjadi di banyak gerakan Islam, pandangan Barat –terutama AS- terhadap mereka tidak banyak berubah. Islam sebagai ancaman. Sebenarnya pandangan yang lebih ramah dimiliki Uni Eropa. Padahal, Barat seharusnya berkepentingan mendukung proses transformasi itu karena dua hal. Pertama, dunia Islam menerima gagasan demokrasi dan proses transisi kepemimpinan secara damai. Kedua, mencegah gelombang radikalisme di dunia Islam yang pada ujungnya merugikan kepentingan Barat. Barat elergi mendiskusikan relasi demokrasi dengan gerakan Islam.

Prasangka mereka seragam. Demokrasi bagi kelompok Islamis adalah mantel bagi kepentingan sesaat mereka. Bahkan sebagai justifikasi, politisi Demokrat maupun Republik di AS secara menyesatkan mengembangkan teori Exceptionalism Democracy. Dalam pandangan mereka, demokrasi dalam kasus-kasus tertentu dapat dikesampingkan demi kepentingan nasional. Maksudnya, AS akan tetap mendukung rejim diktator yang kadaluarsa di dunia Islam demi minyak dan hegemoni. Usai Perjanjian Oslo 1993, Uni Eropa menerapkan kebijakan EMP (Euro Mediterranean Policy) untuk membantu proses demokratisasi politik dan ekonomi negara-negara di kawasan Mediteranian. Namun seiring kemenangan Hamas, EMP sayangnya dikembangkan sebagai instrumen politik untuk mengisolasi Hamas. Wallahu a’alam

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget