Erdogan dan Transformasi Politik Islamis di Turki

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 18.47

*Ahmad Dzakirin

“Gerakan Islam sukses membangun garis demarkasi yang tegas antara generasi muda Islamis dan orang tua mereka yang secular” (Huttington dalam Islam versus US, the Islamic Resurgence)

Sukses AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) tidak dapat dilepaskan dari sosok Recep Thayyib Erdogan. Sosok politik yang dicitrakan integritas moral yang tinggi, efektif dan berwawasan terbuka. Dia dikenal publik sebagai walikota Istambul yang pro rakyat hingga kemudian dijebloskan ke penjara di 1998 karena dosanya membaca puisi religius.

Selepas dari penjara, Erdogan melakukan serangkaian terobosan politik yang berseberangan dengan mentor spiritualnya, Necmetin Erbakan. 14 Agustus 2001, dia mendirikan partai baru, AKP beserta 20 kolega seniornya dari Partai Kebajikan (Fazilat partisi). Secara mengejutkan, partai ini memenangi pemilu November 2002 dengan memperoleh 34 persen kursi Parlemen setara dengan 363 kursi dari total 550 kursi parlemen yang diperebutkan. Sebaliknya, Partai Saadat, bentukan Erbakan hanya memperoleh 2,5 persen sehingga gagal mencapai syarat 10 persen parliamentary threshold.

Penjara telah merubah cara pandang politiknya dalam menghadapi ekstrimitas sekularis di Turki. Langkah politik berseberangan terpaksa diambil karena sang guru bergeming dengan sarannya. Partai baru yang didirikannya melakukan serangkaian terobosan politik yang dulu diharamkan atau setidaknya dihindari oleh Erbakan, yakni penerimaan ideologi sekuler Kemalis dan dukungan pada Barat. Kedua isu ini telah menjadi haluan politik yang tak tergoyahkan disepanjang terbentuknya Republik Turki di 1928.

Kalangan Islamis tidak dapat menantang benteng tangguh sekularisme yang digawangi militer. Untuk itu, tidak ada pilihan bagi kalangan islamis kecuali melakukan moderasi dan penghindaran konflik langsung dengan militer. Politik Turki sendiri menyaksikan jatuh bangunnya partai Islamis menghadapi ideologi Kemalis. Dalam refleksinya, jalan ketiga yang lebih fleksibel -lebih mengedepankan interpretasi longgar sekularisme ketimbang mempertentangkannya dengan Islam- harus ditempuh untuk memecah kebuntuan gerakan Islam. Oleh karena itu, partai baru, AKP tidak segan menyatakan komitmennya atas ideologi sekuler dan ‘berkiblat’ ke Barat.

Lebih jauh, Erdogan menolak identifikasi AKP sebagai partai islamis dan condong mengidentikkan diri sebagai partai kanan tengah konservatif (conservative right-center) seperti halnya partai Kristen Demokrat dalam tradisi politik Eropa. Sebagai bagian interpretasi liberalnya, religuisitas hanya melekat pada individu dan bukan pada institusi partai. Baginya, partai pada dasarnya adalah institusi sekular yang tidak dapat dieksploitasi bagi kepentingan politik. Seseorang dapat menjadi religius namun sekular dalam pilihan politiknya.

Bernegosiasi Dengan Militer

Erdogan memahami militer sebagai sumber ancaman. Berbeda dengan pendahulunya, dia lebih memilih bernegosiasi dengan kalangan militer namun mampu memitigasi ancaman tadi melalui peran pihak ketiga, Uni Eropa. Keanggotaan Turki dalam Uni Eropa adalah satu-satunya langkah rasional menhindari intervensi militer dalam pemerintahannya. Dengan meratifikasi 14 paket reformasi perundang-undangan yang disyaratkan Uni Eropa (EU), diantaranya kebebasan berpendapat dan mengurangai campur tangan militer adalah bentuk lain pact of restrain (langkah pembatasan) bagi deep state (militer dan peradilan) yang kerap melakukan kudeta dengan dalih menjaga sekularisme Turki.

Turki memperoleh status kandidat anggota Uni Eropa sehingga diperkenankan hadir sebagai pengamat atau observer dalam setiap sidang Uni Eropa. Turki masuk dalam juridiksi pengadilan HAM Uni Eropa dalam penyelesaian persengketaan HAM. Selain itu, AKP sendiri masuk dalam dari jaringan keanggotaan People’s Party, partai konservatif Eropa dengan status pengamat. Status ini akan meningkat seiring dengan diterimanya keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Proses institusionalisasi Turki dalam Uni Eropa –walau setengah hati karena keengganan beberapa negara utama EU - telah menjadi batu sandungan bagi upaya depolitisasi AKP dan kalangan Islamis. Uni Eropa beberapa kali memperingatkan militer tidak melakukan kudeta militer dan melepaskan diri dari campur tangan politik.

Namun pertarungan kedua kubu memasuki babak baru. Polisi Turki, 1 Juli 2008 menangkap dan menggulung rencana subversif kelompok ultra nasionalis dibawah pimpinan dua mantan petinggi militer, Jenderal Sener Eruygur dan Hursit Tolon. Pembongkaran rencana kudeta terjadi sehari sebelum Mahkamah Agung –benteng sekuler kedua setelah militer- memulai sidang gugatan bagi pembubaran AKP dan pelarangan 71 tokoh kunci partai ini dalam berpolitik. Dalam skenarionya, kelompok Ergenekon yang dekat dengan militer ini berencana melakukan serangkaian aksi terror dari pemboman hingga pembunuhan politik untuk memberikan jalan militer untuk mengambilalih kekuasaan demi alasan keamanan.

Kendati kalangan Militer melalui Kastaf AD, Jenderal Hilmi Ozkok memperingatkan Erdogan atas beberapa maneuver politik partai ini, Erdogan dan beberap elit politik AKP cukup belajar dari pengalaman politik pendahulunya dimana rasionalitas hukum tunduk dibawah interpretasi dan irasionalitas sepihak kalangan sekuler. Mereka kini cenderung bersikap hati-hati dan menghindari konfrontasi –setidaknya perang pernyataan- langsung dengan militer dan kelompok sekuler. Erdogan tidak segan-segan mendatangi kalangan petinggi militer untuk meredam konflik dan bahkan melarang pengikutnya menampakkan ekspresi keislaman berlebihan dalam setiap kampanye karena dikhawatirkan mengundang interpretasi salah kalangan sekuler.
Penerimaan AKP terhadap sekularisme dan perubahan orientasi politik AKP terbukti kemudian mampu meredam ketegangan dan resistensi domestik, memperlemah posisi militer namun pada saat bersamaan semakin memperkuat eksistensi kalangan Islamis. AKP menyabet dua kali kemenangan fantastis dalam pemilu parlemen.

Siapkah Eropa Menerima Turki?

Kendati Uni Eropa menyambut proses moderasi kalangan Islamis dan reformasi politik domestik Turki, namun beberapa negara utama Uni Eropa tidak siap dengan kehadiran negeri dengan mayoritas Muslim tersebut. Ada beberapa alasan yang mendasari sikap setengah hati Eropa:
Pertama, kendati Uni Eropa secara formal lebih merupakan aliansi kepentingan dan geografis namun tak terhindarkan alasan ideologis melandasi keengganan beberapa negara Eropa utama, seperti Jerman, Perancis dan Austria. Negara-negara tersebut tidak dapat melepaskan pesona Turki sebagai bekas imperium besar dunia dengan identitas religuisitasnya. Masuknya Turki akan menjadi batu ujian Uni Eropa untuk membuktikan apakah asosiasi geografis ini secara tersirat sebagai asosiasi Christian Club. Kedua, masuknya Turki akan merubah keseimbangan demografis Eropa. Turki dengan populasi lebih dari 70 juta menjadi anggota Uni Eropa dengan populasi terbesar. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menciptakan tantangan internal Uni Eropa dalam memperebutkan pasar dan tenaga kerja. Ketiga, karakter etnisitas Turki seperti halnya Chinese Overseas yang memiliki karakter ulet serta ikatan kultural dan ideologis yang kuat dengan leluhurnya telah menyebar keseluruh benua Eropa, terbesar diantaranya berada di Perancis dan Jerman. Dalam perspektif ini, sebagian negara Eropa khawatir jika eksistensi minoritas Turki akan melahirkan ancaman dan rivalitas domestik.

Belajar dari Turki

Gerakan Islam patut belajar dari jatuh bangunnya gerakan Islam di Turki. Era Erdogan lebih tepat diinterpretasikan sebagai kebutuhan bagi kontinuitas dan eksistensial gerakan Islam. Jika Erbakan telah meletakkan landasan kultural yang kokoh bagi arus revivalisme Islam maka transformasi politik Erdogan meletakkan landasan politik yang lebih memadai dan stabil dalam menghadapi tantangan aktualisasi nilai Islam. Erdogan sejatinya telah memetik buah yang ditanam Erbakan dengan menawarkan jalan ketiga yang lebih proporsional dan realistis.

Redefinisi sekularisme Turki dalam persektifnya tidak dapat dilepaskan dari Islam. Secara faktual moralitas Islam telah memberikan landasan kokoh bagi langkah pemulihan ekonomi Turki yang sebelumnya menderita hiperinflasi karena salah urus dan korupsi. Realitas ini tak pelak berimplikasi pada pilihan afliasi dan asosiasi politik rakyat Turki yang tak tergoyahkan pada gerakan Islam disepanjang 3 dekade. (lihat tabel). Jika pendulum dukungan politik bergeser dari Erbakan kepada Erdogan, hal itu lebih karena preferensi rasional pendukung publik Turki atas jalan ketiga yang ditempuh Erogan.
Berbeda dengan inisiatif politik pendahulunya, Erbakan yang membentuk D8 (Developing Eight), Erdogan tidak canggung untuk menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan Uni Eropa. Reorientasi afiliasi kawasan Erdogan terbukti lebih banyak memberikan keuntungan politik bagi AKP ketimbang bagi calon induk semangnya, Uni Eropa. Uni Eropa telah menjadi entitas ekonomi dan politik terpenting setelah AS dan diprediksikan Turki akan menjadi pemain penting dalam persekutuan negara-negara Eropa. Dalam skenario ini, Turki akan menjadi kekuatan penting di dunia karena sukses menempatkan dua kakinya, sebagian di kawasan Eropa dan sebagian lainnya di kawasan Asia dan negara-negara Muslim. Sementara afiliasi negara-negara Muslim dalam D8 -selain memberikan legitimasi bagi kudeta militer ternyata tidak memberikan tawaran apapun semata kepuasan teologis bahwa gerakan Islam telah menjadi inisiator ‘kebangkitan kekuatan negara-negara Islam’.

Dalam konteks ini pula, sikap pragmatis AKP ternyata tidak selamanya menjadi pilihan buruk. Kini militer dan kubu sekuler mulai kehilangan landasan etik, moral dan pragmatis untuk menjadi penjaga gawang kepentingan Turki demikian pula back-up politik yang selama ini didapatkan dari menjual ketakutan ancaman Islam kepada Eropa. Lebih dari itu, bagi gerakan Islam, evolusi kultural dan transformasi politik yang mereka lakukan telah mencegah eskalasi konflik dan pertumpahan darah. “Berdemokrasi seperti laiknya menaiki bis kota, kita tahu kapan berjalan dan harus berhenti.” ujar Erdogan. Barangkali ini pula yang menyelamatkan gerakan Islam.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget