*Ahmad Dzakirin
Sepanjang 13 abad interaksi Islam dan Eropa Kristen adalah konflik militer. Pelbagai aksi militer terjadi dan kemenangan silih berganti. Namun secara kuantitas kemenangan didominasi pihak Islam. Sebelum masa Aufklarung (Pencerahan) di Eropa, tercatat hanya dua kali kekalahan signifikan Islam. Pertama, hilangnya dominasi politik Islam di Spanyol sepanjang lebih 300 tahun. Kedua, kurang seabad bercokolnya pasukan Salib (1099) di Palestina sebelum direbut kembali Shalahuddin Al Ayyubi (1187). Namun secara umum, kantong-kantong strategis Islam yang tersebar dari hampir seluruh dataran Asia dan Afrika utara masih dikendalikan kekuasaan dinasti-dinasti Islam hingga dipenghujung akhir abad 18. (DR. Abu Marzuq : 1990)
Kenyataan ini memberikan pelajaran penting Eropa. Saat tertawan di al-Mantsurah, Mesir dalam perang Salib VII, Raja Louis IX memberikan komentar dan kemudian menjadi inspirasi bagi Eropa sesudahnya. (Anwar Al Jundi : 1990, hal 2) Dia berkesimpulan selama umat Islam masih dekat dengan sumber-sumber asasinya, Alqur’an, Eropa bakal tidak mampu menundukkannya. Dalam pandangannya, nilai-nilai etik Qur’an mampu menumbuhkan semangat resistensi tangguh dan tak tertandingi. Eropa merubah paradigma. Pecahnya dua revolusi besar di dataran Eropa- Revolusi Perancis 1733 dan Revolusi Industri di Inggris- membangkitkan kesadaran baru kebutuhan akan riset dan propaganda kultural. Secara idiomatik, Revolusi ini memberi wacana dan era baru Eropa. Revolusi Perancis adalah rekonstruksi ideologi baru Eropa setelah sukses menyingkirkan dominasi Gereja. Ideologi ini tumbuh sebagai antitesa ajaran Gereja yang bercirikan spiritual dogmatis. Kelahirannya lebih tepat disebut ‘Revenge ideology’ terhadap gereja dan monarki. Sementara Revolusi Industri adalah penopang kebutuhan taktis dan tak terelakkan bagi propaganda dan penetrasi ideologi baru ini. Terjadi lompatan signifikan berupa penemuan-penemuan baru teknologi yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi imperialisme. Di pertengahan abad 18, bermunculan lembaga-lembaga riset dan studi oriental di pelbagai universitas kenamaan Eropa.
Mengutip Jamal Shulton (1994, hal 17-21), kendati studi oriental dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mewujudkan imperialisme baru, namun pemunculannya tidak terbantahkan sangat dipengaruhi oleh ambisi dominasi politik setelah bangkitnya kiblat baru ilmu dan teknologi dunia di Eropa. Ada dua sasaran penting orientalisme, pertama, Mempersiapkan riset yang memadai tentang kawasan Asia dan Afrika demi kepentingan imperialisme. Kedua, setelah abad 20, merekonstruksi kembali konsepsi Islam yang ‘liberal, akomodatif dan modernis” terhadap sekularisme. Strategi ini dilakukan untuk mengantisipasi membanjirnya pemuda-pemuda muslim yang mengambil studi di Eropa. Eropa sangat memahami bahwa alienasi mutlak mereka terhadap Islam sulit dilakukan dan bahkan sering kali gagal malahan berbuah perlawanan.
Contoh menarik Aceh. Imperialisme Belanda membutuhkan waktu 200 tahun untuk menundukkan perlawanan Rakyat Aceh. Itupun terjadi setelah riset panjang DR. Snouck Hurgronye -seorang Islomolog berpengalaman- di tengah-tengah masyarakat Aceh dengan menyamar sebagai seorang muslim dari Turki. Dia memberi saran Gubernur Jendral bahwa mereka harus memberi penghormatan dan penjagaan simbol-simbol ritual Islam serta melepaskan citra perlawanan relijius atau jihad dalam persepsi rakyat.
Robohnya Payung Politik Islam
Kejatuhan Kekhilafahan Turki Usmani sebagai payung politik umat Islam Maret 1924 tidak terelakkan. Sebelumnya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani telah memprediksi bakal keruntuhannya. Ditengah pelbagai tekanan dan dampak kekalahan Turki dalam perang dunia I, secara internal masyarakat Turki khususnya dan dunia Islam pada umumnya mengalami kebangkrutan (demoralisasi) secara ideologis (aqidah), pemikiran (fikrah) dan perilaku (akhlaq). (DR. Salim Segaf Al Jufri : 1990 hal vii) Pelbagai seruan dan upaya kuratif dilakukan beliau dan muridnya mencegah robohnya bangunan politik yang mampu bertahan disepanjang 13 abad. Namun air bah itu terlampau besar ditahan oleh segelintir ulama dan pemikir cerdas. Jika kokohnya bangunan dapat dirobohkan cukup satu orang, apatah lagi jika hampir semua orang hendak merobohkan.
Seabad sebelum bangkitnya gerakan Turki Muda, gejala malaise (kelesuan) politik telah mulai sejak Sultan Salim III. Kekalahan militer berturut-turut di pelbagai front, termasuk di semenanjung Balkan memiliki implikasi psikologis dan kultural. Sultan menyimpulkan bahwa kekalahan ini terjadi karena faktor kebijakan isolasionis dan arogansi kolektif tentang kejayaan massa lalu. Sementara Eropa dengan pasti bangkit, sangat gandrung terhadap penemuan baru teknologi dan penyingkapan tabir hikayat tanah subur di Timur. Realitas subyektif ini menginspirasi Sultan untuk segera melakukan dua sasaran pembenahan internal. Membasmi kebobrokan birokrasi karena korupsi dan reorganisasi revolusioner angkatan bersenjata.
Dalam pandangannya, revitalisasi ini dibutuhkan dalam membangun kekuatan tangguh Turki dan merupakan wujud Jihad. Upaya ini tidak pelak menimbulkan tentangan dari kelompok status quo. Ironisnya, alih-alih memberikan reinterpretasi dan regenerasi warisan Islam atas gagasan Sultan, sebaliknya para ulama bersama Janissari, faksi dominan militer ikut terlibat dalam konflik dengan menentang rencana Sultan.. Menurut mereka, reformasi Sultan adalah bid’ah dan ‘buah khuldi’ bagi Islam. Musim panas, Sultan Salim III dibunuh. Nasib serupa juga menimpa diri Syaikh Jamaluddin Afghani. Beliau diusir dari Istambul karena kekolotan para ulama. (Maryam Jamilah : 1989, hal 88-89)
Tak ayal, cara-cara emosional para ulama dan Janissari hanya menyiram air panas kemarahan dan dendam golongan terpelajar yang kagum ide-ide revolusi. Penggantinya, Sultan Mahmud bersikap keras terhadap kaum Janissari dan segera mengkampanyekan gerakan Tanzhimat. Yakni model reformasi dan reorganisasi mutlak Barat. Didatangkan ratusan para penasehat militer dari Perancis dan Jerman. Ribuan pemuda Turki dikirim belajar ke Eropa dan bahkan Sultan dengan bangga memamerkan potret dirinya dalam pakaian Eropa dan menjadikannya sebagai pakaian resmi. Perlawanan ini memang adalah reaksi dialektik karena kekolotan Ulama dan kebrutalan kaum Janissari. Namun sejarah membuktikan bahwa reformasi lipstikal ini telah menjadi bom waktu bagi Pemerintahan Turki Usmani.
Prosesi revitalisasi dangkal yang dilakukan ternyata tidak memberikan kontribusi bagi Turki. Militer Turki tetap kalah di pelbagai front. Bahkan pasukan Inggris berhasil menerobos Ankara dan beberapa wilayah Turki lainnya. Sebaliknya, secara signifikan telah lahir generasi muda baru yang telah teralienasikan akal dan fikiran mereka dari warisan Islam. Mereka kemudian menjadi kekuatan politik signifikan Turki. Partai Ittihad wal Taraqi dibawah pemuda cermerlang lulusan Eropa, Mustafa Kemal Pasha berhasil membubarkan Kekhalifahan, mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Repulik sekuler pertama di negeri Islam. (Maryam Jamilah : 1990, hal 91-93)
Kejatuhan simbolik ini memiliki implikasi politik sangat buruk. Umat Islam seperti anak ayam kehilangan induk. Pada dasarnya, sultan terakhir Dinasti Usmani, Sultan Hamid II telah jatuh tahun 1908 namun Gerakan Turki Muda masih tetap mempertahankan simbol institusi politik Islam hingga 1924. Secara psikologis, institusi simbolik ini masih menjadi perekat resistensi spiritual umat Islam melawan imperialis Eropa. Misalnya 1917, Sayyid Asy-Syarif dari gerakan Sanusi di Libya dengan menumpang kapal selam bertolak ke Istambul mencari dukungan politik dan militer dari Pemerintahan Usmani. Namun sayang intrik politik di sekitar birokrasi di Istambul membuyarkan harapannya. Untuk mempercepat keruntuhannya, 1916 Inggris dan Perancis secara diam-diam mempersiapkan skenario pembagian wilayah Arab pasca kejatuhan Turki Usmani dalam perjanjian Sykes Picot. Inggris memprovokasi Gubernur Mekkah Syarif Hussain untuk melawan Usmani dan menjanjikan pemerintahan Islam Arab yang meliputi semenanjung Arab, Lebanon, Damaskus dan Trans-Yordania. Turki menghadapi dua kekuatan sekaligus, pengkhianatan para penguasa Arab dan imperialisme Eropa di beberapa front. 1922, Inggris berkhianat. Syarif Hussain sebaliknya dibuang ke Cyprus. (Ribhi Halloum : 1988 hal 146-164)
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: