KAJIAN SIYASI III: Anarkisme Ilmiah Sekularisme

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 10.11




*Ahmad Dzakirin
Visi sekularisme sebagai  pola  hubungan masyarakat kini menjadi kehendak sosial dan legal. Sebaliknya, konsepsi alternatif yang berpijak pada asas agama dipandang reaksioner. Tuduhan negatif ini tidak pelak mencerminkan otoritarianisme wacana atau ‘primordialisme ilmiah’.  (Topo Santoso : 2000) Walhasil, metodologi ilmiah yang berlaku lebih merupakan justifikasi  ketimbang upaya pencarian kebenaran. Maryam Jamilah mensinyalir kediktatoran ilmiah ini tidak terlepas dari aliansi sistematik Kolonial dengan meninggalkan sekelompok elit pribumi yang teralienasikan dari Islam melalui jalur pendidikan. Mereka ini kelak mewarisi negeri baik secara kultural maupun ideologi pendidiknya. (Maryam Jamilah : 1989) Mengutip Sayyid Qutb, inilah bahaya imperialisme sesungguhnya.(Abu Marzuq :1990)

Dalam seminar reformasi hukum yang dihadiri para ahli hukum kenamaan, muncul usulan ‘pengampuan hukum’. Usulan ini dilandasi pada konsepsi hukum Islam yang mengenal aturan ini dalam kasus pembunuhan. Pihak ahli waris korban pembunuhan memaafkan tersangka dan sebagi gantinya membayar Diyat (ganti rugi) kepada ahli waris. Sontak reaksi menolak dengan berbagai alasan bermunculan dan suasana seminar menjadi gaduh. Beberapa bulan kemudian datang ahli hukum Belanda ke tanah air. Dalam orasinya dia memperkenalkan teori baru dalam dunia hukum, yakni pengampuan bagi terdakwa. Para hadirin menerima pendapat pakar baru tadi dan dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum modern. Dalam kedua kasus berbeda ini, Kualifikasi ilmiahnya suatu wacana tampaknya adalah jika kebenaran itu diungkap oleh akademisi Barat. Sebaliknya tidak jika muncul dari seorang Muslim yang taat kendati secara substantif sama.  

Realitas  sekular tampak menonjol dalam kehidupan kampus di tanah air antara tahun 80 hingga 90-an. Masyarakat kampus tidak terbiasa dididik untuk memahami dan berinteraksi dengan nilai Islam secara benar.  Mereka tumbuh dalam lingkungan dan pola pendidikan yang tidak Islami. Akibatnya,  ekses-ekses negatifpun muncul, seperti:
1.       Sikap berpikir ilmiah yang cenderung sekular.
2.      Kebebasan berpikir yang menafikan nilai-nilai wahyu.
3.      Kegiatan pendidikan yang tidak sesuai dengan nilai keluhuran akhlak.
4.      Kegiatan ekstra kurikuler yang tidak bermanfaat.
(Manhaj Jihaz Tullabi : 1994)

Disisi lain, kultur represi dan depolitisasi yang dikembangkan Rejim  Orde Baru semakin meminggirkan peran partisipatif dan korektif mahasiswa terhadap lingkungan. Ironisnya, implikasi pewarisan semangat tiran yang  ternyata kemudian dimiliki mahasiswa. Perilaku ini tampak jelas dalam praktek orientasi mahasiswa baru oleh para seniornya setiap tahunnya. Para mahasiswa ‘menikmati’ benar kultur otoritarianisme ini -kendati secara konsepsional menentangnya- dan bahkan perlu melembagakannya.  

Ketika  masih kuliah di Fakultas Sastra, penulis diwajibkan mengambil mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern (SPM). Mata kuliah ini adalah bagian dari kelompok MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum). Menilik dari kategorisasinya, jenis mata kuliah ini dimaksudkan untuk membekali mahasiswa dengan pelbagai teori dasar rekonstruksi pemikiran yang berlabel modern. Salah satu teori modern yang dituturkan adalah konsepsi manusia super (Ubermann)nya Nietsze. Dia menegaskan bahwa rekonstruksi masyarakat super harus berpijak pada penciptaan manusia super.  Manusia model ini dapat terwujud jika memenuhi beberapa syarat, dua diantaranya adalah Anti Christ dan Anti Feminism. Logika sederhana kita semestinya bakal menolak teori rekonstruksi ini dalam sudut apapun. Ada banyak kelemahan esensial teori ini. Misalnya, isu Anti Feminism dan anti Tuhan. (Mulyono :1990)

 Teori Nietsze ini jelas lebih merupakan imajinasi sosial ketimbang realitas sosial.  Rekonstruksi masyarakat ideal ini dalam pandangannya dapat diwujudkan dengan eliminasi partisipasi sekelompok besar elemen masyarakat, yakni perempuan. Nietsze memandang lingkup relasi komunal antar pelbagai elemen masyarakat adalah konflik dan perseteruan, bukan keseteraan, keadilan dan humanitas. Jika demikian, manusia bakal menangguk kalkulasi kerugian sosial dan ekonomis besar. Bertalian dengan peran perempuan, Dr. Muhammad Thahhan (2000) hal menegaskan bahwa kebangkitan sebuah ideologi tidak bakal terealisasi jika menganggurkan sebagian besar komponen masyarakat.

Permasalahannya sebenarnya tidak terletak pada content (muatan) filosofis teori tersebut, namun lebih karena hilangnya sikap kritis kita. Akibatnya, kita tidak mampu membuat disparitas antara inspirasi sampah dengan yang bermanfaat. Kita seolah gagap sehingga mengadaptasi semua produk pemikiran tanpa sensitivitas dan selektifitas. Padahal dua komponen tadi adalah keniscayaan bagi intelectual exercise (pembelajaran intektual) kita.  Sementara suara-suara kritis seperti lolongan anjing di padang pasir alias tidak bermanfaat saat menghadapi otoritarian dan anarkisme ilmiah.

Kritisisme Historis Sekularisme


Dalam pandangan Muhammad Qutb (1981), anarkisme ilmiah tercipta karena cara pandang yang keliru mengenai akar sejarah sekularisme. Sekularime tumbuh karena dua faktor utama : Pertama, sebagai fenomena logis ajaran Kristiani yang memberi dua ruang kuasa. Kuasa raja di bumi dan kuasa Tuhan di langit. Hal inilah oleh kalangan Protestan diklaim sebagai etika Kristen yang memberi spirit Renaissance. Kedua, Respon praktek Inkuisisi relijius Gereja dalam membasmi anasir-anasir ‘kemurtadan’ dan heretik di kalangan ilmuwan ilmuwan dan rakyat jelata. Gereja telah menggali lubang kebencian rakyat dan para intelektual dalam waktu sangat lama sehingga menuai benih dendam. Perobohan penjara Bastille sebagai simbol kezaliman bangsawan dan gereja adalah momentum akhir konflik antar keduannya. 

Fakta sejarah inilah yang menimbulkan kebencian dan permusuhan eksesif massa terhadap segala institusi gereja dan simbol-simbolnya dalam kehidupan sosial. Kesumat komunal ini melebar kepada penyingkiran segala agama seiring bangkitnya kolonialisme Baru Eropa pada abad 18. Tidak hanya sekularisme versus gereja, namun juga Islam vis a vis sekularisme. Disinilah kegarangan telah melampaui batas  rasional ketika  diwujudkan pada penolakan membabi buta terhadap Islam dan setiap upaya perwujudannya dalam  politik. Padahal sejarah Islam tidak mengenal pergolakan ala Eropa abad pertengahan.

Eropa telah memaksa umat Islam terlibat dalam pertengkaran internal mereka sehingga seolah-olah kita menghadapi problema domestik serupa mereka. Seperti laiknya seorang tetangga yang memaksa tetangga lainnya bertengkar dengan alasan sang tetangga pertama tadi terbiasa bertengkar dengan isterinya dan anggota keluarga lainnya. Celakanya, karena kita sering mendengar pertengkaran itu saban hari menjadikan kitapun ikut ‘tertarik’  bertengkar dengan kelaurga kita sendiri. Walhasil, diagnosa yang salah itupun menghasilkan upaya kuratif yang salah pula. Akibatnya, propanganda Barat berupa pencapaian ilusif  ideologi ‘pertumbuhan ekonomi dan modernisasi’ tidak mampu direalisasikan di negeri-negeri muslim.  75 tahun sekularisme Turki ternyata tidak mampu mengubah wajah Turki dari statusnya sebagai negara berkembang.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget