*Ahmad Dzakirin
Selat Malaka secara geopolitik penting sebagai jalur laut terpendek antara Samudera India dan Laut China Selatan atau Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak disepanjang garis pantai Thailand , Malaysia dan Singapura di bagian Timur dengan pulau Sumatera dibagian Barat. Selat membentang sepanjang 600 mil laut (900 km) dari titik terlusasnya (sekitar 350 km antara Sumatera Utara dan Thailand) hingga terpendeknya (kurang dari 3 km antara Sumatera Selatan dengan Singapura). Indonesia sendiri memiliki perbatasan pantai yang terpanjang diantara tiga negara pantai lainnya (littoral states) sekitar 400,8 mil laut atau dua pertiga dari total panjang Selat.
Selat Malaka menjadi jalur pelayaran tertua dan tersibuk di dunia. Dengan menjadi jalur laut terpendek di antara dua samudera, Selat Malaka menjadi rute laut yang secara ekonomis paling disukai. Transportasi laut di 2004 mencapai sekitar 70.000 kapal setiap tahunnya, dimana 20.000 diantaranya adalah jenis super tanker. Jika dihitung setiap harinya berarti 200 kapal telah melintasi Selat ini. Secara keseluruhan, Selat Malaka “mewakili 80 persen volume perdagangan negara-negara Asia Pasifik atau setara dengan 25 persen total komoditas perdagangan dunia”.
Selat Malaka secara ekonomis dan strategis penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Timur dan Selatan. Karena, dari total tonase yang melintasi selat dua pertiganya terdiri dari minyak mentah dari kawasan Teluk yang diimpor oleh negara-negara besar seperti Jepang dan
Dewasa ini, perhatian lebih besar pelbagai pemangku kepentingan (stakeholder) tertuju pada manajemen keamanan Selat. Kekhawatiran terbesar berasal dari trend perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata (armed robbery) yang cenderung naik antara 1999-2005. Selat Malaka sejatinya telah menjadi tempat perburuan favorit para perompak sejak lama, namun seiring serangan teroris 9/11/ isu keamanan Selat menjadi lebih sensitive. Laporan IMO (International Maritime Organisazation) menunjukkan bahwa kejahatan maritim mencapai keadaan yang membahayakan. Berdasarkan laporan tahunan IMB (International Maritime Bureau) 2004, terdapat 330 kasus perompakan di dunia, dimana 169 diantaranya dilaporkan terjadi di Selata Malaka dan 68 lainnya terjadi di perairan Indonesia. Ditaksir, kasus yang tidak dilaporkan dua kali lebih besar. (lihat tabel 1)
Kekhawatiran yang muncul adalah jika kejahatan maritim tradisional tersebut diambil alih oleh kelompok teroris demi tujuan politik sehingga akhirnya mengacaukan salah satu jalur laut yang terpenting dunia ini. Namun, beberapa insiden perampokan bersenjata seperti senapan serbu M-16 dan granat diduga kuat dilakukan oleh para mantan anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Hingga kini belum ada aksi perompakan yang secara menyakinkan dapat dikaitkan dengan kelompok teroris.
Tabel 1. Aksi Perompakan di Selat Malaka (Perairan Indonesia ) 2003-2006
Lokasi | 2003 | 2004 | 2005 | 2006 |
Serangan Aktual | 41 | 39 | 15 | 10 |
Upaya Serangan | 34 | 29 | 7 | 9 |
Total | 75 | 68 | 22 | 19 |
Sumber: Laporan Tahunan IMB 2003-2006
Perspektif Berbeda Negara-Negara Pantai (Littoral States) atas Keamanan Selat
Tiga negara pantai, seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura memiliki perspektif yang berbeda atas manajemen Selat untuk mengatasi problem tersebut, meskipun mereka memiliki perhatian yang sama bertalian dengan trend ancaman keamanan yang semakin meningkat di Selat Malaka seperti perompakan, perampokan bersenjata, penyelundupan senjata, obat bius dan manusia secara illegal. Perbedaan tersebut berasal dari perbedaan doktrin maritime dan kepentingan ekonomi yang berbeda.
Perspektif Indonesia:
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat memahami dampak jurisdiksi demikian pula kepentingan fondasi politik yang kuat yang dapat merekatkan kesatuan Indonesia. Indonesia secara unilateral memproklamasikan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 dan lebih jauh mengembangkan konsep Wawasan Nusantara sebagai konsep ideologi yang berbasis kesatuan territorial. Melalui upaya panjang dan gigih, akhirnya deklarasi negara kepulauan Indonesia diakui dalam Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nations Convention for Law of Sea) di 1982. Indonesia dapat dikatakan sebagai pewaris UNCLOS karena melalui ratifikasi traktak tersebut, wilayah EEZ (Exclusive Economic Zone) Indonesia bertambah menjadi 1,566,300 meter persegi diluar territorial laut sebelumnya.
Berdasarkan perspektif ideologinya, Indonesia menunjukkan penolakan RMSI (Regional Maritime Security Initiative) yang diusulkan AS atau sejenisnya yang mengatur tentang manajemen keamanan baru Selat Malaka. Indonesia mencurigai inisiatif tersebut dimaksudkan sebagai upaya internasionalisasi manajemen Selat Malaka dibawah kepentingan hegemoni dan kontrol (sea control and assertion) negara-negara maritime besar (major maritime power). Inisiatif tersebut dipandang berbenturan dengan definisi kedaulatan yang lebih banyak merefleksikan kepentingan dan pembangunan karakter banyak negara-negara Asia pasca kolonialisme. Kedaulatan negara menjadi kewenangan puncak sebuah negara dalam menjalankan kepentingan nasionalnya. Isu kedaulatan menjadi kepentingan utama Indonesia . Oleh karena itu, kepentingan penunjang lainnya semisal ekonomi, keamanan dan sebagainya akan selalu dikaitkan dengan wacana yang secara ideologis terformulasikan kedalam doktrin geopolitiknya.
Dalam Konperensi MIMA 2006, Indonesia berargumen bahwa perhatian keamanan di Selata Malaka yang dipicu oleh insiden perompakan dan perampokan bersenjata harus ditangani dan mengacu UNCLOS. Berdasar pasal 100 UNCLOS, perompakan (piracy) didefinisikan sebagai tindakan kekerasan illegal yang dilakukan di laut bebas (high seas) atau tempat lain diluar wilayah juridiksi sebuah negara, sementara perampokan bersenjata (armed robbery) merujuk artikel 101 dilakukan didalam wilayah territorial sebuah negara atau perairan kepulauan dibawah jurisdiksi sebuah negara, sehingga sangat berkaitan erat dengan locus delictus.
Berdasar definisi tersebut, Indonesia melihat perlakuan hukum yang berbeda dalam manajemen keamanan Selat Malaka. Dalam konteks ‘perampokan bersenjata’ (armed robbery), Indonesia bersikeras bahwa manajemen keamanan harus berada dibawah jurisdiksi nasional Indonesia sementara berkaitan dengan ‘perompakan’ (piracy) yang terjadi di perairan internasional, penanganannya membutuhkan kerjasama internasional.
Problema muncul dari definsi ‘piracy’ yang lebih luas yang digunakan oleh IMB yang mewakili kepentingan para perusahaan asuransi dunia. Definisi ala IMB menjelaskan bahwa perompakan meliputi semua kejahatan baik besar maupun kecil yang dilakukan di lingkungan pelabuhan, perairan territorial (territorial waters) maupun laut bebas (high seas). Definisi tersebut tidak pelak ditolak Indonesia .
Indonesia berpendapat bahwa manajemen keamanan di Selat Malaka pada dasarnya bersifat unilateral. Tetapi atas dasar kebijakan ‘bertetangga dengan baik’, Indonesa mengijinkan aksi trilateral diantara tiga negara pantai (littoral states), Indonesia, Malaysia dan Singapura melalui TTEG (Tripartite Technical Experts Group on Safety of Navigation), atau kerjasama multilateral dalam konteks bantuan teknis dan tukar menukar informasi intelejen.
Oleh karena itu, Indonesia keberatan dengan gagasan partisipasi negara-negara pengguna (user states) dalam mengelola keamanan Selat. Indonesia menegaskan bahwa rejim yang berlaku di Selat Malaka bukan rejim laut bebas. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengabaikan hak Indonesia untuk menjalankan kepentingan keamanannya di Selat Malaka berdasarkan hukum internasional. Partisipasi negara-negara pengguna (user states) yang berkaitan dengan tindakan keamanan harus berada dibawah skema kebijakan dan tindakan keamanan Indonesia karena tanggung jawab keamanan dan keselamatan navigasi tersebut sepenuhnya berada dibawah wewenang Indonesia.
Disamping itu, perhatian keamanan Indonesia didalam negeri lebih difokuskan pada penegakkan hukum laut di Selat Malaka dan peraiaran territorial lainnya karena tingginya aktivitas penyelundupan minyak, pasir, perikanan, kayu, obat bius dan manusia yang secara potensial merusak perekonomian dan lingkungan alam di Indonesia. Sementara itu, terorisme berbasis maritime atau aktivitas prompakan yang dapat menjadi instrument terorisme dipandang langka dan bukan menjadi prioritas utamaIndonesia .
Disamping itu, perhatian keamanan Indonesia didalam negeri lebih difokuskan pada penegakkan hukum laut di Selat Malaka dan peraiaran territorial lainnya karena tingginya aktivitas penyelundupan minyak, pasir, perikanan, kayu, obat bius dan manusia yang secara potensial merusak perekonomian dan lingkungan alam di Indonesia. Sementara itu, terorisme berbasis maritime atau aktivitas prompakan yang dapat menjadi instrument terorisme dipandang langka dan bukan menjadi prioritas utama
Perspektif
Malaysia dan Indonesia mempunyai posisi yang relatif sama berkaitan dengan rencana keamanan maritim yang baru serta ketegasan dalam isu kedaulatan atas Selat tersebut. Di 1971, Malaysia mengklaim bahwa Selat Malaka sebagai bagian perairan territorialnya dan dengan demikian kedudukan Selat tersebut berada dibawah kedaulatan penuh mereka. Dibawah UNCLOS dan peta geografis mereka, Selat Malaka dikategorikan sebagai Selat yang digunakan untuk navigasi internasional. Mereka membaginya menjadi dua kategori. Zona A dibawah rejim Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ), yakni batas lempeng kontinental (continental shelves) antara Indonesia dan Malaysia serta Zona B, batas territorial laut antara Malaysia dan Indonesia . Oleh karena itu, berdasarkan kategorisasi tersebut, segala bentuk proposal bagi internasionalisasi Selat untuk dalih keamanan akan dipandang sebagai ancaman kedaulatan mereka.
Namun pasca Era perang Dingin dan selanjutnya peristiwa 9/11; terdapat tantangan atas doktrin kedaulatan negara yang dipandang sangat penting. Pandangan baru itu menegaskan bahwa kekuatan eksternal memiliki hak untuk melakukan intervensi atas suatau negara yang dipandang tidak mampu atau tidak mau menangani kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan (violent groups), terutama mereka yang menjadi ancaman bagi negara lain di laur batas territorial mereka dengan menggunakan hak ‘serang lebih dahulu’ (pre-emptive strike) yang merupakan kombinasi konsep kedaulatan intervensionis. Dengan doktrin tersebut, -dalam kondisi tertentu, aksi unilateralis dapat digunakan untuk menekan aksi perompakan, terorisme dan pengiriman WMD (Senjata pemusnah massal) di Selat Malaka.
Dalam perkembangannya, AS dan India telah mengerahkan kapal perangnya di Selat Malaka dibawah rejim transit passage. Kapal perang AS dan India terlibat dalam tugas-tugas pengawalan di perairan Selat Malaka, Untuk kepentingan AS, kapal perang India mengawal kapal komersial AS yang konon membawa ‘barang yang bernilai tinggi’ yang sedang melintasi Selat Malaka. Tantangan doktrin keamanan baru di Selat Malaka tak pelak menciptakan ketidaksukaan Indonesia dan Malaysia . Kepala Staff AL Malaysia , Admiral Dato’ Sri Mohd Anwar bin Hj. Mohd Nor memperingatkan bahwa kapal perang asing ataupun kapal pengawal swasta lainnya harus segera menyingkir dari Selat Malaka.”Mereka yang melanggar hukum maritime Malaysia akan dihadapi.” Malasyai mengancam untuk merampas kapal atau menahan kru dibawah UU Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Acts). Menteri Pertahanan Malasyai menegaskan bahwa kerjasama internasional harus menghormati kedaulatan sebuah negara dan dibawah skema tanggung jawab negara-negara pantai (littoral states) untuk menjaga zona keamanannya.
Di sisi lain, pengerahan kekuatan maritime negera-negara besar di Selat Malaka dapat memprovokasi ketegangan baru yang sebelumnya telah terjadi diantara negara-negara tersebut. Jika demikian, tidak pelak akan merusak kepentingan negara-negara pantai (littoral states) dalam menciptakan stabilitas kawasan. Alasan tersebut factual ketika “China menuduh bahwa pengerahan angkatan laut AS di Selat Malaka akan merusak status netral kawasan tersebut dan menciptakan ketidakseimbangan strategis.” Bagi China , kehadiran angkatan laut AS dapat menjadi strategi dua sisi mata uang. Satu sisi ditujukan bagi kepentingan ‘perang melawan terorisme’ namun sisi koin lainnya digunakan untuk mengisolasi China. Dengan ketegangan yang tengah terjadi antara China dan India, China dan AS dalam isu Taiwan, maka kompetisi bagi pengaruh dan kendali atas Selat Malaka yang strategis tak pelak tidak dapat dihindari. Dalam situasi yang demikian, setiap netralitas sangat dibutuhkan demi mencegah dari eskalasi ketegangan.
Namun, diluar kemungkinan terorisme maritime bukan merupakan konsern utama Malaysia karena rendahnya insiden perompakan di perairan teritorialnya, Perdana Menteri Malaysia, Badawi berpendapat bahwa kehadiran dan patroli militer AS di kawasan Selat Malaka dapat menjustifikasi secara ideologis aksi terorisme elemen ekstrimis. Alih-alih, akar lahirnya terorisme harus diselesaikan dan menjadi perhatian serius masyarakat internasional. Penanganan berlebihan hanya akan semakin mendorong kultur terorisme. Sebaliknya, Malasysia melihat bahwa ancaman penyelundupan, imigrasi illegal dan perompakan lebih menjadi konsern Malaysia . Oleh karena itu, penanganan yang holistik dibutuhkan untuk menyelesaikan beberapa isu spesifik tersebut.
Perspektif Singapura:
Singapura mendudukkan dirinya sebagai penghubung keu angan dan ekonomi dimana jantung sector ekonominya sangat bergantung pada kebebasan transportasi kapal-kapal mereka di Selat Malaka. “Kehidupan ekonomi dan kemerdekaan politik Singapura sangat tergantung kepada pemakaian berkelanjutan Selat oleh beberapa kekuatan maritim utama dunia.” Problemnya, Singapura adalah negara pantai sekaligus negara pengguna (user state) utama Selat Malaka. Setiap tindakan baik berdimensi positif maupun negative yang diambil berkaitan dengan penggunaan Selat Malaka akan benar-benar berpengaruh pada keberlangsungan ekonomi dan lebih jauh eksistensi negara tersebut. Misalnya, penutupan yang tiba-tiba Selat Malaka karena insiden pencemaran akan memukul sektor ekonomi Singapura.
Oleh karena itu, perspektif strategis Singapura berkaitan dengan manajemen Selat lebih banyak merefleksikan keinginan untuk menerapkan kebebasan navigasi yang maksimum pada satu sisi dan disisi lain, adanya jaminan jalur komunikasi (Sea Lane of Communication) dan jalur perdagangan (Sea Lane of Trade). Sejak pembentukan TTEG (Tripartite Technical Experts Group on Safety of Navigation), kebijakan maritim Singapura didesain dengan garis besar tersebut. Misalnya, proposal yang saling bertentangan antara singapura disatu pihak dengan Indonesia dan Malaysia dipihak lain tentang regulasi draft maksimum bagi kapal yang melintasi Selat Malaka menunjukkan kepentingan tiga negara pantai yang berbeda dalam konteks pemakaian Selat Malaka.
Ditengah kebangkitan ancaman terorisme, Singapura sangat konsern tentang keamanan navigasi di Selat Malaka dan Singapura. Singapura memprediksikan tentang kerentanan keselamatan sector maritim atas serangan teroris. Kekhawatiran Singapura diperkuat dengan meningkatnya insiden perompakan dan perampokan bersenjata sepanjang 1999-2004 di Selat Malaka yang dijuluki sebagai tempat “perompakan terawan di dunia” demikian pula kaitan yang dimungkinkan antara insiden perompakan dengan aksi kelompok teroris. Terlebih lagi, pemberontak GAM sebelum perjanjian damai Helsinki diteken ditengarai berada dibalik beberapa aksi perampokan bersenjata di ujung utara Selat Malaka. Ancaman terorisme maritim dianggap sebagai ”skenario yang rendah kemungkinannya tetapi berdampak besar” (low probability and high impact scenario) akan sangat mempengaruhi sector ekonomi karena ganguannya atas lalu lintas kapal. Oleh karena itu, isu fundamental bagi Singapura adalah keselamatan transportasi di Selat Malaka dan semua dimensi tersebut harus mencakup isu keamanan juga sebagai bagian integral pembangunan sector keamanan maritim.
Karena rendahnya kapasitas dan keahlian negara-negara pantai, Singapura mendukung keterlibatan pihak ketiga, yakni negara-negara besar dalam penjagaan keamanan dan keselamatan Selat Malaka. Dalam Konperensi Internasional tentang Asia, 2004, Menteri Pertahanan Singapura, Teo Chee Hean mengatakan bahwa manajemen keamanan adlah tugas yang besar dan kompleks untuk menjaga perairan regional menghadapi terorisme maritim. Lebih jauh, Singapura mendukung proposal RMSI (Regional Maritime Security Initative) yang mengijinkan armada angkatan laut AS berpatroli disepanjang Selat Malaka.
Penyusunan keamanan maritime baru dibutuhkan ditengah bangkitnya ancaman terorisme. Meskipun kaitan langsung antara insiden perompakan yang tinggi dengan ancaman terorisme maritime tidak tampak, tetapi semua tantangan baru keamanan maritim dan segala kompleksitasnya saat ini menuntut tanggapan yang kreatif dan inovatif. Pengembangan gagasan, obat ”satu jenis cocok untuk semuanya” tidak relevan lagi oleh karena itu jaringan kerjasama keamanan antar sector diantara pelbagai pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi keniscayaan. Dalam konteks ini, Singapura lebih fleksibel dalam menginterpretasikan ketentuan dalam UNCLOS demikian pula doktrin kedaulatannya. Singapura bergerak lebih jauh menjadi pihak yang menandatangani atau pendukung kerangka keamanan baru seperti Protokol SUA, PSI (Proliferation Security Initiative) dan yang terbaru RMSI. Sikap Singapura lebih mencerminkan perhatian strategis Singapura sebagai negara ‘titik merah’ (red dot state). Untuk itu, kepentingan Singapura selalu berkelindan erat dengan kebebasan maksimum dan keamanan navigasi di Selat Malaka.
Apakah Ancaman Itu Dekat? Konsern yang Sama Namun beda Kepentingan
Angka perompakan dan kejahatan bersenjata di Selat Malaka membuktikan dengan sendirinya. Angka tersebut juga menunjukkan kekhawatian bahwa keamanan navigasi di Selat dalam kondisi yang memprihatinkan. Pelbagai insiden tersebut telah menempatkan Selat Malaka menjadi wilayah perairan yang paling berbahaya setelah Laut Somalia . Akibatnya merugikan para pemilik kapal demikian pula merugikan perekonomian negara-negara pantai. Insiden tersebut telah meningkatkan premi asuransi navigasi dari atau menuju Selat Malaka. Dalam jangka panjang, jika dibiarkan tentu akan merusak perekonomian negara-negara pemilik Selat.
Banyak kerangka keamanan maritim baru yang membutuhkan insiatif ekstra keamanan diperkenalkan. Singapura dilaporkan mengeluarkan ijin bagi Perusahaan Keamanan Swasta untuk menyediakan jasa pengawalan bagi kapal-kapal yang melintasi Selat. Ditengah ketidaksukaan dua negara pantai lainnya, Indonesia dan Malaysia atas operasi ini, inisiatif baru Singapura ini menimbulkan permasalahan tentang status hukumnya berdasar hukum internasional. Analis maritim, Mark Valencia mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia dapat meminta Singapura untuk menarik ijin operasi dan hanya memberlakukan ijin tersebut di wilayah perairan territorial Singapura. Dia lebih jauh berpendapat bahwa inisiatif tersebut berpotensi merusak kedaulatan dan keselamatan navigasi di Selat Malaka.
Hal sama juga pada proposal RMSI Amerika Serikat ini. Proposal ini dipandang sebagai blok pendekatan multilateral yang efektif bagi kerangka keamanan maritim yang baru. Inisiatif ini meliputi penempatan angkatan laut ekstra regional yang berpatroli disepanjang Selat Malaka untuk membantu mengatasi masalah perompakan, terorisme dan pengembangan senjata pemusnah massal, serta penyelundupan senjata, obat bius dan manusia secara illegal. Meskipun AS mengklarifikasi bahwa RMSI bukan inisitiatif unilateral AS dan sebagai tantangan atas kedaulatan tetapi lagi, beberapa negara pantai, khususnya Malaysia dan Indonesia menentang proposal tersebut dan menganggap langkah ini sebagai bagian scenario menginternasionalisasi manajemen Selat sekaligus sebagai proyeksi kekuatan AS di Selata Malaka.
Dalam pembukaan Konperensi MIMA di Kuala Lumpur, 2004, Deputi Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Najib Razak mengindikasikan beberapa pihak diantara negar pengguna (user states) ‘menunggangi’ situasi di Selat Malaka dan memperluas persyaratan dan pengertian pembagian beban (burden sharing) sebagaimana diatur dalam pasal 43 UNCLOS tidak hanya dalam konteks keselamatan (safety) namun juga mencakup pengertian keamanan (security).
Dalam masa yang lama, negara pantai (littoral states) menyerukan perealisasian ketentuan dalam pasal 43 diantara negara pengguna (user states) tetapi selama lebih 22 tahun sejak perjanjian tersebut diratifikasi, hanya Jepang dan kemungkinan akan diikuti China yang menunjukkan perhatiannya dengan membantu negara-negara pantai dalam memperbaiki dan menjaga keselamatan navigasi di Selat Malaka. Negara-negara pengguna (user states) hanya menggunakan pelayanan di Selat untuk kepentingan mereka namun tidak diimbangi dengan kewajiban menyediakan bantuan sebagaimana yang dimaksud pasal 43. Oleh karena itu, perluasan pengertian dan persyaratan dalam pasal 43 dipandang sensitif dan bermotif politis.
Bagi Indonesia sendiri, kucurigaan niat AS di Selat Malaka semakin kuat. Publik Indonesia mempertanyakan mengapa AS tidak mencukupkan diri dengan mencabut embargo senjata atas Indonesia untuk memperbaiki kemampuan militer Indonesia dan membiarkan menangani situasi keamanan di Selat Malaka bersama dengan dua negara tetangga lainnya, Singapura da Malaysia. Indonesia khawatir menajdi front kedua bagi kepentingan AS di Asia Tenggara sehingga harus mengkompromikan kepentinga nasionalnya. Ketidaksukaan tersebut ditunjukkan oleh Menteri Pertahanan Indonesia, Juwono Sudarsono dalam konperensi pers dengan koleganya, (mantan) menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld dalam kunjungannya di Jakarta, Juni 2006. Kunjungan itu sendiri dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan Indonesia atas proposal RMSI.
Sebaliknya, negara-negara pantai (Indonesia dan Malaysia) lebih suka memecahkan problema keamanan navigasi secar trilateral. Sebagai modal, tiga negara pantai (littoral states) telah mempunyai mekanisme untuk menyelesaikan isu tersebut melalui Mertemuan Menteri Tripartite dan badan dibawahnya, TTEG sejak 1971. Pada awalnya, Komite Selat Malaka-Sinagpura pada level senior mendiskusikan perihal kebijakan yang berkaitan dengan Selat semisal dalam konteks UNCLOS, diskusi dengan Jepang, isu tentang IMO dan masalah-masalah lainnya untuk diselesaikan. Tetapi dalam perkembangan mutakhir-sebagaimana yang dikritik Hasyim Djalal-TTEG menjadi tidak aktif dan fungsinya direduksi bersifat teknis. Diharapkan, pertemuan IMO di Jakarta, September 2006 dan diskusi susulan di Kuala Lumpur setelah itu dapat menjadi momentum untuk semakin memperkuat keberadaan TTEG yang diperluas fungsinya. Pertemuan tersebut dapat juga menjadi ajang diskusi dan rekonsiliasi kepentingan antara negara-negara pengguna (user states) dan pihak lainnya dengan negara-negara pantai dalam manajemen Selat dengan mengacu hukum internasional yang berlaku.
Dampak krisis panjang keuangan di 1998 kenyataanya memperlemah kemampuan negara-negara pantai seperti Indonesia untuk memecahkan masalah keamanan di Selat, mulai dari kekurangan peralatan keselamatan dan keamanan navigasi hingga disparitas antara masyarakat miskin pesisiran di kepulauan Riau dan disepanjang Selat dengan tetangganya masyarakat Singapura yang makmur. Setelah krisis, disparitas ini menjadi titik masuk bagi dorongan aksi kejahatan perompakan.
Dampak krisis panjang keuangan di 1998 kenyataanya memperlemah kemampuan negara-negara pantai seperti Indonesia untuk memecahkan masalah keamanan di Selat, mulai dari kekurangan peralatan keselamatan dan keamanan navigasi hingga disparitas antara masyarakat miskin pesisiran di kepulauan Riau dan disepanjang Selat dengan tetangganya masyarakat Singapura yang makmur. Setelah krisis, disparitas ini menjadi titik masuk bagi dorongan aksi kejahatan perompakan.
Disisi lain, perompakan sendiri bukanlah fenomena baru di Selat Malaka. Perompakan atau dikenal dengan sebutan lanun kebanyakan berkaitan dengan kejahatan kecil-kecilan yang secara tradisional menjadi gaya hidup dan pekerjaan musiman bagi Orang laut yang tinggal disepanjang Selat untuk menambah penghasilan. Mereka mencuri dengan kekerasan di area dekat Teluk Singapura dan biasanya menargetkan kapal-kapal kargo. Tetapi, mereka jarang membunuk awak kapal meskipun menggunakan pistol dan senjata mesin. Dalam banyak kasus, insiden semacam itu diketahui oleh polisi dan diduga melibatkan otoritas pelabuhan setempat.Namun dalam perkembangannya, perompakan dan kejahatan bersenjata semakin terorganisir dan dispersenjatai dengan baik. Tipe kejahatan tersebut berasal dari kelompok gang yang beroperasi di Indonesia, Malaysia atau Singapura.
Dari perspektif diatas, isu keamanan lebih banyak merefleksikan baik urusan domestic Indonesia atau dua negara lainnya, yakni Malaysia dan Singapura ketimbang domain isu internasional. Terlebih lagi, status Selat Malaka termasuk dalam rejim transit passage atau selat yang digunakan untuk navigasi internasional (pasal 43 UNCLOS). Namun problemanya berasal dari respon yang sangat lambat dari negara-negara pantai dan kurangnya sikap bersama diantara ketiga negara pantai tersebut dalam merespon isu karena perbedaan kepentingan.
Deskripsi diatas menjelaskan bahwa penyelesaian isu keamanan di Selat Malaka dapat dicapai dengan memperkuat kerjasama antara negara-negara pantai dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kerangka kerjasama keamanan yang lebih terkordinasi di Selat pada satu sisi dengan perbaikan dan bantuan penguatan kapasitas (capacity building) antara negara pantai (littoral states) dengan negara pengguna (user states). Upaya mutual tersebut akan memperkuat kepercayaan dan kerjasama antara negara pantai dengan negara pengguna. Keamanan dewasa ini seharusnya menjadi kepentingan bersama negar-negara pantai (coastal states) dengan merekonsiliasi perbedaan ditengah ancaman bola salju internasionalisasi Selat bagi Indonesia dan Malaysia serta gangguan bagi jantung ekonomi Singapura. Ketiga negara pantai tersebut seharusnya terbuka untuk mencari kerangka kerjasama keamanan yang lebih tepat sehingga mampu menghadapi tantangan dan ancaman keamanan di Selat Malaka seperti melihat kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dibawah skema hukum internasional dan prinsip penghormatan kedaulatan nasional.
Maju Kedepan: Upaya Membangun Saling Kepercayaan
Maju Kedepan: Upaya Membangun Saling Kepercayaan
Sebagai pertimbangan, ketiga negara pantai (coastal states) sebelumnya telah memperkuat kerjasama dan upaya membangun saling kepercayaan. Persepsi keamanan yang berbeda antara negara pantai dan negara pengguna seharusnya tidak menghalangi kerjasama antar keduanya. Problema yang dihadapi dalam penanganan Selat jauh lebih kompleks dari sekedar isu keamanan sendiri, karena didalamnya mencakup isu depresi lingkungan karena penagkapan ikan yang tidak terkendali, pencemaran yang cenderung meningkat, pembuangan limbah, penyingkiran bangkai kapal hingga lemahnya keselamatan dan keamanan navigasi.
Negara-negara pantai (littoral states) mengusulkan penyelesaian yang lebih komprehensif dan lebih menstrukturkan kerjasama diantara negara-negara pantai dan negara-negara pengguna berbasiskan kerangka kerja institusional yang seperti:
1. Tripartite Ministerial Meeting atas Selat Malakaa berikut badan pendukungnya Tripartite Technical Expert Group (TTEG) untuk Keselamatan Navigasi,
2. Pernyataan Bersama tentang Selat Malaka, 1971 dan,
3. Pasal 43 UNCLOS.
Tetapi permasalahannya adalah apakah kerangka kerja 1971 yang ada sekarang dapat secara memadai dapat menyelesaikan situasi kompleks yang ada di Selat Malaka ditengah semakin pesatnya industri dan kepentingan maritim pelbagai negara pengguna (user states) dewasa ini. Jawabannya terletak pada pelbagai langkah maju untuk secara lebih luas menginterpretasikan ‘tindakan penguatan maritim’ sehingga secara lebih menyakinkan dapat menjawab tantangan dan dinamisme perkembangan maritim dalam batas-batas penghormatan kedaulatan territorial setiap negara. Dengan demikian, menjadi penting sekali mengurangi kecurigaan bahwa setiap upaya pembuatan kerangka kerjasama keamanan maritim yang baru akan dipolitisir. Oleh karena itu, ketidaksepakatan panjang yang butuh segera diatasi adalah perwujudan segera tanggung jawab sosial diantara pemangku kepentingan dengan perealisasian kewajiban pembagian beban (burden sharing) seperti yang diatur oleh UNCLOS.
Sebagai gantinya, negara-negara pantai harus mengambil peran utama untuk menjamin keamanan di kawasan Selat Malaka. Negara-negara pantai harus mengimplementasikan kebijakan yang lebih tegas untuk mengurangi jumlah perompakan dan insiden kejahatan bersenjata. Langkah tersebut dapat berdampak pada keraguan diseputar kemampuan negara-negara pantai dalam menjamin keamanan di Selat demikian pula sejak dini menghalangi pelbagai kemungkinan keterkaitan insiden perompakan dengan kegiatan kelompok-kelompok teroris.
2 Komentar
artikelnya bagus sekali..... sayang tidak ada daftar pustakanya jadi tidak mengetahui sumber data.
Posted on 28 Januari 2016 pukul 00.11
sumber pembahasan nya bisa di share dong
http://www.marketingkita.com/2017/08/wilayah-pemasaran-dalam-ilmu-marketing.html
Posted on 14 Agustus 2017 pukul 01.40
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: