*Stephen Glain
Perang geopolitik yang tidak simetris tengah terjadi di jantung Yahudi Amerika. Selama puluhan tahun, kelompok konservatif yang dipimpin American-Israel Political Affairs Committee (AIPAC) mengklaim dirinya sebagai wakil komunitas Yahudi Amerika. Namun untuk pertama kalinya, klaim tersebut menghadapi tantangan serius. Sejak dua tahun silam, J Street telah menjadi wadah bagi kelompok Yahudi liberal dalam mengekspresikan pandangan politiknya berkaitan dengan hubungan Israel-Amerika. Dalam pandangan J Street, kemampuan survive Israel sangat tergantung kepada kemampuan Israel dalam ber-koeksistensinya dengan para tetangganya. Jika tidak, Israel akan terjebak dalam model ghetto ciptaannya sendiri.
Ketika pemerintah Israel mengabaikan upaya damai Presiden Barack Obama dengan mengumumkan rencana pembangunan perumahan di Yerusalem Timur maka tak pelak Joe Biden yang sedang melakukan lawatan ke Israel mengecam rencana itu. Dia menyebut rencana itu sebagai gangguan yang tidak dapat ditoleransi.
Penolakan Israel atas tekanan AS bukanlah hal yang baru. Namun baru kali ini Amerika memiliki keberanian untuk menyatakan kemarahan. Setelah beberapa saat berita itu sampai ke media, J Street, kelompok pro Israel yang pro perdamaian, menerima 18 ribu dukungan di laman mereka perihal kebijakan politik Timur Tengah Obama. “Ada mayoritas Yahudi Amerika yang membentuk lembaga moderat dan menginginkan Israel survive,” ungkap kordinator media J Street, Amy Spitalnik. “Kami ciptakan wadah buat mereka”. “J Street harus berhasil”, seru veteran perang lobby Israel. “Tidak boleh gagal jika tidak kesemuanya yang tersisa akan jatuh.”
Sementara banyak pihak yang meremehkan pengaruh J Street atau kelompok lobby sejenisnya dalam mempengaruhi kebijakan AS di Timur Tengah. Dalam pandangan mereka, “menciptakan wadah” bagi Yahudi liberal di Amerika kurang penting ketimbang menghadapi fakta lapangan di Palestina. “Saya tidak hendak berilusi bahwa tidak ada satu organisasipun yang dapat menciptakan banyak perubahan”, ungkap Aaron David Miller dari Woodrow Wilson International Center yang pernah bertugas sebagai penasehat Deplu untuk urusan Timur Tengah. “Peluang damai tidak dapat ditentukan oleh politik domestik semata namun juga prospek sukses perjanjian antara Arab dan Israel.”
Organisasi pro Israel liberal bukanlah hal baru bagi Washington. Ada American for Peace Now dan New Israel Fund sebagai lembaga non profit yang membatasi aktivitas mereka untuk memberikan edukasi kepada para legislator dan para pembuat opini tentang urusan Israel. Sementara J Street terdaftar sebagai komite aksi politik yang memfokuskan kepada kampanye politik dan dukungan atas kandidat. Tahun ini, kelompok ini menganggarkan 1 juta dollar untuk mendukung 60 kandidat dalam pemilu sela. J Street mengoperasikan bujet 4,5 milyar dan memiliki 40 staff yang bekerja secara penuh. J Street mengklaim memiliki 150 ribu pendukung dan 7000 diantaranya berkontribusi secara rutin dalam kegiatan organisasi.
Performan J Street lebih menonjol sebagai kelompok oposisi. AIPAC sejak lama dikenal sebagai salah satu kelompok lobby paling efektif di Washington. Kelompok ini memiliki bujet 60 juta dollar dan 300 karyawan. Kemampuannya mempengaruhi dan memaksa anggota konggres menjadi legenda tersendiri. Para pelobi AIPAC dikenal dalam menyiapkan rancangan UU yang membela kepentingan Israel dan meloloskan draf tersebut dengan dukungan besar. Pertemuan tahunannya selalu dihadiri setidaknya separo anggota Konggres. Kelompok lobby Yahudi ini juga sukses bersekutu dengan gerakan Kristen- Zionis di Amerika, termasuk Christian United for Israel di San Antonio yang memiliki tidak kurang dari 19 ribu jamaah.
Jika ada pertarungan antara AIPAC dan J Street maka pertarungan ini sedikit dibawah perang para raksasa ketimbang Tom dan Jerry. Dengan memanfaatkan teknologi internet, J Street menyampaikan pandangannya yang banyak bertentangan dengan kebijakan garis keras Israel secara nasional. Selama perang Gaza, Desember 2008, legislator Donna Edward dari Maryland adalah salah satu anggota legislatif yang berani menolak mendukung resolusi hak Israel membela diri. Dia sangat kecewa dengan respon Israel yang tidak proporsional atas provokasi Palestina. Karena tersinggung dengan tindakan Edward (dan 21 anggota legislatif lainnya yang menentang arus utama di konggres), maka para pemimpin lokal Yahudi menyatakan penolakan atas pencalonannya kembali sebagai legislator. Menghadapi hal ini, J Street segera menggalang dukungan bagi Edward dengan dana kampanye 30 ribu dollar yang didapat dalam 48 jam.
J Street juga mengorganisir tur anggota Konggres ke Israel untuk menandingi cerita versi pemerintah Israel. Di Februari, sekelompok anggota Konggres dari Demokrat membuat headline selama kunjungan mereka yang disponsori J Street karena Deputi Menlu Danny Ayalon menolak menemui mereka. William Delahunt, anggota Konggres dari Massachusetts yang memimpin delegasi menyebut keputusan tersebut sebagai “kejutan nyata yang mengecewakan”. Dia secara implisit marah kepada Ayalon karena secara terang-terangan menyatakan J Street anti Israel. “Ini tidak bijak bagi siapapun untuk menyatakan ketidaksetujuannya tentang bagaimana mewujudkan tujuan dan kepenting bersama yakni meraih perdamaian dan keamanan serta salah merepresentasikan perbedaan dengan mempertanyakan dukungan dan perhatian atas Negara Israel sendiri.”
Tanggapan Delahunt adalah cerminan pesan yang paling berani dari J Street bahwa kelompok konservatif tidak seepnuhnya mewakili simpati Yahudi Amerika. Menurutnya, langkah mereka hanya memperpanjang kepentingan jangka panjang pendudukan Israel. Melalui penggunaan data polling agresif kelompok ini menunjukkan bahwa dukungan atas kebijakan Obama dikalangan Yahudi Amerika meningkat 15 persen lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional. Mayoritas Yahudi Amerika menentang pembangunan pemukiman dan lebih jauh mendukung peran kuat AS dalam proses perdamaian Arab-Israel yang ditentang AIPAC dan sekutunya secara implisit. Kebanyakan Yahudi setuju kritik terbuka Obama atas pemerintah Israel karena dianggap menghalangi proses damai. (polling juga menunjukkan bahwa Israel bukan tempat nyaman bagi Yahudi dan menduduki ranking 8).
“Masyarakat capek dengan pendekatan anda bersama kami atau melawan kami,” tutur pendiri J Street kepada New York Times di Mei. Mayoritas Yahudi Amerika mendukung presiden, mendukung solusi dua negara dan merasa tidak terwakili oleh organisasi yang menuntut ketaatan mutlak atas pemerintah Israel. Pernyataannya dipublikasikan dalam sebuah buku yang bertutur tentang konstituensi yang terus bergerak dikalangan pendukung Israel yang menolak “dukungan refleksif mahzab lama atas kebijakan negara tersebut”. Pandangan baru itu menegaskan bahwa orang tidak harus menjadi budak kebijakan Israel untuk mencintai Israel. Langkah J Street tak pelak dianggap sebagai tindakan kudeta.
Dalam beberapa tahun, kelompok seperti AIPAC sering bekerja diam-diam atau melalui pihak ketiga mengadopsi taktik melawan para pengkritik Israel. Para legislator mengeluhkan –biasanya disampaikan off the record- cara arogan yang ditunjukkan AIPAC dalam menuntut dukungan atas mereka. Di 2006, ketika para ilmuwan seperti John Mearsheimer dan Stephen Walt menulis artikel provokatif yang menuduh lobby Yahudi dengan keji memanipulasi kebijakan luar negeri AS, maka mereka melakukan serangan balik. (Liga Anti Penistaan, kelompok Yahudi konservatif menyebutnya sebagai analisis anti Yahudi yang menggambarkan cerita palsu tentang kontrol Yahudi). Mereka juga menyerang sejarahwan Tony Judt yang menyerukan pentingnya Negara Palestina. Sebelumnya AIPAC memaksa mundur Chas Freeman, pejabat karir Deplu yang paham dunia Arab dan pengkritik Israel yang sebelumnya ditawari jabatan sebagai kepala keamanan nasional.
Sementara itu, Netanyahu telah menguji batas hubungan AS-Israel seperti halnya para pemimpin Israel sebelumnya. Selain dia ceroboh dalam menyambut kunjungan Wapres Biden, dia juga memanggil pembantu Gedung Putih David Axelrod dan Rahm Emanuel sebagai “Yahudi yang membenci dirinya sendiri”. Selain karena sikapnya yang anti Arab (banyak yang mengatakan dia fasis), penolakan Avigdor Lieberman atas kemerdekaan Palestina telah menyingkirkan beberapa Zionis Yahudi Amerika yang paling loyal sekalipun.
Meski demikian, J street juga membuat beberapa langkah yang salah dan mengecewakan kalangan liberal karena rekomendasi kebijakannya yang tidak benar-benar memisahkan diri dari AIPACism. J Street mendukung langkah AIPAC yang menyerukan para pemimpin Arab untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel tanpa mempermasalahkan aktivitas pemukiman Israel. J Street juga mendukung sanksi tambahan bagi Iran di Konggres dan mengecam laporan komisi HAM PBB yang menyimpulkan baik Israel dan Palestina terlibat dalam kejahatan selama invasi Gaza sebagai “Bias dan berat sebelah.”
Akan tampak tidak konsisten memuji independensi J Street sementara kelompok lobby ini tidak secara konsisten pula berada di jalur liberal. Jika melihat ekologi politik yang ada di Washington, kelompok ini kelihatan banyak mengalami kesulitan. Kelompok ini memang mendukung Palestina merdeka dengan perbatasan sebelum 1967 dan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya. Namun dalam perspektif Timur Tengah, kelompok ini dianggap tidak memberikan kemanfaatan sama sekali didalam Palestina.
Karena kebiasaan Washington mendomestikasi isu luar negeri, maka pemberitaan media tentang J Street banyak berfokus kepada implikasi politik karena menentang tata aturan kelompok konservatif. Pertarungan kedua kelompok tersebut layaknya seperti J Street Jalud versus Daud. Yang tidak diuji adalah semakin meningkatnya ketidakrelevanan salah satu kelompok karena realitas yang kini terjadi di Timur Tengah. Pada satu sisi, Palestin yang terbelah dari dalam dan terbalkanisasi dari luar sementara disisi lain kultur politik kanan Israel yang semakin meningkat namun disfungsional dari proses damai yang diinginkan Washington. Jurnalis Palestina Ali Abunimah menyebut, “J Street dianggap merepresentasikan pergeseran tektonik namun tetap dalam paradigma proses damai sehingga tidak menantang sama sekali.” Kelompok J Street mungkin berenergi namun hanya mampu sedikit melakukan perubahan.
*Mantan jurnalis News Week dan Wal Street Journal selama 10 tahun, kini menjadi penulis lepas
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: