*Ahmad Dzakirin
Dr. Yusuf Qardhawi dalam karyanya “Fiqhul Aulawiyyat” (1995) menegaskan bahwa pemuda atau mahasisiwa menempati prioritas utama dalam perubahan menuju tatatan masyarakat Islami sebelum elemen lainnya. Dalam piramida perubahan, mereka menempati strata teratas yang bercirikan kecil secara kuantitas namun besar dalam kualitas perubahan (agent of change). Dr. Fathi Yakan dalam ‘As-Syabab Wat Taghyir’ (1990) berkesimpulan,” Setiap ideologi revolusioner dunia selalu menjadikan pemuda dan mahasiswa sebagai tulang punggung perubahan.” Keberhasilan pelbagai revolusi besar dunia telah melibatkan mahasiswa baik sebagai ideolog maupun sebagai motor ideologi. Di Perancis, Mahasiswa dan kalangan intelektual UniversitasParis berperan besar dalam menumbangkan tiranisme monarki sekaligus menandai babak baru Eropa modern. Menyusul di Inggris, mahasiswa Universitas Oxford berhasil memaksa raja untuk taat konstitusi ‘baru’ dan menjadikannya semata sebagai simbol kenegaraan.
Dr. Yusuf Qardhawi dalam karyanya “Fiqhul Aulawiyyat” (1995) menegaskan bahwa pemuda atau mahasisiwa menempati prioritas utama dalam perubahan menuju tatatan masyarakat Islami sebelum elemen lainnya. Dalam piramida perubahan, mereka menempati strata teratas yang bercirikan kecil secara kuantitas namun besar dalam kualitas perubahan (agent of change). Dr. Fathi Yakan dalam ‘As-Syabab Wat Taghyir’ (1990) berkesimpulan,” Setiap ideologi revolusioner dunia selalu menjadikan pemuda dan mahasiswa sebagai tulang punggung perubahan.” Keberhasilan pelbagai revolusi besar dunia telah melibatkan mahasiswa baik sebagai ideolog maupun sebagai motor ideologi. Di Perancis, Mahasiswa dan kalangan intelektual Universitas
Pun ditanah air, mahasiswa kembali membuktikan dirinya sebagai kekuatan utama perubahan. Kendati secara kuantitatif, kekuatan mahasiswa hanya satu persen atau 2 juta dari 200 juta seluruh total populasi Indonesia . Namun sayang, hingga kini gerakan mahasiswa belum mampu mereformulasi gagasan perubahan dalam aras entitas politik. Catatan dari dua revolusi mahasiswa, Kelemahan utama gerakan ini tampaknya adalah dalam kemampuan mengorganisasi diri pasca revolusi. Kalangan mahasiswa sering kali gagap sehingga cita-cita revolusi mahasiswa yang ditandai penumbangan kekuasaan beralih kendali. Dua kali revolusi mahasiswa menuai kegagalan karena ketidakmampuannya mengkonsolidasikan gagasan-gagasan perubahan. Gerakan mahasiswa mengalami fragmentasi kepentingan dan polarisasi ideologis.
Dalam revolusi pertama 1966, Peluang ini dimanfaatkan Suharto. Dia melalui instrumen Angkatan darat mampu mengendalikan kemudi kekuasaan pasca jatuhnya rejim Soekarno. Akibatnya, Ide revolusi mahasiswa 1966 yang berpijak pada prinsip demokrasi, kebebasan dan penentangan dominasi komunisme bergeser. Disepanjang satu dasawarsa, Soeharto mampu menumbangkan lawan-lawan politiknya dengan mengadaptasi filosofi Jawa dan militer. Mei 1998, Soeharto ditumbangkan gerakan mahasiswa. Cita-cita gerakan reformasi kembali bergeser. Gus Dur tidak berhasil mengemban amanat reformasi. Korupsi, kolusi dan nepotisme baru kembali tumbuh dan bahkan lebih menggila. Muncul trend baru yang tidak dikenal dalam pemerintahannya sebelumnya, rakyat dihantui ancaman represivisme sipil. Yakni mobilisasi semi militer kekuatan-kekuatan sipil untuk kepentingan politik penguasa. Mereka dijadikan political bargain para elit politik. Di balik itu, militer melirik jeli kemungkinan-kemungkinan kembali berkuasa jika anarkisme sipil terjadi.
Dalam dua kasus ini, gerakan mahasiswa semata berfungsi sebagai ‘connecting bridge’ ambisi politik elit-elit politik tertentu. Harian Kompas secara cerdik memparodikan fragmen ini dalam rubrik kartun ‘Om Pasikom’. Digambarkan mahasiswa sedang menorehkan tulisan ‘Reformasi’. Ketika tulisan setengah jadi dan bahkan hampir selesai maka segera berduyun-duyun puluhan orang dengan membawa kaleng cat masing-masing berebut membantu mahasisiwa. Sang mahasiswa terbengong-bengong sehingga tidak meneruskan tulisannya. Maka tepat ungkapan Eep Saefullah Fattah, mahasiswa pintar membuat aksi namun miskin merekontruksi visi dan agenda.
Dalam revolusi pertama 1966, Peluang ini dimanfaatkan Suharto. Dia melalui instrumen Angkatan darat mampu mengendalikan kemudi kekuasaan pasca jatuhnya rejim Soekarno. Akibatnya, Ide revolusi mahasiswa 1966 yang berpijak pada prinsip demokrasi, kebebasan dan penentangan dominasi komunisme bergeser. Disepanjang satu dasawarsa, Soeharto mampu menumbangkan lawan-lawan politiknya dengan mengadaptasi filosofi Jawa dan militer. Mei 1998, Soeharto ditumbangkan gerakan mahasiswa. Cita-cita gerakan reformasi kembali bergeser. Gus Dur tidak berhasil mengemban amanat reformasi. Korupsi, kolusi dan nepotisme baru kembali tumbuh dan bahkan lebih menggila. Muncul trend baru yang tidak dikenal dalam pemerintahannya sebelumnya, rakyat dihantui ancaman represivisme sipil. Yakni mobilisasi semi militer kekuatan-kekuatan sipil untuk kepentingan politik penguasa. Mereka dijadikan political bargain para elit politik. Di balik itu, militer melirik jeli kemungkinan-kemungkinan kembali berkuasa jika anarkisme sipil terjadi.
Dalam dua kasus ini, gerakan mahasiswa semata berfungsi sebagai ‘connecting bridge’ ambisi politik elit-elit politik tertentu. Harian Kompas secara cerdik memparodikan fragmen ini dalam rubrik kartun ‘
Platform Gerakan Mahasiswa Muslim
Gerakan mahasiswa harus merupakan subtitusi dan sekaligus komplemen gerakan besar revivalisme Islam dunia. Gerakan ini hendaknya bekerja dalam domain ini. Dengan demikian cap ‘lonely fighter’ tidak terjadi. Gerakan mahasiswa adalah sektor parsial namun strategis karena berkaitan visi kedepan dan kepentingan pragmatis dalam perealisasian sasaran Islam. Mungkin muncul kendala perbenturan antara kepentingan jangka panjang dengan pencapaian kepentingan-kepentingan pragmatis. Namun dengan konsepsi domain Islam dan pemahaman utuh atas realitas global, permasalahan tadi dapat direduksi. Gerakan mahasiswa muslim hendaknya lebih mengedepankan kepentingan jangka panjang berupa pernyiapan infrastruktur kokoh. Namun disisi lain, tetap menjaga kepedulian secara terukur sehingga tidak kehilangan akar sosialnya. Setidaknya ada tiga peran strategis yang dapat diperankan gerakan mahasiswa Muslim dalam mengakomodasikan dua kutub tadi, yakni kepentingan kedepan berupa penyiapan infratruktur yang kokoh dan peduli politik sehingga tidak kehilangan misi dan akar sosialnya.
1. Peran Dakwah
Peran ini menduduki posisi teramat penting. Pada hakekatnya, seorang muslim sebelum menjadi yang lainnya adalah seorang da’i (penyeru). Allah SWT berfirman dalam surat al-Imron : 110 : “Engkau adalah umat terbaik (Khoiru Ummah) yang dilahirkan ditengah-tengah manusia untuk memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah.” Atribusi dan identifikasi Khoiru Ummah beriring dan berkelindan dengan pembebanan peran konstruktif (Ishlah) dan misi humanisme Rabbani, yakni Al Amru Bil Ma’ruf Wan Nahyu Anil Munkar. Karenanya, semangat reformatif (Islah) ini mewarnai aktivisme sosial dan politik umat Islam di pelbagai belahan dunia disepanjang 14 abad.
Dr. Fathi Yakan dalam ‘Syabab Wat Taghyir’ (1990) mencatat ada tiga sasaran ideologi praksis Islam. Pertama, membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama menuju peribadatan kepada Allah semata (tauhidullah). Allah SWT berfirman “Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan Shalat dan menunaikan zakat dan dengan demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah:5) Dalam Hadist Nabawi, Rasulullah bersabda : ”Aku diperintahkan supaya memerangi manusia hingga mereka mengakui bahwa tidak ada Illah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah dan supaya mereka menegakkan Shalat dan menunaikan zakat. Apabila yang demikian telah mereka lakukan , maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku sedangkan perhitungan mereka terserah Allah.” (HR. Shahih Bukhari). Kedua, Mengganti kepemimpinan yang berdiri diatas azas Jahilliyah menuju kepemimpinan Islami. “Dan Allah telah berjanji kepada orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa dia sungguh-sungguh kan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh-sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesuadah janji itu, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (An-Nur, 24:55). Di surat dan ayat lain, Allah berfirman, “sesungguhnya bumi ini aku wariskan kepada hamba-hamba-Ku yang shalih.” (21:105) Ketiga, Merekonstruksi masyarakat Islami. Sayyid Qutb menjelaskan dalam ‘Ma’alim Fit Thariq’ (1990) bahwa masyarakat Islam bukan masyarakat yang secara kuantitas muslim, namun masyarakat yang secara aqidah (sistem), fikrah (pemikiran), perilaku (akhlaq) dan cita rasa (syu’ur) dibawah bimbingan nilai-nilai Illahiyyah.
Perannya sebagai Da’i, mahasiswa muslim senantiasa diliputi kegairahan yang meluap-luap merealisasikan ketiga tuntutan perubahan tadi. Subyek Dakwah adalah masyarakat muslim maupun non-muslim. Salah satu timbangan keberhasilan dakwah adalah sejauh mana gerakan mahasiswa mampu berinteraksi, mensosialisasikan gagasan Islam secara efektif dan berkesinambungan kepada masyarakat. Dus, berarti membutuhkan perencanaan matang dan peneladanan diri. Jika demikian, gerakan mahasiswa muslim -Insya Allah- tidak akan kehilangan akar sosialnya seperti laiknya ikan yang keluar dari air. Disisi lain, juga bukan representasi gerakan elitis sehingga kehilangan spirit populisme.
2. Cadangan Keras (Iron Stock)
Sesungguhnya perubahan menuju masyarakat Islami membutuhkan tersedianya sumber daya manusia yang memadai. Kampus sebagai medium pembinaan SDM masa depan patut dan sudah selayaknya dimanfaatkan secara optimal. Kampus hakekatnya adalah representasi wahana penggodokan calon-calon pemimpin bangsa di segala bidang baik dalam lingkup organisasi massa , politik, industri, birokrasi, lembaga profesi, litbang maupun yang lainnya. Para aktivis dakwah dituntut mengaktualisasikan kiprah keilmuannya dengan prestasi akademis maksimal. Dalam terminologi Syaikh Sa’id Hawwa (1990), upaya pencapaian ini merupakan wajibat zamani yang bersifat fardhu ‘ain bagi personal yang berkecimpung didalamnya maupun fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Artinya, satu aspek dalam tatanan masyarakat islami dapat diwujudkan jika terpenuhinya sejumlah tenaga yang berkualifikasi maka ketiadaan SDM tadi secara memadai menjadi beban dosa sosial dan individual. Misalnya, disebuah komunitas muslim dibutuhkan lima tenaga medis sedang tenaga yang tersedia baru tiga orang. Seorang lainnya dalam proses studi. Maka ketiga orang tadi dikenai beban kewajiban yang bersifat individual (fardhu ‘ain) untuk berhidmat dalam masyarakat sesuai dengan kapasitas ilmunya. Pun satu orang yang tengah studi berkewajiban menyelesaikan studinya dengan baik dan kemudian berhikmad dalam masyarakat. Adapun kekurangan satu tenaga medis lainnya merupakan beban kolektif komunitas muslim (fardhu kifayat).
Pemenuhan SDM memadai adalah prasyarat mutlak dalam mewujudkan ‘masyarakat alternatif’ yang diidamkan. Kepedulian aktivis dakwah kampus dalam peningkatan prestasi akademis merupakan bagian dari prosesi tarbiyah (pengasuhan) yang membutuhkan kesabaran, kecermatan dan kalkulasi proyektif timbangan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Dalam konteks ini, kita perlu belajar dari Ikhwan. Ditengah represi rejim Mesir, mereka mampu mengonsolidasikan diri dan bekerja dalam lingkup lain ketika pintu politik tertutup. Ikhwan kini melalui kadernya mampu mengendalikan hampir seluruh asosiasi atau sindikasi profesional di Mesir. Hanya ada dua sindikasi yang tidak dipenetrasi Ikhwan karena alasan moral agama, yakni sindikasi musik dan film.
3. Unsur Perubah (Anashiruth Taghyiir)
Komitmen perbaikan dan penghargaan terhadap kemanusiaan adalah nilai-nilai universal yang diterima oleh beragam peradaban manusia dengan pelbagai latar belakang ideologisnya. Sesungguhnya produktivitas Islam terletak pada kemampuannya yang adaptif dan aspiratif atas aktualisasi nilai-nilai tadi. Keselarasan ini tentunya berlatar pada originalitas Islam sebagai risalah samawi yang inheren dengan fitrah manusia. Misi perbaikan dalam melindungi masyarakat inilah yang selalu menumbuhkan dinamika sosial dan politik kaum Muslimin di sepanjang sejarahnya. “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (9:129)
Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bersemangat dan berpartisipasi aktif dalam merealisasikan Hilf Fudhul pada masa Jahilliyyah, yakni ikatan perjanjian untuk melindungi Madzlum (pihak yang terzalimi). Kendati semangat ini mesti ditebus dengan perang Fijar yang menelan banyak korban. Oleh karenanya, beliau sendiri kemudian melegislasikan semangat ini dalam masa Islam. Pada saat di Madinah, Rasulullah menegaskan seandainya musyrikin Quraisy mengajaknya merealisasikan semangat ini, niscaya beliau akan menyambutnya dengan suka cita. Pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa substansi Islam akan kehilangan makna jika tidak diwujudkan dalam pembelaan terhadap yang lemah, menyingkirkan kezaliman dan tegak diatas komitmen tersebut. Rasulullah SAW menolak keras tawaran bergabungnya para pemuka Jahililiyyah dalam barisan Islam karena syarat mereka yang tidak dapat ditolerir Islam. Yakni, menyingkirkan kalangan dhua’afa dari majelis beliau. Peristiwa ini melatarbelakangi turunnya ayat 28 surat Al-Kahfi. Dalam Islam, resistensi puncak atas kezaliman dipandang sebagai puncak keutamaan Jihad. Dan jihad sendiri adalah puncak pengabdian (ibadah) seorang muslim.
Kontektualisasi makna ini bagi aktivis kampus adalah bahwa kampus merupakan entitas ide yang merepresentasikan semangat Ishlah dan sekaligus entitas aksi. Kepedulian aktivis Dakwah dalam mengangkat isu-isu memiliki dua kepentingan strategis : Pertama, komitmen perbaikan mondial (responsif terhadap masalah sosio-kultural dan tidak absolutely ideology-oriented) yang ikhlas dan tidak anarkis. Kondisi ini secara eksternal dapat mengurangi ketegangan ideologis. Sasaran dari strategis ini adalah realitas pemahaman bahwa dakwah kampus merupakan salah satu sub-sistem dari sistem dan pentahapan waktu perbaikan yang bersifat menyeluruh dan periodik. Tentunya kepentingan menjaga tunas bagi kepentingan kokohnya basis inti (Qoidah Sholbah) lebih diutamakan ketimbang kepentingan politik sesaat. Kedua, menangguk simpati mahasiswa secara keseluruhan dan birokrasi kampus. Penciptaan front ideologis hanya akan menebalkan lingkaran-lingkaran ketidakpedulian dan permusuhan dari sebagian besar mahasiswa muslim yang telah terealinasi dari Islam. Akibatnya, produktivitas dakwah terhambat. Dalam kaitan ini, para aktivis dakwah dituntut untuk menampilkan performan diri sebagai sosok yang jujur, amanah, bervisi maslahah dan memiliki keteladanan moral.
Gerakan Mahasiswa Islam Yang Berpihak Rakyat
Dalam aktualisasi platform, gerakan mahasiswa Islam seyogyanya mengedepankan gerakan elitis namun populis. Elitis karena gerakan ini terdiri dari para personal yang telah tercerahkan visinya. Sedangkan populasi, mereka hanya memiliki kontribusi dua persen. Populis, gerakan mahasiswa akrab dan responsif dengan isu-isu disekitar lingkungan sosialnya sehingga mereka bukan representasi gerakan menara gading. Menarik dinikmati namun tidak realistis dimiliki. Kemampuan produktif ini akan menciptakan harmonisasi dua kutub sosial. Kader intelektual yang cerdas dan aspiratif serta grass root yang adaptif dan responsif seperti laiknya ikan yang betah dalam habitatnya, air. Pola pendekatan ini jelas berbeda dengan gerakan Sosialis Marxisme. Dalam pandangan mereka, output pelbagai difensiasi sosial tadi adalah amputasi sosial bukannya harmonisasi.
Terdapat beberapa keuntungan strategis saat gerakan mahasiswa Islam responsif terhadap isu-isu sosial dan berpihak kepada rakyat :
1. Alasan yang paling klasik, sukses gerakan visioner secara implementatif sangat bergantung kepada kemampuannya menjalin aliansi horisontal dengan grass root. Menilik revolusi Perancis, kemenangan gerakan intelektual karena kemampuannya merekontruksi ‘common issue’ perlawanan terhadap penindasan dan sekaligus ’common enemy’ yakni penghisapan institusi gereja dan bangsawan atas rakyat.
2. Merupakan manifestasi tradisi dan spirit utama pembelaan Islam (al amru bil ma’ruf wah nahyu anil munkar) atas golongan yang dilemahkan secara politik, kultur dan ekonomis (mustadz’affin). Para Da’i seyogyanya menjadi pionirnya karena Allah menjanjikan predikat agung bagi mereka yang menjadi martir dalam pembelaan tadi. Pengangkatan platform ini secara psikologis mendekatkan wadah gerakannya dengan spirit Islam.
3. Advonturisme dan spirit mahasiswa dekat dengan keberanian, aktualisasi diri, anti kemampanan (revolusioner) dan kegairahan yang menyala. Pencerminannyapun beragam. Baik positif maupun negatif. Penyediaan wadah yang sesuai dengan aktualisasi psikologis ini menjadi keniscayaan dan platform Islam adalah output positifnya.
4. Gerakan yang lahir dan besar dari lingkungan memiliki ciri responsif, resisten dari pelbagai guncangan, mampu bertahan lama , dinamis, visoner namun realistis. Gerakan ini paling mampu menjawab tantangan zaman sekaligus merupakan laboratorium hidup dalam ‘social exercise’. Mengutip pendapat Muhamad Nasir (1995), pemimpin sesungguhnya lahir dari realitas sosial. Di tahun 1992, sesaat setelah gempa bumi di Kairo, gerakan Islam beberapa jam kemudian sudah memenuhi jalan raya, membawa perbekalan makanan, obat-obatan dan selimut bagi para korban. Disaat pemerintah justru terjerat dalam kelambanan karena birokrasi yang diciptakannya.
1 Comment
like
Posted on 29 Mei 2018 pukul 07.58
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: