*Matthew Carr
Hingga tahun ini, Spanyol relatif tidak peduli dengan endemik politik Islamophobia yang terjadi hampir di seluruh Eropa. Namun beberapa bulan terakhir ini, tanda-tanda kebijkan minimalis ini mulai berakhir. Spanyol mulai menerapkan model kebijakan asimilasionis yang bersifat memaksa seperti diterapkan di banyak negara di benua ini- model yang tampaknya hanya dimaksudkan kepada satu juta imigran Muslim disana. April lalu, sekolah menengah di Madrid melarang remaja Muslimah masuk sekolah karena berjilbab sehingga memicu ‘kontroversi pertama pemakaian jilbab di Spanyol’. Sejak itupula, perdebatan tentang apa yang harus dikenakan Muslimah menjadi isu nasional yang cukup panas. Berikutnya pelbagai larangan mulai diterapkan di banyak dewan kota atas pemakaian niqob dan burqa. Sebuah proposal nasional tentang pelarangan pakaian yang menutupi seluruh badan dan wajah di Konggres Spanyol kalah dengan selisih suara tipis.
Namun politisi sayap kanan terus menerus mendesakkan tuntutannya. Para imigran harus mematuhi nilai budaya dan konstitusi Spanyol. Jika tidak, mereka harus pergi. Juli, Dewan Kota Sosialis Lleida menutup masjid setempat karena pengunjungnya melampaui kapasitas yang diijinkan. Tindakan ini tak pelak mencerminkan perubahan di Spanyol.
Perdebatan tentang pakaian Muslimah dan Islamisasi tampaknya menjadi pengalih pas bagi krisis ekonomi yang mendera. Spanyol menderita tingkat pengangguran tertinggi di Eropa. Namun perkembangan ini juga dapat merefleksikan sejarah masa lalu atas negeri ini dibawah kepemimpinan St. James yang telah membantai umat Islam. Empat ratus tahun lalu, Spanyol mengusir 350 ribu Muslim yang disebut Morisco atau Moor kecil dari wilayah Spanyol. Peristiwa itu menjadi aksi pemindahan paksa terbesar dalam sejarah Eropa bahkan lebih besar dair pengusiran Yahudi di 1492.
Morisco pada awalnya adalah pemeluk Islam yang dipaksa memeluk Katolik diawal abad 16. Setelah pindah agama, para penguasa Spanyol menuntut penghapusan total tradisi dan kultur Islam mereka. Cara mandi, menari, pemakaian bahasa Arab, khitan, upacara pemakaman dan makanan dapat dianggap kejahatan yang dapat dihukum dengan denda, pemenjaraan atau bahkan eksekusi.
Namun kini ada permintaan pelarangan atas pakaian Muslimah meski dengan alasan yang berbeda. Di abad 16, emansipasi wanita Spanyol belumlah ada. Cadar bagi Muslimah atau almalafa dipandang gereja sebagai penutup potensial bagi perbuatan tidak senonoh namun juga ekspresi penyimpangan agama. Siapa saja yang memakainya dapat didenda atau dicambuk.
toleransi bukanlah sebuah kebajikan di Spanyol di abad 16. Tindakan represi atas Morisco dimaksudkan untuk mempercepat pemusnahan kalangan minoritas disana. Para penguasa Spanyol memandang mereka sebagai orang asing, inferior dan potensial menjadi kelompok kelima yang berbahaya. Untuk itu dilakukanlah praktek inkuisisi yang memasuki seluruh sendi kehidupan kaum Muslimin. Tujuannya adalah terciptanya keseragaman. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Banyak kalangan Morisco yang akhirnya menjadi ‘penganut Kristen yang baik’, namun banyak juga lainnya yang masih bertahan dengan keyakinannya. Kadang kala, mereka melawannya dengan kekerasan. Kondisi ini pula yang menyebabkan para penguasa Kristen di akhir abad 16 berkesimpulan bahwa proses asimilasi gagal. merekapun menerapkan kebijakan drastis yang mencakup pengebiran massal, pemusnahan fisik dan pengusiran.
toleransi bukanlah sebuah kebajikan di Spanyol di abad 16. Tindakan represi atas Morisco dimaksudkan untuk mempercepat pemusnahan kalangan minoritas disana. Para penguasa Spanyol memandang mereka sebagai orang asing, inferior dan potensial menjadi kelompok kelima yang berbahaya. Untuk itu dilakukanlah praktek inkuisisi yang memasuki seluruh sendi kehidupan kaum Muslimin. Tujuannya adalah terciptanya keseragaman. Upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Banyak kalangan Morisco yang akhirnya menjadi ‘penganut Kristen yang baik’, namun banyak juga lainnya yang masih bertahan dengan keyakinannya. Kadang kala, mereka melawannya dengan kekerasan. Kondisi ini pula yang menyebabkan para penguasa Kristen di akhir abad 16 berkesimpulan bahwa proses asimilasi gagal. merekapun menerapkan kebijakan drastis yang mencakup pengebiran massal, pemusnahan fisik dan pengusiran.
Di 1582, Philip II mengadopsi kebijakan pengusiran namun hingga akhir 1609 kebijakan itu baru dilakukan anaknya. Keputusan ini diambil setelah serangkaian kekalahan militer dan krisis ekonomi. Banyak rakyat Spanyol melihat bencana ini terjadi karena adanya orang kafir dan ahli bid’ah di tanah Kristen. Pengusiran dianggap sebagai aksi pemurnian keagamaan dan penawaran dosa yang akan merubah Spanyol menjadi negeri yang penuh keberkahan.
Sekilas, tampak sedikit kesamaan antara penghancuran keji kaum Muslimin di Spanyol dengan debat kontemporer tentang sekularisme dan sikap toleransi atas masalah Muslim di Eropa. Namun kefanatikan dan intoleransi tidak selalu membutuhkan alasan. Setiap masa selalu menciptakan rasionalisasinya sendiri untuk membenarkan tidak kejahatan.
Episode ini biasanya didahului dengan adanya perasaan menjadi korban karena membela haknya dimana kelompok mayoritas yang kuat menggambarkan suatu kelompok diluar dirinya sebagai pihak asing yang tidak cocok dengan cara hidup mereka dan dipandang berbahaya. Jika cara pandang ini kemudian diterima begitu saja maka tak ayal solusi paling radikalpun akan dipandang rasional dan tidak dapat dihindari.
Semua elemen ini hadir dibalik alasan pengusiran Morisco. Empat ratus tahun kemudian, ketika para politisi di Atlantik memandang kaum Muslimin dengan cara pandang inkusisional, yakni cara pandang yang menjadi bagian dari babak menyakitkan sejarah Spanyol. Penggalan sejarah ini sekiranya menjadi pengingat kita perihal apa yang akan terjadi ketika kelompok yang kuat menjalankan kebijakan asimilasi paksa sebagai upaya agar “mereka menjadi seperti kita”.
*Penulis Blood and Faith: The Purging of Muslim Spain
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: