Israel dapat memperdebatkan isu keamanan nasional yang sensitif yang berkaitan dengan pelbagai macam isu diseputar Israel-Arab. Hal yang sulit terjadi di AS. Di depan perkumpulan Yauhudi di Cleveland, Obama mengaku terkejut saat berkunjung ke Israel bagaimana perdebatan tentang isu ini di Israel jauh lebih terbuka ketimbang Amerika sendiri.
Dan Obama kini benar-benar menyadarinya ketika Lobby Israel berhasil membatalkan pengangkatan Charles W. Freeman Jr sebagai kepala komunitas intelejen AS setelah badai kritik yang diorganisir kelompok itu.
Freeman adalah pengajar tetap di National War College dari 1986 hingga 2004. Dia diminta kembali mengajar disana karena pandangannya yang independen, tidak bias namun jeli dalam isu kebijakan dan intelejen. Freeman memiliki ketrampilan dan pengalaman yang dibutuhkan sebagai ketua Badan Intelejen Nasional yang beranggung jawab memberikan analisis intelejen nasional yang independen, tidak bias dan kuat argumentasinya kepada presiden dan para pengambil keputusan lainnya.
Seperti lainnya, Freeman telah mengkritik penggunaan kekuatan yang berlebihan Israel atas Lebanon di 1982 dan 2006 serta di Gaza, 2008. Tindakan ini pantas dikritik karena hanya akan memperlemah keamanan nasional Israel.
Para pemimpin organisasi lobby Israel terutama AIPAC mengklaim tidak mengambil sikap dalam pemilihan Freeman demikian pula tidak melobi konggres untuk menentangnya.
Meski demikian bukan rahasia lagi jika para penghubung di Konggres telah bekerja untuk kepentingan kelompok lobby ini. Senator Joseph Liberman dan Steve Israel diketahui telah menekan habis-habisan Direktur National Intelligence, Dennis Blair yang merekomendasi Freeman untuk posisi tersebut.
Freeman sendiri bukannya satu-satunya pejabat yang menjadi target serangan lobby Israel. Di 1980-an, AIPAC menarget dua anggota Konggres, Senator Cahrles Percy dari Illinois dan Paul Findley yang kritis terhadap lobby Israel dan bersimpati dengan perjuangan bangsa Palestina.
Yang terbaru, dua anggota konggres Afro-Amerika dari partai Demokrat, Cynthia Mc Kinney dari Georgia dan Earl Hilliard dari Alabama, dikalahkan sebagiannya karena kampanye negatif keduanya atas lobby Israel. Gubernur Pennsylvania, William Scranton yang hendak bertarung dalam pemilu presiden melihat karir politiknya berakhir hanya karena kemarahan pihak lobby Israel atas seruannya agar kebijakan AS di Timteng lebih berimbang.
Hal yang terjadi di 1972, Senator George Mc Govern dari Dakota Selatan dikecam lobby Israel karena dukungannya atas kebijakan yang berimbang AS dalam konflik Israel-Arab.
Selama 4 dekade, AS telah memberikan dukungan dan bantuan kepada Israel dan sering kali mengabaikan perhatiannya atas negara-negara Arab utama.
Pemerintahan dari kubu Republikan maupun Demokrat telah mengandalkan peran Yahudi Amerika (Dennis Ross, Aaron Miller, Dan Kurtzer dan Martin Indyck) dalam mengelola proses perdamaian Arab-Israel. Mereka ini sepenuhnya bersimpati kepada agenda Israel dan biasanya meremehkan negara-negara Arab.
Bantuan ekonomi ke Israel berakhir di 2008 tetapi Israel tetap menerima lebih banyak bantuan militer dari AS ketimbang negara-negara lain, yakni senilai 3 milyar dollar tahun lalu. Bantuan ini bersifat tambahan dari bantuan lainnya yang diterimanya setiap tahun dalam aktivitas konter terorisme, pemukiman kembali imigran dan kebutuhan keamanan lainnya.
Meskipun Israel memiliki keunggulan militer atas tetangganya dan sering kali melanggar kesepakatan bantuan dari AS karena menggunakan senjata atas target non-militer di dunia Arab, namun hampir tidak ada diskusi yang serius di AS tentang penggunaan bantuan tersebut maupun sanksi atas pelanggarannya.
Israel juga melanggar perjanjian lainnya karena melakukan sharing peralatan militer AS yang canggih dengan China.
AS lebih 20 tahun telah melangkah sangat jauh dalam menciptakan ikatan keamanan dengan Israel. Titik balik itu terjadi di 1988, ketika Presiden Ronald Reagen menyetujui memorandum kerjasama strategis dengan Israel yang disebutnya “sekutu utama non-NATO”
Kerjasama ini memberikan perlakuan khusus Israel dalam kontrak pertahanan beserta akses atas sistem persenjataan canggih dengan harga miring.
Tidak seperti perjanjian bantuan AS lainnya, Israel mendapatkan bantuan keuangan di awal tahun kalender sehingga dapat membungakan uangnya sebelum ditagih. Kerjasama strategis itu mengijinkan penempatan peralatan AS di Israel dan pelaksanaan latihan militer bersama.
Selama pemerintahan Reagen, Israel menjadi pemain kunci dalam aktivitas intelejen AS sperti penjualan senjata ke pemerintah Iran, dukungan atas partai-partai Kristen di Lebanon dan pendanaan pemberontak kontra di Nicaragua.
Iran-Contra, sebuah konspirasi yang melibatkan setiap pejabat keamanan nasional pemerintahan Reagan dalam penjualan senjata illegal kepada Iran dengan mengakali embargo senjata AS melalui keterlibatan Israel.
Presiden Obama pantas mendapatkan pujian karena keinginannya untuk menjadi mediator perundingan Israel-Palestina. Dalam pidato pelantikannya, dia secara khusus memberitahu komunitas Arab atas keinginannya mencari cara baru yang lebih maju yang berdasarkan prinsip saling menghormati dan kepentingan bersama. Ketika mengangkat George Mitchell sebagai wakil AS dalam proses damai, dia menekankan bahwa ‘masa depan tanpa harapan bagi bangsa Palestina tidak dapat diterima’.
Meskipun Israel memiliki keunggulan militer atas tetangganya dan sering kali melanggar kesepakatan bantuan dari AS karena menggunakan senjata atas target non-militer di dunia Arab, namun hampir tidak ada diskusi yang serius di AS tentang penggunaan bantuan tersebut maupun sanksi bagi aas pelanggarannya.
Israel juga melanggar perjanjian lainnya karena melakukan sharing peralatan militer AS yang canggih dengan China.
AS lebih 20 tahun telah melangkah sangat jauh dalam menciptakan ikatan keamanan dengan Israel. Titik balik itu terjadi di 1988, ketika Presiden Ronald Reagen menyetujui memorandum kerjasama dalam kerjasama strategis dengan Israel yang disebutnya “sekutu utama non-NATO”
Kerjasama ini memberikan perlakuan khusus Israel dalam menawarkan kontrak pertahanan beserta akses atas sistem persenjataan canggih dengan harga miring.
Tidak seperti perjanjian bantuan AS lainnya, Israel mendapatkan bantuan keuangan di awal tahun kalender sehingga dapat membungakan uangnya sebelum ditagih. Kerjasama strategis itu mengijinkan penempatan peralatan AS di Israel dan pelaksanaan latihan militer bersama.
Selama pemerintahan Reagen, Israel menjadi pemain kunci dalam aktivitas intelejen AS sperti penjualan senjata ke pemerintah Iran, dukungan atas partai-partai Kristen di Lebanon dan pendanaan pemberontak kontra di Nicaragua.
Iran-Contra, sebuah konspirasi yang melibatkan setiap pejabat keamanan nasional dalam pemerintahan Reagan berupa penjualan senjata illegal kepada Iran dengan mengakali embargo senjata AS melalui keterlibatan Israel.
Presiden Obama pantas mendapatkan pujian karena keinginannya untuk menjadi mediator perundingan Israel-Palestina. Dalam pidato pelantikannya, dia secara khusus memberitahu komunitas Arab atas keinginannya mencari cara baru yang lebih maju yang berdasarkan prinsip saling menghormati dan kepentingan bersama. Ketika mengangkat George Mitchell sebagai wakil AS dalam proses damai, dia menekankan bahwa ‘masa depan tanpa harapan bagi bangsa Palestina tidak dapat diterima’.
Sayangnya, tindakan lobby atas Freeman menunjukkan betapa sulitnya tugas Obama tadi. Dengan tunduk atas tekanan lobby Israel, pemerintahan Obama tampak tidak siap untuk berpijak kepada kebijakannya sendiri. Jika kita menolak mendukung kebijakan keamanan nasional yang kontraproduktif maka sungguh tidak masuk akal mendukung keamanan nasional Israel yang bertentangan dengan keamanan nasionalnya sendiri.
Beberapa sensor atas debat tentang Israel di AS disebabkan praktek sensor otomatis yang diterapkan media karena takut dicap anti semit. Media arus utama bertanggung jawab atas ketiadaan debat karena sikap berat sebelah mereka.
Sayang sekali jika kita menyaksikan trend ini sekali lagi, karena sulit membayangkan jika Israel akan menjadi partner negosiasi yang baik bagi Mahmud Abbas.
Akhirnya, semua ini tergantung kepada pemerintahan Obama untuk mengendalikan kepemimpinan di Israel atau kesempatan itu hilang sama sekali. (26/3/08)
*peniliti senior di Center for International Policy dan pengajar di Johns Hopkins University. Buku terbarunya bertitel “Failure of Intelligence: The Decline and Fall of the CIA”.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: