*Ahmad Dzakirin
AS kembali tidak hadir dalam konferensi Anti-Bom Tandan (Cluster) di Wellington, Selandia Baru. Sikap serupa dilakukan oleh beberapa negara produsen bom ini, seperti Israel, Rusia dan China. Konferensi yang dijadwalkan berlangsung selama lima hari tersebut merupakan rangkaian dari inisiatif dunia untuk menerbitkan larangan bom tandan sejak Februari 2007. Konperensi tersebut adalah rangkaian dari konferensi serupa di Dublin, Irlandia, pada Mei lalu dimana 83 negara termasuk Indonesia telah menyatakan dukungan bagi pelarangan penggunaan jenis bom ini. (Jawa Pos 19/2)
Bom Cluster adalah jenis bom yang dijatuhkan dari pesawat atau diluncurkan dari darat akan menghasilkan ratusan bahkan ribuan anak bom. Jenis bom ini didesain untuk menghancurkan landasan udara, jalur transmisi listrik, ladang ranjau atau sebagai penghantar senjata kimia dan biologis. Kehebatan bom ini pertama, terletak pada daya ledak dan radius ledakannya yang luas. Daya ledak satu bom cluster mencapai dua hingga tiga kali luas lapangan sepak bola. Kedua, ancaman jangka panjang. bom ini secara konsisten meninggalkan sejumlah besar anak bom yang tidak meledak (15% dari total bom) dan tertanam selama puluhan tahun dalam tanah (mine laying) sehingga menjadi ancaman masyarakat sipil. Berdasar data Handicap International, 98 persen dari 13.306 korban bom cluster adalah kalangan sipil dan mayoritas mereka adalah anak-anak.
Bom jenis ini secara efektif digunakan AS dalam Perang Vietnam (4 kali lebih besar dari kapasitas bom yang dijatuhkan dalam PD II), Irak dan Afghanistan. Israel ditaksir telah menjatuhkan tak kurang 4 juta bom cluster dalam konfliknya dengan Hizbulloh dan meninggalkan hampir satu juta anak bom yang tidak meledak di Lebanon Selatan.
Penolakan AS tidak hanya karena didorong keunggulan dan efektifitas teknologi ini menghancurkan sasaran musuh, namun isu ini didalam negeri adalah bagian kecil dari implikasi korporatisme perang atau lebih sering disebut Military Industrial Complex (MIC). Korporatisme ini adalah kelindan rumit kepentingan politik dan ekonomi antara jaringan individu dan kontraktor pertahanan, Konggres, Pentagon.
Sektor ini di kalangan akademisi diakui telah melahirkan problema prinsipil yang mengancam kehidupan demokrasi AS seperti moral hazard, rent-seeking dan korupsi politik. Tidak kurang, Presiden Dwight Eisenhower dalam pidato perpisahannya memperingatkan akan ancaman bahaya ini. “Keterkaitan militer yang kuat dan industri senjata adalah pengalaman baru AS. Pengaruhnya yang menyeluruh baik secara politik, ekonomi dan bahkan spiritual telah dirasakan setiap kota, rumah di negara bagian, dan kantor pemerintah federal. Kita mengakui pentingnya hal ini. Namun kita tidak boleh gagal memahami implikasi buruknya atas tanah, sumber daya, kehidupan dan struktur masyarakat kita. Kita harus menjaga pengaruh yang tidak kita inginkan dari MIC karena berpotensi bagi bangkitnya kekuasaan yang korup. Kita tidak boleh membiarkan kombinasi ini mengancam kebebasan dan proses demokrasi kita.”
Namun problemanya, Sektor ini terlanjur menjadi urat nadi perekonomian dan politik AS. Hampir 20 persen lebih tenaga kerja AS bekerja di sektor ini dan menjadi suara potensial bagi para kandidat presiden Amerika baik dari Demokrat maupun Republik. Sementara kekuatan lobi para elit MIC telah merasuki hampir semua sudut politik AS. Sosiolog Wright Mills menyatakan bahwa Elit Penguasa yang terdiri dari para tokoh militer, pengusaha dan politikus telah menjadi penguasa sejati yang mempengaruhi secara signifikan keputusan politik serta berada diluar kontrol demokrasi. Maka tidak heran jika peringatan dan nasehat mantan presiden dan pahlawan perang AS itu dilupakan dan hilang dari memori politik para elit AS. Untuk itu, AS bersikeras tidak meratifikasi protocol anti ranjau darat 1998 dan rencana ratifikasi anti- bom cluster ditengah kecaman dan keprihatinan dunia. (19/2/08)
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: