Demokrasi dewasa ini menjadi kehendak dan arus umum di dunia. Gagasan ini telah menjadi idealisme publik dalam merekonstruksi negara modern. Disepanjang dua abad, terminologi ini telah menjadi wacana utama sehingga tidak ada satupun ideologi dunia yang tidak merujuk terminologi ini. Tuntutan perwujudan demokrasi ini pula yang telah menggerakkan jutaan rakyat di Polandia, Bulgaria, Hungaria serta pelbagai negara lainnya, termasuk Indonesia bangkit menuntut kebebasan dari rejim junta militer. Jutaan nyawa melayang karenanya. Di Thailand, junta militer yang mengkudeta Thaksin di 2006 harus kembali ditekuk rakyatnya setelah kalah dalam pemilu di 2007. Di Turki, militer disepanjang satu 5 dekade telah melakukan kudeta sebannyak 4 kali. Namun kembali militer tidak dapat menolak arus utama rakyat yang mengembalikan kekuasaan politik kepada rakyat. Militer kini kesulitan memformulasikan intervensi politiknya pasca kudeta pos modernismenya (soft coup d’etat) kepada pemerintahan Erbakan di 1997.
Ada dua sudut pandang kita dalam melihat realitas demokrasi, khususnya di negara-negara Islam tentunya. Pertama, Demokrasi sebagai realitas politik dan kenegaraan disepanjang dua abad. Kedua, kemungkinan-kemungkinan akseptasi (penerimaan) Islam atas teori kenegaraan yang telah berkembang dan menjadi arus publik tersebut. Dalam perspektif pertama, Demokrasi sebagai sebuah gagasan pengelolaan negara telah mengalami eksperimentasi dan perbaikan akumulatif yang cukup panjang sehingga gagasan-gagasan originalnya semakin dekat kepada pemenuhan tuntutan keadilan bagi semuanya. Beberapa aspek keadilan tersebut adalah pengujian kepemimpinan melalui mekanisme pemilu, pembatasan kekuasaan, ahuntabilitas kepemimpinan dan lainnya.
Beberapa kerangka normatif demokrasi dapat kita formulasikan sebagai berikut:
1. Implementasi demokrasi secara generik memberi ruang luas bagi publik untuk melakukan kontrol ketat penyelenggaraan negara. Secara alamiah peran ini tumbuh dalam masyarakat. Kontrol ini adalah salah satu mekanisme demokrasi dalam rangka perwujudan akuntabilitas publik. Mekanisme alami ini sangat rentan (fragile) dan polemis bagi penguasa yang tidak bermoral dan korup.
2. Rekonstruksi dan mekanisme Kepemimpinan dalam Demokrasi bersifat partisipatif dan dinamis. Partisipatif artinya perwujudan kepemimpinan merupakan aspirasi mayoritas masyarakat. Sedangkan dinamis adalah bahwa garansi legitimasi kepemimpinan bersifat bersyarat dan bukan tanpa batas waktu. Patok ini tentunya bertalian erat dengan sejauh mana kepemimpinan yang ada adaptif dan aspiratif dengan kehendak masyarakat dan ‘platform moral’ yang berlaku.
3. Mekanisme demokrasi memberi keleluasan publik merespon isu kepemimpinan melalui sarana-sarana yang dipandang efektif untuk membangun opini sepanjang dilakukan secara transparan dan tidak melanggar hukum. Partisipasi ini dipandang sebagai pembiasaan positif karena secara natural akan memberikan pembelajaran dan pencerdasan kepada publik sehingga dapat memaknai hakekat perbedaan, konsistensi ‘rule of play’ secara tepat.
4. Perwujudan paradigma Demokrasi bertumpu pada pemberdayaan masyarakat sipil. Mekanisme ini memberikan ruang dan beban partisipatif dalam pembangunan negara kepada semua elemen masyarakat.
5. Karakter demokrasi selalu memandang kepemimpinan sebagai mandat dan milik publik. Dalam konteks ini, merupakan kewajaran jika seorang pemimpin yang dipilih kemudian mundur secara sukarela karena telah kehilangan legitimasi dan dukungan moral.
6. Pembatasan durasi kepemimpinan selama beberapa periode, biasanya dua periode. Rentang waktu kepemimpinan yang lama dipandang memberikan kesempatan bagi sang pemimpin mengkonsolidasikan kekuasaan untuk kepentingan dirinya dan menepiskan perlunya regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Dalam pandangan ini, kepemimpinan secara alamiah mendorong kepada perilaku korup.
Meskipun demikian, sistem demokrasi dalam prakteknya, terutama di beberapa negara Muslim menyimpan beberapa kelemahan sistemik:
1. Kondisi politik karena bercokolnya rejim militer dan dominasi Barat secara politik, ekonomi dan militer. Kedua kekuatan ini seringkali menjalin persekutuan untuk mengamankan kepentingannya sekalipun bertentangan dengan komitmen-komitmen Demokrasi yang mereka propagandakan. Tak pelak, aturan despotik dan kekerasan menjadi hukum dan ketertiban. Posisi rakyat semakin lemah. Lihat kasus Aljazair, Turki dan negara-negara Amerika Latin.
2. Kondisi sosial yang diwakili oleh corak masyarakat tradisional. Keterbatasan pendidikan dan pola patronase masyarakat tradisional menjadi kendala utama dalam berkompetisi secara sehat dan elegan. Perwujudan mekanisme Demokrasi sering berujung pada bentrokan berdarah dan pembunuhan antar kelompok masyarakat. Sedangkan, pilihan politik masyarakat tidak dilandasi dengan alasan rasional dan pragmatis.
3. Kondisi perekonomian ditandai dengan kemiskinan ekonomi. Demokrasi sulit diwujudkan dalam kondisi masyarakat yang miskin. Karena ‘Demokrasi orang-orang lapar’ adalah kekerasan dan perlawanan.
4. Kondisi psikologis yang termanifestasikan pada hilangnya kesadaran individual dan politik. Akibatnya Demokrasi hanya slogan sementara kekuasaan yang berjalan ditegakkan diatas kekerasan dan monopoli penguasa. Praktek demokrasi tidak lebih dari mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam upacara seremonial yang dibangun untuk menaikkan status penguasa.
Dalam hemat saya, ada beberapa sudut pandang yang dapat dikemukan bertalian dengan kemungkinan penerimaan Islam atas Demokrasi:
1. Kita perlu mendefinisikan terlebih dahulu isu ini dalam perpektif fiqh Islami. Perbincangan tentang teori penyelenggaraan negara termasuk lingkup muamalah. Kaidah muamalah yang telah disepakati adalah ‘Al-ashlu fil muamalah mubahun illa abniyyu alan-Nahii’ Yakni segala sesuatu halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalam perspektif ini, Allah SWT memberi keleluasaan yang berijtihaj dan mengadaptasi hikmah yang tercecer tentang konsepsi penyelenggaraan negara yang baik dan mampu menjaga keadilan. Ada dua kebutuhan dalam konteks akseptasi ini: pertama, pengalaman sejarah dan konsepsi pengelolaan negara modern yang tidak kita miliki. Kedua, karakter akomodasi partisipasi publik secara luas dan dijamin hukum bukan semata kehendak penguasa. Termasuk didalamnya pembatasan kekuasaan pemimpin.
2. Kaum Muslimin diawal banyak mentranformasi konsepsi Jahiliyyah dengan memotong dari konotasi historisnya dan memasukkan pengertian baru. Misalnya, pemakaian kalimat yang lazim digunakan dikalangan kabilah Arab sebelum Islam, “unsur akhuka Dzaliman au Madzluman’ (Tolonglah saudaramu yang dzalim maupun yang didzalimi). Jika makna konotatif kalimat ini pada masa pra Islam adalah pembelaan membabi buta terhadap anggota kabilah yang bersengketa dengan pihak lain maka kedatangan Islam membawa makna baru pada kalimat ini. Saat para Shahabat menanyakan maksud ‘menolong saudaranya yang dzalim’, Rasulullah SAW memaknai dengan ‘cegah tangannya dari berlaku dzalim’.
3. Penolakan terhadap kondisi Jahiliyyah tidak menghalangi Islam berpatisipasi dalam kebajikan. Adalah Rasululah SAW memuji-muji Hilf Fudhul dan berkonsekuensi perang Fijar selama beberapa tahun Perjanjian ini memuat ketentuan pembelaan para kabilah yang menandatangani atas orang atau pihak yang dizalimi.. Rasulullah SAW selalu mengenang masa-masa heroik tadi saat di Medinah. Beliau mengatakan seandainya orang Quraisy mengajak beliau bersekutu untuk hal yang sama niscaya akan disambutnya.
4. Syaikh Yusuf Qorodhowi menegaskan bahwa pemilu sebagai produk demokrasi lebih dekat dengan spirit Islam yang menetapkan bahwa pemimpin yang terbaik diantara kaum Muslimin adalah yang disukai rakyat. Pemilu menggaransi manifestasi kepemimpinan idealnya bukan sebuah peristiwa serta merta dan tidak diduga, namun sebuah uji kelayakan dan kesahihan oleh publik.
5. Gerakan Islam mampu mengukur kemampuannya dan melihat realitas sosial dengan perhitungan kuantitatif yang akurat sehingga manuver sosial dilakukan secara terukur dan bervisikan maslahah. Mursyid Am ke 2 Ikhwanul Muslimin Ustad Hasan Hudaibi pernah menyerukan diadakannya plebisit untuk melihat sikap rakyat Mesir terhadap isu penegakan Syari’at Islam. “Jika mereka memilih hukum Islam maka Majelis harus tunduk kepada putusan itu, namun jika mereka menolak –kendati mustahil dilakukan oleh kaum Muslimin- maka kami akan memahami realitas tadi dan bekerja keras mengajari bangsa ini untuk taat kepada Allah dan berlaku benar.”
Kendati beberapa dalil yang dikemukakan sangat interpretatif, tapi setidak-tidaknya ada semangat besar yang dapat dipetik. Islam sangat terbuka atas isu kebajikan dan perbaikan masyarakat. Ajaran Islam dapat menerima ide-ide baru yang dipandang bermanfaat setelah melakukan serangkaian penyaringan dan pendefinisian kembali ide-ide tersebut sehingga lebih sesuai dengan semangat Islam. Wacana demokrasi sangat membuka interpretasi-interpretasi baru yang lebih mendekatkan kepada keadilan dan persamaan. Kalangan Islampun telah memulainya. Allamah Abul A’la Al Maududi menawarkan wacana Theo- Demokrasi atau Demokrasi yang bersandarkan nilai-nilai Ilahiyyah. Turabi dengan terminologinya, ‘Syura Demokratik’. Syaikh Yusuf Qardhawi dalam ‘Fiqhud Daulah’ berpendapat substansi demokrasi sejalan dengan nilai-nilai Islam karena lebih menjamin kebebasan, keadilan, kesetaraan dan penjagaan kekuasaan dari penyelewengan.
Meskipun dalam beberapa prakteknya sistem demokrasi, terutama di beberapa negara Muslim menyimpan beberapa kelemah sistemik:
- Kondisi politik karena bercokolnya rejim militer dan dominasi Barat secara politik, ekonomi dan militer. Kedua kekuatan ini seringkali menjalin persekutuan untuk mengamankan kepentingannya sekalipun bertentangan dengan komitmen-komitmen Demokrasi yang mereka propagandakan. Tak pelak, aturan despotik dan kekerasan menjadi hukum dan ketertiban. Posisi rakyat semakin lemah. Lihat kasus Aljazair, Turki dan negara-negara Amerika Latin. Institusi demokrasi yang lemah hanya menjadi alat mobilitas kekuasaan para elit politik.
- Kondisi sosial yang diwakili oleh corak masyarakat tradisional. Keterbatasan pendidikan dan pola patronase masyarakat tradisional menjadi kendala utama dalam berkompetisi secara sehat dan elegan. Perwujudan mekanisme Demokrasi sering berujung pada bentrokan berdarah dan pembunuhan antar kelompok masyarakat. Sedangkan, pilihan politik masyarakat tidak dilandasi dengan alasan rasional dan pragmatis.
- Kondisi perekonomian ditandai dengan kemiskinan ekonomi. Demokrasi sulit diwujudkan dalam kondisi masyarakat yang miskin. Karena ‘Demokrasi orang-orang lapar’ adalah kekerasan dan perlawanan.
- Kondisi psikologis yang termanifestasikan pada hilangnya kesadaran individual dan politik. Demokrasi hanya slogan sementara kekuasaan yang berjalan ditegakkan diatas kekerasan dan monopoli penguasa. Praktek demokrasi tidak lebih dari mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam upacara seremonial yang dibangun untuk menaikkan status penguasa. Michael Rivero menjelaskan kelemahan ini, “We have a political system that awards office to the most ruthless, cunning, and selfish of mortals, then act surprised when those willing to do anything to win power are equally willing to do anything with it.” (Kami memiliki sistem politik yang memberikan kekuasaan kepada kepada pihak yang paling jahat, cerdik, dan sangat individualis, yang kemudian bertindak mengejutkan ketika mereka bersedia melakukan apapun untuk meraih kekuasaan).
Belajar dari Hikmah Politik Nabi
Nabi SAW adalah pribadi mulia yang unik. Semua penisbatan keagungan manusia ada dan melekat pada diri beliau. Mulai dari seorang suami yang romantis dan penuh perhatian, guru yang bijak, panglima perang yang tegas, pedagang yang jujur hingga pemimpin politik yang cerdas. Maka tepat sekali jika dikatakan oleh Sayyid Qutb jika Nabi adalah penjelmaan Alqur’an yang hidup.
Pun dalam ranah politik, kita mendapatkan banyak i’tibar dari Siroh Nabi. Nabi telah melakukan musyarokah siyasi dengan kaum Musyrikin di Mekkah melalui dua perjanjian Muthayyibun dan Fudhul. Perjanjian ini sejatinya mencerminkan partisipasi politik Rasulullah di tengah tradisi dan kultur politik masyarakat Jahiliyyah, atau lebih tepatnya sistem Jahiliyyah. Namun hal itu tidak menghalangi beliau disepanjang karakter perjanjian itu mencerminkan semangat universalitas Islam.
Perjanjian Muthayyibun
Diriwiyatkan dalam Musnad Ahmad, Abdul Manaf merebut tanggung jawab dalam menjaga Ka’bah (Hijabah), menyediakan makanan (rifadah), militer (liwa’) dan zam-zam (siqoyah) dari Kabilah Abdud Daar. Tentu saja kabilah Abdud Daar menolakknya karena tanggung jawab tersebut merupakan perwujudan reputasi sosial dan politik kabilah mereka ditengah masyarakat Jahiliyyah. Kemudian muncul inisiatif penyelesaian yang digaransi oleh berbagai kabilah yang disebut Ahlaf (yakni : Abdud Daar, Jamah, Salim, Makhzum dan Adi dalam sebuah perjanjian yang dinamai Muthayyibin. Karena setiap peserta perjanjian mencelupkan tanganya disebuah mangkok minyak wangi dan bertekad tidak saling berebut kekuasaan dan menumpahkan darah.
Nabi mengomentari perjanjian itu,”Aku menyaksikan ketika berlangsungnya perjanjian Al Muthayyibun, aku tidak mengingkarinya, dan walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.”
Ada dua pelajaran yang dapat dipetik dalam komentar Nabi tersebut:
1. Nabi secara substansi tidak mengingkari diktum perjanjian itu karena membawa kemaslahatan bagi manusia karena terjaganya darah dan hak orang lain.
2. Untuk itu, Nabi bersemangat terlibat sekalipun dengan partisipasi dan konsesi yang minimal. Uniknya, implikasi perjanjian ini sangat mempengaruhi kehidupan Nabi dan dakwah Islam di kemudian hari.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnul Atsir, Ahlaf dan Bani Abdid Daar yang dibela hak otoritasnya didalam sejarah, dikenal sebagai kelompok yang sangat menentang Islam. Banu Abdid Daar pemegang otoritas militer saat berperang dengan pasukan Muslimin. Pun beberapa pemimpin Musyrikin dari kalangan mereka, seperti Umayah bin Khalaf dan Ashl Bin Wail dari Bani Jahm, yang dikenal sering menganiaya Nabi, Walid Bin Mughirah dari Bani Makhzum adalah orang yang paling banyak dihina Alqur’an demikian pula keponakannya, Abu Jahal bin Hisyam serta dari kalangan Bani Adi, yakni Umar Bin Khatab yang juga sangat keras terhadap Islam. Sehingga ada anekdot dikalangan mereka,”Tidak mungkin Umar masuk Islam sebelum keledainya masuk Islam.”
Ketika Fathul Mekkah sebagaimana diriwiyatkan Ibnu Ishaq, Nabi masuk kota Mekkah menuju Ka’bah untuk melakukan Thawaf tujuh putaran diatas onta dan kemudian mengusap rukun Zamani dengan tongkatnya. Nabi lantas mengundang Usman Bin Thalhah (kalangan Ahlaf dalam perjanjian Muthayyibin) untuk membukakan pintu Ka’bah. Setelah itu Nabi berucap,”Wahai Bani Thalhah, Ambil kunci itu untuk selamanya dan tidak akan ada yang merebutnya, kecuali dia berbuat aniaya.” Ali bin Abi Thalib mendekatinya seraya berujar,”Ya Rasulullah, kita telah menguasai kunci ka’bah dan air zam-zam.” Nabi menjawab,”Biarkan dia, sesungguhnya Allah telah meridhoi kalian dengan perjanjian Muthayyibin baik di zaman Jahiliyyah maupun Islam.
Sangat menarik komentar Syaikh Munir Al Ghadban tentang peristiwa ini,”Ini adalah pelajaran yang sangat baik bagi Da’i, yaitu agar mereka menghargai suatu perjanjian dan kesepakatan yang telah mereka setujui sekalipun mereka tidak ikut serta dalam penandatanganannya-jika perjanjian itu dapat menolong orang yang dizalimi atau melawan orang yang berbuat zalim.”
Perjanjian Fudhul (Hilful Fudhul)
Perjanjian ini diilhami oleh Perjanjian Muthayyibun. Orang-orang Qurays yang terdiri atas Bani Hasyim, Bani Muthalib, Asad Bin Abdul Uzza, Zuhrah Bin Kilab dan Taim Bin Murrah berkumpul di rumah Abdullah Bin Jad’an, orang yang disegani dan paling tua usianya membuat kesepakatan untuk tidak membiarkan kezaliman di Kota Mekkah baik terhadap terhadap warga Mekkah sendiri maupun pendatang. Mereka bersumpah untuk menghadapi kezaliman sampai kelompok yang berbuat zalim itu meninggalkannya.
Perjanjian ini telah menyelamatkan banyak orang lemah dari kalangan Quraisy maupun pendatang. Demikian pula substansi Hilful Fudhul telah menjadi spirit penyelesaian konflik pada masa Islam. Dan bahkan Rasul sendiri memperkenankan pemanggilan nisbat Fudhul pada masa Islam sebagai sebuah pengecualian. Sedangkan pemanggilan selainnya dinilai sebagai panggilan jahiliyyah. Nabi mengenang peristiwa Fudhul itu dengan sabdanya, “Aku telah menyaksikan pelaksanaan perjanjian Fudhul dirumah Abdullah Bin Jad’an, suatu perjanjian yang tidak akan aku batalkan walau aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.”
Apa pelajaran yang kita dapat petik dari Hilful Fudhul? Syaikh Munir Ghadban menyebutkan dalam kitabnya, Al-Hilful Siyasi Fil Islam beberapa kesimpulan dalam perjanjian ini:
1) Perjanjian Fudhul dilaksanakan berdasarkan azas kesukuan dan kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai wakil dari Kabilah Bani Hasyim.
2) Perjanjian itu bertujuan untuk membela dan mengembalikan hak orang yang dizalimi.
3) Substansi perjanjian itu mengandung nilai-nilai universal Syari’at sehingga Nabi menyetujuinya jika dilaksankan pada masa Islam. “sekiranya perjanjian ityu diserukan pada masa Islam niscaya aku menyetujuinya.
4) Substansi anti penindasan dan pembelaan terhadap yang lemah selalu memiliki ruang dukungan didalam Islam, sebagaimana sabda Nabi SAW,”Setiap perjanjian yang dilakukan pada masa Jahiliyah sangat didukung oleh Islam.
Demokrasi Dalam Perspektif DR. Hasan Turabi
Turabi menjelaskan bahwa konstruksi dan interpretasi syari’ah dapat terjadi dengan prinsip Syura. Meskipun pengertian denotatif Syura dan Demokrasi sama namun secara konotatif berbeda. Secara denotatif, keduanya merupakan wujud partisipasi publik dalam pembuatan keputusan politik. Demokrasi berkonotasi kedaulatan tertinggi berada pada rakyat dan sebaliknya dalam mekanisme Syura, kedaulatan tertinggi di Tangan Tuhan sebagimana diwujudkan dalam ketundukkan manusia kepada Nash-Nash Illahiyyah. Dalam prinsip ini, setiap pemecahan problema sosial, ekonomi, politik, legalitas dan konstitusi senantiasa terkerangka dalam pondasi Syari’ah. Dalam pandangannya, penetrasi nilai juga ada dalam Demokrasi Liberal dan Sosialis. Namun kelemahannya adalah sifatnya yang seksional dan tidak komprehensif. Hak-hak politik rakyat sangat figuratif dan sangat dikontrol landasan struktur ekonomi. Misalnya dalam Liberalisme, ekonomi terkonsentasi pada pada para kapitalis atau pemilik modal. Sebaliknya dalam Komunisme, cenderung mendifusikan kekayaan individu menjadi kekayaan kolektif. Namun dalam prakteknya, pondasi kekuasaan kedua ideologi tersebut ternyata bertumpu pada segelintir orang. Problema dialektis ini terjadi karena keterbatasan teori manusia yang sangat dipengaruhi oleh sekat lingkungan sosialnya. Walhasil, spirit persamaan, persatuan dan kebebasan yang seharusnya menjadi output rekontruksi sosial tadi tidak dapat direalisasi.
Turabi menilai bahwa Syura harus diaplikasikan secara metodologis dalam kehidupan mulai dari rumah tangga, lingkungan akademis dan bahkan para ulama. Dia menolak status otoritatif ulama dan para akademisi serta menekankan pentingnya penyebaran pengetahuan tentang Syura. Oleh karenanya, dibutuhkan pembaharuan wacana pendidikan secara komprehensif. Dia yakin titik tolak ini akan mampu mempersatukan umat dan mengakhiri konflik ideologis diantara mereka. Salah satu agenda pembaharuan adalah keberanian kaum Muslimin melakukan reinterpretasi historis tentang isu ini. Kegagalan dalam merealisasikan tuntutan ini hanya akan melanggengkan penetrasi Barat dan berkuasanya para Tiran di negeri Islam. Padahal tidak ada kebangkitan Islam tanpa perlawanan terhadap semua bentuk dominasi imperialisme dan tiranisme (Tawaghit Fil Arld). Sementara perlawanan sendiri tidak dapat ditumbuhkan tanpa kesadaran progresif umat.
Salah satu bentuknya adalah reformulasi Syura dan Demokrasi. Dalam perspektif sejarah, Syura tanpa substansinya identik dengan Demokrasi. Demokrasi pada awalnya dimaksudkan untuk para Bangsawan Yunani. Bangsa Eropa kemudian merubahnya menjadi pemerintahan rakyat dalam entitasnya yang kecil dan terbatas. Saat Eropa melebarkan sayap geografi politiknya maka demokrasi ditransformasikan dalam bentuk perwakilan langsung melalui parlemen. Untuk kepentingan tersebut, kemudian lahir teori kontrak sosial. Teori ini sebenarnya bersifat imajinatif dan dibuat untuk kepentingan demokrasi. Disebutkan, masyarakat mendelegasikan kekuasaannya pada pemerintah dengan konsesi-konsesi tertentu sebagai gantinya. Dalam Demokrasi Liberal misalnya, kemerdekaan individu tetap dipertahankan karena dalam pandangan para pendukungnya implementasi demokrasi adalah pertukaran opini dan interaksi kehendak bebas. Sementara dalam Demokrasi Sosialis, penolakan mutlak konsentrasi modal pada pihak-pihak tertentu dan penegasian ketidaksamaan politik. Demokrasi telah menjadi prototipe dan aturan pemerintahan Eropa di akhir abad pertengahan hingga kini.
Dalam perspektif Islam, ada dua kunci utama penyelenggaraan negara. Pertama, Khilafah. Kedua, Ijma’ dan Bai’ah. Khalifah adalah perwakilan umat yang dipilih oleh para Ahlul Hilli wal Aqd untuk mengawasi umat secara umum dan menjadi penyelenggara pemerintahan (Kepala Eksekutif). Sedang Ijma’ (Konsensus) adalah sumber otoritas keduniaan dari para Ahlul Hilli Wal Aqd yang dipilih umat untuk mengangkat khalifah. Untuk pengikatnya maka dibutuhkan Aqd-al Bai’at (kontrak kesetiaan) antara masyarakat dan penguasa yang diangkat. Masyarakat mendelegasikan urusannya kepada pemimpin dan berkomitmen kepadanya.
Untuk itu, Turabi mengusulkan adaptasi dua istilah tadi dengan syarat analisis isi, redefinisi dan reformulasi terminologi ini sepenuhnya ditundukkan kepada nilai Islam. Adaptasi menyeluruh demokrasi tanpa memperhatikan konotasi linguistik, etik, sosial dan filosofisnya akan menjadi tidak efektif. Hal ini terjadi karena secara faktual hanya memindahkan sejarah dan budaya orang lain ke tempat kita. Demikian pula, penolakan adaptasi ini membuat kita harus merekonstruksi awal dan membuang hikmah yang seharusnya dimiliki kaum Muslimin. Demokrasi yang diperkenalkan kepada umat Islam harus diikat dengan hukum Islam dan secara spesifik prinsip-prinsip Syura. Dia mengakui bahwa Syura tidak pernah menjadi sinonim praktikal dan konseptual bagi Demokrasi. Namun komponen esensial antara Syura dan Demokrasi sama yakni kebebasan dan persamaan.
Perbedaan konsepsi baru ini ‘Syura Demokratik’ dengan Demokrasi Barat bukan metodologis namun substantif. Yang pertama berakar pada Hakimiyyah Mutlak Allah, manusia (khalifah) adalah mandat umum. Sedang kedua, berpijak kepada manusia dan alam. Tanggung jawab individual yang pertama bersifat doktrinal dan metafisik sementara yang terakhir karena keberadaan hukum yang dilegalisasikan. Karena keyakinan Islam berbicara melalui kesadaran individual yang diletakkan dalam konteks sosial maka partisipasi individu dalam struktur kekuasaanpun adalah tuntutan kemanusian dan keyakinan Illahiyyah.
Tanggung jawab dan otoritas kemudian diberikan kepada rakyat. Tanggung jawab dan otoritas ini diwujudkan dalam institusi parlemen dan melalui pemilu yang bebas. Dalam konteks ini, kebebasan penguasa kemudian sangat dibatasi oleh kehendak masyarakat yang terwakili dalam majelis. Agar keputusan politik tidak menyimpang dari garis Islam maka dibutuhkan dewan konstitusi yang berhak membatalkan keputusan yang tidak Islami. Alqur’an adalah standar dan kekuasaan puncak dalam menilai tindakan manusia, praktek penguasa, dewan legislatif dan yudikatif.
Mensikapi Demokrasi
Ada beberapa sudut pandang yang dapat didiskusikan perihal sikap yang seyogyanya diambil gerakan Islam tentang demokrasi. Formulasi sikap ini patut dilakukan sebagai arah dan panduan perjalanan gerakan Islam dalam arus demokrasi. Jika kajian-kajian pemikiran politik Islam dalam pelbagai kitab kontemporer berhenti kepada dua pilihan pengharaman atau setidaknya bersikap ambigu didalam akseptasi demokrasi, maka saya melihat gerakan Islam sepatutnya tidak berkeberatan dengan praktek demokrasi baik sebelum maupun pasca kemenangan. Gerakan Islam hendaknya secara tegas menepis kecurigaan dari kalangan sekular bahwa mereka hanya menjadikan demokrasi sebagai alat menuju kemenangan dan akan melikuidasi demokrasi setelah kemenangan yang dicitakan diraih. Dalam hemat saya, akseptasi ini karena beberapa alasan:
1. Sikap adil dan transparasi yang seharusnya menjadi ideologi praksis gerakan Islam. Dalam konteks pertarungan, wujud keadilan ini adalah memperbolehkan mereka mempropagandakan wacana, mencari pendukung dan memperoleh kekuasaanya dengan cara jujur, terbuka dan dalam koridor hukum positif yang disepakati. Hak samapun dimiliki golongan Islam. Wujud kompetisinya adalah pertarungan memperebutkan suara rakyat melalui keunggulan ideologis, integritas pendukung dan program yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat sebagai pembeli ideologis melakukan ‘filtering’ berdasarkan alasan rasional dan pragmatis. Islam menolak keras sikap membokong, main kayu dan melanggar perjanjian secara sepihak. Bahkan jika umat dirugikan dengan perjanjianpun tidak dibenarkan terjadi pembatalan secara sepihak dan tidak diketahui oleh lawan. Teladan ini yang telah ditunjukkan Rasulullah SAW.
2. Keyakinan aqidah kita bahwa manhaj Islam memiliki sekian banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh selain Islam. Dalam kompetisi yang adil, jujur, terbuka dan suasana damai sejatinya akan lebih mendekatkan kemenangan pihak Islam karena keunggulan komperatifnya, yakni kualitas barang (Islam) yang bagus karena fungsinya yang multi guna (komprehensif) dan dibutuhkan masyarakatnya. Adapun captive market-nya adalah mayoritas Muslim sekalipun. Kondisi penawaran (baik) ini sulit diwujudkan dalam suasana anarkis dan perang. Pilihan demokrasi ini karena negara secara adil mengakomodasi kekuatan-kekuatan ideologis faktual dalam masyarakat bertarung dan berebut pengaruh dengan cara-cara yang disepakati. Problemanya (yang ada) adalah barang yang ideal ini tidak didukung dengan pemasaran yang memadai. Sikap penolakan umat (pihak Islam) ini terjadi karena lebih karena sikap rendah diri (inferiority complex), yakni adanya mentalitas tidak mampu bersaing dengan cara-cara elegan sehinga melahirkan respon-respon politik yang tidak proporsional. Kita tentunya tidak menginginkan berlanjutnya sikap inferior, selalu merasa kalah dan pantas dikasihani.
3. Jika sumber kekuasaan dalam wacana demokrasi adalah rakyat. Maka aspirasi dan kehendak mayoritas komunitas Islam di negeri Islam dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara adalah representasi sah dan wajar dalam perspektif Demokrasi. Demokrasi di negeri Muslim diinterpretasikan kehendak mayoritas Muslim. Menurut Muhammad Tahhan, persilangan perdebatan tentang Demokrasi seharusnya telah berhenti.
4. Bertalian dengan poin kedua, penerimaan ini merupakan bagian dari proses Sunnah Tadafu’ bain- al Haqq Wa-al Batil. Dalam perspektif Islam, penerimaan dan penolakan Islam yang hak karena alasan yang jelas dan tegas (Qad tabayyana Rusdy minal Ghayy (2:208) bukan karena intimidasi dan rasa takut. Dalam pandangan saya, hal ini dapat terjadi melalui proses semacam ini. Pilihan perang adalah pilihan terakhir karena cara berpikir sehat telah ditinggalkan dan demi menyelamatkan eksistensi kemanusiaan itu sendiri. Alqur’an mengenal semboyan “Telah datang kebenaran dan tersingkirlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti dengan sendirinya tersingkir (karena kedatangan kebenaran)”. Pemahaman ayat ini secara harfiah adalah kebatilan akan tersingkir beriring dengan tersingkapnya kebenaran dalam masyarakat.
5. Melalui prosesi ini pula, umat akan mampu mengukur kemampuannya secara kuantitatif dan kualitatif. Dengan demikian, gerakan Islam segera melakukan evaluasi dan menjalankan strategi yang terencana dan terukur dikemudian hari. Kemenangan kekuatan kebatilan adalah kewajaran sebagaimana kemenangan kaum Kafirin di Uhud dan Hunain serta menjadi bagian Sunnah pergiliran kekuasaan (watilka ayyamu nudawiluha bainas).
6. Penerimaan ini merupakan perwujudan pemahaman agama yang –Insya Allah- benar dan rasional. Islam selalu mengajarkan kita mencari dan memilih cara yang lebih kecil mudharatnya dan lebih selamat jalannya. Setidak-tidaknya ada tiga kerangka kaidah Fiqh yang mendukung opini ini. Pertama, ”Dar’ul Mafashid muqoddam ala jalbil Mashalih (menolak kerusakan jauh lebih diutamakan ketimbang mengambil kebajikan). Kedua, “Yudafi’ul Dharurul ‘Am bitahmil Dharuurul Khas” (Bahaya umum dihindari dengan melakukan bahaya yang bersifat khusus). Ketiga, “La Yajuzu Irtikab Ma Yasuu ala Nafsi”(Tidak boleh melakukan sesuatu yang memberatkan) dan terakhir, Ad-Dharurat Yabihul Mahdhurat (Darurat membenarkan dilakukan hal-hal yang haram.)
Ihhwan dan Demokrasi
Setelah diratifikasi Maktab Irsyadi 16 September 1952, Ikhwan mengajukan proposal konstitusi Mesir kepada para pemimpin Revolusi Juli. Proposal ini menjadi dokumen resmi pertama sikap politik Ikhwan. Rancangan konstitusi yang terdiri dari 103 pasal ini melibatkan para pakar hukum, politik dan ekonomi kenamaan, diantaranya Mohammed Thaha Badawi (Profesor Hukum Universitas Alexandria). Abdel Aziz Atiyya (pakar politik), DR. Gharib al-Gammal (Professor Ekonomi), Ali Fahmi (Advokat), Mohammed Kamil (mantan Hakim Peradilan Militer).
Rancangan konstitusi ini menjelaskan tiga isu besar yang menjadi konsern demokrasi, yakni kebebasan berideologi dan agama, kebebasan berpendapat dan berorganisasi serta kesetaraan dalam hak sosial dan agama. Bahkan didalam rancangan konstitusi tersebut disediakan bab tersendiri yang mengatur sepenuhnya hak dan kebebasan individu yang harus dihormati negara dan tidak boleh diamandemen.
Syaikh Abdul Qadir al-Audah (Profesor Syariah Universitas Al-Azhar dan sekaligus salah satu pimpinan puncak Ikhwan) memberikan landasan teologis bagi perspektif ini. Dalam, ‘Al Islam wal Audhauna as-Syiasah’, beliau menegaskan bahwa kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya telah menjadi azas kehidupan umat Islam. Islam tidak hanya menjamin namun juga melindungi kebebasan dengan cara, pertama, menghormati hak orang lain dalam menyakini dan mengingkari sesuatu, kedua, mewajibkan negara melindungi kebebasan itu.
Salah satu prinsip kebebasan ini dijelaskan dalam pasal 85 konstitusi Ikhwan:”Tidak boleh menangkap, memenjarakan atau mengasingkan seseorang dengan cara sewenang-wenang, tidak boleh ada seorangpun yang diperkenankan ikut campur dan bertindak secara represif dalam kehidupan pribadi, keluarga atau tulisan-tulisannya”. Secara eksplisit rancangan konstitusi ini menegaskan bahwa orang tidak dapat dihukum karena tulisan atau pikirannya.
Dalam konteks persamaan dan kesetaraan di depan hukum (equality before law), pasal 77 dan 78 konstitusi Ikhwan menyebutkan:”Manusia dilahirkan sederajat dalam kemuliaan, hak dan kebebasan tanpa sedikitpun perbedaan karena asal keturunan, bahasa, agama dan warna kulit” dan selajutnya pasal 78,”Setiap individu memiliki hak dalam kehidupan, kebebasan dan kesetaraan dihadapan undang-undang”. Ikhwan berpedapat bahwa kalangan non Muslim berhak menunaikan hak dan kesempatan politik secara sama dan sederajat dengan kaum Muslimin kecuali dalam kepemimpinan puncak. DR. Ibrahim Zamoul, salah satu anggota komite dan pakar hukum menjelaskan bahwa konstitusi ini memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara dengan tanpa membedakan agama dan ras untuk mendapatkan hak atas pos-pos publik.
Pandangan ini menurut Yusuf Qaradhawi -pemikir kenamaan Ikhwan- sejalan dengan perintah berbuat adil dan ihsan dalam dalam surat al-Muntahanah ayat 8-9,
”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah Hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu Karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Menurut beliau, berbuat adil adalah memberikan hak-hak mereka dan berlaku ihsan adalah memberikan sesuatu yang lebih dari apa yang menjadi hak mereka serta tidak menuntut kembali hak-hak yang telah diberikan itu.
Adapun berkaitan dengan hak mengorganisir diri dalam kelompok, pasal 80 konstitusi menyebutkan:”Setiap individu bersama orang lain berhak untuk membuat perserikatan-perserikatan yang ada untuk membela kepentingannya”. Bahkan lebih maju lagi dalam komunikenya di 1994, Ikhwan secara tegas mendukung prinsip multipartai. Ikhwan menganggap sistem ini sebagai artikulasi kepentingan kemaslahatan masyarakat, wujud kontrol masyarakat atas penyelenggara negara yang berdiri diatas prinsip keadilan, persamaan dan kebutuhan akan adanya rotasi kekuasaan diantara partai-partai politik. Ikhwan menyamakan pluralisme dan multipartai dengan keragaman dalam aliran fiqh dan aqidah dalam sejarah Islam.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: