Obama, Lobby Yahudi dan Kebijakan Luar Negeri AS

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 08.12

*Ahmad Dzakirin 
“Tidak ada Presiden AS yang mampu menghadapi Israel” 
Ini adalah ucapan frustasi Laksamana Thomas Moorer, mantan Kepala Staf Angkatan Laut (1970-1974) karena pemerintah AS tidak menghukum Israel atas kejahatannya menyerang kapal perang Amerika, USS Liberty. Padahal serangan itu menewaskan 34 tentara AS dan melukai 173 lainnya. Alih-alih, Presiden Lyndon Johnson justru memerintahkan AL tutup mulut sembari menjelaskan kepada publik bahwa insiden tersebut tidak disengaja.

40 tahun insiden telah berlalu namun sikap itu tidak berubah. AS tetap menganak-emaskan Israel. Negara Zionis itu menjadi negara penerima bantuan terbesar AS sejak 1973. Seperlima dari total bantuan asing, 3 milyar dolar pertahunannya atau 500 dolar setiap kepala orang Israel per tahun. Jika penerima bantuan lainnya mendapatkan donasinya per triwulan maka Israel secara istimewa memperolehnya di awal tahun fiskal. Hal ini cukup mengejutkan mengingat Israel adalah satu-satunya negara industri yang masih menerima bantuan AS. Pendapatan perkapita Israel sendiri sejajar dengan Korea Selatan dan Spanyol. Sebaliknya, -dalam beberapa kasus- sikap Israel parasitis atas inangnya, AS.

Tidak pelak, beberapa politisi dan akademisi AS –kendati bukan arus utama- mengkritik fenomena tersebut. Misalnya, dua akademisi terkemuka dari Universitas Princeton, Stephen Waltz dan John Mearsheimer dalam Jurnal London Review of Book, Maret 2006. Keduanya menyatakan bahwa kebijakan luar negeri (LN) AS tidak mengabdi kepada kepentingan nasional dan bahkan mengancam keamanan AS. “Situasi ini tidak ada padanannya dalam sejarah politik Amerika. Mengapa AS rela mengesampingkan keamanan nasionalnya hanya untuk mengamankan kepentingan negara asing?” Dalam pandangan keduanya, perang Irak dan retorika perang atas Iran sepenuhnya mewakili kepentingan Israel dan tidak merepresentasikan kepentingan nasional AS.

Kini, citra AS babak belur di dunia Islam, sekalipun dimata sekutunya sendiri. Hasil survey Pew Global Attitude Project 2005 di 50 negara menunjukkan mayoritas responden solid memiliki pandangan yang negatif atas AS. Rating positif AS disepanjang 5 tahun di mata dunia Islam terutama kawasan Timur Tengah –meski fluktuatif- tetap berada dalam posisi lebih rendah ketimbang rating positifnya. Setali tiga uang dengan hasil dengan hasil survey Congressional Research di Indonesia, negara Muslim terbesar. Rating positif AS anjlok 15 persen di 2003 dari 75 persen di 1999. Padahal sejujurnya kepentingan politik dan ekonomi negara adidaya itu ada di negara-negara Islam.

Sebuah pertanyaan mengemuka adalah apakah Presiden terpilihnya Barack Hussein Obama mampu keluar dari tradisi dan mainstream kebijakan LN AS yang merugikan tersebut? Mengutip Andrew Kohut setidaknya ada empat isu kebijakan LN yang mendorong sentimen negatif Dunia Islam dan berpuncak pada duet Bush-Cheney. Pertama, kebijakan perang AS yang berlanjut di Irak dan Afghanistan. Kedua, kampanye anti terror AS yang dipersepsikan sebagai kampanye memerangi Islam. Ketiga, Persepsi publik atas kebijakan unilateralis AS yang tidak menghormati PBB dan yang keempat, kebijakan pro-Israel yang merugikan rakyat Palestina dan dunia Arab.

Dalam konteks Timur Tengah, Paul Craig Robert, mantan asisten sekretaris Menteri Keuangan dalam Pemerintahan Reagen dan sekaligus associate editor Wall Street Journal termasuk yang meragukan adanya perubahan berarti dalam kebijakan LN AS. Pandangan kurang lebih serupa disampaikan Robin Bush, Manager Asia Foundation Indonesia. Dia menyatakan akan banyak revisi kebijakan yang fundamental dari pemerintahan sebelumnya selain kebijakan tentang Israel dan Iran.

Ada ada dua hal yang setidaknya menandai pengaruh Zionis masih bertahan dalam politik luar negeri AS dalam pemerintahan Obama kelak. Pertama, Obama adalah salah satu diantara banyak kandidat Presiden AS lainnya yang harus menghadiri dan berbicara didepan pertemuan tahunan lobby Yahudi AIPAC, selain terkuat lainnya yakni (Anti Defamation League) B’nai B’rith. Sebagai lazimnya, akan banyak pujian dan komitmen politik yang pasti dilontarkan para kandidat demi mendapatkan dukungan politik dari lobby Yahudi, sekalipun irasional. Karena hampir-hampir tidak ada kandidasi di puncak politik AS ini yang sukses tanpa dukungan dan restu dari kelompok-kelompok kepentingan ini (interest groups). Sebut saja Clinton. Tanpa ragu. dia mengumbar janjinya.”Orang-orang Israel pasti tahu jika pasukan Irak atau Iran menyeberang Sungai Jordan, saya pribadi akan angkat senjata, bertahan di parit perlindungan, bertempur dan siap mati untuk itu.” (New York Time, 8/2002) Tidak ketinggalan Obama. Dalam pidato menjelang nominasinya di depan konpersni tahunan AIPAC, dia berjanji melindungi Israel dan bahkan mendukung klaim Yerusalem sebagai ibukota abadi dan tak terpisahkan (eternal and indivisible capital) bagi Israel yang ditentang masyarakat internasional. Kendati untuk yang terakhir, dia meralatnya di lain hari.

Kedua, pemilihan Rahm Israel Emanuel, -keturunan Yahudi yang pernah berdinas di militer Israel dalam Perang Teluk Pertama- sebagai Kepala Staff Gedung Putih, mengisyaratkan secara politik bahwa Obama tidak akan keluar dari lingkar pengaruh elit mereka. Tanpa provokasi apapun, sang ayah sesumbar bahwa pengangkatan anaknya tidak lain sebagai kepanjangan kepentingan Israel. Meski Rahm sesudahnya meminta maaf atas komentar ayahnya.
Selain itu, cengkeraman Lobby Yahudi atas para anggota Konggres baik dari Demokrat dan Republik baik yang lawas maupun yang baru sangat kuat. Baru-baru ini -mengutip Harian Star-Tribune, sayap lembaga amal AIPAC, AIEF memberangkatkan 40 anggota Konggres baru, mayoritasnya dari Demokrat- ke Israel untuk menemui para pemimpin Israel. Termasuk didalamnya lawatan pribadi selama sepekan Keith Ellison anggota konggres Muslim pertama yang sempat diguncang isu rasis dalam pencalonannya.

Obama kini tengah diuji apakah modal politik, sosial dan kultural yang besar -yang hampir setara dengan John F. Kennedy- mampu melahirkan keberanian (meralat ucapannya dan kepala stafnya) dan sekaligus harapan (dari keluarga yang memiliki historisitas Muslim) untuk keluar dari stereotype kebijakan politik luar negeri yang sejatinya merugikan AS. Atau memang skeptimisme Thomas Moore benar adanya. Kita tunggu. Wallahu a’lam

*Tulisan untuk Majalah Profetik edisi 2

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget