*Alfred W. McCoy
Krisis muncul serta merta, tanpa peringatan sama sekali. Di pusat kekuasaan Amerika di Asia ini, kondisi menjadi semakin memburuk. Kekuatan para pemberontak menyebar pesat. Korupsi menjadi fenomena biasa. Pasukan militer lokal, penerima bantuan jutaan dollar dari Amerika tidak berdaya dan dilecehkan penduduk setempat. Korban di pihak Amerika meningkat tajam. Pasukan kami terus bergerak dalam kabut, mewaspadai serangan mendadak musuh, melewati perbukitan yang asing, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan.
Bertahun-tahun setelah menghambur-hamburkan bantuan Amerika, kini sekutu dekat kami terisolasi di istana kepresidenan, tidak berdaya. Saudaranya dikenal sebagai pangeran kegelapan, yang melakukan serangkaian perdagangan gelap obat bius, intrik dan manipulasi pemilu. Kedutaan Amerika menuntut adanya reformasi, pemilihan pejabat lokal yang jujur namun dapat menyingkirkan saudaranya, suatu hal yang sulit terpenuhi. Bagaimanapun juga, 9 tahun sebelumnya, AS telah melakukan perjudian besar dengan mengembalikannya dari pengungsian dan menjadikannya sebagai presiden boneka. AS menyingkirkan pemerintahan monarki yang telah berkuasa lama. Namun kini, dia membayar kembali hutang politiknya dengan penghinaan kepada Amerika. Dengan alasan kedaulatan, dia mengancam akan berkoalisi dengan musuh Amerika jika kami terus menerus menuntut reformasi.
Skenario ini adalah gambaran yang pas bagi pemerintahan Obama atas Presiden Afghanistan, Hamid Karzai. Hal yang hampir mencerminkan keadaan sama dengan pemerintahan Kennedy dengan Presiden Vietnam Selatan, Ngo Dinh Diem di Saigo, Agustus 1963. Kedua peristiwa ini mengungkap paradok kekuasaan Amerika selama setengah abad lebih dalam berinteraksi dengan para birokrat negara dunia ketiga.
Hamid Karzai merefleksikan tipologi otokrat yang didukung Amerika di Asia, Amerika Selatan atau Afrika pasca PD II. Ketika CIA memobilisasi para pemimpin suku di Afghanistan untuk menentang Taliban, Oktober 2001, Kabul akhirnya jatuh dibawah kendali Amerika. Ditengah kondisi kacau balau, Hamid Karzai mengumpulkan para pendukungnya dan turun ke Afghanistan untuk menjalankan misi CIA: Memimpin pemberontakan. Operasi ini ternyata tidak mudah. Amerika harus menerjunkan pasukan elit SEAL untuk membawanya kembali ke Pakistan.
Putus asa untuk mendapatkan sekutu terpercaya, pemerintah Bush harus melakukan serangkaian aksi “penyuapan, perjanjian rahasia dan tukar menukar senjata” untuk menjadikan Hamid Karzai berkuasa. Rekayasa ini tidak melalui proses demokratis. AS melobi para diplomat asing dalam Konperensi Negara-Negara Donor di Bonn, Jerman untuk bersedia mengangkatnya sebagai presiden sementara. Ketika Zahir Syah, mantan raja Afghanistan yang terguling menawarkan diri untuk menjadi kepala Negara sementara, AS menolaknya dan memerintahkannya tetap di pengasingan.
Bertahun-tahun berkuasa, Karzai menjadi korup dan tidak becus mengelola negara. Sekutu NATO mau tidak mau harus mengisi kekosongan tersebut demi menopang pemerintahannya. Milyaran dollar yang dikucurkan oleh Negara donor tidak menyentuh kehidupan rakyat. Di 2009, Transparansi Internasional menempatkan Afghanistan berada di posisi kedua negara terkorup di dunia dibawah Somalia.
Ketika produksi opium meningkat dari 185 ton di 2001 menjadi 8200 ton (53 persen pendapatan ekonomi negeri ini), enam tahun kemudian praktek korupsi obat bius ini menggejala di semua level pejabat. Mulai dari gubernur, kepolisian, kementerian cabinet, saudara presiden sendiri hingga penasehat presiden. “Korupsi obat bius menyetuh hingga level puncak pemerintahan,” tutur pejabat anti obat bius Amerika. PBB menaksir rakyat Afghan mengeluarkan tidak kurang 2,5 milyar setahunnya, seperempat GDP untuk menyuap kepolisian dan para pejabat pemerintah.
Pemilu Presiden Agustus lalu adalah indeks yang tepat mengukur kemajuan negeri ini. Tim kampanye Karzai termasuk diantaranya Abdul Dostum, yang pernah membantai banyak tawanan di 2001, serta kandidat wakil Presiden Muhammed Fahim yang diduga terkait dengan perdagangan obat bius dan pelanggaran HAM. Sher Muhammed Akhundzada, mantan Gubernur Provinsi Helmand yang pernah tertangkap karena memiliki 9 ton obat bius di rumahnya di 2005 beserta saudara Presiden, Ahmed Wali Karzai dikenal sebagai raja bius di Kandahar. “Keluarga Karzai memiliki darah opium di tangannya,” ungkap pejabat intelejen Barat.
Khawatir tidak dapat memenangkan suara mayoritas dalam putaran pertama pilpres, koalisi Karzai melakukan manipulasi. Setelah dua bulan masa penghitungan, Komisi Keluhan Pemilu PBB mengumumkan Oktober 2009 bahwa dari total satu juta pemilih, 28 persen diantaranya terbukti dicurangi. Walhasil, Karzai menang. “Kecurangan pilpres akan menjadi titik tolak kemenangan strategis Taliban setelah 8 tahun berperang melawan AS dan partner Afghannya,” analisis utusan PBB Peter Galbraith.
Namun Galbraith akhirnya disingkirkan dan dibungkam. Pesaing runner up-nya mundur dari pertarungan babak berikutnya sehingga Karzai dinyatakan menang. Ditengah kekisruhan Pemilu, Karzai menempatkan orang-orangnya dalam keanggotaan Komisi Keluhan Pemilu dan mengganti tiga tenaga ahli asing dengan orang-orang pilihannya. Ketika parlemen menolak manuvernya, dia serta merta menuduh PBB berkepentingan menempatkan “pemerintahan boneka” dan menyalahkan segala kekisruhan pemilu kepada campur tangan asing. Kepada parlemen, Karzai mengatakan, “Jika kalian dan masyarakat internasional terus menerus menekan saya, saya bersumpah akan bergabung dengan Taliban.”
Ditengah carut marut itu, pasukan Amerika menekan Karzai untuk segera melakukan reformasi. Dalam pertemuannya dengan Karzai, 28 Maret, Presiden Obama menekankan “prioritas pemberantasan korupsi dan memerangi perdagangan obat bius.” Pemerintahan baru di Washington bertekad mengendalikan kembali Karzai.
Bertahun-tahun setelah menghambur-hamburkan bantuan Amerika, kini sekutu dekat kami terisolasi di istana kepresidenan, tidak berdaya. Saudaranya dikenal sebagai pangeran kegelapan, yang melakukan serangkaian perdagangan gelap obat bius, intrik dan manipulasi pemilu. Kedutaan Amerika menuntut adanya reformasi, pemilihan pejabat lokal yang jujur namun dapat menyingkirkan saudaranya, suatu hal yang sulit terpenuhi. Bagaimanapun juga, 9 tahun sebelumnya, AS telah melakukan perjudian besar dengan mengembalikannya dari pengungsian dan menjadikannya sebagai presiden boneka. AS menyingkirkan pemerintahan monarki yang telah berkuasa lama. Namun kini, dia membayar kembali hutang politiknya dengan penghinaan kepada Amerika. Dengan alasan kedaulatan, dia mengancam akan berkoalisi dengan musuh Amerika jika kami terus menerus menuntut reformasi.
Skenario ini adalah gambaran yang pas bagi pemerintahan Obama atas Presiden Afghanistan, Hamid Karzai. Hal yang hampir mencerminkan keadaan sama dengan pemerintahan Kennedy dengan Presiden Vietnam Selatan, Ngo Dinh Diem di Saigo, Agustus 1963. Kedua peristiwa ini mengungkap paradok kekuasaan Amerika selama setengah abad lebih dalam berinteraksi dengan para birokrat negara dunia ketiga.
Hamid Karzai merefleksikan tipologi otokrat yang didukung Amerika di Asia, Amerika Selatan atau Afrika pasca PD II. Ketika CIA memobilisasi para pemimpin suku di Afghanistan untuk menentang Taliban, Oktober 2001, Kabul akhirnya jatuh dibawah kendali Amerika. Ditengah kondisi kacau balau, Hamid Karzai mengumpulkan para pendukungnya dan turun ke Afghanistan untuk menjalankan misi CIA: Memimpin pemberontakan. Operasi ini ternyata tidak mudah. Amerika harus menerjunkan pasukan elit SEAL untuk membawanya kembali ke Pakistan.
Putus asa untuk mendapatkan sekutu terpercaya, pemerintah Bush harus melakukan serangkaian aksi “penyuapan, perjanjian rahasia dan tukar menukar senjata” untuk menjadikan Hamid Karzai berkuasa. Rekayasa ini tidak melalui proses demokratis. AS melobi para diplomat asing dalam Konperensi Negara-Negara Donor di Bonn, Jerman untuk bersedia mengangkatnya sebagai presiden sementara. Ketika Zahir Syah, mantan raja Afghanistan yang terguling menawarkan diri untuk menjadi kepala Negara sementara, AS menolaknya dan memerintahkannya tetap di pengasingan.
Bertahun-tahun berkuasa, Karzai menjadi korup dan tidak becus mengelola negara. Sekutu NATO mau tidak mau harus mengisi kekosongan tersebut demi menopang pemerintahannya. Milyaran dollar yang dikucurkan oleh Negara donor tidak menyentuh kehidupan rakyat. Di 2009, Transparansi Internasional menempatkan Afghanistan berada di posisi kedua negara terkorup di dunia dibawah Somalia.
Ketika produksi opium meningkat dari 185 ton di 2001 menjadi 8200 ton (53 persen pendapatan ekonomi negeri ini), enam tahun kemudian praktek korupsi obat bius ini menggejala di semua level pejabat. Mulai dari gubernur, kepolisian, kementerian cabinet, saudara presiden sendiri hingga penasehat presiden. “Korupsi obat bius menyetuh hingga level puncak pemerintahan,” tutur pejabat anti obat bius Amerika. PBB menaksir rakyat Afghan mengeluarkan tidak kurang 2,5 milyar setahunnya, seperempat GDP untuk menyuap kepolisian dan para pejabat pemerintah.
Pemilu Presiden Agustus lalu adalah indeks yang tepat mengukur kemajuan negeri ini. Tim kampanye Karzai termasuk diantaranya Abdul Dostum, yang pernah membantai banyak tawanan di 2001, serta kandidat wakil Presiden Muhammed Fahim yang diduga terkait dengan perdagangan obat bius dan pelanggaran HAM. Sher Muhammed Akhundzada, mantan Gubernur Provinsi Helmand yang pernah tertangkap karena memiliki 9 ton obat bius di rumahnya di 2005 beserta saudara Presiden, Ahmed Wali Karzai dikenal sebagai raja bius di Kandahar. “Keluarga Karzai memiliki darah opium di tangannya,” ungkap pejabat intelejen Barat.
Khawatir tidak dapat memenangkan suara mayoritas dalam putaran pertama pilpres, koalisi Karzai melakukan manipulasi. Setelah dua bulan masa penghitungan, Komisi Keluhan Pemilu PBB mengumumkan Oktober 2009 bahwa dari total satu juta pemilih, 28 persen diantaranya terbukti dicurangi. Walhasil, Karzai menang. “Kecurangan pilpres akan menjadi titik tolak kemenangan strategis Taliban setelah 8 tahun berperang melawan AS dan partner Afghannya,” analisis utusan PBB Peter Galbraith.
Namun Galbraith akhirnya disingkirkan dan dibungkam. Pesaing runner up-nya mundur dari pertarungan babak berikutnya sehingga Karzai dinyatakan menang. Ditengah kekisruhan Pemilu, Karzai menempatkan orang-orangnya dalam keanggotaan Komisi Keluhan Pemilu dan mengganti tiga tenaga ahli asing dengan orang-orang pilihannya. Ketika parlemen menolak manuvernya, dia serta merta menuduh PBB berkepentingan menempatkan “pemerintahan boneka” dan menyalahkan segala kekisruhan pemilu kepada campur tangan asing. Kepada parlemen, Karzai mengatakan, “Jika kalian dan masyarakat internasional terus menerus menekan saya, saya bersumpah akan bergabung dengan Taliban.”
Ditengah carut marut itu, pasukan Amerika menekan Karzai untuk segera melakukan reformasi. Dalam pertemuannya dengan Karzai, 28 Maret, Presiden Obama menekankan “prioritas pemberantasan korupsi dan memerangi perdagangan obat bius.” Pemerintahan baru di Washington bertekad mengendalikan kembali Karzai.
Orang Kami di Saigon
Sejarah hitam rejim otokratik Ngo Dinh Diem di Saigon (1954-1963) menjelaskan gambaran awal sikap kontradiktif Amerika atas para sekutunya yang otoriter.
Menjejakkan kembali kakinya di Saigon untuk pertama kalinya di pertengahan 1954 setelah bertahun-tahun dalam pengasingannya di AS dan Eropa, Diem jelas tidak memiliki basis politik yang riil. Dia hanya mengandalkan patron politiknya di Washington, khususnya para senator Demokrast seperti Mike Mansfield dan John F Kennedy. Salah satu orang yang menyambut Diem di bandara adalah Edward Lansdale, pakar manipulasi politik kenamaan di Asia Tenggara. Ditengah kekacauan pasca kekalahan Perancis dalam Perang Indo China, Lansdale bermanuver untuk mengamankan Vietnam Selatan dengan menempatkan pemerintahan boneka Diem. Untuk itu, AS mengirim rivalnya, Kaisar Bao Dai ke tempat pengasingannya di Paris. Hanya dalam beberapa bulan, atas dukungan AS, Diem memenangkan pemilu presiden yang dicurangi dengan meraih suara 98,2 persen. Dia segera menyusun konstitusi baru yang menempatkan dirinya sebagai raja baru.
Washington berupaya keras menyingkirkan semu jejak warisan kolonial Perancis di Vietnam Selatan. Sementara semua bantuan keuangan AS mengalir melalui Diem. Akhirnya dia mendapatkan dukungan politik dari kalangan terbatas militer, aparat birokrasi dan minoritas Katolik. Selanjutnya Diem memperlakukan kasar kalangan sekte Buddha dan menindas para veteran Viet Minh yang berjasa dalam mengusir Perancis. Dia menentang keras rencana reformasi wilayah pedesaan yang sebenarnya akan menarik dukungan kalangan petani.
Saat AS menuntut reformasi, dia mengabaikannya. Dia yakin Washington sangat membutuhkannya sehingga tidak mungkin menarik dukungannya. Seperti Karzai di Kabul, senjata utama Diem adalah kelemahannya. Jika pemerintahan Diem ditekan lebih keras maka dengan mudah jatuh.
Walhasil, AS mengurungkan niatnya untuk menuntut reformasi agar dapat menghadapi pemberontakan penduduk local dan Vietcong yang didukung Vietnam Utara. Ketika ketidaksukaan dan perlawanan memuncak di Selatan, Washington semakin meningkatkan bantuan militernya. Diem menggunakan bantuan itu untuk memberangus rakyatnya sendiri baik dari kalangan komunis maupun non komunis.
Bekerjasama dengan saudaranya, Ngo Dinh Nhu, Diem mengendalikan jaringan obat bius di Saigon dan menanguk keuntungan besar dari bisnis haram ini. Selain itu, Diem juga membangun jaringan polisi rahasia, penjara dan kamp konsentrasi untuk menghadapi para penantangnya. Saat kejatuhannya di 1963, tidak kurang 50 ribu tawanan politik meringkuk dalam penjara gulagnya.
Dari 1960-1963, kekuasaannya melemah karena penentangan kalangan Budha. Mereka melakukan aki demonstrasi di banyak kota. Kesempatan itu dimanfaatkan para pemberontak komunis dengan meningkatkan perlawanan di daerah pedesaan. Di malam hari, pemberontak Vietcong mengepung Saigon dan membantai ribuan milisi bentukan Diem di desa-desa.
Selama tiga tahun, misi militer AS di Saigon mencoba menerapkan pelbagai strategi anti pemberontakan. Mereka mengerahkan helicopter dan kendaraan yang dilengkapi persenjataan untuk memudahkan pergerakan. Selain itu, AS juga menerjunkan pasukan baret hijau untuk melakukan perang non konvensional, membentuk pasukan milisi dan menerapkan strategi Hamlet dalam upayanya mengisolasi 8 juta penduduk dari pengaruh pemberontak dan membunuhi orang-orang yang diduga sebagai pimpinan Vietcong. Namun tak satupun strategi ini yang sukses. Ternyata semua strategi terbaik yang dimiliki AS tidak dapat mengatasi problema yang terjadi. Sampai 1963, Vietcong bangkit sebagai kekuatan gerilya yang mampu mengendalikan separo lebih wilayah pedesaan.
Juni 1963, Pendeta Budha Quang Duc melakukan aksi protes dengan membentuk posisi teratai di jalanan Saigon. Tiba-tiba salah seorang pengikutnya menyiramkan bensin ke bajunya. Api segera membakar sekujur tubuhnya. Pemerintah Kennedy marah besar ketika pasukan Diem membubarkan paksa aksi protes itu dengan memukuli kepala para pendeta sementara istri Nhu menyoraki aksi bakar diri itu dengan menyebut sebagai “pesta daging panggang pendeta”. AS mengajukan protes keras atas aksi brutal itu. Sebagai responnya, Diem melalui saudaranya Nhu melakukan negosiasi dengan kelompok Komunis. Maneuver itu memberikan sinyal kepada Washington bahwa Diem telah berkhianat dan menjalin koalisi dengan Vietnam Selatan.
Ditengah krisis, Duta Besar baru AS, Henry Cabot Lodge tiba di Saigon dan dalam beberap hari menyetujui rencana AS untuk mengkudeta Diem. Selama beberapa bulan berikutnya, pejabat CIA Lucien Conein melakukan pertemuan rutin dengan para Jenderal Saigon untuk menyiapkan kudeta pada 1 November 1963.
Ketika tentara menyerbu istana. Diem melarikan diri ke tempat persembunyiannya di Chinatown. Diyakinkan aman di pengasingan, dia setuju naik konvoi militer ke bandara. Namun Conein memveto rencana itu. Kendaraan mereka dicegat oleh sekelompok pasukan pembunuh CIA. Diem diberondong peluru dan ditikam berkali-kali.
Meskipun Duta Besar berpesta atas keberhasilan kudeta itu namun tidak lama, negeri ini lumpuh karena serangkaian aksi kudeta dan anti kudeta milter. Selama 32 bulan, Saigon berganti pemerintahan sebanyak 9 kali. Reshuffle kabinet terjadi di setiap minggunya karena praktek korupsi dan ketidakbecusan.
Setelah satu dekade mendukung rejim Diem namun dalam satu hari menghancurkannya, AS tak terhindarkan lagi mengaitkan kekuasaan dan prestisenya dengan rejim yang didukungnya. “Hal yang tercerdas dan terbaik” yang dapat dilakukan AS adalah bahwa mereka tidak akan mundur dari Vietnam Selatan karena beranggapan langkah tersebut akan merusak kredibilitas negara adi daya itu. Dua tahun kemudian, gelombang pertama dari 540 ribu pasukan tempur Amerika dikirim. Mereka hendak merubah perang yang didukung Amerika menjadi perang Amerika.
Untuk itu, Amerika bekerja keras mencari orang yang dapat memimpin perang melawan komunis. Akhirnya pilihan itu jatuh kepada rejim militer yang dipimpin Jenderal Nguyen Van Thieu. Dengan didukung AS secara finansial dan keuangan, Thieu mengendalikan pemerintahan yang tidak popular dengan tangan besi, mengulangi kesalahan sama yang dilakukan Diem. Namun Amerika mengabaikannya. Alih-alih, Thieu semakin memperkuat pasukannya. Baru di 1973, ketika Washington mulai mengurangi bantuannya, Thieu menyadari bahwa pasukannya tidak mau lagi bertempur untuk dirinya. Dia akhirnya melarikan diri dengan membawa batangan emas curian. Akibatnya, pasukannya langsung tercerai berai dalam waktu singkat. Peristiwa itu menandai kejatuhan kejatuhan militer terbesar dalam sejarah.
Dalam upayanya memenangkan Perang Vietnam, Washington menuntut pemerintahan Saigon untuk: membangun popularitas ditengah petani agar dapat bertempur di daerah pedesaan dan sensitif atas kebutuhan masyarakat desa yang kebanyakan miskin. Namun keinginan itu semua sia-sia. Mereka mendapati rejim sipil tidak mampu mengendalikan intrik di kalangan mereka sendiri, akhirnya AS lebih memilih militer untuk memerintah. Namun pada kenyataannya rejim militer lebih dibenci petani.
Meskipun Duta Besar berpesta atas keberhasilan kudeta itu namun tidak lama, negeri ini lumpuh karena serangkaian aksi kudeta dan anti kudeta milter. Selama 32 bulan, Saigon berganti pemerintahan sebanyak 9 kali. Reshuffle kabinet terjadi di setiap minggunya karena praktek korupsi dan ketidakbecusan.
Setelah satu dekade mendukung rejim Diem namun dalam satu hari menghancurkannya, AS tak terhindarkan lagi mengaitkan kekuasaan dan prestisenya dengan rejim yang didukungnya. “Hal yang tercerdas dan terbaik” yang dapat dilakukan AS adalah bahwa mereka tidak akan mundur dari Vietnam Selatan karena beranggapan langkah tersebut akan merusak kredibilitas negara adi daya itu. Dua tahun kemudian, gelombang pertama dari 540 ribu pasukan tempur Amerika dikirim. Mereka hendak merubah perang yang didukung Amerika menjadi perang Amerika.
Untuk itu, Amerika bekerja keras mencari orang yang dapat memimpin perang melawan komunis. Akhirnya pilihan itu jatuh kepada rejim militer yang dipimpin Jenderal Nguyen Van Thieu. Dengan didukung AS secara finansial dan keuangan, Thieu mengendalikan pemerintahan yang tidak popular dengan tangan besi, mengulangi kesalahan sama yang dilakukan Diem. Namun Amerika mengabaikannya. Alih-alih, Thieu semakin memperkuat pasukannya. Baru di 1973, ketika Washington mulai mengurangi bantuannya, Thieu menyadari bahwa pasukannya tidak mau lagi bertempur untuk dirinya. Dia akhirnya melarikan diri dengan membawa batangan emas curian. Akibatnya, pasukannya langsung tercerai berai dalam waktu singkat. Peristiwa itu menandai kejatuhan kejatuhan militer terbesar dalam sejarah.
Dalam upayanya memenangkan Perang Vietnam, Washington menuntut pemerintahan Saigon untuk: membangun popularitas ditengah petani agar dapat bertempur di daerah pedesaan dan sensitif atas kebutuhan masyarakat desa yang kebanyakan miskin. Namun keinginan itu semua sia-sia. Mereka mendapati rejim sipil tidak mampu mengendalikan intrik di kalangan mereka sendiri, akhirnya AS lebih memilih militer untuk memerintah. Namun pada kenyataannya rejim militer lebih dibenci petani.
Mati Atau Mengasingkan Diri
Apakah Presiden Karzai akan mengalami nasib sama dengan Diem, mati di pinggiran jalan Kabul atau tengah melarikan diri ke pengungsian? Sejarah atau setidaknya kesadaran atas pelajaran sejarah tidak banyak berubah. Kini, utusan senior AS mengungkapkan pelajaran Diem dalam pesan diplomatiknya. Hanya apakah mereka hendak belajar dari keinginan untuk memutar kembali pendulum itu. AS frustasi ketika Vietnam Selatan jatuh dalam situasi tidak terkendali. Dukungan AS terhadap rejim militer ternyata menjadi kesalahan fatal Amerika.
Satu dekade kemudian, Komite Gereja Senat mengungkapkan pelbagai upaya pembunuhan yang dilakukan AS dalam setiap aksi penggantian rejim di Kongo, Chili, Kuba dan Republik Dominika. Maka tak telak, fenomena tersebut menstigmatisasi pilihan AS. Selain itu, bencana akibat pembunuhan Diem yang dilakukan CIA semakin mengurangi kemungkinan Amerika melakukan hal itu pada diri Karzai.
Hanya ironisnya, orang-orang yang mencoba menghindari kejadian masa lalu ternyata kembali mengulangnya. Dengan menerima manipulasi pemilu yang dilakukan Karzai dan menolak mempertimbangkan alternatif tindakan, Washington suka atau tidak suka menerima kenyataan tersebarnya korupsi dan instabilitas politik yang akan muncul kemudian. Pemerintahan Obama diawal jabatannya telah melakukan keputusan politik yang salah di Afghanistan sehingga berpotensi mengulang kembali kejadian di Vietnam Selatan pasca terbunuhnya Diem. Perwakilan Amerika di Kabul sekali lagi tidak mau belajar dari sejarah bahwa kekalahan telah berada didepan.
Pengalaman bersama dengan Diem dan Karzai menjadi pola umum aliansi AS dengan para diktator dunia ketiga yang biasanya berakhir dengan kekalahan. Pemerintahan yang dipasang Washington atau setidaknya yang didukung bantuan militer Amerika secara massif biasanya menjadikan figur yang berkuasa sangat tergantung. Ketergantungan tersebut berimplikasi kepada kegagalan melakukan reformasi yang pada dasarnya dibutuhkan dalam membangun basis politik. Rejim yang berkuasa kesulitan memenuhi dua kepentingan, yakni memuaskan patron asingnya pada satu sisi dan di disisi lain rakyatnya sendiri. Ketika penentangan meningkat maka jalan yang ditempuh adalah melakukan tindakan represi yang biasanya berakhir dengan kejatuhan. Washington sendiri mengalami frustasi dan keputusasaan karena tidak dapat mendesakkan tuntutan reformasi yang diharapkan menjadi jalan agar pemerintahan yang bersangkutan dapat survive. Bagi AS, kejatuhan tersebut menjadi krisis utama bagi Gedung Putih.
Selalu ada cacat struktural yang bersifat fundamental dalam aliansi Amerika dengan para autokrat tersebut. Cacat itu adalah aliansi tidak seimbang antara kedua belah pihak sehingga kejatuhan rejim boneka itu menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. AS sejak awal mengadopsi klien yang siap menjalankan keinginan Amerika. Klien tersebut dipilih Amerika bukan karena kuat namun karena dia membutuhkan patronase asing agar dapat berkuasa. Sekali didukung maka dia tidak memiliki pilihan lain. Tuntutan Washington akan menjadi prioritas utama. Dalam banyak hal, mereka akan tunduk kepada perwakilan Washington yang ditempatkan baik dalam kepentingan sipil maupun militer. Akibatnya, para otokrat itu gagal mengalokasikan sumber daya, energi dan perhatian secara efisien. Implikasinya, Diem terisolasi di istananya sedangkan Karzai menjadi presiden hanya dalam gelar. Di sendiri sering disindir sebagai “Walikota Kabul”. Kedua pemimpin tersebut terjebak dalam tarik menarik dua kepentingan sehingga pada akhirnya tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi perlawanan pemberontak. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan mereka frustasi dan tidak berdaya karena tekanan patron kliennya.
Hal semacam itu tidak hanya terjadi kepada Afghanistan atau Vietnam saja. Banyak krisis kebijakan luar negeri AS terjadi karena hubungannya dengan rejim kliennya yang otoritarian. Misalnya hubungan antara AS dengan Jenderal Fulgencio Batista Kuba di era 1950-an yang mendorong revolusi Kuba. Krisis ini pula yang menjadikan Fidel Castro dapat merebut Ibukota Kuba, Havana 1959 dan menjadikan pemerintahan Kennedy menghadapi krisis sebagai akibat invasi Teluk Babi dan penempatan misil Uni Soviet.
Selama seperempat abad, AS memainkan patron internasionalnya atas Shah Iran. AS mengintervensi untuk menyelamatkan rejim dari ancaman demokrasi di awal 1950-an dan kemudian mempersenjatai polisi dan militer Shah dan menjadikan Iran sebagai sekutu kuat AS di Teluk Persia. Kejatuhan Shah dalam revolusi Islam 1979 tidak hanya menjadi sandungan bagi AS di kawasan strategis ini namun menarik AS kedalam konfrontasi yang tiada henti dengan Iran.
*Profesor Sejarah Universitas Winconsin
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: