Sejak Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, Mahdi Akef menolak maju dalam bursa kepemimpinan Ikhwan periode berikutnya, kepemimpinan Ikhwan terbuka untuk kalangan generasi muda. Dinamika internal gerakan itu akan sangat mempengaruhi perjalanan dan arah organisasi kedepan.
Eksistensi gerakan Ikhwanul Muslimin adalah contoh sukses gerakan politik di kawasan Timur Tengah yang syarat dengan pergulatan. Ikhwan didirikan 8 dekade silam sebagai respon penjajahan Barat. Namun Ikhwan kini menjadi gerakan Islam internasional dan sekaligus gerakan politik yang popular di dunia Arab, sekalipun di sepanjang sejarahnya mengalami pelbagai aksi pemberangusan, isolasi diplomatik dan dinamika internasional.
Bagi Muslim yang taat, Ikhwan adalah ekspresi politik dan keberagamaan mereka. Bagi rakyat jelata, Ikhwan adalah refleksi sistem patronase yang peduli terhadap nasib mereka disaat negara tidak begitu memperhatikan mereka. Namun bagi Suriah, Mesir, Israel dan AS, Ikhwan adalah ancaman riil yang harus ditundukkan.
Sering berbenturan dengan penguasa, anggota Ikhwan menghadapi masa-masa panjang pemberangusan dan pembuangan. Namun justru akhirnya keberhasilan berada ditangan mereka. Meskipun pelbagai upaya dilakukan oleh musuh-musuhnya untuk memberikan citra buruk kepada gerakan ini namun banyak pula pakar seperti Diaa Rashwan dari Al Ahram Center for Political and Strategic Studies, Kairo yang tegas menyatakan Ikhwan adalah gerakan yang tulus melakukan perubahan politik secara damai.
Ikhwan seperti halnya Hamas, cabang otonomnya di Palestina menentang Israel dan kesepakatan Damai Camp David. Oleh karena itu, Ikhwan dimusuhi dan diisolasi Washington. AS tutup mata atas praktek pelanggaran HAM yang dilakukan rejim Mubarok karena langkah itu dipandang dapat mencegah perkembangan Ikhwan.
Sebagai gerakan politik, Ikhwan secara resmi dilarang namun anggotanya diijinkan berkampanye sebagai calon independen. Tiga tahun lalu, Ikhwan memenangi 88 kursi parlemen atau 22 persen kursi legislatif. Keberhasilan ini diikuti dengan kemenangan yang sama cabang-cabangnya dari Maroko hingga Teluk Persia. April 2007, anggota legislatif terkemuka AS menemui anggota senior Ikhwan di kediaman Duta Besar AS di Kairo. Kunjungan ini diinterpretasikan sebagai sinyal bahwa AS mengakui peran sentral Ikhwan dalam perpolitikan di dunia Arab. Namun pertemuan itu sendiri tidak banyak menghasilkan langkah konkret berikutnya. Obama sendiri tampaknya tidak akan memberi otorisasi bagi hubungan yang lebih hangat dengan gerakan ini.
Pertarungan di internal Ikhwan mulai terjadi, sebagiannya dipicu oleh suksesi kepemimpinan yang tengah terjadi. Peristiwa ini berbarengan dengan upaya gerakan ini keluar dari permusuhan yang dikobarkan rejim Mubarok dengan bantuan AS. Karena faktor-faktor geopolitik, Ikhwan beserta cabang-cabangnya lebih bersikap defensif di Timur Tengah.
Seiring dengan kedinamisan politik di kawasan ini, terutama pasca pidato Obama di Kairo, Ikhwan termasuk diantara yang masuk dalam spectrum itu. Mursyid Aam Ikhwan, Mohammad Mahdi Akef telah menyatakan bahwa dirinya tidak akan maju lagi dalam pencalonannya yang kedua di Januari 2010. Penolakan Mahdi Akef untuk mencalonkan kembali tak pelak akan membuka kepemimpinan Ikhwan kepada generasi yang lebih muda. Sementara itu, Mesir sedang siap-siap melakukan pemilu di musim gugur 2010 yang tampaknya akan menempatkan Gamal Mubarak sebagai pengganti ayahnya, Ikhwan sendiri sudah menegaskan penentangannya.
Ikhwan didirikan oeh Hasan al Banna, 1928, anak tertua dari lima bersaudara. Al Banna di usia mudanya adalah seorang pengikut tarikat dan penganut sufi yang taat. Setelah lulus dari universitas, beliau menjadi guru di sekolah pemerintah di Ismailiyyah, kota dekat Zona Kanal Suez yang dikontrol Inggris. Suatu hari, dikisahkan murid-muridnya meminta dia memimpin perjuangan mengembalikan kehormatan bangsa Arab yang dalam keadaan dijajah. Al Banna tersentuh dan menerima permintaan itu. Segera dia mengumumkan “mereka semua adalah saudara dalam hidmah atas Islam”. Penggunaan nama itupun berlanjut.
Al Banna adalah peletak landasan revolusi yang menantang para elit borjuise dan keagamaan yang telah mapan. Farid Abdel Khalek, salah seorang anggota Ikhwan menuturkan pertama kali mendengar pidato al Banna di sebuah pertemuan keagamaan di 1942,”Dia tidak berbicara teori namun juga kehidupan nyata,” dalam wawancara di 2006, saat itu usianya 93 tahun. “Dia berbicara Islam sebagai peradaban dan bagaimana umat menderita dibawah imperialisme, pendudukan dan keterbelakangan pasca kejatuhan kekhalifahan. Dia berbicara kepada kami. Ada hubungan antara kami.”
Ikhwan beraliansi dengan Gamal Abdel Nasser dalam revolusinya menentang monarki dukungan Inggris. Mereka menggulingkannya setelah menolak menyelenggarakan pemilu. Di 1964, intelektual radikal, Sayyid Qurb memimpin kelompok pecahan Ikhwan dalam sebuah kup yang gagal melawan Nasser. Qutub ditahan dan dieksekusi mati. Upaya pemberangusan atas arus utama Ikhwan menyebabkan para pemimpin Iikhwan berimigrasi. Imigrasi ini kemudian menjadi bagian internasionalisasi Ikhwan.
Anwar Saddat yang menggantikan Nasser setelah kematiannya di 1970 memulihkan Ikhwan sebagai penyeimbang bangkitnya gerakan kiri di era 70-an persis pemerintah AS menggunakan kelompok Islamis untuk menahan nasionalis Arab yang condong sosialis sebelumnya.
Dibawah Saddat dan kemudian Mubarak, Ikhwan menampilkan dirinya sebagai pendukung perubahan sipil yang damai. Ikhwan kini mengembangkan jaringan pelayanan sosial yang luas. Kerja sosial mereka berkembang pesat sehingga menjadi mesin politik Ikhwan yang tangguh. Ikhwan masuk dalam kehidupan rakyat Mesir pada umumnya. Para perwakilan Ikhwan yang merepresentasikan sebagai kelompok sipil secara rutin melobi para anggota legislatif AS agar memperlunak sikapnya atas organisasi ini. Namun sejauh ini konggres menolak dan lebih menyukai mendekati kelompok sipil lainnya ketimbang Ikhwan.
Di 2005, sebagai respon kampanye George Bush untuk Timur Tengah yang demokratis, rakyat Mesir diperbolehkan melakukan serangkaian kebebasan politik. Pemilu diselenggarakan dan para aktivis seperti Ayman Nour dari Partai Ghad mendapatkan dukungan antusias dari Washington. Namun bukannya partai sekular yang mendapatkan dukungan dalam pemilu di Desember, namun malahan yang menangguk seperempat kursi yang ada di parlemen. Kemenangan ini disusul dengan kemenangan Hamas di Palestina dua bulan kemudian.
Romantisme demokrasi Bush dengan pemerintah di dunia Arab berakhir. Pemerintah Mesir memberangus Ikhwan secara keji. Ratusan anggota Ikhwan dipenjara dan hanya beberapa dari mereka yang diijinkan mengikuti pemilihan pemerintahan kota di 2007 diperbolehkan kampanye. Dalam sebuah manuver yang ditujukan kepada Ikhwan, parlemen mengeluarkan amandemen konstitusi yang melarang anggota partai tertentu dan organisasi keagamaan mencalonkan diri dalam pemilu legislatif.
Perselisihan internal Ikhwan tampak jelas. Tahun lalu, beredar bocoran draft platform politik yang diantara isinya memberikan hak veto kepada badan keagamaan atas parlemen, melarang wanita dan non Muslim maju dalam pencalonan presiden. Draft tersebut tak pelak menimbulkan kemarahan warga Mesir yang sekalipun relijius namun masih berpegang kepada tradisi multikulturalisme dan toleransi. Akhirnya gagasan itupun layu. Para pemimpin Ikhwan menyatakan bahwa dokumen itu hanya usulan dan dapat diamandemen.
Tidak majunya Akef yang memberikan banyak ruang gerak kepada para aktivis politik dan sipil Mesir telah memantik perdebatan kemana arah gerakan ini akan bergerak. Dalam wawancara, Juli, pemimpin yang berusia lanjut ini menolak rumor tentang adanya friksi antara kelompok konservatif dan reformis atau antara mereka yang menarik diri dari aktivitas politik atau sebaliknya memperkuatnya dalam Ikhwan. Beliau bertutur kepada Majalla apapun ketidaksetujuan yang diungkapkan diantara anggotanya akan dihormati dan sehat sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Namun suksesi memasuki tahapan akhir yang kritis, para analis melihat adanya tanda perselisihan diantara para pemimpin Ikhwan. Dalam bulan April, Mohammad Habib, pemimpin kedua Ikhwan yang potensial menjadi pengganti Akef menyatakan bahwa Ikhwan tidak akan berhadapan dengan rejim “sendirian”. Komentar itu dikritik sebagai konsesi kepada Gamal yang hendak mengganti ayahnya. Bahasa setengah ramah Habib ini –seperti yang dikatakan pers- memantik spekulasi bahwa Ikhwan hendak meminta imbal balik. Beberapa analis mengatakan bahwa Habib yang moderat sedang membidik jaminan keamanan agar kelompok ini diperbolehkan aktif dalam politik. Namun kalangan garis keras dalam Ikhwan bereaksi atas komentar Habib dan menganggapnya sebagai pengkhianatan. Sementara yang lainnya mendesak Ikhwan kembali kepada misi utama Ikhwan yakni indoktrinasi dan pendidikan keagamaan.
Dalam wawancara dengan Majalla, Akef mengusulkan penggantinya hendaknya orang Mesir kendati konstitusi Ikhwan sendiri memungkinkan non Mesir menjadi Mursyid. Pelbagai peristiwa yang mengiringinya menunjukkan betapa sulitnya Mursyid melakukan rekonsiliasi atas konflik yang memecah Ikhwan. Di Agustus, pertarungan kepemimpinan terjadi atas Ikhwan Yordania ketika anggota pro Yordania meminta etnik Palestina pro Hamas membatalkan dwi keanggotaan mereka atas Front Aksi Islam (cabang Yordania) dan Hamas di Palestina. Bulan lalu, dilaporkan sayap Ikhwan di Suriah yang mengasingkan diri sejak pemberontakan yang gagal di 1982 melakukan rekonsiliasi dengan Damaskus. Menurut agen berita Italia, kalangan Islamis dari Yordania dan Turki sedang melakukan mediasi yang berakhir dengan pemulihan Ikhwan Suriah atau setidaknya para kader utamanya akan kembali ke Suriah dengan komitmen melakukan Islamisme moderat. Imbalannya, partai Baath yang sangat sekular mengamandemen UU no 49 yang memperbolehkan hukuman mati diberlakukan atas Ikhwan.
Perkembangan kelompok radikal Islamis menjadi perhatian serius Presiden Bashar al Assad. Permbaharuan hubungannya dengan Ikhwan akan memberikannya sekutu yang kuat. Ikhwan akan menjadi faktor mitigasi bagi usaha Washington untuk memaksa Damaskus kembali ke meja perundingan sebagai bagian perjanjian damai regional dengan Israel. Upaya Bashar memikat Ikhwan setelah hampir tiga dekade pengasingannya. Penerimaannya mengindikasikan betapa pentingnya peran Ikhwan.
Meski demikian, sulit pula menyalahkan anggota Ikhwan yang hendak berpaling dari politik dan kembali ke masjid. Setelah terlibat dalam politik Mesir tiga lalu secara damai dan fair, namun dalam kenyataannya, rejim Mubarak tetap berlaku zalim dengan dukungan diam-diam AS. Meskipun Ikhwan tidak masuk daftar teroris versi AS, namun Washington dalam prakteknya memperlakukan Ikhwan laiknya musuh. Oktober 2006, Kamal Helbawy, mantan anggota Ikhwan dan pendiri asosiasi Muslim di Inggris dipindah paksa dari pesawat yang datang dari London. Dia datang ke New York dan akan memimpin konferensi tentang Ikhwan dan Islamisme. Helbawy diberitahu pejabat Keamanan Dalam Negeri bahwa dia dilarang masuk ke AS karena tidak memiliki visa sekalipun faktanya orang seperti Helbawy tidak membutuhkan visa untuk masuk ke AS.
Kurang dari setahun kemudian, ada tanda perbaikan hubungan Washington-Ikhwan. April 2007, legislator senior AS, Steny Hoyer, pemimpin minoritas Demokrat di Konggres menemui anggota parlemen Ikhwan di kediaman duta besar AS di Kairo. Pertemuan yang diketahui Kemlu merefleksikan kontak dalam level tinggi antara Ikhwan dan pemerintah AS sejak serangan 9/11.
Hoyer tidak menganggap penting pertemuan tersebut ketika ditanya Newsweek dan pemerintah Bush sendiri tidak bersedia meresponnya secara lebih baik. Hal ini merefleksikan sikap standar Washington atas gerakan Islam sekalipun moderat. Meskipun Obama telah menyampaikan pidato historisnya kepada dunia Islam dari Kairo, namun tidak ada tanda pemerintahan Obama siap untuk membuka hubungan dengan Ikhwan dalam waktu dekat. Obama disibukkan dengan oposisi domestik atas RUU perawatan kesehatan, ekonomi dalam negeri sendiri masih rentan dan upanya melakukan lompatan dalam negosiasi damai di Timur Tengah terhambat.
Menurut para pakar di Washington yang tahu benar seluk beluk dunia Arab, langkah AS mengecewakan karena tidak mengatakan apapun kepada para kelompok perlawanan dan pemimpin oposisi Mesir. “Saya kira adalah kesalahan kita tidak menemui Ikhwan,” tutur Michelle Dune, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace dan mantan spesialis Timteng di Deplu dan Gedung Putih. “Ikhwan bukan kelompok teroris dan seharusnya tidak ditelikung. Mungkin hal yang sulit dilakukan, namun AS harus mempromosikan dialog dan keterbukaan promosi.”
Prospek perundingan AS-Ikhwan sangat tergantung kepemimpinan Ikhwan mendatang. Apakah kelompok konservatif menjadi wajah baru bagi gerakan Islam terbesar di dunia. Demikian pula akankah AS seperti sebelumnya mengabaikan Akef. AS jelas akan menyesal ketika mengabaikan para pemimpin moderat di Timur Tengah yang pernah ada mulai dari masa Nasser hingga Khatami.
*The Majalla
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: