*Robert Parry
CIA membantah bocoran memo internal yang menyebutkan bahwa beberapa aksi teroris yang dilakukan beberapa warga Amerika telah menyebabkan AS dituding “pengekspor terorisme.” CIA menjelaskan bahwa kertas kerja itu berasal dari para analis “sel merah” yang memang ditugaskan untuk “berpikir diluar kotak” dalam rangka “memprovokasi pemikiran”.
Namun yang cukup mengejutkan, memo 4 Februari yang dibocorkan laman WikiLeaks bulan lalu, itu merefleksikan bagaimana sejarah panjang dinas rahasia itu dalam mendukung pelbagai aksi terorisme dan lebih jauh lagi melindungi para pelakunya.
Kasus terorisme yang melibatkan CIA dan para operatornya, seperti kasus pemboman pesawat Kuba di 1976 atau mempersenjatai pemberontak kontra Nikaragua di 1980-an tidak banyak diperhatikan para analis “Sel Merah” kendatipun banyak para pelaku dan penyandang dananya masih tinggal di Amerika- termasuk didalamnya para pejabat pemerintah AS sendiri.
Alih-alih, merujuk pelbagai aksi terorisme sebelumnya yang tersimpan baik, memo “Sel Merah” hanya menunjuk beberapa kasus kecil individu Amerika yang bepergian ke luar negeri dan melakukan aksi terorisme.
Memo “Sel Merah” mencatat warga Amerika keturunan Irlandia yang mendukung aksi terror Tentara Republik Irlandia di abad 19 atau menyebutkan teroris Baruch Goldstein yang membunuh 29 warga Palestina saat mereka melakukan shalat di Masjid Hebron, 1994.
Dalam menjelaskan latar belakang ini, sayangnya para analis tidak menyinggung sama sekali sejarah berdarah CIA karena terkait aksi terorisme. Meski ditugaskan “berpikir diluar kotak”, para “Sel Merah” tampaknya tahu benar apa yang harus dihindari, yakni membuka sejarah gelap yang akan mereka temukan dalam tumpukan dokumen CIA.
Ketimbang membongkarnya sehingga negara-negara lain akan menuding Amerika menjadi sponsor terorisme (padahal pemerintah AS dan khususnya CIA mempunyai jejak rekam yang panjang tentang hal itu), para analis “Sel Merah” membatasi ruang lingkup studi mereka hanya kepada beberapa individu yang tidak memiliki keterkaitan dengan pemerintah AS ataupun CIA. Artinya, aksi terorisme yang terkait dengan Washington tidak masuk dalam analisis mereka.
Misalnya, tidak disebutkan dalam memo tersebut aksi yang dilakukan Luis Posada Carrile, otak pemboman pesawat sipil Kuba yang menewaskan 73 orang maupun aksi para pemberontak Contra yang membantai penduduk sipil sebagai bagian aksi kampanye untuk mendestabilisasi pemerintah kiri Sandinista, Nikaragua. Para pelaku tersebut hingga kini masih bebas di Amerika.
Arsip CIA masih dipenuhi data tentang Posada dan Contra karena CIA sendiri yang menyediakan dukungan logistik buat aksi kejahatan mereka.
Aksi sensorship yang dilakukan “Sel Merah” sesungguhnya tidak mengherankan karena pada dasarnya selama puluhan tahun kebijakan itu dilakukan para pejabat dan media AS.
Jika tidak, rakyat Amerika akan menghadapi kenyataan pahit bahwa banyak tangan pejabat AS yang terkenal seperti Ronald Reagan dan kedua Bush bersimbah darah warga yang tidak berdosa.
Standar Ganda
Bagaimana jika pernyataan Presiden George W Bush bahwa “pemerintah yang membantu atau menjadi sarang teroris harus dihukum sama beratnya dengan para pelaku teroris sendiri” juga diberlakukan kepada AS atau bahkan keluarganya sendiri? Ini adalah pertanyaan yang harus dikemukakan para analis “Sel Merah” yang biasa berpikir diluar kotak.
Dengan kata lain, sistem media AS –termasuk para analis “Sel Merah” sekalipun tetap melihat dunia dengan kaca mata kuda. Memfokuskan kebencian hanya kepada kelompok atau rejim yang menjadi “musuhnya” sementara buta atas aksi serupa yang dilakukan para pejabatnya.
Misalnya, para pejabat, ilmuwan dan jurnalis AS marah kepada Presiden Hugo Chavez karena dituduh membantu pemberontak Kolombia namun pada saat bersamaan mereka kini sedang siap-siap merayakan 100 tahun kelahiran Reagan di 2011.
Dosa Reagan tidak hanya mempersenjatai pemberontak Kontra Nikaragua namun juga secara terus menerus mengobarkan perang rahasia atas rejim Sandinista yang memenangkan pemilu 1984 yang banyak dipuji pengamat karena berlangsung fair. Dia tidak merasa tertanggu dengan pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemberontak Kontra karena melakukan penculikan, pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan warga sipil.
Reagan tahu benar apa yang dilakukan Kontra (Dia sendiri menyebut mereka “bajingan” dalam pembicaraannya dengan pejabat CIA Duane Clarridge). Namun dia memujinya didepan khalayak sebagai “para pejuang kemerdekaan” dan menyamakan mereka dengan para pendiri Amerika.
Reagan tetap saja mempersenjatai Kontra sekalipun Konggres memerintahkannya untuk berhenti. Reagan juga mendukung pelbagai kelompok pemberontak di Angola dan Afghanistan (termasuk para mujahidin asing yang kemudian bermetamorfosis menjadi al Qaeda). Dia juga mendukung teror negara atas penduduk sipil di Guatemala, El Savador dan Honduras, yang membunuh ratusan ribu orang.
Jika kita kembangkan imajinasi –jika pemerintah negara lain terang-terangan melanggar hukum internasional dan standar HAM maka pemerintah tadi akan dikecam oleh bangsa yang beradab selain dituding sebagai negara teroris.
Namun mayoritas Republikan dan Demokrat memandang Reagan sebagai pahlawan. Dalam peringatan tahun lalu, Presiden Barack Obama menyambut mantan First Lady Nancy Reagan di Gedung Putih untuk menyatakan dukungan bagi peringatan 100 tahun kelahiran Reagan. Untuk menyebut Reagan sebagai penjahat perang atau pensponsor teroris adalah hal yang tidak mungkin terjadi dalam arus utama politik AS.
Terorisme Keluarga Bush
Hal yang sama, tidak dapat diterima sama sekali bagaimana Keluarga Bush telah melindungi para teroris Amerika keturunan Kuba –dari 1976 ketika George W Bush memimpin CIA hingga 2008 ketika George W Bush menolak permintaan ekstradisi Posada oleh Venezuela. Kembali sikap hipokrit terjadi.
2 Mei 2008, lebih dari enam tahun sejak “perang atas teror” dikumandangkan Bush, ada peristiwa yang mengejutkan di Miami. Posada yang berusia 80 tahun disambut hangat dalam acara makan malam penggalangan dana. Sekitar 500 orang hadir dalam acara amal untuk membela status hukumnya.
Posada disambut dengan tepukan meriah. Dia berpidato menghujat Rejim Castro Kuba didepan pendukungnya,”Kita berdoa kepada Tuhan akan menajamkan pisau kami.”
Duta Besar Venezuela untuk AS, Bernard Alvarez memprotes sikap diam pemerintah Bush atas peristiwa tersebut. “Ini sangat menyakitkan, khususnya karena dia terus menerus bicara tentang lebih banyak kekerasan,” kecamnya.
Posada adalah warga Negara Venezuela yang bekerja untuk dinas intelejen Venezuela di era 70-an. Dia mendalangi pemboman pesawat sipil Kuba di 1976 yang diduga melibatkan AS.
Meskipun berlimpah barang bukti, pemerintah Negara Bagian Florida yang dipimpin Gubernur Jeb Bush menolak menangkap Posada saat di Miami, 2005. Meski akhirnya, Posada ditahan setelah mengadakan jumpa pers.
Alih-alih mengekstradisi Posada ke Venezuela untuk menghadapi tuntutan hukum karena aksi terorisme, pemerintah Bush tidak ada keinginan sama sekali untuk mendeportasi dia.
Selama sidang di pengadilan Texas di 2007, para pengacara pemerintah mengajukan keberatan atas tuntutan ekstradisi dengan alasan Posada bakal menghadapi penyiksaan jika dikembalikan ke Venezuela. Akhirnya, hakim melarang Posada dideportasi.
Setelah keputusan tersebut, Duta Besar Alvarez menuduh pemerintah Bush menerapkan standar ganda dalam perang melawan terror. Berkaitan dengan tuduhan Venezuela melakukan penyiksaan, Alvarez menyatakan, “Tidak ada bukti Posada akan disiksa di Venezuela.”
Peraturan yang Berbeda
Perlakuan diskriminatif George W Bush atas Posada dan para teroris sayap kanan Kuba lainnya berbeda dengan para militan Islam. Posada mendapatkan perlindungan hukum pemerintah AS namun para tertuduh teroris Islam dijebloskan di penjara Guantanamo tanpa proses hukum.
Adalah kenyataan yang ironis, saat pemerintah Bush memfitnah Venezuela melakukan penyiksaan namun pada saat bersamaan, Bush dan para pembantu topnya menyembunyikan fakta bahwa mereka sendiri menyiksa “para tersangka teroris” diantaranya penenggelaman dalam air, pencegahan tidur dan teknik penyiksaan brutal lainnya di “penjara-penjara rahasia” CIA.
Posada tidak bersedia meminta maaf atas aksi terorismenya. Di 1998 dalam wawancara dengan New York Times, Posada mengakui perannya dalam gelombang pemboman atas Havana, tujuannya menakut-nakuti turis agar tidak datang kesana.
Hal yang sama dilakukan partnernya dalam pemboman pesawat sipil Kuba, Orlando Bosch. Dalam wawancaranya dengan Channel 41, Miami, dia membenarkan aksi pemboman yang menewaskan 73 orang di 1976. Ketika dimintai komentarnya atas tewasnya warga sipil dalam pemboman pesawat Kuba di pantai Barbados, Bosch menyatakan, “Dalam perang, maka orang Kuba yang mencintai kemerdekaan dan berperang melawan tiran, anda harus menembak banyak pesawat, menenggelamkan banyak kapal dan anda bersiap menyerang segala sesuatu yang ada dalam jangkauan anda.”
“Tapi apa anda tidak merasa kasihan dengan mereka yang tewas, terutama keluarganya?”, desak reporter.
“Siapa yang diatas pesawat itu?”, sergah Bosch.”Empat anggota partai komunis, 5 warga Korea Utara dan 5 warga Guyana. Mereka semua adalah anggota partai Komunis, musuh kita.”
Bagaimana tim lompat tinggi?”, desak reporter dengan menyebutkan tim lompat tinggi yang baru saja memenangkan medali emas, perak dan perunggu dalam lomba di Karakas. “Bagaimana dengan anak-anak muda itu?”, tanyanya.
Bosch menjawab, “Saya berada di Karakas pada saat itu. Saya melihat sendiri anak-anak muda itu berbicara di TV. Ada enam orang semuanya. Mereka menyatakan bahwa semua hadiah itu didedikasikan kepada penguasa tiran itu. Dia memuji-muji Tiran.”
“Kami semua setuju pada saat itu di Santo Domingo (tempat pertemuan organisasi teroris sayap kanan, CORU) bahwa setiap orang yang datang dari Kuba yang memuji-muji tiran akan menghadapi nasib yang sama dengan orang-orang yang berperang melawan tiran.”
“Mereka harus tahu bahwa mereka telah bekerjasama dengan para tiran.”
Kasus Venezuela
Meskipun Bosch dan Posada tidak mengakui sebagai otak pelaku pemboman pesawat penumpang Kuba, namun pernyataan Bosch dan banyak bukti lainnya mengarah kepada keterlibatan keduanya.
Dokumen AS sendiri menunjukkan bahwa sesaat setelah pesawat Kuba diledakkan di 6 Oktober 1976, CIA dibawah kendali George W Bush mengidentifikasi Posada dan Bosch sebagai otak pemboman. Namun karena Presiden Gerald Ford sedang bertarung dengan kandidat Demokrat, Jimmy Carter dalam pemilu Presiden maka Bush dan para pejabat pemerintahan Ford menutup-nutupi skandal tersebut di media dan menghalangi adanya penyelidikan.
Fakta lainnya, menurut telegram rahasia CIA, 14 Oktober 1976, sumber intelejen di Venezuela menginformasikan bahwa pemboman pesawat Kuba terkait dengan Bosch yang sedang mengunjungi Venezuela dan Posada yang pada saat itu menjabat sebagai petugas senior di dinas intelejen Venezuela, DISIP.
14 Oktober, telegram tiba di Venezuela di akhir September 1976. Presiden Venezuela, Carlos Andres Perez, sekutu dekat Washington yang menugaskan penasehat intelejen Orlando Garcia “melindungi dan membantu Bosch selama tinggal di Venezuela.” Pada saat kedatangannya -menurut laporan itu- Bosch ditemui Garcia dan Posada. Kemudian, makan malam pengunpulan dana diadakan untuk menghormati kunjungan Bosch. Beberapa hari setelah jamuan makan malam amal, Posada dikutip menyatakan,”Kita akan menjatuhkan pesawat Kuba, dan bahwa “Orlando mengetahui detailnya,” kutip laporan CIA.
“Berikutnya 6 Oktober 1976, pesawat Kuba jatuh di panati Barbados, Bosch, Garcia dan Posada setuju bahwa baik bagi Bosch untuk meninggalkan Venezuela. Oleh karena itu, 9 Oktober, Posada dan Garcia mengawal Bosch menuju perbatasan Kolombia dimana dia kemudian masuk ke wialayah Kolombia.”
Di Amerika Selatan, polisi mulai menangkapi para tersangka. Dua pelarian Kuba, Hernan Ricardo dan Freddy Luggo yang turun dari pesawat Kuba di Barbados, mengakui bahwa mereka menaruh bom. Mereka menyebut keterlibatan Bosch dan Posada sebagai otak pemboman.
Penggeledahan di apartemen Posada di Venezuela didapati jadwal penerbangan pesawat Kuba dan dokumen pendukung lainnya.
Posada dan Bosch didakwa di Venezuela terlibat dalam pemboman pesawat Kuba namun karena kasus ini menjadi sensitif karena para terdakwa memegang rahasia pemerintah Venezuela yang dapat mempermalukan Presiden Andres Perez.
Setelah Presiden Reagan dan Wapres George H W Bush berkantor di Gedung Putih di 1981, momentum untuk membongkar misteri plot teroris anti komunis sirna karena tertelan terompet perang dingin.
Peran Iran-Contra
Di 1985, Posada lolos dari penjara Venezuela berkat bantuan orang-orang Amerika keturunan Kuba. Dalam biografinya, Posada berterima kasih kepada Jorge Mas Canosa, aktivis Kuba yang tinggal di Miami. Dia menyediakan uang senilai 25.000 dollar untuk menyogok para petugas penjara sehingga dia bisa lolos.
Pelarian Kuba lainnya yang membantu Posada adalah mantan petugas CIA, Felix Rodriguez yang dekat dengan mantan Wapres Bush. Pada saat itu, Rodriguez berperan mengirimkan senjata kepada pemberontak Contra Nikaragua, proyek peliharaan Presiden Reagan.
Setelah melarikan diri dari Venezuela, Posada masuk ke Amerika Tengah dengan menggunakan kode “Ramon Medina.” Posada ditugaskan sebagai perekrut pilot untuk operasi suplai senjata ke Kontra yang dikendalikan Gedung Putih.
Menjelang akhir 1980-an, Orlando Bosch juga keluar dari penjara Venezuela dan kembali ke Miami. Namun karena Bosch diduga terlibat dalam 30 tindak kekerasan, dia kembali menghadapi kemungkinan deportasi. Para pejabat AS mengingatkan bahwa Washington tidak dapat lagi mengajari negara-negara lain tentang terorisme karena melindungi seorang teroris seperti Bosch.
Namun Bosch beruntung. Jeb Bush memimpin langsung lobi untuk mencegah Badan Imigrasi AS mengusir Bosch. Di 1990, upaya lobi itu berhasil setelah ayah Jeb, Presiden George H W Bush menentang rencana mendeportasi Bosch dan membiarkan teroris tinggal di AS.
Di 1992, selama kepemimpinan Bush, FBI mewawancarai Posada tentang skandal Iran-Kontra selama 6,5 jam di Kedutaan AS di Honduras. Posada memasukkan peran wapres Bush dalam operasi rahasia tersebut.
Menurut laporan setebal 31 halaman, Posada mengatakan bahwa penasehat keamanan nasional Bush, mantan petugas CIA Donald Gregg sering mengadakan kontrak dengan Felix Rodriguez.
“Posada….mengingat bahwa Rodriguez selalu menghubungi Gregg,” ungkap laporan tersebut. “Posada tahu hal ini karena dia adalah salah satu orang yang membayar tagihan telepon Rodriguez.” Setelah wawancara, FBI membiarkan Posada melenggang keluar kedutaan.
Kebijakan double standard atas terorisme kini banyak dilakukan Washington. Rekam jejak para pejabat Amerika bekerjasama dengan terorisme tidak hanya disimpan “diluar kotak” namun juga diabaikan oleh para analis “Sel Merah” CIA yang ditugaskan berpikir diluar prosedur normal.
Jika para analis “Sel Merah” mengambil contoh warga Amerika keturunan Irlandia yang mengisi kaleng kopi dengan uang untuk IRA di era 1880-an namun para analis tahu betul mengapa orang asing “melihat AS sebagai eksportir terorisme”.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: