*Ahmad Dzakirin
Menilik secara mendalam pelbagai upaya apologetik tadi, tampak beberapa kelemahan mendasar isu ini:
1. Tidak terbantahkan, latar belakang sekularisme sebagai proses dialektik telah memberi landasan ideologis penolakan partisipasi moralitas agama dalam sektor-sektor publik. Pada titik ini, terminologi sekularisme lebih mencerminkan konsepsi bersifat ‘ala diniyah’ (anti semua agama) ketimbang sebagai upaya penghapusan favoritism terhadap agama tertentu. Maka setiap upaya memaknai spiritualisme ideologi ini selalu berakhir dengan kegagalan Muhammad Qutb :1990).
2. Kerancuan pandangan yang mensejajarkan misi Islam dengan Kristiani. Hubungan erat antara Islam dan Politik dalam sejarah nampak aneh dalam pandangan Barat. Bagi umat Islam, kehidupan alam dibawah Kehendak dan Milik Tuhan. Etika Islam tidak membatasi diri sekedar nasehat ruhani namun meliputi segi kehidupan. (Muhammad Assad : 1985)
3. Secara faktual, Base Structure materialisme ideologi sekular dengan sendirinya telah menciptakan ‘killing field’ bagi masyarakat. Menurut sebuah prediksi, jika aktivitas produksi dibiarkan berjalan seperti sekarang, maka 250 tahun lagi masyarakat sekular akan menjadikan atmosfir teramat panas bagi dirinya. Altaf Gauhar (1983) mengatakan bahwa masyarakat sekular menghadapi bahaya kehancuran institusional sebagai konsekuensi logis ideologi mereka. Kondisi ini menurut Muhammad Assad (1985) disebabkan absurditas nilai benar dan salah dalam pandangan mereka. Tolak ukur kebenaran ditundukkan pada sekedar ‘kepentingan sosio politik bangsa’. Konsekuensinya, pelbagai anak ideologi yang lahir dari filosofi ini saling bermusuhan karena ketiadaan tolok ukur yang mapan.
4. Keyakinan terhadap Manhaj Islam pada kenyataannya mampu menumbuhkan dorongan teramat luar biasa pada pemeluknya untuk ‘al amru bil ma’ruf wan nahyu anil munkar’. Yakni upaya menyelaraskan lingkungan sosial dengan Kehendak Tuhan. Manifestasi keimanan tidak hanya diungkapkan dalam lingkungan masjid, namun juga dalam lingkungan sosial mereka.
Alexander Bain dan Immanuel Kant (Shalahuddin :1990) menegaskan bahwa moralitas agama secara alamiah menumbuhkan pengakuan emosional dan intelektual pengikutnya terhadap tugas yang dibebankan Tuhan. Sentimen relijius terbentuk dari perasaan halus beriring dengan rasa takut dan cinta kepada Tuhan. Karakteristik spiritual inilah yang mampu bertahan disepanjang akhir abad 20 dalam lingkungan masyarakat Islam. Setiap upaya penolakan peran etika agama hanya akan berakhir dengan kesia-siaan. Kecurigaan Barat terhadap kiprah politik Islam dengan tuduhan menghidupkan Teokrasi sangat tidak berdasar. Perwujudan tuntutan agama merupakan manifestasi keimanan. Leopold Weiss menyerukan menyambut usaha-usaha tadi. Disaat masyarakat dunia kini menyadari kewajiban melawan kejahatan materialisme. Kita berhajat lahirnya tatanan masyarakat yang mendasarkan diri pada Iman.
Menjalin Aliansi Dengan Penganut Nasrani
Sekularisme adalah bencana dan tantangan terbesar dunia Islam disepanjang dua abad. Ideologi ini telah memporakporandakan peran Islam setelah sebelumnya sukses menumbangkan eksistensi Gereja. Sekularisme telah menciptakan krisis kemanusian dan peradaban di dunia. Sesungguhnya dunia kini menghajatkan kembalinya peran agama karena beberapa alasan. Pertama, realitas aktual. Bangkitnya semangat keberagamaan masyarakat di Barat dan Timur. Kebangkitan ini adalah fenomena universal sekalipun tekanan politik di beberapa negara seperti di Cina menderanya. Komunitas dunia menyadari sepenuhnya keberadaan kebutuhan keberagamaan di tengah realitas kehidupan sosial yang carut marut karena hegemoni materialisme. Substansi ideologi ini telah melahirkan pembunuhan, pemusnahan manusia, ketakutan, excessive hedonism dan kegamangan hidup. Kini mereka menginginkan kembali kendali spiritualisme dalam kehidupan. Kedua, disepanjang dua abad, agama -terutama Islam- mampu memposisikan dirinya sebagai penantang tangguh praktek destruktif sekularisme. Ikatan keyakinan yang bersifat transeden mampu menumbuhkan resistensi tangguh. 75 tahun Sekularisme sistemik Turki yang didukung militer dan Barat tidak mampu mengubah realitas keberagamaan masyarakatnya.
Pelbagai kenyataan ini setidaknya menyadarkan masyarakat dunia dan kaum beragama tentunya akan kebutuhan kerjasama dan kepentingan bersama menjaga eksistensi keberagamaan secara khusus dan membangun dunia berdasarkan landasan kebajikan agama. Sekularisme telah melumpuhkan pondasi agama Kristen sehingga kedudukannya hanya sebagai legitimasi realitas sosial yang buruk. Agama ini kini berada ditengah pilihan yang sulit. Mempertahankan dasar-dasar etika keberagamaannya dengan konsekuensi ditinggalkan pemeluknya dengan bersikap adaptif dengan realitas sosial namun berlawanan dengan prinsip keyakinan mereka. Namun sayang, pilihan kedua tampaknya yang diambil kendati tidak sepenuhnya. Dalam posisi ini, agama Kristen pada hakekatnya telah mendekonstruksikan eksistensinya. Sesungguhnya wujud atau tidaknya sebuah agama karena keberadaan dasar-dasar keyakinannya. Bagaimana jika eksistensi substantif ini telah dicabut? Tentunya, saya yakin pilihan buruk ini diambil bukan sebagai pilihan yang lahir dari kesengajaan melainkan keterpaksaan.
Pelbagai kenyataan ini setidaknya menyadarkan masyarakat dunia dan kaum beragama tentunya akan kebutuhan kerjasama dan kepentingan bersama menjaga eksistensi keberagamaan secara khusus dan membangun dunia berdasarkan landasan kebajikan agama. Sekularisme telah melumpuhkan pondasi agama Kristen sehingga kedudukannya hanya sebagai legitimasi realitas sosial yang buruk. Agama ini kini berada ditengah pilihan yang sulit. Mempertahankan dasar-dasar etika keberagamaannya dengan konsekuensi ditinggalkan pemeluknya dengan bersikap adaptif dengan realitas sosial namun berlawanan dengan prinsip keyakinan mereka. Namun sayang, pilihan kedua tampaknya yang diambil kendati tidak sepenuhnya. Dalam posisi ini, agama Kristen pada hakekatnya telah mendekonstruksikan eksistensinya. Sesungguhnya wujud atau tidaknya sebuah agama karena keberadaan dasar-dasar keyakinannya. Bagaimana jika eksistensi substantif ini telah dicabut? Tentunya, saya yakin pilihan buruk ini diambil bukan sebagai pilihan yang lahir dari kesengajaan melainkan keterpaksaan.
Gerakan Islam hendaknya aktif mengajak kalangan gereja mendefinisikan kembali siapa musuh sebenarnya. Bingkai pendefinisian ini adalah substantivitas misi agama, yakni membangun masyarakat baik berdasarkan prinsip agama. Berpijak dari perspektif ini, musuh agama adalah setiap anasir-anasir yang berpotensi merusak terwujudnya masyarakat baik tadi. Dalam konteks ini, sekularisme jelas menjadi musuh besar Kristen, bukan Islam. Karena sekularisme lahir dan tumbuh untuk menyingkirkan peran dan cita-cita agama. Mencegah peran-serta agama dalam kehidupan sosial. Jika perbedaan aqidah (substantivisme transenden) antara kedua pemeluk agama ini stigmatik, maka Islam masih membuka peluang kerjasama diwujudkan dalam paradigma lain, yakni bekerjasama dalam kebajikan dan mewujudkan eksistensi kemanusiaan. (Al-Maidah : 2) Dengan demikian, kita melihat urgensi dibukanya kran dialog konstruktif dan jujur antar kedua belah pihak. Untuk itu, Islam sejak awal telah membukanya. Allah berfirman: “Wajadilhum billati hiya ahsan” (A-Nahl : 125) (berdialog dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dengan cara yang terbaik)
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: