*Ahmad Dzakirin
Alqur’an membincangkan ilmu dengan segala dimensinya lebih dari 70 ayat. Allah memerintahkan mereka yang berakal (ulil albab) mempelajari fenomena alam (tafakkur al kaun) (3:190) karena dengannya manusia dapat mengetahui bukti kebesaran dan kekuasaan-Nya serta mampu menguasai alam (21:79), mengambil I’tibar bangsa-bangsa terdahulu (12:111, 30:9, 35:44) dan mempelajari Al-Qur’an (Tafaqquh fid Dien) sehingga selalu terjaga dan tidak lalai dari Allah ((:122) serta mengembangkan tradisi bertanya untuk mencapai kebenaran (an-Nahl:43). Allah SWT berfirman : “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya) berkata :”Ya Tuhan Kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (190-191)
Surat Al-Imron ini bertutur tentang ciri-ciri Ulul al-Bab. Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin memfungsikan akal dengan berpikir (Tafakkur) dan merenungkan (Taddabbur) tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua aktivitas akal ini secara alamiah akan memunculkan hasil positif, yakni penguatan Iman dan bekerja mewujudkan tuntutan Iman. Kebesaran peradaban Islam sepanjang sejarahnya dibangun dari azas ini. Oleh karena itu, kita dapat memahami tabir dibalik tangis isak Rasulullah SAW ketika mendapatkan wahyu ini. Ibnu Katsir berkisah bahwa Rasulullah menangis lama sekali dalam Sholat malamnya sehingga mengusik rasa ingin tahu Bilal. “Mengapa engkau menangis ? “Wahai Bilal, aku tidak tahu apakah umatku mampu menjalankannya.” Jawab Rasulullah. “Celakalah orang jika membaca ayat ini namun tidak mentadabburi (merenungkan) dan beri’tibar (mengambil pelajaran) padanya.” Tampaknya, tangis Rasulullah SAW adalah tangis realitas umat Islam dewasa ini.
Allah mewajibkan kaum Muslimin belajar membaca dan menulis (96:1-5) sebagaimana Allah mewajibkan atas Dzat-Nya menulis segala kejadian dan perbuatan manusia di bumi (17:58). Mengomentari surat Al Qolam, ayat 1-5 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan (manusia) dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam”, Sayyid Qutb (1990) berujar, “Hakekat pengajaran Tuhan kepada manusia adalah melalui pena karena pena akan memberikan pengaruh yang mendalam, luas dan berlangsung lama kendati tradisi ini tidak begitu akrab dalam kehidupan masyarakat Jahiliyyah pada saat itu. Isyarat ini justru disampaikan Allah diawal turunnya wahyu karena Allah mengetahui arti dan nilai penting pena dalam rangka pewarisan (taurist) kebenaran bagi manusia.”
Kedua narasi Alquran ini setidaknya telah memberikan argumen tak terbantahkan bagi kita untuk membongkar statisme intelektual kaum Muslimin beserta asumsi-asumsi lemah apatisme berpikir yang telah dibangunnya di abad 5 hijriah. “Pintu ijtihaj telah tertutup.” (Sayyid Wakil :1995, hal 130)
Belajar Dari Kedunguan Kita
Kaum Muslimin sekian lama merasa berbangga hati dengan pencapaian peradabannya. Kebanggaan ini akhirnya menutup kejernihan akal dan hati kita. Bernard Lewis dalam ‘Discovery of Islam’ (1988) bertutur tentang hal ini. Saat penyerbuan pasukan Napoleon ke Mesir tengah berlangsung. Banyak rakyat Mesir tidak mempercayainya. Mereka meragukan kemampuan pasukan Kristen. Namun setelah mereka menyaksikan sendiri ekspedisi pasukan Napoleon memasuki Kairo tersentak mereka sadar. Terlambat. Korban terlanjur berjatuhan.
Perilaku serupa ditunjukkan Imperium Turki Usmani. Disepanjang abad 16, sedikit sekali perwakilan diplomatik Turki di negara-negara Barat. Sebaliknya hampir semua negara Barat memiliki perutusan resmi maupun non resmi di Istambul. Hampir semua transaksi bisnis dan Politik dilakukan di ibukota Istambul. Kalaupun ada perwakilan diplomatik paling hanya setingkat Caus yakni pegawai rendahan Turki Usmani, setingkat diatas kurir. Utusan setingkat Elci atau Duta besar baru dilakukan 1665. Mehmet Pasha, Duta besar Turki ditunjuk untuk mengadakan perjanjian gencatan senjara dengan Austria . Selama sembilan bulan tugasnya sedikit sekali laporan hasil kerja. Para diplomat Turki ini kebanyakannya - mengutip deskripsi Bernard terbius dalam pandangan dan mimpi ‘sejarah keunggulan dan kenangan kebesaran Sulaiman Agung’. Kondisi ini berlangsung hingga kemudian terjadi ‘revolusi paradigma diplomatik’ Turki di pertengahan abad 18.
Realitas ini setidaknya menggambarkan bahwa kekalahan kaum Muslimin terjadi karena kelengahan, arogansi dan kemalasan berpikir. Kaum Muslimin telah mendekonstruksi dirinya sendiri. Sayangnya, revolusi paradigma diplomasi yang terjadi kemudian tidak cukup mampu menyelamatkan kekuatan politik Turki karena sangat terlambat. Mengutip teori Ibnu Khaldun dalam Muqoddimahnya, kemenangan negara baru atas negara yang telah lama mapan sangat bergantung rentang waktu dan serangkaian persiapan aktual negara baru tadi. Sedangkan, kecintaan yang berlebihan akan ketentraman dan ketenangan berdampak pada hilangnya semangat kekuatan dan kejantanan atau disebutnya sebagai ‘periode kemerosotan’. Karakter dalam kurun ini adalah bangkitnya corak hidup hedonis. “Hedonisme adalah penyakit dan penyebab kehancuran bangsa. Kebangkitan hedonisme adalah titik tolak krisis negara dan pintu kehancuran kekuasaan politiknya”. (Sayyid Wakil :1995, hal 35)
Pisau analisis Ibnu Khaldun ini pas untuk membedah anatomi psiko-kultural kaum Muslimin disepanjang abad 18 hingga akhir abad 19. Mulai abad 10 Masehi, Kaum Muslimin mulai malas berpikir dan menutup kegairahan intelektualnya. Mereka telah merasa puas dengan pencapaian peradaban yang telah dirintis para pendahulunya. Khazanah ilmu yang ditinggalkan dipandang cukup untuk merekonstruksi dinamika peradaban berikutnya. Maka merekapun membuat pelbagai jargon yang lahir dari atmosfer kemalasan tadi.
Dalam bidang agama, mereka mencanangkan ketertutupan pintu ijtihaj. Masa pertumbuhan para Mujtahij Mutlaq telah berakhir dan berganti dengan Mujtahij Muqoyyad (terbatas). Menurut mereka, kesempurnaan ijtihaj telah diwariskan oleh para Imam Mahdzab. Lebih jauh, mereka kemudian membuat pembatasan-pembatasan maupun terminologi-terminologi baru yang tidak dikenal dalam agama sebelumnya. Disisi lain, para penguasa akrab dengan kebejatan moral dan perilaku korup. Energi mereka dihabiskan untuk memperkokoh kekuasaan dan membasmi lawan-lawan politiknya. Perhatian terhadap Dakwah dan Jihad, membuka negeri-negeri baru Islam memudar. Realitas sosial ini kemudian memicu kebangkitan gerakan Sufisme yang memisahkan diri dari hiruk pikuk dunia. Lahirnya gerakan ini mendapatkan ruang kondusif dikalangan rakyat yang pengap dengan intrik dan kerusakan moral. (Sayyid Wakkil : 1995 hal 134)
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: