Selamat Datang, Panglima TNI Baru

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 20.13


*Ahmad Dzakirin
Pengangkatan Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dari matra Angkatan Laut patut disyukuri. Selain karena, adanya tradisi baru rotasi kepemimpinan di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI)  yang dijalankan Gus Dur pasca Reformasi sehingga tidak didominasi unsur Angkatan Darat (AD), namun kepemimpinan baru dari matra laut ini diharapkan dapat membuka kembali isu yang lebih substabsial perihal konsep pertahanan dan keamanan kita yang relevan dengan perkembangan zaman.       
Mengutip Andi Wijayanto, pengamat TNI, ada setidaknya dua agenda mendesak yang harus dilakukan kepemimpianan baru di tubuh TNI ini. Pertama, menuntaskan proses reformasi TNI yang sejalan dengan semangat reformasi dan kedua, kebutuhan transformasi TNI baik dalam doktrin pertahanan, modernisasi alutsista maupun kesejahteraan prajurit.   Dalam uji kelayakan dan kepatutan didepan Komisi I DPR RI, Laksamana Agus berjanji akan menghapus Koramil (Komando Rayon Militer) dan mengurangi personil di level bataliyon hingga Babinsa (Bintara Pembina Desa). Upaya itu sendiri dapat dinilai sebagai langkah menuju profesionalisme TNI, namun yang lebih penting lagi, panglima TNI seyogyanya juga memiliki konsep alternatif pertahanan kita.  Diskusi tentang konsep pertahanan alternatif tidak pelak akan membuka pertanyaan: Apakah model pembangunan pertahanan yang berbasis matra darat masih relevan dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan tuntutan perkembangan zaman. Jawaban atas pertanyaan tersebut jelas akan berimplikasi kepada perlunya pada satu sisi, revitalisasi dan penyegaran gagasan para petinggi TNI dalam melihat tantangan Indonesia secara lebih komprehensif dan aktual namun disisi lain dapat menghilangkan kendala klasik ego-sektoral.   
 
Desain Ideal Pertahanan Kita          
Ada dua hal yang secara kategoris cukup penting dalam melihat desain ideal pertahanan kita. Pertama, adanya pergeseran konsep pertahanan modern. Pasca Perang Dingin, desain pertahanan modern berkembang lebih konprehensif dan bertransformasi dari konsep rivalitas ideologis atau state-centered kedalam desain pertahanan yang berbasis kepada penjagaan pertumbuhan ekonomi suatu negara yang lebih bersifat human-centered. konsep ini mencakup aspek pendekatan non tradisional, yang tidak memandang konseptualisasi security semata dalam perspektif militer an sich, namun lebih kepada aspek human security. UNDP (United Nations of Development Program) memformulasikan aspek ini kedalam tujuh ruang lingkup, yang mencakup keamanan ekonomi, makanan, kesehatan, lingkungan hidup, individu, komunitas dan politik.        
Konsep ini membawa kepada formulasi yang tepat apa atas yang menjadi ruang lingkup kepentingan nasional (national interest) suatu negara dimana desain pertahanan mereka berdasarkan formulasi kepentingan tersebut. Dalam konsep ini pula, sangat mungkin kepentingan faktual sebuah negara berada diluar jurisdiksi kedaulatannya (beyond jurisdiction).   
 
Singapura misalnya, kepentingan nasional mereka berada di Selat Malaka, yang berada diluar jurisdiksi mereka. Selat Malaka menjadi urat nadi (lifeblood) eksistensi politik dan ekonomi negeri Singa itu. Maka setiap gangguan (disruption) keamanan di selat yang dimiliki Indonesia dan Malaysia itu dapat dipandang sebagai ancaman kepentingan nasional. Oleh karena itu, konstruksi pertahanan Singapura tidak terlepas dari antisipasi atas kerentanan (volatilitas) keamanan yang dipersepsikan atas kawasan tersebut. Secara militer, antisipasi itu bisa dilihat dari upaya modernisasi, procurement dan akuisisi peralatan perang mereka. sementara secara politik, Singapura getol mendukung upaya internasionalisasi Selat Malaka atau setidaknya dibentuk institusi multilateral yang melibatkan semua pemangku kepentingan (user states), tidak hanya trilateral (Indonesia, Malaysia dan Singapura) dalam penanganan selat yang sangat strategis ini.           
 
Dengan demikian, konstruksi pertahanan yang bersandarkan kepada asumsi adanya infiltrasi fisik negara asing menjadi kurang relevan. Namun jika ada  -karena dalam militer dikenal doktrin ketidakpastian (fog of war), maka respon atas ancaman tersebut dengan menambah misalnya Kodam-Kodam baru seperti yang pernah diwacanakan Kastaf AD Letjen George Toisutta menjadi tidak tepat. Logikanya, volatilitas wilayah konflik dan ancaman adanya separatisme atas wilayah tertentu dapat dilakukan melalui relokasi kodam-kodam yang tidak efektif di wilayah non konflik seperti di pulau Jawa maupun penambahan unit-unit fungsional (non territorial) lainnya bukan penambahan struktur koter baru.     
 
Kedua, Indonesia adalah negara kepulauan maka idealnya konstruksi dan postur pertahanannya merefleksikan kondisi geografis itu. AL sebagaimana banyak dilakukan negara-negara modern- menjadi matra utama pertahanan kita. Keberadaan matra lain menjadi penopang kebutuhan operasi matra utama pertahanan tadi. Dengan demikian, upaya  modernisasi, pengadaan (procurement) dan akuisisi peralatan perang (arts of weaponry) mengacu kepada kebutuhan penguatan matra laut.  Terlebih dalam perspektif pertahanan berwawasan kesejahteraan, ancaman sebenarnya yang berpotensi merusak sendi perekonomian Indonesia seperti illegal fishing dan logging, pencurian pasir laut, penyelundupan manusia dan senjata serta terorisme. Sementara, konstruksi hukum laut kita masih mengandalkan institusi angkatan laut sebagai penegak hukumnya (law enforcer) dan sekaligus penjaga kedaulatan negara. Namun sayangnya, peralatan yang dimilikinya masih jauh dari memadai.           
   
Mengutip Sri Sultan Hamengkubuwono, militer tidak membutuhkan Kodam beserta turunannya seperti Korem, Koramil dan Babinsa di Semarang, Jakarta dan Bali namun lebih membutuhkan kapal induk (aircraft carrier) dan kapal selam yang ditempatkan di kawasan strategis seperti Selat Malaka dan boleh jadi tiga pintu masuk  innocent regime atau Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dalam hukum laut internasional (UNCLOS 2008). Sekali lagi desain pertahanan kita membutuhkan rekontruksi baru. Untuk itu diperlukan keberanian dalam membuat terobosan dan prioritas baru ditengah tantangan aktual dan keterbatasan anggaran pertahanan kita. Wallahu A’lam.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget