*John Feffer
Apakah Aliansi Trans-Atlantik ini Akan Berakhir?
Dalam peringatan HUTnya ke-60, NATO tampaknya telah melampaui masa puncaknya. Agresif namun tidak efektif, organisasi ini mulai menampakkan tanda-tanda kepikunan dini. Meskipun senyum dan pidato retorik mewarnai pidato dalam pertemuan puncak tahunannya, politik internal dalam organisasi ini terpecah belah hingga sampai kepada titik disfungsional. Kemungkinan, laiknya orang tua yang tengah mengalami krisis kesehatan dan keuangan, aliansi trans-atlantik ini juga cemas atas masa depannya.
Fakta menyakitkan, NATO tengah menghadapi penyakit kronis. Misinya di Afghanistan, yang dimaksudkan sebagai pamer kekuatan NATO boleh jadi akan menjadi aksi terakhirnya. Afghanistan disepanjang sejarahnya telah menjadi kuburan bagi banyak kekuatan imperial dari Mecedonia Kuno hingga Soviet. Kini Afghanistan tengah menunggu korban berikutnya.
Bagi NATO, tahun ini seharusnya menjadi perayaan bukan nyanyian kematian. Setelah menghadapi masalah selama pemerintahan Bush, aliansi ini menyambut gembira terpilihnya Obama dan politik rekonsiliasi yang dijalankannya. Pemerintahan baru Amerika berjanji memindahkan tentaranya dari Irak ke Afghanistan dan memberikan peran lebih besar kepada NATO “Perang yang Benar”. Wapres Joe Biden dan Menlu Hillary Clinton berjanji menset ulang hubungan AS-Rusia. Janji ini akan menghilangkan salah satu hambatan terbesar bagi kesehatan NATO. Dan dalam usianya ke 60 tahun, harapan bagi NATO kembali muncul pasca bergabungnya Perancis setelah 43 tahun pembekuan aktivitasnya.
Bagi NATO, tahun ini seharusnya menjadi perayaan bukan nyanyian kematian. Setelah menghadapi masalah selama pemerintahan Bush, aliansi ini menyambut gembira terpilihnya Obama dan politik rekonsiliasi yang dijalankannya. Pemerintahan baru Amerika berjanji memindahkan tentaranya dari Irak ke Afghanistan dan memberikan peran lebih besar kepada NATO “Perang yang Benar”. Wapres Joe Biden dan Menlu Hillary Clinton berjanji menset ulang hubungan AS-Rusia. Janji ini akan menghilangkan salah satu hambatan terbesar bagi kesehatan NATO. Dan dalam usianya ke 60 tahun, harapan bagi NATO kembali muncul pasca bergabungnya Perancis setelah 43 tahun pembekuan aktivitasnya.
Namun jangan gembira dahulu. Afghanistan telah menjadi langkah terburuk yang berpotensi menggagalkan rencana terbaik mereka. April 2009, pertemuan NATO di Strasbourg, Obama gagal meminta penambahan pasukan dari sekutu Eropanya. Sekalipun pasukan NATO dilengkapi dengan persenjataan modern namun aliansi ini menghadapi sekian banyak masalah. Pasukan Jerman tidak bersedia mengirim pasukannya dan Kanada bermaksud menarik pasukannya di 2011. Sementara itu, kontingen pasukan sendiri menghadapi peraturan kompleks yang membatasi operasi tempur mereka. Walhasil, pasukan NATO laiknya Guliver yang diikat oleh para Liliput.
Kekuatan NATO sebenarnya ada di peti mati. NATO banyak gagal dalam operasi di darat. Taliban dalam kenyataannya, tidak hanya meningkat kendalinya atas sebagian besar wilayah selatan, namun juga melebar ke utara. Yang paling memalukan, peningkatan serangan pasukan mereka hanya meningkatkan dukungan atas Taliban. Hampir 8 tahun perusakan (pemboman udara dan 100 ribu pasukan) dan rekonstruksi (38 juta bantuan ekonomi yang disetujui Konggres AS sejak 2001) berakhir dengan sia-sia. Kampanye anti pemberontakan tidak begitu menjanjikan. Apa yang dicapai oleh aliansi militer terkuat dalam sejarah ini diporak-porandakan oleh serangkaian aksi sporadis kelompok gerilya dan milisi di negeri termiskin di dunia tanpa bantuan dari kekuatan besar manapun.
Yang lebih buruk, operasi Afghan telah menjadi beban politik serius banyak negara NATO. Para politisi Eropa takut terjadi serangan balik dalam pemilu. Tony Blair dari Inggris dan Maria Aznar dari Spanyol tersingkir karena perang Irak. Meskipun mereka antusias dengan terpilihnya Obama, namun opini publik di Eropa semakin meningkat yang meminta penarikan mundur atau pengurangan pasukan dari Afghanistan (55 persen di Eropa Barat dan 69 persen di Eropa Timur berdasarkan riset German Marshall Fund).
Semakin meningkatkan korban perang baik dari militer maupun sipil serta peristiwa yang baru saja terjadi dimana dua truk berisi bahan bakar yang dibajak Taliban dibom pesawat udara NATO sehingga menewaskan banyak warga sipil. Aksi ini alih-alih semakin meningkatkan sentimen anti perang.
Sementara di AS, baik elit maupun opini publik mulai banyak yang menentang perang. Disaat ekonomi AS masih dalam kondisi resesi, Presiden Obama menghadapi dilemma senjata versus biscuit, dilema yang mengancam agenda domestik seperti gagalnya agenda reformasinya Lyndon Johnson karena Perang Vietnam. Tak heran, jika sang presiden kini tidak jelas sikapnya menghadapi permintaan para jendralnya untuk mengirim lebih banyak pasukan dalam perang yang disebut dengan ‘Perang Obama’.
Belum lama berselang, para pakar menyerukan pembentukan NATO global yang memperluas keanggotaannya mencakup para partner AS dan beberapa tempat lain. Usulan itu tak pelak menghadapi pro dan kontra. Meskipun AS menghendaki NATO fokus kepada ancaman terorisme dan pengembangan senjata nuklir, anggota aliansi lainnya lebih memilih misi tradisional mereka, yakni menjaga Eropa. Sumber perbedaan lain antara AS dan sekutunya adalah bagaimana menangani Afghanistan. Tak pelak, NATO lebih seperti laiknya pertandingan rugby ketimbang sebuah aliansi militer.
Para pejabat NATO kini berupaya menyelesaikannya, sebagiannya dengan mengundang para sekutu mendebatkan strategi penanganan Afghanistan terbaru sebelum akhir tahun. Sementara itu, Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen sedang mempersiapkan “konsep strategis” yang akan menata ulang sistem operasi organisasi ini untuk pertemuan puncak mendatang di Lisbon, 2010.
Mungkin tindakan itu dianggap terlalu lambat. “Kami sangat kecewa dengan sikap kebanyakan sekutu kita”, keluh Robert E. Hunter, Duta Besar AS untuk NATO selama pemerintahan Clinton dalam testimoni baru-baru ini. “Benar ada elemen dalam pemerintahan AS yang mulai mempertanyakan pentingnya aliansi NATO.”
Bagi Eropa sendiri, mereka kini telah membangun kemampuan militer mereka sendiri dan akan terus melakukannya dengan atau tanpa NATO. Pertanyaannya adalah: Akankan Perang Afghan akhirnya mendorong terjadinya perceraian antara AS dan Eropa? Jika demikian, kondisi ini akan mempengaruhi kampanye militer NATO.
Ini adalah pengalaman kedua NATO sejak didirikan di 1949. Meskipun, tidak berperang, namun NATO sukses menyelesaikan misinya: melibatkan Amerika, mengusir Rusia dan menyatukan Jerman dalam Perang Dingin.
Ketika Perang Dingin berakhir dan Pakta Warsawa bubar, NATO tiba-tiba berubah menjadi organisasi tanpa misi. Di awal 90-an, NATO menambah portofolio baru yakni tugas lingkungan hidup, misi kemanusiaan dan sejenisnya sebagai alasan untuk tetap eksis. NATO dianggap sebagai bagian pilar tata dunia lama yang perlu dikaji. Tidak kurang, Presiden George HW. Bush sendiri melihat perlunya ada perubahan baru yang radikal.
Tragedi disintegrasi Yugoslavia menyelamatkan NATO. Organisasi ini seperti mendapatkan legitimasi baru. Eropa dianggap tidak banyak berbuat mencegah pertumpahan darah di Balkan. AS meminta NATO di 1995 untuk melakukan serangkaian misi pemboman atas pasukan Serbia selama konflik Bosnia. Kemudian di 1999, merespon ketakutan eskalasi Serbia di Kosovo, NATO terlibat dalam perang pertamanya. Selama perang 77 hari, NATO melakukan tidak kurang 38 ribu serangan udara atas target Serbia. Serangan itu merenggut banyak korban sipil Serbia, pengungsi Albania dan yang terkenal kedutaan China di Beograde. Meskipun tak ada personil NATO yang tewas selama perang, aliansi ini dikenal sebagai kelompok gang yang tidak pernah bisa menembak.
NATO juga mempertahankan tugas lamanya, yakni menyingkirkan Rusia. Ketakutan Eropa Timur atas mantan bosnya itu mendorong NATO memperkuat ambisinya memperluas keanggotaan NATO di Eropa Timur. NATO menjalin aliansi Partnership for Peace dengan negara-negara bekas Uni Soviet di1994. Di 1991, Republik Czech, Hungaria dan Polandia menjadi anggota baru dan lima tahun kemudian NATO menarik lebih banyak lagi negara-negara Baltik seperti Latvia, Lithuani dan Estonia kemudian disusul Bulgaria, Romania, Sovakia dan Slovenia, Rusia sangat terkejut dengan ekspansi ke timur NATO. Karena khawatir dengan aksi militer di Chechnya, Georgia dan Moldova segera berpaling ke NATO.
Namun tragedi Balkan maupun ancaman Rusia terbukti bukan berkah positif bagi aliansi ini. Kampanye militer di Balkan menciptakan tekanan besar NATO dan hanya kesuksesan singkat operasi udara di Kosovo telah menyelamatkan aliansi ini dari penolakan publik di Eropa. Sementara itu, ekspansi NATO ke Eropa Timur menjadikan upaya konsensus semakin susah dicapai.
Satu-satunya fokus utama NATO –yakni komitmen melakukan pembelaan kolektif anggota dari serangan musuh (Rusia)- kini menjadi susah dilakukan. Negara-negara Eropa Barat sangat antusias dengan ide itu Meski AS berjanji menempatkan pasukannya di Eropa Timur dan Tengah namun AS sendiri maju mundur dengan gagasan itu. “Meskipun mereka bersumpah, namun para pemimpin (Eropa Timur dan Tengah) tidak yakin NATO akan melakukan penyelamatan jika krisis yang terjadi melibatkan Rusia”, ungkap Ronald Asmus, mantan Asisten Deputi Menlu dalam pemerintahan Clinton. “Mereka tidak begitu percaya bahwa solidaritas politik itu eksis atau bahwa mesin NATO yang bising itu mampu melakukan tindakan konkrit.”
Satu dekade pasca Perang Dingin, NATO mengalami overstretching karena melakukan misi yang mahal namun tidak terumuskan dengan baik. Selain problem, diantara anggota NATO sendiri saling bertengkar satu sama lain. Ketika AS bersiap-siap menyerang Afghanistan dan Irak, pemerintah Bush mem-bypass NATO dan melakukan koalisi ad-hoc-nya sendiri.( Hanya di 2003, pemerintah Bush kemudian berpaling ke NATO untuk berbagi beban. Namun hal itu tidak mendorong protes diantara Negara NATO.
Batu Ujian Afghanistan
Pasca Perang Dingin, jumlah pasukan AS di Eropa semakin turun. Dari ratusan ribu anjlok menjadi 44 ribu di 2007. Pengurangan kembali hingga 30 ribu kini tengah didiskusikan. Dengan pasukan AS yang tersebar di seluruh dunia sementara para pemimpin berkonsentrasi di Timur Tengah dan Asia Tengah, maka wilayah operasi di Eropa tak pelak membutuhkan tambahan pasukan.
Meski demikian, Washington akan tetap mempertahankan basis militer kuncinya di Inggris, Italia dan Jerman sembari membangun basis baru di Bulgaria, Romania dan Kosovo (karena dekat dengan sumber enerji di Eurasia dan Timur Tengah). Turki dan mungkin Balkan akan dipilih menjadi lokasi penting bagi instalasi versi lebih canggih sistem pertahanan rudal untuk Eropa yang digagas Bush setelah penundaannya oleh Obama untuk Repubik Czech dan Polandia.
Pada masa pemerintahan Bush, dia lebih mendorong aliansi untuk memperluas diluar peran tradisionalnya di Eropa. Bush menginginkan NATO lebih berpikir global dengan memfokuskan kepada terorisme, pengembangan nuklir, bajak laut dan ancaman internasional lainnya. AS ingin memindahkan beban keuangannya selama ini dalam menjalankan misi globalnya kepada sekutu Eropanya. Perang Afghan dan upaya rekonstruksi –operasi penting diluar wilayah Eropa-sebenarnya menjadi batu ujian versi baru NATO-nya Amerika.
Disisi lain, anggota-anggota baru aliansi dari Eropa Tengah dan Timur menghendaki lebih focus kepada ancaman atas Eropa sendiri. Mereka melihat ancaman itu dari Rusia. Para pemimpin di Repubik Czech dan Polandia ingin disegerakannya penempatan basis pertahanan misil yang ditunda itu bukan karena mereka percaya atas kemampuan pertahanan udara itu sendiri atau karena ancaman misil Iran di masa mendatang seperti yang secara resmi dinyatakan Bush namun lebih karena rencana itu dianggap sebagai wujud keseriusan Washington menghadapi Rusia. Bagi mereka, Afghanistan hanya akan mengalihkan misi utama NATO menjaga Eropa dari ancaman Rusia.
*John Feffer adalah co-director Foreign Policy In Focus di Institute for Policy Studies and menulis untuk World Beat column.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: