*Anthony DiMaggio
Pengakuan Iran baru-baru ini jika sedang memperkaya uraniumnya direspon serius oleh Washington dan media AS. Obama telah lama memperingatkan ancaman eksistensial Iran atas AS dan sekutunya. Keprihatinan atas nuklir Iran dapat dipahami jika dilandasi keinginan untuk menghapus senjata nuklir dan ancaman proliferasinya bagi eksistensi umat manusia.
Namun sayangnya, keprihatinan pemerintahan Obama tidak dalam perspektif ini. AS lebih didorong keinginannya untuk melarang musuh-musuhnya memiliki senjata nuklir sementara pada saat bersamaan menjamin sepenuhnya maneuver AS dan sekutunya untuk memiliki senjata nuklir dan menggunakannya jika perlu.
Saya secara konsisten menyatakan bahwa intelejen AS dan PBB tidak dapat membuktikan Iran sedang mengembangkan senjata nuklir. Pernyataan Iran pekan ini bahwa negara tersebut sedang mengembangkan bahan bakar nuklir (dan tidak dilaporkan kepada IAEA) memang mengkhawatirkan. Banyak negara-negara ingin Iran bersikap transparan dalam pengembangan dan penggunaan bahan bakar nuklir. Memang bukan hal yang mengejutkan jika Iran suatu saat akan mengembangkan senjata nuklir untuk melindunginya dari ancaman permusuhan AS dan Israel. Secara teoritis, Iran dapat memutuskan proses pengayaan uranium untuk senjata nuklir meskipun kemampuan dua reaktor nuklirnya pada saat ini belum memadai. Semua uranium yang kini digunakan Iran tidak berkualitas senjata nuklir. BBC sendiri menyatakan bahwa secara legal Iran “tidak perlu melapor IAEA tentang kegiatan nuklirnya hingga 180 hari sebelum material nuklir itu ditempatkan di fasilitas.” Sebagai catatan, reaktor kedua yang diberitakan pekan ini belumlah beroperasi. Oleh karena itu, keberadaan reaktor itu sendiri –berbeda dengan klaim Obama- tidak dapat menjadi bukti pelanggaran Iran atas NPT. Permasalahan utamanya adalah hingga kini tidak ada bukti memadai Iran sedang mengembangkan senjata nuklir.
Tentunya menjadi alasan masuk akal bagi Iran untuk khawatir dengan agresi AS. Meskipun, pemerintahan Obama menunjukkan keinginannya untuk bernegosiasi dengan Iran tanpa syarat, namun AS menolak meninggalkan opsi militer. Serangan itu dapat mengancam kawasan yang sebelumnya rentan ini kedalam kekacauan yang sangat besar. Kajian perihal jejak rekam kebijakan luar negeri AS juga menjadi sebab keprihatinan Iran.
Jejak itu adalah:
Ada 13 kali invasi besar AS sejak PD II.
Dengan taksiran konservatif: AS melakukan lusinan invasi atas negara-negara berdaulat dalam 65 tahun terakhir- termasuk serangan atas Korea Utara (1950-1951), Kuba (1961), Vietnam Selatan (1962), Republik Dominika (1965), Kamboja (1970), Lebanon (1982-1983), Grenada (1983), Panama (1989), Irak (1991), Haiti (1994), Afghanistan (2001) dan Irak kembali (2003). Operasi rahasia AS yang didesain untuk menumbangkan pemerintahan asing tiga kali lebih banyak ketimbang invasi. Seperti yang dijelaskan William Blum dalam bukunya “Rogue State”, “Dari 1945 hingga akhir abad Ini, AS mencoba menggulingkan lebih dari 40 pemerintahan asing, dan menghancurkan 30 gerakan nasionalis populis yang berjuang melawan rejim represif.” Masuk kedalam daftar ini, percobaan penggulingan pasca periode 2000 dapat ditambahkan yakni Venezuela, Irak, Haiti, Afghanistan, Palestina dan Iran –beberapa nama yang diketahui publik
Ada 22.965 senjata nuklir yang dimiliki AS dan sekutunya yang jelas-jelas melanggar semangat NPT.
Sementara Iran adalah negara non-nuklir, sejumlah senjata nuklir yang dimiliki negara-negara besar baik yang mendukung sanksi maupun ancaman serangan atas Iran cukup mencengangkan. AS adalah satu-satunya negara yang telah menggunakan senjata nuklir atas rakyat sipil sekalipun digunakan dengan dalih untuk mengurangi korban nyawa rakyat Amerika diakhir PD II. Beberapa kali IAEA menginspeksi senjata nuklir AS dan sekutunya namun tidak ada hasil positifnya.
Masalah ini sejatinya vital. Negara nuklir bersikukuh menyatakan “hak”nya menguasai senjata nuklir sementara memaksa negara lain melucuti kemampuan nuklirnya dengan ancaman perang dan sanksi jika menolak. Dalam kasus Iran dan Irak, kedua negara dipaksa dilucuti oleh Dewan Keamanan PBB –badan yang dalam waktu lama selalu digunakan sebagai senjata AS melawan negara-negara lemah. Lebih jauh, AS bahkan terang-terangan mereorganisir stok senjata nuklirnya. Para pemimpin AS terang-terangan menolak kewajiban pelucutan NPT melalui pengumumannya untuk mengembangkan kembali senjata nuklir. Program Reliable Replacement Warhead seperti yang dinyatakan Menhan Robert Gates adalah alat untuk memodernisasi stok nuklir AS. Pendanaan program akhirnya dihentikan Konggres di 2008 meskipun hal itu tidak menghentikan AS mengembangkan dan menggunakan senjata radioaktif lainnya seperti Bom Depleted Uranium dalam peperangan. Meskipun bom ini tidak sama dengan bom nuklir namun kita mengetahui dengan baik bahaya senjata radioaktif ini.
Berapa banyak Iran memusnahkan negara lain dengan nuklir: 0
Banyak orang menyebutkan klaim yang dituduhkan atas Presiden Mahmoud Ahmadinejad bahwa dia akan “menghapus Israel dari peta bumi.” Analisis independen atas kasus ini menunjukkan bahwa terjadi ketidakakuratan interpretasi atas pernyataan Ahmadinejad. Pakar Timur Tengah, Juan Cole menjelaskan pernyataan ini aslinya dikutip dari pernyataan Ayatullah Ruhullah Khomeini y ang menjanjikan bahwa “rejim Israel yang menduduki Yerusalem haru sirna.” Bagi mereka yang mengetahui masalah konflik Israel-Palestina akan memahami, ada perbedaan besar antara tuntutan bahwa pendudukan harus diakhiri dan ancaman menghapuskan negara Israel dari peta bumi. Ahmadinejad boleh jadi dapat dikecam dunia karena sikap anti Yahudinya namun menolak Holocaust tidaklah sejajar dengan dukungannya atas penghapusan nuklir Israel. Sekalipun seandainya, Ahmadinejad yakin bahwa Israel harus dimusnahkan, para pakar dan pejabat AS sulit untuk menjelaskan bagaimana dia akan melakukannya tanpa kepemilikan senjata nuklir selain secara faktual dia tidak memiliki kekuasaan membuat keputusan penting dalam kebijakan luar negeri. Sebagai pemimpin tertinggi di Iran, Ayatullah Ali Khameini memiliki kata putus dalam kebijakan luar negeri. Diluar, para pemimpin Iran sendiri menunjukkan keinginannya untuk meredakan ketegangan dengan AS sebagai kompensasi pengakuan Israel dengan perbatasan sebelum 1965 sehingga kenyataan ini menjadi aneh menempatkan Iran sebagai ancaman eksistensial bagi Israel.
Ada 8 negara yang secara eksplisit menerima ancaman pemusnahan nuklir dari AS.
Ada setidaknya 8 negara yang diancam diserang nuklir AS. Los Angeles Times melaporakn di 2002, Kajian Postur Militer Pemerintah Bush memasukkan didalamnya “rencana kontijensi penggunaan nuklir atas setidaknya 7 negara, tidak hanya Rusia dan “poros kejahatan” seperti Irak, Iran dan Korea Utara namun juga China, Libya dan Suriah. Disamping, Departemen Pertahanan AS diperintahkan untuk menyiapkan kemungkin penggunaan senjata nuklir dalam menghadapi krisis Arab-Israel. Selain untuk mengembangkan rencana menggunakan senjata nuklir untuk membalas serangan senjata kimia dan biologi juga melakukan “pengembangan militer mengejutkan” atas keadaan yang tidak spesifik. 17 Perintah Presiden dalam Keamanan Nasional Pemerintah Bush menegaskan komitmennya untuk menggunakan senjata nuklir atas negara manapun yang mungkin menggunakan senjata pemusnah massal atas AS dan sekutunya. Beberapa pihak boleh jadi menganggap dua dokumen ini sebagai semata upaya defensif atau hanya sebagai rencana kontijensi yang tidak mungkin dilakukan AS. Namun juga merefleksikan hal serupa seandainya Irak, Iran atau negara lain menghadapi musuh-musuhnya.
Rencana AS menuklir negara lain sudah ada pada pemerintahan Nixon yang mempopulerkan “teori orang gila” dimana AS akan menuklir negara-negara yang menentang kepentingan kapitalis. Seperti yang disampaikan Nixon atas Kepala Staffnya, H.R. haldeman,”Saya menyebutnya teori orang gila. Sya ingin Vietnam Utara percaya bahwa saya telah sampai kepada keyakinan akan melakukan apapun untuk menghentikan perang ini. Kita akan menyelipkan kata-kata kepada mereka bahwa, “Demi Tuhan, anda tahu Nixon saya sangat marah dengan komunisme. Kita tidak dapat menghentikan dia ketika dia marah dan dia tidak ragu memencat tombol nuklir dan Ho Chi Minh akan seperti Paris dalam dua hari karena menghiba meminta damai.”
Renungan Nixon untuk mengancam menggunakan nuklir bukanlah peristiwa kebetulan. Di 1995, Komando Strategis AS dibawah Clinton merilis studi yang berspekulasi atas penggunaan senjata nuklir untuk tujuan-tujuan strategis. Bertajukkan “"Essentials of Post-Cold War Deterrence", dokumen ini menyimpulkan tujuan kebijakan luar negeri AS seharusnya berpijak kepada penciptaan rasa takut di hati musuh-musuhnya: “Karena nilai yang muncul dari ambiguitas terhadap apa yang mungkin AS lakukan atas musuhnya jika tindakan pencegahan dilakukannya. Ini cukup untuk menunjukkan diri kita sepenuhnya rasional atau berkepala dingin. Kenyataanya, beberapa elemen dapat secara potensial menjadi diluar control sehingga menciptakan atau memicu ketakutan dan keraguan dalam benak musuh-musuhnya. Ketakutan musuh menjadi kekuatan utama pencegah. Bahwa AS menjadi irasional dan brutal jika kepentingan vitalnya terancam harus menjadi bagian pencitraan nasional yang kita proyeksikan atas semua mush. Dengan demikian, pencegahan melalui ancaman senjata nuklir akan terus menjadi strategi utama militer kita.”
Beberapa pihak menegaskan bahwa “AS tidak akan menggunakan senjata nuklir lebih karena masalah itu bukan menjadi masalah nasional yang sedemikian penting”. Orang dapat membayangkan bagaimana reaksi para pemimpin AS jika mereka misalnya membaca dokumen para pejabat Irak atau Iran yang membuat klaim serupa?
Para elit politik dan jurnalis AS akan memprediksikan menyerang Iran karena ancaman yang dituduhkan atas rejim itu terhadap tatanan dunia. Mereka dengan pengetahuan yang kritis atas sejarah dan kebijakan AS tentu akan heran menerima cara pandang defensif yang hipokrit. Kita memang tidak boleh meremehkan bahaya penyebaran senjata nuklir atas eksistensi umat manusia namun kita tidak berlebihan membuat ancaman jika tidak ditemukan bukti itu. upaya anti proliferasi perlu dilakukan dengan tulus dan adil untuk melucuti semua senjata nuklir sekalipun negara bersangkutan negara kuat ataupun lemah.
*Anthony DiMaggio mengajar American and Global Politics di Universitas Illinois State. Dia menulis “ Mass Media, Mass Propaganda” (2008) dan berikutnya akan menulis and tema “When Media Goes to War” (2010). Dia dapat dihubungi di adimagg@ilstu.edu.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: