“Musuh besar kebenaran sering bukan karena kebohongan yang disengaja tetapi justru karena mitos yang dipertahankan” (JFK)
Pasca serangan 9/11, kita diyakinkan bahwa Islam adalah ancaman terbesar. Melalui Kontrol media, kelompok neoconservative menggunakan istilah ‘Islamofascisme’ untuk berperang di Irak. Iran menjadi target berikutnya sementara tanpa malu dan brutal, rakyat Palestina dan Lebanon dianiaya atas ‘demokrasi’.
Jacob Heilbrunn, menyebut Neocon sebagai fenomena Yahudi. Dia mengatakan, “Neocon diikat oleh komitmen bersama bagi kepentingan lebih besar, eksistensi Israel.”
Akhir Perang Dingin membuat Israel dalam posisi sulit. Mengutip Jerusalem Report, 1991, kelompok kanan Israel menempatkan Islam sebagai ancaman pengganti komunisme. Basis gagasan itu muncul dari ketakutan neocon bahwa seiring kematian Uni Soviet dan pecahnya faksi sayap kanan, bakal tidak ada lagi dukungan tanpa syarat aliansi AS-Israel.
Kristol dan Podhoretz menyatakan bahwa satu dekade masa tenang pasca perang dingin dapat digunakan untuk menebarkan kebencian atas radikalisme Islam dalam pikiran rakyat Amerika. “Antara dunia nyata dan dunia gagasan tidak selalu sejalan. Media utama, universitas dan masyarakat artistik berada di sisi kiri, Oleh karena itu harus dikendalikan.”
1993, Samuel Huntington menawarkan solusi dalam Clash of Civilization yang berbasis pada pandangan Bernard Lewis sebelumnya. Dia menyatakan bahwa “masyarakat dan negara Muslim berada di garis kultural dunia yang salah karena karakter kekerasan berlebihan yang dimilikinya.” Antusiasme Muslim untuk berperang dan kesiapan mereka untuk menggunakan kekerasan adalah dalihnya. Meskipun teori itu ditolak banyak ilmuwan, namun kalangan neocon tetap melanjutkan gagasan itu.
Lembang think tank Washington, American Enterprise Institute (AEI) menjadi wadah bagi figur neocon yang berpengaruh seperti Douglas Feith, David Wurmser dan Richard Perle yang juga anggota IASPS (Institute for Advanced Strategic and Political Studies) yang berbasis di Yerusalem. Berdasarkan Studi Institute for Research: Middle East Policy (IRMEP) 2003 menjelaskan korelasi kebijakan perang Bush dengan pendanaan dari think tank ini.
Selain itu, banyak media dekat dengan ideologi neocon, seiring lahirnya kebijakan Federal Communication Commission (FCC) di 1980-an yang memperbolehkan praktek merger dan akusisi media. Secara alamiah, Rupert Murdoch dan kalangan neocon bekerjasama mengembangkan kekaisaran media mereka di era 90-an. Murdoch di AS dikenal sebagai pendukung fanatik Israel. Konggres Yahudi New York menominasikannya sebagai “Communication Man of The Year” di 1982.
Sejalan dengan agenda neocon, media arus utama di AS menempatkan peristiwa 11 September dalam konteks terorisme Islam. Ancaman Islam yang didesain Huttington dibesar-besarkan media. Karena ekstrimisme agama dianggap sebagai motif aksi teroris maka semua bentuk penyelidikan atas peristiwa itu dianggap tidak ada. Respon rakyat Amerika bukanlah kebetulan. Teori Clash of Civilization-nya Huttington telah menjadi pandangan baru kebijakan luar negeri AS.
Ada upaya seksama menjelaskan motivasi para pembajak pesawat sebegai bentuk “ekstrimisme Islam”, menggantikan ancaman Uni Soviet dengan Islam. Namun siapa pembajak aslinya? Badan HAM PBB yang ditugasi memonitor Israel meminta adanya penyelidikan perihal peran neocon dalam serangan teroris 9/11. Peran kelompok ini diduga telah mempengaruhi kebijakan AS jika tidak dikatakan menentukan. (New York Sun).
20 September 2001, sekelompok besar pendukung neocon diluar pemerintahan mengirim surat terbuka ke gedung Putih yang menjelaskan secara garis besar bagaimana perang seharusnya dilakukan. Sasarannya tidak lain, Irak. Dalam surat itu juga menuntut perang tetap dilakukan seandainya bukti yang dicari tidak ditemukan. Diantara penandatangan petisi itu adalah Norman Podhoretz, Eliot Cohen, Richard Perle, William Kristol dan Charles Krauthemmer.
Dua bulan setelah invasi Irak, William Kristol, Editor Weekly Standard milik Murdoch dan kini menjadi kolumnis New York Times menulis,”Perang yang tengah berlangsung adalah tantangan langsung bagi AS dan dunia beradab…. Pembebasan Irak adalah perang besar pertama bagi masa depan Timur Tengah. Penciptaan Irak yang bebas sangat penting sekali. Dan perang berikutnya adalah dengan Iran.”
Ancaman Islam didekatkan oleh kalangan konservatif kepada rakyat dan media Amerika. Para pemimpin Amerika tidak lagi mengabdi bagi kepentingan negerinya namun Israel. Kampanye presiden 2008 adalah bukti jelas pengaruh neocon, media massa dan prioritas bagi Amerika.
Mantan walikota New York, Rudy Giuliani menjadikan ancaman terorisme Islam sebagai isu utamanya. Dia mengangkat dua tokoh neocon sebagai penasehatnya, yakni Daniel Pipes dan Peter King. Daniel Pipes mengepalai LSM “Campus Watch” yang bertugas menjamin semua kampus pro-Zionis dan Peter King, anggota senior Konggres Republikan yang juga anggota Komisi Kemanan dalam Negeri Konggres pernah mengatakan “terlalu banyak mesjid di negeri ini”.
* Soraya Sepahpour-Ulrich adalah anggota World Association of International Studies society, Stanford. Risetnya tentang kebijakan LN AS atas Iran, program nuklir Iran dan pengaruh kelompok Lobby.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: