Keputusan Facebook menyensor tampilan ‘Gambar Muhammad’ bagi para penggunanya di Pakistan telah mengundang kejengkelan Barat karena memandang langkah tersebut sebagai langkah mundur bagi kebebasan bicara. Namun, kajian atas isu ini sendiri menunjukkan bahwa kontroversi tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebebasan bicara, alih-alih merupakan bentuk penyebaran kebencian.
Keputusan tersebut tak pelak mengakhiri mimpi buruk kehidupan sosial Pakistan. Diakhir Mei lalu, pemerintah Pakistan memutuskan membuka kembali akses Facebook bagi warganya sekaligus mengakhiri pertikaian hampir dua pekan antara Pakistan dan Facebook atas tampilan dalam laman jejaring sosial ini yang dipandang menghina kaum Muslimin karena mengajak para pemakainya menggambar Nabi Muhammad.
Ketika tampilan laman “Everyday Draw Mohammed Day” pertama kali muncul, pemerintah Pakistan mengumumkan akan melarang akses atas laman ini hingga Facebook bersedia menarik tampilan tersebut dari lamannya. Sebelumnya, pemerintah Pakistan juga mengimplementasikan larangan yang sama atas You Tube untuk alasan yang sama namun aksesnya kemudian dibuka kembali setelah bersedia memblok konten yang dipermasalahkan.
Dalam pernyataannya, juru bicara Facebook Debby Frost menjelaskan kebijakan tersebut,”Kami tidak menghilangkan konten tersebut dari facebook, namun beberapa konten tadi dihapus oleh para kreatornya, demikian pula membatasi akses dari beberapa Negara karena menghormati aturan lokal.”
Keputusan tersebut telah menghentikan aksi protes yang sebelumnya terjadi diseluruh penjuru negeri, namun bagi mereka yang mengklaim sebagai pendukung kebebasan berpendapat mengutuk langkah tersebut karena tunduk kepada tekanan negara tertentu.namun jika dicermati lebih dalam keputusan Facebook sendiri adalah keputusan tepat namun sedikit terlambat.
Jika dilihat sepintas saja tampilan “Draw Mohammed” dalam Facebook telah membuka dialog yang penuh kebencian, rasis dan xenophobia. Jika seseorang secara sengaja mengirimkan gambar jorok tentang Martin Luther King pasti akan mengundang respon kebencian. Tetapi karena Nabi Muhammad dan pengikutnya menjadi target penghinaan maka kebencian akan menyebar atas nama kebebasan bicara.
Kampanye tersebut tidak lebih dari upaya sistemik untuk memfitnah agama dan kebudayaan tertentu yang difasilitasi media sayap kanan arus utama Barat. Seharusnya ada diskusi cerdasyang dapat menjembatani perbedaan antara Barat dan Islam dalam hal kebebasan berbicara.
Sejatinya adalah batas jelas antara hak sipil dalam mengekspresikan dirinya secara bebas dengan xenophobia tanpa tedeng aling-aling. Batas yang sering kali dilanggar oleh Facebook. Seharusnya kebebasan berekspresi dijaga demikian pula harmoni sosial dipelihara. Namun problemnya, Amerika dan Eropa memiliki prinsip yang berbeda dengan dunia Islam. Ketika sebuah negara atau kebudayaan memaksakan gagasan tertentu maka tak pelak cara ini merefleksikan perilaku kolonialisme.
Dalam kenyataannya tidak ada yang disebut sebagai kebebasan mutlak. Tidak ada orang Amerika yang membantah jika ada seseorang berteriak,”kebakaran” didalam gedung teater atas nama kebebasan berbicara akan dipidana. Ini adalah contoh dimana kebebasan dibatasi secara UU karena tindakan tersebut berpotensi akan menimbulkan kekacauan. Hal yang sama dapat diterapkan dalam menganalisis dampak yang diakibatkan oleh kartun tersebut.
Tidak lama setelah kartun itu muncul, ancaman pembunuhan disuarakan atas pendukung ide ini dan kerusuhan pecah diseluruh penjuru Pakistan. Puluhan ribu orang turun kejalan melawan Facebook.
Pakistan tidak hanya menjalankan kepentingannya namun juga Barat. Dan Facebook hanya membantu meredakan krisis yang akan mengoyak negeri itu.
Jejaring sosial boleh jadi tidak berarti apa-apa kecuali sekedar platform. Banyak yang berdalih bahwa citra perusahaan seharusnya tidak dikaitkan dengan tindakan dan ucapan para anggota. Namun argumentasi tersebut gagal menjelaskan bahwa laman jejaring sosial akan selalu didefinisikan berdasarkan struktur politik dan tindakan para konsumennya. Oleh karena itu cukup menjadi alasan jika perusahaan kemudian membuat aturan main apa yang hendak dikatakan dan ditampilkan para penggunanya.
Dalam kaitannya dengan sensor yang dilakukan di Pakistan, jejaring social ini melakukan tindakan diplomatik yang tepat. Facebook meredakan para pemrotes tanpa menyingkirkan porsi substansial basis penggunanya. Perusahaan itu mungkin terlambat dalam membuat keputusan namun dengan mempertimbangka pelbagai jenis opini dan pendapat yang dipropagandakan di laman ini, maka upaya pencegahan hal-hal buruk terjadi patut disambut.
Para pendukung kebebasan berbicara dan “Draw Mohammed” harus jujur bertanya kepada dirinya apakah kehidupan mereka menjadi sedemikian buruk karena absennya tampilan gambar Mohammed. Apakah embargo dunia atas karikatur ini benar-benar mengeluarkan komunitas online dari outlet media yang bebas dari caci maki atas nabi.
Lebih penting lagi, apakah kebebasan menggambar versi Nabi Mohammed senilai dengan resiko hilangnya banyak nyawa? Apakah layak mempublikasikan kartun tersebut disaat kondisi dunia masih dalam keadaan depresi baik dalam hal hak maupun kebutuhan dasar umat manusia? Atau kontroversi ini hanya sebagai kamuflase komunitas Barat yang marah untuk melemparkan pukulan kepada umat Islam dibawah alasan kebebasan sipil?
Boleh jadi demikian jawabannya.
* Jurnalis lepas dan konsultan Departemen perdagangan dan pertanian OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: