Jika menilik alasan lahirnya Revolusi Islam, kita dapat memahami bahwa Hamas adalah kelompok moderat. Namun syangnya dalam cetak biru Timur Tengah versi pemimpin Barat, Hamas adalah kelompok ekstrimis yang harus dihancurkan sedangkan kepemimpinan di Ramallah (Fatah) adalah kelompok moderat yang harus dibantu. Dengan model inilah, interpretasi deterministik disusun., yakni: “kekalahan Hamas dapat menjadi pukulan bagi Hizbullah yang pada gilirannya akan memukul Syiria serta memperlemah Iran. Dengan demikian, kelompok moderat akan kuat dan Israel menjadi lebih aman.” Dalam narasi ini, krisis Palestina direduksi semata pertarungan eksistensial global melawan ekstrimisme.
Ini adalah penciptaan model yang sangat simplistik dan cacat. Pencarian formulasi versi ini tidak hanya gagal menciptakan Palestina merdeka namun juga menjelaskan kegagalan para pemimpin Barat karena memaksakan sesuatu. Padahal dlam konteks Palestina, Mahmoud Abbas tidak lebih dari seorang pemimpin yang telah kehilangan legitimasi untuk membuat solusi politik.
Meski demikian, Barat sukses mencegah akses Hamas dan faksi lainnya kedalam institusi kepemimpinan di Palestina. Institusi kepemimpinan masih tetap dipegang satu kelompok saja, yakni Fatah. Namun, kebijakan Barat telah menciptakan kekosongan dimana tak satupun pemimpin maupun gerakan palestina memiliki potensi mendapatkan mandat secara menyakinkan atau secara politik bergerak maju melakukan penyelesaian politik.
Segala upaya menghancurkan Hamas baik secara politik dan ekonomi telah gagal. AS dan Inggris sendiri terlibat dalam operasi khusus para milisi disekitar Abbas untuk membersihkan pengaruh Hamas di Tepi Barat dengan menutup lembaga amal dan politik yang dimilikinya. Plus terbaru, agresi militer Israel atas Gaza. Prospek Palestina merdeka dikorbankan menjadi model politik yang dipastikan gagal. Alih-alih, semakin mempercepat radikalisme. Hizbullah, Syria dan Iran bukannya lemah malahan semakin kuat. Kawasan Timteng semakin terpolarisasi dan tidak aman.
Barat melihat kelompok sekular sebagai sekutu yang harus didukung. Namun kelompok yang selalu dilihat sebagai proxy Barat ini hampir tidak memiliki pendukung. Sementara para pemimpin Arab yang hanya berpikir bagi kepentingan eksistensi kekekuasaannya dan akan berbuat apapun untuk menghancurkan gerakan Islam yang popular malahan dijadikan sekutunya.
Transfromasi literalis yang berbahaya ini pada dasarnya memiliki akar di Barat jauh sebelum Hamas sendiri ada. Barat di era 60-an mengadopsi dan mendukung puritanisme apolitik salafisme yang dikembangkan Saudi untuk mencegah pertama, bangkitnya nasionalisme Nasserist dan berturut-turut, sebagai counter bagi penyebaran ideologi Marxisme dan pengaruh Uni Soviet, mengalahkan negra adidaya itu di Afghanistan, dan mencegah penyebaran gagasan revolusi Islam ala Iran.
Namun alih-alih melindungi kepentingan Barat dan dinasti Saud, para disinden dari kelompok puritan ini sebaliknya semakin lebih politis dan berbahaya. Gerakan berbahaya –Abu Musab al Zarqawi dan sejenisnya- yang tengah dihadapi Barat adalah pecahan gerakan ‘apolitik’ salafisme. Pengucilan Barat atas gerakan arus utama seperti Hamas hanya akan membuka ruang bagi berkembangnya pecahan-pecahan salafi. Gerkan seperti Taliban, Al-Qaeda dan Lasykar at Taiba sangat dipengaruhi Salafisme melalui jalur Deobandisme di India.
Barat secara salah telah melabeli suatu kelompok ekstrimis. Tidak ada perbedaan antara gerakan perlawanan bersenjata, seperti Hamas dan Hizbullah dengan kelompok pecahan salafi yang keras dan radikal yang sangat berbahaya bagi barat sendiri. Gerakan ini lahir dari ideologi dogmatis dan sangat anti akal yang dipaksakan atas pengikutnya.
Sebaliknya Hamas dan Hizbullah bukanlah kelompok literalis maupun fundamentalis. Saya berpendapat gerakan Islam itu lahir dari gagasan jelas dan masuk akal. Ide gerakan ini berasal dari krisis Islam akibat PD 1. Islam mengalami guncangan dan disorientasi sehingga mencoba mencari solusi atas situasi sulit yang tengah dihadapinya. Maka mulailah upaya pencarian diri dengan kembali kepada akarnya serta mencari gagasan baru yang dipandang dapat mengatasi problema politik, ekonomi dan sosialnya. Revolusi ini adalah tentang cara berpikir, memahami manusia dan dunia dimana mereka hidup. Pendeknya, revolusi mereka adalah revolusi gagasan dan filosofi yang ditempatkan dalam perspektif gerakan politik.
Sebagaimana lainnya, revolusi ini menyimpan kerentanan dan kelemahan sebagaimana diakui para arsiteknya sendiri. Tetapi Islamisme telah bertransformasi menjadi kekuatan agama, politik dan sosial yang dinamis. Eropa pasca Enlightenment secara keliru memandang konsepsi sebagai sesuatu yang paradoksal sehingga berkeinginan memperlemahnya. Ini pula yang dapat menjelaskan mengapa barat tetap memandang Ikhwan, Hamas dan Hizbullah sebagai kelompok ekstrim.
Ben Gurion -PM pertama Israel, mengembangkan strategi defensif yang disebut ‘Aliansi pinggiran’ (alliances of periphery). Tujuannya untuk mengimbangi tetangganya negara-negara Arab yang menjadi musuhnya dengan menjalin aliansi dengan Iran, Turki dan Ethiopia. Upaya ini untuk memperkuat strategi deterrence (pencegahan) Israel, mengendurkan isolasi dan menambah daya tarik negara itu sebagai asset berharga AS.
Dalam konteks ini, Iran dipandang sebagai sekutu alamiah bagi Israel karena kedekatan kultural mereka. Kesan kedekatan ini pula yang tetap coba dijalin sekalipun terjadi Revolusi Iran. Para politisi garis keras Israel tetap mencoba menjalin kontak dengan kepemimpinan baru Iran pasca revolusi. Namun dua peristiwa yang terjadi (1990-1992) telah merubah sudut pandang ini.
Dalam periode ini, Uni Soviet bubar dan Saddam Hussein berhasil dikalahkan dalam perang Teluk I, yang berarti hilangnya ancaman Rusia bagi Iran dan Irak bagi Israel. Israel dan Iran kemudian menjadi kekuatan penting di kawasan ini, sementara AS menjadi kekuatan unipolar yang tidak tertandingi.
Israel mendesain peta baru di kawasan ini dan menginginkan peran baru sebagai sekutu terdekat AS. Ini pula yang melatari rasionalitas dibalik hubungan strategis Washington-Israel. Bangkitnya Iran dipandang sebagai ancaman bagi Israel. Segala upaya pendekatan AS-Iran dipandang beresiko karena bakal menganggu kedekatan Israel dan AS dan ancaman bagi supremasi militer Israel.
1992, Israel memutuskan menghentikan strategi dukungan atas kawasan pinggiran dan sebagai gantinya menjalin kesepakatan damai dengan Arab. Strategi yang dipandang radikal ini memiliki dimensi kemanfaatan jangka panjang namun juga problematis.
Ini adalah penciptaan model yang sangat simplistik dan cacat. Pencarian formulasi versi ini tidak hanya gagal menciptakan Palestina merdeka namun juga menjelaskan kegagalan para pemimpin Barat karena memaksakan sesuatu. Padahal dlam konteks Palestina, Mahmoud Abbas tidak lebih dari seorang pemimpin yang telah kehilangan legitimasi untuk membuat solusi politik.
Meski demikian, Barat sukses mencegah akses Hamas dan faksi lainnya kedalam institusi kepemimpinan di Palestina. Institusi kepemimpinan masih tetap dipegang satu kelompok saja, yakni Fatah. Namun, kebijakan Barat telah menciptakan kekosongan dimana tak satupun pemimpin maupun gerakan palestina memiliki potensi mendapatkan mandat secara menyakinkan atau secara politik bergerak maju melakukan penyelesaian politik.
Segala upaya menghancurkan Hamas baik secara politik dan ekonomi telah gagal. AS dan Inggris sendiri terlibat dalam operasi khusus para milisi disekitar Abbas untuk membersihkan pengaruh Hamas di Tepi Barat dengan menutup lembaga amal dan politik yang dimilikinya. Plus terbaru, agresi militer Israel atas Gaza. Prospek Palestina merdeka dikorbankan menjadi model politik yang dipastikan gagal. Alih-alih, semakin mempercepat radikalisme. Hizbullah, Syria dan Iran bukannya lemah malahan semakin kuat. Kawasan Timteng semakin terpolarisasi dan tidak aman.
Barat melihat kelompok sekular sebagai sekutu yang harus didukung. Namun kelompok yang selalu dilihat sebagai proxy Barat ini hampir tidak memiliki pendukung. Sementara para pemimpin Arab yang hanya berpikir bagi kepentingan eksistensi kekekuasaannya dan akan berbuat apapun untuk menghancurkan gerakan Islam yang popular malahan dijadikan sekutunya.
Transfromasi literalis yang berbahaya ini pada dasarnya memiliki akar di Barat jauh sebelum Hamas sendiri ada. Barat di era 60-an mengadopsi dan mendukung puritanisme apolitik salafisme yang dikembangkan Saudi untuk mencegah pertama, bangkitnya nasionalisme Nasserist dan berturut-turut, sebagai counter bagi penyebaran ideologi Marxisme dan pengaruh Uni Soviet, mengalahkan negra adidaya itu di Afghanistan, dan mencegah penyebaran gagasan revolusi Islam ala Iran.
Namun alih-alih melindungi kepentingan Barat dan dinasti Saud, para disinden dari kelompok puritan ini sebaliknya semakin lebih politis dan berbahaya. Gerakan berbahaya –Abu Musab al Zarqawi dan sejenisnya- yang tengah dihadapi Barat adalah pecahan gerakan ‘apolitik’ salafisme. Pengucilan Barat atas gerakan arus utama seperti Hamas hanya akan membuka ruang bagi berkembangnya pecahan-pecahan salafi. Gerkan seperti Taliban, Al-Qaeda dan Lasykar at Taiba sangat dipengaruhi Salafisme melalui jalur Deobandisme di India.
Barat secara salah telah melabeli suatu kelompok ekstrimis. Tidak ada perbedaan antara gerakan perlawanan bersenjata, seperti Hamas dan Hizbullah dengan kelompok pecahan salafi yang keras dan radikal yang sangat berbahaya bagi barat sendiri. Gerakan ini lahir dari ideologi dogmatis dan sangat anti akal yang dipaksakan atas pengikutnya.
Sebaliknya Hamas dan Hizbullah bukanlah kelompok literalis maupun fundamentalis. Saya berpendapat gerakan Islam itu lahir dari gagasan jelas dan masuk akal. Ide gerakan ini berasal dari krisis Islam akibat PD 1. Islam mengalami guncangan dan disorientasi sehingga mencoba mencari solusi atas situasi sulit yang tengah dihadapinya. Maka mulailah upaya pencarian diri dengan kembali kepada akarnya serta mencari gagasan baru yang dipandang dapat mengatasi problema politik, ekonomi dan sosialnya. Revolusi ini adalah tentang cara berpikir, memahami manusia dan dunia dimana mereka hidup. Pendeknya, revolusi mereka adalah revolusi gagasan dan filosofi yang ditempatkan dalam perspektif gerakan politik.
Sebagaimana lainnya, revolusi ini menyimpan kerentanan dan kelemahan sebagaimana diakui para arsiteknya sendiri. Tetapi Islamisme telah bertransformasi menjadi kekuatan agama, politik dan sosial yang dinamis. Eropa pasca Enlightenment secara keliru memandang konsepsi sebagai sesuatu yang paradoksal sehingga berkeinginan memperlemahnya. Ini pula yang dapat menjelaskan mengapa barat tetap memandang Ikhwan, Hamas dan Hizbullah sebagai kelompok ekstrim.
Ben Gurion -PM pertama Israel, mengembangkan strategi defensif yang disebut ‘Aliansi pinggiran’ (alliances of periphery). Tujuannya untuk mengimbangi tetangganya negara-negara Arab yang menjadi musuhnya dengan menjalin aliansi dengan Iran, Turki dan Ethiopia. Upaya ini untuk memperkuat strategi deterrence (pencegahan) Israel, mengendurkan isolasi dan menambah daya tarik negara itu sebagai asset berharga AS.
Dalam konteks ini, Iran dipandang sebagai sekutu alamiah bagi Israel karena kedekatan kultural mereka. Kesan kedekatan ini pula yang tetap coba dijalin sekalipun terjadi Revolusi Iran. Para politisi garis keras Israel tetap mencoba menjalin kontak dengan kepemimpinan baru Iran pasca revolusi. Namun dua peristiwa yang terjadi (1990-1992) telah merubah sudut pandang ini.
Dalam periode ini, Uni Soviet bubar dan Saddam Hussein berhasil dikalahkan dalam perang Teluk I, yang berarti hilangnya ancaman Rusia bagi Iran dan Irak bagi Israel. Israel dan Iran kemudian menjadi kekuatan penting di kawasan ini, sementara AS menjadi kekuatan unipolar yang tidak tertandingi.
Israel mendesain peta baru di kawasan ini dan menginginkan peran baru sebagai sekutu terdekat AS. Ini pula yang melatari rasionalitas dibalik hubungan strategis Washington-Israel. Bangkitnya Iran dipandang sebagai ancaman bagi Israel. Segala upaya pendekatan AS-Iran dipandang beresiko karena bakal menganggu kedekatan Israel dan AS dan ancaman bagi supremasi militer Israel.
1992, Israel memutuskan menghentikan strategi dukungan atas kawasan pinggiran dan sebagai gantinya menjalin kesepakatan damai dengan Arab. Strategi yang dipandang radikal ini memiliki dimensi kemanfaatan jangka panjang namun juga problematis.
Perubahan ini menempatkan Iran berhadapan dengan Israel, situasi yang pada awalnya tidak dikehendaki. “Iran menjadi musuh no 1”, ungkap Yossi Alpher empat hari setelah kemenangan Clinton. Sejak itu, Israel dan sekutunya secara konsisten menuduh Iran mencari senjata nuklir.
Iran terus menerus dijadikan musuh sebagai akibat pergeseran ideologis di Israel. Israel membutuhkan lawan baru pasca Uni Soviet untuk menjustifikasi perannya sebagai pelindung dan sekutu AS yang tidak tergantikan. Lawan baru itu adalah ‘ekstrimisme Islam’. Konfigurasi baru ‘moderate periphery versus Arab extremist vicinity’ itu menempatkan politik Islam dan Iran sebagai ekstrimis dan negara-negara Arab tetangga sebagai kelompok moderat. Maka tak pelak Hamaspun dicap teroris oleh Barat. Konseptualisasi ‘musuh’ Barat sebangun dengan Israel.
Utusan kuartet, Tony Blair melakukan hal yang serupa, mengadopsi cetak biru yang simplistik dan cacat. Dia mempropagandakan tema ini ke seluruh dunia. Tema yang menjadi asset bagi Israel dan anggota blok ‘moderat’ lainnya. Maka tidak dapat dihindari, jika kawasan Timur Tengah kedepan akan menjadi kawasan yang berbahaya dan jauh dari keadaan aman.
Iran terus menerus dijadikan musuh sebagai akibat pergeseran ideologis di Israel. Israel membutuhkan lawan baru pasca Uni Soviet untuk menjustifikasi perannya sebagai pelindung dan sekutu AS yang tidak tergantikan. Lawan baru itu adalah ‘ekstrimisme Islam’. Konfigurasi baru ‘moderate periphery versus Arab extremist vicinity’ itu menempatkan politik Islam dan Iran sebagai ekstrimis dan negara-negara Arab tetangga sebagai kelompok moderat. Maka tak pelak Hamaspun dicap teroris oleh Barat. Konseptualisasi ‘musuh’ Barat sebangun dengan Israel.
Utusan kuartet, Tony Blair melakukan hal yang serupa, mengadopsi cetak biru yang simplistik dan cacat. Dia mempropagandakan tema ini ke seluruh dunia. Tema yang menjadi asset bagi Israel dan anggota blok ‘moderat’ lainnya. Maka tidak dapat dihindari, jika kawasan Timur Tengah kedepan akan menjadi kawasan yang berbahaya dan jauh dari keadaan aman.
(penulis adalah ko-editor Forum Conflict dan mantan mediator Uni Eropa dengan Hamas. Karyanya: Resistance, The Essence of Islamist revolution)
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: