*Ahmad Dzakirin
Somalia, negeri berpenduduk 10 juta jiwa mengalami krisis kemanusiaan terburuk. Negeri yang terkoyak perang dan contoh dari negeri yang gagal. Barat mengenalnya sebagai sarang teroris dan front ketiga dalam perang melawan terror. Kini, Somalia menjadi pusat pembajakan dunia.
Tak ayal, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi 1846, 16 Desember 2008 yang memberi wewenang setiap negara menggunakan semua cara yang dibutuhkan untuk memerangi pembajakan di Somalia.
Bagi para pengamat keamanan, resolusi ini dianggap sebagai kemenangan hukum dan tatanan internasional. Namun jika diamati lebih dekat menunjukkan sebaliknya.
Carut marut Somalia bermula ketika operasi kemanusian pimpinan AS menjadi tragedi di 1993. Intervensi sebagai respon dari resolusi 774, 1992 itu dilakukan demi melihat kengerian di negeri yang terkoyak oleh perang sipil. Ribuan orang tewas, jutaan lainnya mengungsi dan hampir keseluruhan penduduknya terancam kelaparan.
AS terjebak dalam kontak senjata dengan para raja perang. AS kehilangan 18 pasukannya dan akibatnya menarik pasukannya dari negeri itu.
1994, penduduk Somalia dipaksa menghadapi sendiri perang antar gang dan kelompok kriminal bersenjata.10 tahun kemudian, pelbagai resolusi PBB tidak membawa perubahan. Keadaan semakin buruk. Sementara negara-negara tetangga –tentunya melanggar resolusi PBB- secara aktif mempersenjatai para pemimpin gang dan kelompok kriminal yang mereka sukai demi mendapatkan pengaruh dalam pemerintahan Somalia mendatang. Ethopia adalah salah satu negara yang paling aktif mempersenjatai para pemimpin gang.
Namun menjelang Natal 2006, pasukan Ethiopia menyerbu Somalia dan memasuki ibukota Mogadishu. Invasi ini dipicu oleh kesuksesan Mahkamah Islam mengalahkan koalisi para pemimpin gang dan kelompok kriminal yang dibiayai AS. Kemenangan ini sebenarnya menandai berakhirnya satu dekade Somalia yang penuh dengan kekacauan, ketiadaan hukum dan bercokolnya kekuasaan para pemimpin gang.
Disaat rakyat Somalia merayakan kondisi ini, kemenangan Mahkamah Islam justru dilihat oleh barat dan negeri tetangganya Ethiopia dan Kenya sebagai ancaman. Untuk itu, AS membiayai, melatih dan menyediakan bantuan logistik bagi invasi tentara Ethiopia. Tujuan hanya satu: menggulingkan pemerintahan Islamis, Mahkamah Islam dan menggantikan dengan pemerintahan federal transisional yang terdiri atas para pemimpin gang yang sama sekali tidak popular dimata rakyat.
Ketidakabsahan invasi Ethiopia telah menelan ribuan warga sipil dan sementara ratusan ribu lainnya meninggalkan Mogadishu. Kini, Somalia menghadapi ancaman yang sama seperti 1993, kelaparan dan kekacauan. Ethiopia menikmati perang anti terornya AS. Negeri miskin yang diperintah oleh rejim diktator dan memiliki catatan hak asasi manusia yang buruk ini dilindungi AS dan didukung secara finansial. Bantuan militer dan keuangan dari Barat mengalir ke sang diktator selain kekebalan dari tuntutan hukum. Barat tutup mata atas kejahatan sang diktator. Resolusi PBB 1864 dapat untuk sementara mengatasi problema keamanan di perairan Somalia, namun hal itu tidak menghilangkan akar masalahnya.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: