*Ahmad Dzakirin
Pandangan politik Barat sejatinya mewarisi pemikiran filsafat Yunani dan Romawi (Hellenisme). Pokok-pokok filsafat Yunani dan Romawi kuno itu tercerminkan dalam pandangan hidup mereka yang sangat mengagungkan cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengangungan terhadap jasmani dan akal serta sangat mengultuskan individu. Pandangan hidup (way of life) ini juga sangat terefleksikan dalam tradisi keagamaan Yunani-Romawi kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi (mundane), praktis dan harus mengabdi kepada kepentingan manusia. Oleh karena itu, tradisi keilmuan mereka bersifat eksperimental dan spekulatif karena menjadikan empirisme dan rasionalisme menjadi satu-satunya alat ukur kebenaran.
Pandangan politik Barat sejatinya mewarisi pemikiran filsafat Yunani dan Romawi (Hellenisme). Pokok-pokok filsafat Yunani dan Romawi kuno itu tercerminkan dalam pandangan hidup mereka yang sangat mengagungkan cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengangungan terhadap jasmani dan akal serta sangat mengultuskan individu. Pandangan hidup (way of life) ini juga sangat terefleksikan dalam tradisi keagamaan Yunani-Romawi kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi (mundane), praktis dan harus mengabdi kepada kepentingan manusia. Oleh karena itu, tradisi keilmuan mereka bersifat eksperimental dan spekulatif karena menjadikan empirisme dan rasionalisme menjadi satu-satunya alat ukur kebenaran.
Pun dalam bidang filsafat politik, pemikiran politik Barat sangat dipengaruhi oleh para filosof Yunani dan Romawi kuno seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Jejak pemikiran Plato dan muridnya, Aristoteles hingga kini dapat dilacak dari karya Machiavelli dalam “Il Prince”, Montesquei dalam “Le Esprit de Lois”, Thomas Hobbes dalam Leviathan, Friedrich Hegel dalam “Enzyklopaedie der philosophischen Wissenschaften”, Karl Marx dalam ‘Communist Manifesto’. Seluruh karya pemikiran filsafat Barat itu tidak ubahnya rangkaian catatan kaki dari kedua pemikir besar tersebut. Karya Aristoteles dalam Politics memberikan inspirasi kepada para pemikir politik Barat dalam konteks perumusan konsep bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum yang mengawasi pemerintahan, revolusi sosial dan lainnya. Pandangan hidup masyarakat Barat ini tidak lebih dari kepanjangan pandangan hidup masyarakat Yunani dan Romawi kuno.
Dalam ranah politik misalnya, pokok-pokok pemikiran Barat terformulasikan kedalam prinsip-prinsip pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat dengan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum. Konsep ini dikenal dengan teori imperium yang mencakup kekuasaan dan otoritas negara, kesamaan hak politik dan kontrak pemerintahan. Dalam konteks otoritas negara, misalnya kedaulatan dan kekuasaan dipahami sebagai bentuk pendelegasian otoritas rakyat kepada negara. Oleh karena itu, kedaulatan dalam sistem Barat sepenuhnya menjadi milik rakyat. Penguasa hanyalah institusi politik yang diberi mandat melaksanakan kedaulatan rakyat dan bekerja bagi kepentingan rakyat. Penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat dan secara otomatis penguasa akan kehilangan legitimasi jika praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Kontrak relasi antara pemerintah dan rakyat dalam sistem politik Barat kontemporer mencakup pokok-pokok pemikiran seperti: pemisahan entitas individu dengan negara, negara dibutuhkan untuk kepentingan eksistensi sosial serta individu menjadi sumber pemikiran hukum. Dalam kerangka pemikiran ini pula, lahirlah konsep kontrak pemerintah yang kemudian dijadikan model teroritis bagi para pemikir politik Barat, seperti John Locke, Jacques Rousseau, Montesqueu, Thomas Hobbes dan lainnya.
Perkembangan Pemikiran Barat
Berikut ini beberapa pandangan politik para pemikir Barat terkemuka:
- Plato : Adalah murid Socrates Menurutnya, negara ideal adalah negara yang mementingkan kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dibutuhkan negara untuk menguasai pengetahuan. Seorang negarawan dianologikan seperti seorang dokter yang mengetahui gejala penyakit masyarakat, mendeteksi sejak dini, mampu melakukan diagnosa dan mencari solusi penyembuhannya. Negara muncul sebagai hubungan timbal balik dan adanya rasa saling membutuhkan antara sesame manusia. Pembagian kerja sosial muncul sebagai akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Negara ideal didasarkan kepada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi baik berupa uang, harta, keluarga, anak dan istri karena pemilikan tersebut berpotensi menciptakan kesenjangan, kompetisi tidak sehat dan disintegrasi sosial Robert Nisbett menyebutnya sebagai nihilisme sosial. Bentuk negara dengan sistem otoriter lebih baik dari demokrasi.
- Aristoteles : Aristoteles adalah murid Plato yang dikenal sebagai pemikir empiris-realis. Dalam pandangannya, eksistensi negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia sebagai makhluk yang berpolitik (zoon politicon). Negara dibutuhkan sebagai sarana aktualisasi watak manusia dan kemunculan terjadi karena adanya saling ketergantungan dalam diri manusia. Dalam negara organis, semua warga negara berkewajiban memelihara persatuan dan keutuhan negara, sebagai gantinya, negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Idealnya, negara diperintah seorang penguasa yang filsuf dan menggunakan kekuasaannya untuk mensejahterakan rakyat. Namun jika tidak ada, maka negara dapat dipimpin oleh beberapa orang yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat atau disebut otokrasi. Jika tidak dapat maka negara boleh berbentuk demokrasi dengan negara kota (polis). Berbeda dengan gurunya, Aristoteles mengakui hak milik individu karena hak itu dibutuhkan warga negara dalam mempertahankan kehidupan sosial dan memikirkan persoalan negara.
- Kristiani : Pemikiran politik kristiani tidak terlepas dari pengaruh kristologi Paulus yang mentransformasi ajaran kristiani lebih bersifat universal, adaptif dan akomodatif terhadap nilai-nilai eksternal seperti Helenisme, Hinduisme dan Mithras. Akibatnya, agama Kristen mengalami proses helenisasi dan berasimilasi dengan doktrin agama dan kepercayaan lain pasca Konstantin memeluk Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama negara. Pemikiran politik kristiani memandang bahwa manusia memiliki naluri sosial dan hidup bernegara. Dengan demikian, keberadaan negara dibutuhkan sebagai pengontrol dan pembimbing perilaku manusia karena tabiat manusia cenderung berbuat keburukan dan dosa. Manusia wajib mematuhi hukum-hukum negara karena kekuasaan negara berasal dari Tuhan dan otoritas politik negara merupakan suatu bentuk pendelegasian kekuasaan dari Tuhan kepada negara. Karena negara dibentuk dalam rangka menjalankan kekuasaan Tuhan, maka secara teologis, posisi negara berada dibawah posisi gereja. Gereja berhak mengintervensi negara namun sebaliknya negara tidak boleh mencampuri urusan gereja. Legitimasi kekuasaan duniawi para kaisar hanya diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kehendak gereja dan para Paus. Di abad ke 16 M, pandangan keagamaan yang monopolitik ini ditentang oleh kalangan kristiani reformis yang dipelopori Martin Luther, Zwingli dan John Calvin. Pada awalnya, pergerakan ini hanya sebatas protes terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma, namun seiring waktu, gerakan protestan berubah menjadi gerakan reformasi dengan paradigma dan ritus-ritus keagamaan yang baru. Sebagaimana halnya dengan doktrin Katolik- protestianisme mengakui adanya dosa turunan. Oleh karena itu, manusia harus berbuat kebajikan dan melawan semua nafsu hewani dengan cara melakukan asketisme duniawi dan tanpa perlu menjalankan perilaku hidup monastik (mengisolasi dari kehidupan manusia). Asketisme memerintahkan manusia berlomba-lomba mencari kekayaan dunia dengan tidak berbuat dosa. Asketisme menjunjung tinggi efisiensi dan rasionalisme yang menjadi prinsip dasar pemerintahan yang efektif. Selain itu, askestisme sangat menentang personifikasi individual (lembaga kepausan), segala bentuk mitos yang berlaku dalam ajaran Katolik (sakramen suci) dan mengagungkan semangat individualisme. Max Weber menyebutkan bahwa protestanianisme dianggap sebagai landasan etik dan menjadi etos kapitalisme modern. Protesnianisme banyak dipengaruhi ajaran dan pemikiran Yahudi, sementara Nurkholis Madjid berpendapat bahwa doktrin Calvianisme yang menjadi asas pemikiran protestan sangat dipengaruhi ajaran-ajaran Islam (Asy’ari) tentang prinsip kemurahan (fadl) dan usaha (kasab)
- Machiavelli: Pemikir Barat di masa Renaisans. Dia menjadi pemikir politik pertama kali yang menjelaskan fenomena sosial-politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Menurutnya, politik adalah upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Adapun agama dan moralitas sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik. Eksistensi agama dan moral hanya dibutuhkan untuk membantu mendapatkan dan mempertahankan politik sedangkan keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan dan melestarikan kekuasaan adalah melalui perhitungan cermat. Seorang politikus harus mengetahui dengan cermat apa yang harus diucapkan maupun apa dilakukan dalam pelbagai situasi yang berbeda. Untuk itu, segala cara dapat dilakukan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa hukum dan tentara yang baik merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang baik. Kekuasaan dapat berjalan dengan adanya kekuatan memaksa. Otoritas itu menjadi sumber kekuasaan. Untuk kepentingan itu, pemimpin dapat menciptakan dan memanfaatkan ketakutan sebagai sarana mengontrol kekuasaan. Negara yang kuat harus dilihat dalam kerangka medis bukan etis. “Seditious people should be amputated before they infect the whole state.” (rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum mereka menginfeksi seluruh rakyat).
- Mostesquieu: Salah satu pemikiran politiknya yang paling penting adalah “Trias Politika”, yakni pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemikiran ini lahir dari upaya desakralisasi kekuasaan ketuhanan yang absolut (the divine right of king) yang didapatkan raja dan bangsawan pada saat itu. Kekuasaan menurutnya harus bersumber dari rakyat bukan dari Tuhan dan kebebasan politik tidak bisa diperoleh dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Untuk menjamin adanya kebebasan, maka diperlukan adanya pembatasan dan pemisahan kekuasaan di antara tiga elemen penting kekuasaan. Ketiga elemen itu bekerja untuk saling mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Republik adalah bentuk negara terbaik karena negara diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat memegang kedaulatan dan memberikan mandat kepada orang-orang yang dapat dipercaya mengatur pemerintahan. Didalam model ini, rakyat harus mementingkan kebajikan yang bersandar kepada moralitas politik dan bukan agama. Agama hanya dibutuhkan dalam rangka memperkuat eksistensi negara. Sedangkan moralitas politik diwujudkan dalam bentuk komitmen untuk menghormati hukum dan bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Posisi hukum berada diatas segalanya dan pelanggaran atas hukum akan mengakibatkan anarki. Adapun kehancuran negara Republik terjadi karena adanya semangat kebersamaan yang ekstrim, yakni adanya tuntutan kesederajatan antara pemimpin dan rakyatnya.
- Demokrasi : Demokrasi sendiri adalah pemikiran evolutif dan dinamis sehingga mengundang perdebatan. Gagasan dasarnya dapat dilacak dari pemikiran Yunani Kuno dan berkembang pasca Renaisans (XIV) dengan cetak birunya berupa desakralisasi kekuasaan agama, tuntutan kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta memelopori gagasan pembentukan nation state (negara nasional). Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar demokrasi Barat: pertama, kedaulatan negara adalah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan pendelegasiaan kekuasaan dari Tuhan. Kontrak sosial yang disepakati sepenuhnya bersifat sekular. Kedua, hukum harus berdasarkan kodrat yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang bersifat universal yang berlaku disegala waktu dan semua manusia. Ketiga, kedaulatan Negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu (individual rights) dalam masyarakat. Hak individu itu mencakup hak-hak sipil dan hak-hak politik. Kerangka pembangunan politik Barat kontemporer seperti yang diidentifikasi Samuel Huntington bertumpu kepada lima tujuan penting: yakni kekayaan, persamaan, demokrasi dan ekonomi.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: