BAB I. PENDIDIKAN POLITIK (TARBIYAH SIYASIYAH)

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 22.01

Mengenal Ide Politik Modern

Ada pertanayaan yang mencuat kapan ilmu politik mulai dikenal dan dikaji. Terdapat dua pandangan yang berkembang diantara para pengkaji ilmu politik Pertama, ilmu politik muncul dan dikenal pada akhir abad 19 M. Ilmu politik menjadi bagian dari kajian ilmu sosial termuda yang berupaya meletakkan landasan, fokus dan ruang lingkup teoritis bagi gejala-gejala politik yang terukur dan sistematis. Pokok kajian ilmu politik sangat dipengaruhi oleh kajian sejarah, sosiologi, dan hukum. 

Secara garis besar, ilmu politik berkembang menjadi dua mahzab. Mahzab pertama, ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan atau sering disebut mahzab tradisionalis. Mahzab ini menekankan ilmu politik sebagai suatu kerangka pengetahuan tersusun dan dapat diamati secara sistematis. Sedangkan mahzab perilaku (behavioralism) yang disponsori Talcott Parsons dan Max Weber berpendapat bahwa obyek politik adalah perilaku politik bukan lagi lembaga-lembaga negara. Berikut ini perbedaan antara pendekatan tradisionalis dengan pendekatan perilaku (behavioralist). 

No
Tradisionalis
Behaviouralist (Perilaku)
1
Nilai dan moral
Fakta  
2
Filsafat
Penelitian empiris
3
Ilmu terapan
Ilmu murni
4
Historis dan yuridis
Sosiologis-psikologis
5
Kualitatif
Kuantitatif
*Dikutip dari  Miriam Budiharjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik
Ilmu politik dalam prakteknya merupakan gabungan aspek seni (art) yang bersifat kontemplatif dan spekulatif dengan ilmu pengetahuan (science) yang bersifat diskriptif, komparatif dan logis. Selain itu, ilmu politik memiliki keteraturan-keteraturan (regularities) yang dapat diverifikasi dan digeneralisasi. Dalam prakteknya, kedua pendekatan memiliki tingkat kepentingannya dan pengaruhnya masing-masing dalam analisis ilmu politik. Dalam perkembangannya, berdasarkan Contemporary Political Science terbitan UNESCO, ruang lingkup ilmu politik dibagi menjadi empat bagian:
  1. Teori politik dan sejarah perkembangan ide politik,
  2. Lembaga-lembaga politik, mencakup konstitusi, pemerintahan nasional dan lokal serta perbandingan lembaga-lembaga politik,
  3. Partai-partai, Golongan dan Pendapat Umum,
  4. Hubungan Internasional.
Kedua, jika teori politik secara implementatif menjadi obyek pengamatan dan observasi rasional atas aspek-aspek bernegara maka eksistensi ilmu politik hampir sama usianya dengan usia eksistensi negara itu sendiri. Konsep ilmu politik sudah dikenal sejak 450 SM di Yunani Kuno, India dan China. Pelbagai dan bukti yang berkaitan dengan sinyalemen tersebut dapat ditemui dari karya para filosof dan pujangga Yunani seperti Herodotus, Aristoteles dan Plato, Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350 SM) dan Shang Yang (350 SM) di China, serta di India terdapat dalam kitab Dharmasastra dan Arthasastra. Sedangkan di Indonesia, pembahasan tentang aspek-aspek bernegara sudah dikenal sejak abad 13 hingga 15 SM. Kakawin Negarakertagama yang berarti “negara dengan tradisi yang suci”–misalnya- mengupas perjalanan politik kerajaan Majapahit dari masa kebangkitan hingga kejayaannya. Namun setelah akhir abad 19, karya-karya ketatanegaraan bermutu mengalami kemunduran dan tidak banyak lagi dikenal sebagai akibat penjajahan.

Definisi Politik

Secara umum, politik didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam sistem negara baik yang menyangkut proses menentukan ataupun melaksanakan tujuan dari sistem-sistem yang ada. Secara garis besar, terdapat beberapa konsep pokok pendefinisian politik berdasarkan obyek yang dikaji:
  1.  Negara (Institutionalism Approach), Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi sah yang ditaati rakyat. Roger F. Saltou dalam “An Introduction to Politics” menjelaskan, “Ilmu politik mempelajari negara, tujuan negara dan lembaga-lembaga negara yang akan melaksanakan tujuan yang dirumuskan, hubungan antara negara dengan warganya serta hubungan dengan negara-negara lain.”
  2. Kekuasaan (Power Approach), Menurut Prof. Miriam Budiharjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku. Dalam perspektif ini, semua kegiatan politik yang dilakukan berpangkal kepada dinamika didalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan demi kepentingan rakyat baik secara konstitusional maupun non konstitusional. W.A Robson dalam “The University Teaching of Sciences” mendefinisikan Ilmu Politik adalah “Ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.”
  3. Pengambilan Keputusan (Decision Making Approach), Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembentukan kebijakan untuk masyarakat secara keseluruhan baik yang menyangkut urusan masyarakat (public sector) maupun kebutuhan masyarakat (public good). Keputusan yang diambil berdasarkan pilihan-pilihan yang ada dengan memperhatikan aspek kepentingan pembagian kekuasaan (distribution).
  4. Kebijakan Masyarakat (Public Policy Approach), Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan maupun cara-cara untuk mencapai tujuan. Dalam perspektif ini, keberadaan kebijakan diperlukan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang dicitakan. Hoogerwerf dalam “Politicologie: Begrippen en Problemen” berpendapat bahwa “tujuan politik adalah membangun masyarakat secara terarah berdasarkan wewenang kekuasaan yang didapatkannya." 
  5. Pembagian (Distribution), Politik adalah pembagian dan alokasi. Harold Laswell dalam “Who Gets What, When and How” mengatakan bahwa politik adalah masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya. Sedangkan David Easton dalam “A System Analysis of Political Life” menjelaskan bahwa sistem politik adalah “keseluruhan interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai secara otorotatif untuk dan atas nama masyarakat.”
Berdasarkan pelbagai definisi dan pendekatan diatas, maka ruang lingkup politik kontemporer dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. (Teori Klasik Arostoteles).
  2. Politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
  3. Politik adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan baik secara konsitusional maupun non konstitusional.
  4. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kegiatan.
Politik dalam Pandangan Barat

Pandangan politik Barat sejatinya mewarisi pemikiran filsafat Yunani dan Romawi (Hellenisme). Pokok-pokok filsafat Yunani dan Romawi kuno itu tercerminkan dalam pandangan hidup mereka yang sangat mengagungkan cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengangungan terhadap jasmani dan akal serta sangat mengultuskan individu. Pandangan hidup (way of life) ini juga sangat terefleksikan dalam tradisi keagamaan Yunani-Romawi kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi (mundane), praktis dan harus mengabdi kepada kepentingan manusia. Oleh karena itu, tradisi keilmuan mereka bersifat eksperimental dan spekulatif karena menjadikan empirisme dan rasionalisme menjadi satu-satunya alat ukur kebenaran.

Pun dalam bidang filsafat politik, pemikiran politik Barat sangat dipengaruhi oleh para filosof Yunani dan Romawi kuno seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Jejak pemikiran Plato dan muridnya, Aristoteles hingga kini dapat dilacak dari karya Machiavelli dalam “Il Prince”, Montesquei dalam “Le Esprit de Lois”, Thomas Hobbes dalam Leviathan, Friedrich Hegel dalam “Enzyklopaedie der philosophischen Wissenschaften”, Karl Marx dalam ‘Communist Manifesto’. Seluruh karya pemikiran filsafat Barat itu tidak ubahnya rangkaian catatan kaki dari kedua pemikir besar tersebut. Karya Aristoteles dalam Politics memberikan inspirasi kepada para pemikir politik Barat dalam konteks perumusan konsep bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum yang mengawasi pemerintahan, revolusi sosial dan lainnya. Pandangan hidup masyarakat Barat ini tidak lebih dari kepanjangan pandangan hidup masyarakat Yunani dan Romawi kuno.

Dalam ranah politik misalnya, pokok-pokok pemikiran Barat terformulasikan kedalam prinsip-prinsip pemisahan politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat dengan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan hukum. Konsep ini dikenal dengan teori imperium yang mencakup kekuasaan dan otoritas negara, kesamaan hak politik dan kontrak pemerintahan. Dalam konteks otoritas negara, misalnya kedaulatan dan kekuasaan dipahami sebagai bentuk pendelegasian otoritas rakyat kepada negara. Oleh karena itu, kedaulatan dalam sistem Barat sepenuhnya menjadi milik rakyat. Penguasa hanyalah institusi politik yang diberi mandat melaksanakan kedaulatan rakyat dan bekerja bagi kepentingan rakyat. Penguasa harus bertanggung jawab kepada rakyat dan secara otomatis penguasa akan kehilangan legitimasi jika praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Kontrak relasi antara pemerintah dan rakyat dalam sistem politik Barat kontemporer mencakup pokok-pokok pemikiran seperti: pemisahan entitas individu dengan negara, negara dibutuhkan untuk kepentingan eksistensi sosial serta individu menjadi sumber pemikiran hukum. Dalam kerangka pemikiran ini pula, lahirlah konsep kontrak pemerintah yang kemudian dijadikan model teroritis bagi para pemikir politik Barat, seperti John Locke, Jacques Rousseau, Montesqueu, Thomas Hobbes dan lainnya.

Perkembangan Pemikiran Barat

Berikut ini beberapa pandangan politik para pemikir Barat terkemuka:
  • Plato : Adalah murid Socrates Menurutnya, negara ideal adalah negara yang mementingkan kebajikan yang bersumber dari pengetahuan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dibutuhkan negara untuk menguasai pengetahuan. Seorang negarawan dianologikan seperti seorang dokter yang mengetahui gejala penyakit masyarakat, mendeteksi sejak dini, mampu melakukan diagnosa dan mencari solusi penyembuhannya. Negara muncul sebagai hubungan timbal balik dan adanya rasa saling membutuhkan antara sesame manusia. Pembagian kerja sosial muncul sebagai akibat perbedaan-perbedaan alamiah. Negara ideal didasarkan kepada prinsip larangan atas kepemilikan pribadi baik berupa uang, harta, keluarga, anak dan istri karena pemilikan tersebut berpotensi menciptakan kesenjangan, kompetisi tidak sehat dan disintegrasi sosial Robert Nisbett menyebutnya sebagai nihilisme sosial. Bentuk negara dengan sistem otoriter lebih baik dari demokrasi.
  • Aristoteles : Aristoteles adalah murid Plato yang dikenal sebagai pemikir empiris-realis. Dalam pandangannya, eksistensi negara tidak dapat dipisahkan dari watak politik manusia sebagai makhluk yang berpolitik (zoon politicon). Negara dibutuhkan sebagai sarana aktualisasi watak manusia dan kemunculan terjadi karena adanya saling ketergantungan dalam diri manusia. Dalam negara organis, semua warga negara berkewajiban memelihara persatuan dan keutuhan negara, sebagai gantinya, negara berkewajiban mensejahterakan rakyatnya. Idealnya, negara diperintah seorang penguasa yang filsuf dan menggunakan kekuasaannya untuk mensejahterakan rakyat. Namun jika tidak ada, maka negara dapat dipimpin oleh beberapa orang yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat atau disebut otokrasi. Jika tidak dapat maka negara boleh berbentuk demokrasi dengan negara kota (polis). Berbeda dengan gurunya, Aristoteles mengakui hak milik individu karena hak itu dibutuhkan warga negara dalam mempertahankan kehidupan sosial dan memikirkan persoalan negara.
  • Kristiani : Pemikiran politik kristiani tidak terlepas dari pengaruh kristologi Paulus yang mentransformasi ajaran kristiani lebih bersifat universal, adaptif dan akomodatif terhadap nilai-nilai eksternal seperti Helenisme, Hinduisme dan Mithras. Akibatnya, agama Kristen mengalami proses helenisasi dan berasimilasi dengan doktrin agama dan kepercayaan lain pasca Konstantin memeluk Kristen dan menjadikan Kristen sebagai agama negara. Pemikiran politik kristiani memandang bahwa manusia memiliki naluri sosial dan hidup bernegara. Dengan demikian, keberadaan negara dibutuhkan sebagai pengontrol dan pembimbing perilaku manusia karena tabiat manusia cenderung berbuat keburukan dan dosa. Manusia wajib mematuhi hukum-hukum negara karena kekuasaan negara berasal dari Tuhan dan otoritas politik negara merupakan suatu bentuk pendelegasian kekuasaan dari Tuhan kepada negara. Karena negara dibentuk dalam rangka menjalankan kekuasaan Tuhan, maka secara teologis, posisi negara berada dibawah posisi gereja. Gereja berhak mengintervensi negara namun sebaliknya negara tidak boleh mencampuri urusan gereja. Legitimasi kekuasaan duniawi para kaisar hanya diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kehendak gereja dan para Paus. Di abad ke 16 M, pandangan keagamaan yang monopolitik ini ditentang oleh kalangan kristiani reformis yang dipelopori Martin Luther, Zwingli dan John Calvin. Pada awalnya, pergerakan ini hanya sebatas protes terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma, namun seiring waktu, gerakan protestan berubah menjadi gerakan reformasi dengan paradigma dan ritus-ritus keagamaan yang baru. Sebagaimana halnya dengan doktrin Katolik- protestianisme mengakui adanya dosa turunan. Oleh karena itu, manusia harus berbuat kebajikan dan melawan semua nafsu hewani dengan cara melakukan asketisme duniawi dan tanpa perlu menjalankan perilaku hidup monastik (mengisolasi dari kehidupan manusia). Asketisme memerintahkan manusia berlomba-lomba mencari kekayaan dunia dengan tidak berbuat dosa. Asketisme menjunjung tinggi efisiensi dan rasionalisme yang menjadi prinsip dasar pemerintahan yang efektif. Selain itu, askestisme sangat menentang personifikasi individual (lembaga kepausan), segala bentuk mitos yang berlaku dalam ajaran Katolik (sakramen suci) dan mengagungkan semangat individualisme. Max Weber menyebutkan bahwa protestanianisme dianggap sebagai landasan etik dan menjadi etos kapitalisme modern. Protesnianisme banyak dipengaruhi ajaran dan pemikiran Yahudi, sementara Nurkholis Madjid berpendapat bahwa doktrin Calvianisme yang menjadi asas pemikiran protestan sangat dipengaruhi ajaran-ajaran Islam (Asy’ari) tentang prinsip kemurahan (fadl) dan usaha (kasab)
  • Machiavelli: Pemikir Barat di masa Renaisans. Dia menjadi pemikir politik pertama kali yang menjelaskan fenomena sosial-politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Menurutnya, politik adalah upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Adapun agama dan moralitas sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik. Eksistensi agama dan moral hanya dibutuhkan untuk membantu mendapatkan dan mempertahankan politik sedangkan keahlian yang dibutuhkan untuk mendapatkan dan melestarikan kekuasaan adalah melalui perhitungan cermat. Seorang politikus harus mengetahui dengan cermat apa yang harus diucapkan maupun apa dilakukan dalam pelbagai situasi yang berbeda. Untuk itu, segala cara dapat dilakukan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan sebagai tujuan akhir. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa hukum dan tentara yang baik merupakan dasar dari sistem pemerintahan yang baik. Kekuasaan dapat berjalan dengan adanya kekuatan memaksa. Otoritas itu menjadi sumber kekuasaan. Untuk kepentingan itu, pemimpin dapat menciptakan dan memanfaatkan ketakutan sebagai sarana mengontrol kekuasaan. Negara yang kuat harus dilihat dalam kerangka medis bukan etis. “Seditious people should be amputated before they infect the whole state.” (rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum mereka menginfeksi seluruh rakyat).
  • Mostesquieu: Salah satu pemikiran politiknya yang paling penting adalah “Trias Politika”, yakni pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pemikiran ini lahir dari upaya desakralisasi kekuasaan ketuhanan yang absolut (the divine right of king) yang didapatkan raja dan bangsawan pada saat itu. Kekuasaan menurutnya harus bersumber dari rakyat bukan dari Tuhan dan kebebasan politik tidak bisa diperoleh dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Untuk menjamin adanya kebebasan, maka diperlukan adanya pembatasan dan pemisahan kekuasaan di antara tiga elemen penting kekuasaan. Ketiga elemen itu bekerja untuk saling mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Republik adalah bentuk negara terbaik karena negara diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat memegang kedaulatan dan memberikan mandat kepada orang-orang yang dapat dipercaya mengatur pemerintahan. Didalam model ini, rakyat harus mementingkan kebajikan yang bersandar kepada moralitas politik dan bukan agama. Agama hanya dibutuhkan dalam rangka memperkuat eksistensi negara. Sedangkan moralitas politik diwujudkan dalam bentuk komitmen untuk menghormati hukum dan bekerja untuk mensejahterakan rakyat. Posisi hukum berada diatas segalanya dan pelanggaran atas hukum akan mengakibatkan anarki. Adapun kehancuran negara Republik terjadi karena adanya semangat kebersamaan yang ekstrim, yakni adanya tuntutan kesederajatan antara pemimpin dan rakyatnya.
  • Demokrasi : Demokrasi sendiri adalah pemikiran evolutif dan dinamis sehingga mengundang perdebatan. Gagasan dasarnya dapat dilacak dari pemikiran Yunani Kuno dan berkembang pasca Renaisans (XIV) dengan cetak birunya berupa desakralisasi kekuasaan agama, tuntutan kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan kebebasan mengeluarkan pendapat serta memelopori gagasan pembentukan nation state (negara nasional). Setidaknya terdapat tiga prinsip dasar demokrasi Barat: pertama, kedaulatan negara adalah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat yang tidak ada kaitannya dengan pendelegasiaan kekuasaan dari Tuhan. Kontrak sosial yang disepakati sepenuhnya bersifat sekular. Kedua, hukum harus berdasarkan kodrat yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang bersifat universal yang berlaku disegala waktu dan semua manusia. Ketiga, kedaulatan Negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu (individual rights) dalam masyarakat. Hak individu itu mencakup hak-hak sipil dan hak-hak politik. Kerangka pembangunan politik Barat kontemporer seperti yang diidentifikasi Samuel Huntington bertumpu kepada lima tujuan penting: yakni kekayaan, persamaan, demokrasi dan ekonomi.

Politik dalam Pandangan Islam 

Untuk memperkaya dan sekaligus membandingkan ruang lingkup definisi politik dalam pandangan Barat dengan Islam maka patut kiranya kita melihat bagaimana pengertian politik baik secara terminologis maupun definitif dalam Islam. Dalam pelbagai kitab Islam klasik dan kontemporer banyak diungkap pandangan para ulama dan cendekiwan Islam tentang hal ikhwah politik Islam atau biasa disebut dengan siyasah syar’iyyah. Besarnya perhatian umat Islam akan isu ini menurut Bakhtiar Effendi -cendekiwan Muslim- adalah wajar dan bukan hal yang baru karena Islam, umat Islam ataupun kawasan Islam tidak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan politik.

Secara terminologis, siyasah merupakan mashdar dari akar kata sâsa – yasûsu - siyasatan. Dalam kalimat “sasa addawaba yasusuha siyasatan” memiliki arti “qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha” yakni mengurusi, melatih, dan mendidiknya. Bila dikatakan “sasa al amra” maka berarti “dabbarahu” yakni mengurusi atau mengatur perkara. Jadi makna siyasah jika dikaitkan dengan masyarakat maka dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).

Menukil keterangan Ibnu Mundzir dalam Lisanul Arab, assus yang berasal dari kosa kata sawasa memiliki arti kepemimpinan. Sasuhum susan berarti mereka mengangkat pemimpin dan jika dikatakan sawwasuhu wa asasuhu wa sasal amra siyasatan maka berarti seseorang yang mengatur urusan politik. Adapun orang yang mengatur dan memimpin suatu kaum maka disebut sasah was sawwas.

Rasulullah SAW sendiri menggunakan istilah siyasah dalam sabdanya:
“Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadist ini menjelaskan makna siyasah sebagai upaya mengurusi urusan Bani Israil yang dilakukan para nabi dan adapun setelah sepeninggal Rasulullah SAW, para khalifah akan menggantikan tugas Nabi dalam mengurusi urusan kaum Muslimin.

Jadi ruang lingkup pengertian as-siyasah adalah kewajiban menjalankan sesuatu yang dapat mendatangkan kemaslahatan dan adapun as-sais adalah pemimpin yang mengatur dan menangani urusan rakyat serta mampu mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya. 

As-siyasah jika dikaitkan dengan urusan kaum Muslimin atau sering disebut dengan as- siyasah as syar’iyah dapat diartikan sebagai segala upaya untuk memperhatikan urusan kaum Muslimin, dengan jalan menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk melakukannya, kaum Muslimin hendaknya mengetahui apa yang dilakukan pemimpin, mengingkari keburukan yang dilakukan pemimpin atas rakyatnya, menasehati pemimpin jika melakukan kedurhakaan kepada rakyat dan memeranginya jika melakukan kekufuran yang nyata (kufrun bawahan).

Ruang lingkup peran siyasah ini sejalan dengan pengertian hadist:
“Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslimin maka dia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)
“Jihad yang utama adalah kalimat haq didepan penguasa jahat.” (HR. Ahmad)

Politik dalam Pandangan Cendekiawan dan Ulama

Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Siyasah as-Syar’iyyah, hal 168 menjelaskan:
“Wajib diketahui bahwa mengurusi dan melayani kepentingan manusia merupakan kewajiban terbesar agama dimana agama dan dunia tidak bisa tegak tanpanya. Sungguh bani Adam tidak akan lengkap kemaslahatannya dalam agama tanpa adanya jamaah dan tidak ada jamaah tanpa adanya kepemimpinan. Nabi bersabda: ‘Jika keluar tiga orang untuk bersafar maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin’ (HR. Abu Daud). Nabi mewajibkan umatnya mengangkat pemimpin bahkan dalam kelompok kecil sekalipun dalam rangka melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan sholat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan menerapkan hukum hudud.”

Lebih jauh Ibnu Taimiyyah –mengutip Khalid Ibrahim Jindan- berpendapat bahwa kedudukan agama dan negara ”saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada dalam bahaya, sementara tanpa wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik.”

Pendapat Ibnu Aqil seperti yang dikutip Ibnu Qayyim mendefinisikan: “Siyasah syar’iyyah sebagai segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum syariah”.

Imam Al Mawardi dalam “Ahkamus Sultaniyyah Wal Walayatud Diniyah” menjelaskan siyasah syar’iyah sebagai:
“Kewajiban yang dilakukan kepala negara pasca kenabian dalam rangka menjaga kemurnian agama dan mengatur urusan dunia (hirosatud din wa raiyyatud dunya).”

Asyahid Imam Hasan Al Banna menjelaskan politik adalah,
“Hal memikirkan persoalan internal (yang mencakup diantaranya: mengurusi persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, memerinci hak dan kewajibannya, melakukan pengawasan terhadap penguasa) dan eksternal umat (yang meliputi diantaranya: memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan bangsanya mencapai tujuan yang diidamkan dan membebaskan bangsanya dari penindasan dan intervensi pihak lain).”

Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Daulah mendefinisikan Siyasah Syar’iyah:
“Fiqh Islami yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintahan), atau hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern disebut sistem ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem hubungan internasional.”

Sedangkan definisi Siyasah Syar’iyah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah:
“Pengaturan urusan pemerintahan kaum Muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan maslahat, mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat) melalui batasan-batasan yang ditetapkan syara’ dan prinsip-prinsip umum Syariah (maqosidhus syari’ah) –kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash dan hanya menyandarkan pendapat para imam mujtahij”. (Asy Siyasah Asyar’iyyah, hal 12-127)

Definisi dan pembahasan ruang lingkup politik Islam (as-siyasah syar’iyyah) dalam pandangan para ulama dan cendekiawan Islam setidaknya mencakup tiga isu utama, yakni:
  1. Paradigma dan konsep politik dalam Islam, yang secara garis besar mencakup kewajiban mewujudkan kepemimpinan Islami (khalifah) dan kewajiban menjalankan Syariah Islam (Hukum Islam).
  2. Regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat oleh pemimpin atau imam dalam rangka menangkal dan membasmi kerusakan serta memecahkan masalah-masalah yang bersifat spesifik, yang masuk dalam pembahasan fiqh siyasah.
  3. Partisipasi aktif setiap Muslim dalam aktivitas politik baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.
Adapun dalam ruang lingkup regulasi dan ketetapan hukum yang dibuat pemimpin atau imam, Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi tiga aspek pembahasan (fiqh siyasah):
  1. Peraturan perundang-undangan negara sebagai pedoman dan landasan dalam mewujudkan kemaslahatan umat,
  2. Pengaturan dan pengorganisasian dalam mewujudkan kemaslahatan,
  3. Pengaturan hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam mencapai tujuan negara.

Perbedaan Sistem Politik Islam dan Barat

Berdasarkan definisi dan perkembangan gagasan politik dalam Islam dan Barat maka dapat ditarik beberapa benang merah perbedaan dan karakteristik diantara kedua pemikiran tersebut. Perbedaan dan karakteristik itu mencakup pemahaman dan ruang lingkup politik, landasan filsafat politik, sumber kedaulatan politik, karakter dan tujuan kepemimpinan politik serta perbedaan dalam proses dialektika yang terjadi dalam eksperimentasi dan implementasi kepemimpinan politik antara Islam dan Barat.

Politik Islam dibangun dari epistimologis Tauhid, yakni pensemataan pengabdian manusia kepada Tuhan. Manusia adalah khalifah (pemegang amanah) di muka bumi yang bertugas menegakkan hukum diantara manusia secara adil dan memakmurkan bumi (isti’mar) bagi kepentingan umat manusia. Oleh karena itu, ruang lingkup kepemimpinan politik dalam Islam seperti yang dirumuskan para pemikir dan ulama Islam tidak banyak berbeda karena bersandar kepada nilai-nilai baku yang ada dalam Alqur’an maupun Assunah. Garis besar konsepsi kepemimpinan politik itu mencakup kewajiban mewujudkan kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan bagi umat manusia. Adapun tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan itu berada di pundak pemimpin dan yang dipimpinnya (rakyat). Sementara sistem politik Barat mewarisi pemikiran hellenistik (Yunani Kuno) yang berakar dari proses pemikiran kontemplatif manusia tentang diri dan lingkungannya. Standar kebajikan yang dirumuskan bersifat relatif (tidak ada standar kebenaran yang mutlak) dan cenderung dialektik. Meski demikian, secara garis besar pemikiran politik Barat berpijak kepada pengagungan semangat intelektual, rasionalisme dan kebebasan, pengkultusan individu serta anti spiritualisme. Agama dalam pandangan mereka sepenuhnya bersifat duniawi dan mengabdi kepada kepentingan manusia.

Dalam konteks kedaulatan, konsep politik Barat memandang kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Kepemimpinan adalah bentuk kontrak politik antara rakyat dengan pemimpin yang dipilih. Rakyat mendelegasikan kekuasaan kepada pemimpin untuk mewujudkan keinginan dan aspirasi mereka. Karena bersifat kontraktual, maka rakyat dapat mencabut kekuasaan jika dipandang gagal dalam menjalankan kewajibannya melalui mekanisme yang dimiliki. Rakyat memiliki kebebasan politik dan individual yang luas yang tidak boleh dikendalikan oleh kekuasaan. Adapun sistem politik Islam membedakan antara sumber kedaulatan dan sumber legitimasi kekuasaan. Dalam konteks sumber kedaulatan, sistem politik Islam memandang kedaulatan milik Tuhan (Hakimiyatullah). Meski demikian, sumber legitimasi kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat melalui institusi politik ahlul hilli wal aqdi mengangkat dan menurunkan pemimpin. Berbeda dengan semangat kebebasan individual yang luas dan pembatasan peran negara dalam sistem politik Barat, sebaliknya, dalam sistem Islam, negara memiliki peran-peran yang luas dalam relasinya dengan rakyat. Peran-peran itu adalah pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).

Dalam konteks aplikatif, ada perbedaan pengalaman politik yang lahir dari pemahaman pemikiran yang variatif dalam kehidupan politik masyarakat Barat. Pemikiran politik Yunani Kuno dengan para pemikir kenamaannya seperti Plato dan Aristoteles telah mengilhami hampir keseluruhan para pemikir politik Barat baik dalam pengertian positif maupun negatifnya disepanjang sejarahnya. Pemikiran politik Hegel, Hobbes Karl Marx dan teori evolusi sosialnya, Darwin, yang kesemuanya dapat dilacak dari prinsip-prinsip pemikiran kedua filosof ternama itu- bertanggung jawab atas binasanya ratusan juta umat manusia dalam Perang Dunia Pertama maupun Kedua. Para pemikir Barat telah melahirkan pemikiran kapitalisme tidak bermoral yang mengeksploitasi dan merampas hak-hak manusia. Kolonialisme dan Perang Dunia adalah produk dan sekaligus konsekuensi logis ideologi Kapitalisme. Dari rahim mereka pula, muncul gerakan protes atas kapitalisme sekali lagi mewarisi pemikiran Yunani Kuno (baca Plato dan Aristoteles)- yang diwakili dengan Marx, Engels dan Lenin. Gerakan ini melahirkan revolusi komunis Bolshevic, 1917 yang kembali memusnahkan puluhan juta untuk membangun masyarakat yang bebas dari kaum borjuis dan agamawan. Hitler yang diilhami filsafat sejarahnya, Hegel memusnahkan puluhan juta kaum Yahudi, Gypsi dan masyarakat kelas dua lainnya demi ambisinya membangun masyarakat utama Arya.

Meski demikian, pemikiran Barat juga melahirkan pemikiran positif dan jenial, seperti prinsip demokrasi dan konsepsi masyarakat sipil (civil society) yang menghormati HAM dan menghargai hukum. Dalam konteks pengelolaan negara, muncul ide-ide jenial tentang pengelolaan pemerintahan yang efisien dan efektif serta sistem ketatanegaraan yang maju berdasarkan prinsip-prinsip desentralisasi, partisipasi publik, otonomi daerah, akuntabilitas dan checks and balances. Konsepsi ini harus diakui telah menjadi mutiara pemikiran politik di abad 21. Namun pemikiran itu lahir dari proses pergulatan kemanusiaan yang teramat panjang dan menelan nyawa ratusan juta umat manusia. Barat kini mencapai titik keseimbangan politik (political elliquibrium) dari pergulatan pengalamannya tersebut. Sebaliknya umat Islam lebih stabil dan tidak melampui tahap-tahap kritis dalam konteks pergulatan pemikiran politik. Islam tidak bertanggung jawab atas kehancuran umat manusia sebagai akibat varian pemikiran yang dihasilkannya. Ringkasnya, Islam tidak mungkin melahirkan individu seperti Machiavelli, Darwin, Marx, Lenin, Hitler maupun Stalin atau mungkin Slobodan Milosevic, sang penjagal dari Serbia. Dua kondisi berbeda tidak terlepas dari perbedaan akar dan fundasi nilai yang dibangun. Sistem politik Islam dibangun dari nilai-nilai illahiyyah yang dipedomani umat Islam disepanjang 14 abad sementara sistem politik Barat sepenuhnya dibangun dari pemikiran manusia yang bersifat spekulatif dan karakter kekuasaan minus moralitas agama. (lihat pula model negara)

II. Perbedaan Sistem Politik Islam dan Sistem Politik Barat


Sistem Islam
Sistem Barat
Filsafat
Al quran dan As Sunnah
Ajaran Yunani Kuno
Sumber Kedaulatan
Tuhan
Manusia
Legitimasi Kekuasaan
Manusia dengan nilai
Manusia minus nilai
Aplikasi
Konstan/stabil minus konflik
spekulatif/penuh konflik

Pendidikan Politik (Tarbiyah Siyasah)

Pendidikan secara umum didefinisikan:
“Usaha yang sadar, terarah dan disertai dengan pemahaman yang baik untuk menciptakan perubahan-perubahan yang diharapakan baik dalam sikap maupun perilaku seseorang atau kelompok melalui upaya pengajaran dan pelatihan.”

Pendidikan sejatinya adalah proses transformasi dan pengembangan kultur. Oleh karena itu, proses dan output pendidikan dipandang berhasil jika terjadi proses transfromasi aspek koqnitif, afektif dan implementatif secara bersamaan kepada anak didik.

Adapun relasinya dengan dunia politik, pendidikan politik dimaksudkan sebagai:
“Upaya membangun dan menumbuhkan keyakinan dan nilai dalam rangka membentuk kepribadian politik yang dikehendaki melalui terbentuknya orientasi dan sensitivitas politik para anggota sehingga menjadi partisipan aktif dalam kehidupan politik keseharian mereka. “

Berdasarkan definisi diatas, ruang lingkup dan sasaran yang hendak dicapai dalam pendidikan politik mencakup tiga aspek utama:
  1. Munculnya kesadaran politik (wa’yu siyasi) yakni: memiliki pengetahuan politik yang integral, mampu membuat analisis yang matang dan kemudian menempatkan dirinya dalam arus perubahan.
  2. Terbentuknya kepribadian politik (dzat siyasiyah), yang mencakup tertanamnya keyakinan dan nilai politik, munculnya orientasi, sensitivitas dan loyalitas politik (huwaiyyah siyasiyah) yang kuat serta memiliki pengetahuan, informasi dan konsepsi politik (nazharat siyasiyah) secara utuh.
  3. Munculnya partisipasi politik yang aktif (musyarokah siyasiyah), yakni keinginan kuat seseorang untuk berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses dan aktivitas politik baik secara individual (memberikan suara dan pendidikan politik) maupun kelembagaan (terlibat dalam organisasi dan partai politik).
Allah SWT berfirman:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS. Jum’ah : 2)
“Adapun orang-orang beriman mengetahui sesungguhnya Al Quran benar dari Tuhan mereka, maka mereka mengimani dan menancapkan Alquran dalam hati mereka,” (QS. )

Pendidikan politik adalah salah satu dimensi fundamental diantara pelbagai dimensi lain pendidikan. Pendidikan politik pada dasarnya merupakan kebutuhan darurat dalam menyiapkan kaum Muslimin untuk dapat mengemban tanggung jawab serta menunaikan hak dan kewajibannya. Didalam proses itu, setidaknya ada dua sasaran yang hendak dicapai sebagai output pendidikan politik Islam:
  1. Pada aspek kognitif: Kaum Muslimin memiliki pemahaman epistomologis tentang sistem politik dalam Islam yang merupakan bagian dari pemahaman kita tentang syumuliyatul Islam (integralitas Islam). Asy Syahid Imam Hasan Al Banna dalam 20 prinsip Al Fahmu menjelaskan: “Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.” Pendidikan politik ini tidak hanya meliputi transformasi aspek kognitif namun juga sublimasi (shibghah) nilai-nilai afektif seperti yang dijelaskan prinsip Al Fahmu dalam Risalah Ta’lim. Proses pendidikan politik ini diharapkan mampu menanamkan pemahaman shahih bahwa sistem politik Islam bersifat khas dan berbeda karena dibangun dari fondasi tauhid yang kokoh. Penanaman pemahaman sistem politik Islam yang benar merupakan bagian dari rangkaian konstruksi keyakinan dan nilai yang ditanamkan bahwa Islam adalah solusi (Islam huwal hal). Abu Hayyan menjelaskan bahwa kekhasan sistem politik terletak kepada dua hal: pertama, menegakkan hukum (Islam) secara benar dan adil. Kedua, memakmurkan (isti’mar) bumi (menegasikan cara pandang dan perilaku eksploitatif). Isti’mar mengandung makna memanfaatkan sumber daya alam bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia namun dengan memperhatikan aspek konservasi. Pada aspek ini pula, kaum Muslimin secara konseptual dapat melakukan perbandingan (comparative study) antara Islam dengan sistem-sistem politik lainnya.
  2. Pada aspek implementatif: Output terakhir dalam proses pendidikan politik (tarbiyah siyasah) ini adalah lahirnya kesadaran kaum Muslimin berupa terbentuknya orientasi dan partisipasi politik yang tidak tergoyahkan dari pemahaman keyakinan yang terbangun. Orientasi politik ini terwujudkan dalam afiliasi ideologi yang jelas (Islam) dan kerinduan yang kuat untuk terlibat dalam amal Islami (organisasi maupun partai politik) yang bertujuan merealisasikan cita-cita politik Islam. Pendidikan politik dalam konteks ini bermaksud-mengutip Anis Matta- merubah kondisi kaum Muslimin dari statusnya yang afiliatif menjadi partisipatif dan kontributif.
Allah SWT berfirman:
“Dan katakanlah,’Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal kalian itu, dan kalian akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian amalkan.” (QS. At-Taubah: 105)

Imam Asy Syahid Hasan Al Banna menjelaskan aspek implementati yang seyogyanya dilakukan baik dalam kerangka kerja individu (fardhi) maupun kolektif (jama’i) : “Amal adalah buah dari fahm dan ikhlas. Tertib amal meliputi upaya dari upaya memperbaiki pribadi, membentuk keluarga Muslim, membimbing masyarakat, memerdekakan tanah air, membenahi pemerintah, mengembalikan eksistensi kenegaraan hingga menjadikan Islam sebagai guru peradaban.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget