Secara mengejutkan Turki menarik duta besarnya, Namik Tan dari Washington. Penarikan duta besar itu diambil sebagai respon keluarnya resolusi tidak mengikat (non-binding resolution) Komite Luar Negeri Kongres yang mengecam praktek genosida Turki atas rakyat Armenia dalam PD (Perang Dunia) I. resolusi itu juga menuntut pemerintah merujuk insiden 1915 itu dalam kebijakan luar negerinya. Imperium Turki Usmani dituduh bertanggung jawab atas tewasnya 1,5 juta warga Armenia dalam PD I Turki menolak tuduhan tersebut karena memandang peristiwa 1915 itu sangat rumit dan melibatkan korban yang besar dikedua belah pihak dan angka yang disebutkan dinilai berlebihan. Jika tidak ada aral melintang, resolusi itu kemudian akan dibawa ke paripurna Konggres untuk diratifikasi.
Turki mengkritik pemerintah Obama tidak berbuat maksimal dalam mencegah keluarnya resolusi tersebut. “Resolusi ini akan merusak upaya pemulihan hubungan Turki-Armenia dan berpotensi memutus hubungan AS dengan sekutu utamanya di dunia Islam,” kecam Menlu Turki, Ahmet Davutoglu. Setali tiga uang, Presiden Turki, Abdullah Gul juga menegaskan bahwa Turki tidak bertanggung atas akibat yang terjadi atas keluarnya resolusi tersebut. Selanjutnya, Turki menuntut Pemerintah AS mencegah agar resolusi tersebut tidak disetujui Konggres. Resolusi ini sendiri adalah kali keduanya diusulkan oleh Komiter Luar Negeri, Konggres. Sebelumnya di 2007, resolusi sama diblok Presiden George W. Bush. Bush khawatir pemerintahan AKP akan membalas langkah itu dengan menutup akses pangkalan udara AS untuk kepentingan operasi di Irak dan Afghanistan.
Insiden “Genosida” 1915-191
Insiden “genosida” sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan sejarahwan. Perdebatan itu berpangkal kepada spekulasi jumlah korban dan pertanyaan apakah ada upaya sistemik Turki dalam pemusnahan bangsa Armenia. Pandangan yang menyebutkan adanya genosida secara resmi didukung oleh pemerintah Armenia. Setiap tanggal 24 April, pemerintah Armenia menyelenggarakan upacara peringatan tragedi tadi. Hal yang sama dilakukan negara-negara Eropa dan AS. Bahkan, Parlemen Perancis di 2006 menyatakan Imperium Turki Usmani bertanggung jawab atas praktek genosida dan akan memidanakan warga negaranya yang mengingkari tragedi tersebut. Sebaliknya, dalam pandangan rakyat Turki, insiden itu adalah peristiwa politik yang rumit dan tidak tepat dikategorikan sebagai aksi genosidal. Penanganan isu itu hendaknya harus dilihat secara komprehensif. Meski demikian, ada kesepahaman bahwa insiden tersebut telah merenggut ratusan ribu jiwa rakyat Armenia.
Pemerintah Armenia menilai bahwa imperium Turki Usmani bertanggung jawab atas upaya sistemik penghapusan etnis Armenia. Sebaliknya, pemerintah Turki melihat insiden 1915-1916 terjadi sebagai akibat perang sipil yang disusul dengan kebijakan deportasi massal pemerintah atas bangsa Armenia dari ‘Zona Perang’ di Anatolia Timur ke Suriah dan Lebanon. Dalam proses deportasi tersebut, tidak kurang 300 ribu imigran tewas karena pembunuhan, kelaparan atau sakit dan menjadi salah satu peristiwa diaspora terbesar di dunia. Turki berpendapat peristiwa tersebut juga merenggut banyak korban dari kalangan Muslim.
Dalam konteks politik, aksi “genosida” lebih tepatnya dilakukan oleh kalangan para opsir muda sekuler yang tergabung dalam gerakan “Ittihad ve Terakki Cemiyet” (Komite Persatuan dan Kemajuan). 1908, Gerakan yang dipelopori Mustafa Kemal Attaturk ini menggulingkan pemerintahan Monarki dibawah kepemimpinan Sultan Hamid II dan menggantikannya dengan sistem monarki konstitusional. Seiring melestusnya PD I, Turki bergabung dengan Jerman melawan Inggris, Perancis dan Rusia. Sebelumnya, dalam Perang Rusia-Turki (1877-1878), Armenia yang menjadi bagian wilayah kekaisaran Turki Usmani berpihak kepada Rusia. Dibawah kebijakan Triumvirat Pasha, Mehmed Talat Pasha, Ismail Enver Pasha dan Ahmed Cemal Pasha, Turki melancarkan serangkaian operasi atas rakyat Armenia yang berpuncak kepada kebijakan deportasi, April 1915. Etnik Armenia dituduh menjadi kaki tangan Rusia dan membentuk angkatan kelima untuk melakukan aksi sabotase. 1919, atas instruksi Sultan Mehmed VI, Turki membentuk pengadilan domestik untuk mengadili para anggota Ittihad wa Terekki yang terlibat dalam pembasmian etnis. Tiga penguasa akhirnya triumvirat dijatuhi hukuman mati secara absentia karena terlanjur hengkang dari Turki.
Dalam upaya rekonsiliasi, pemerintah Turki dibawah partai Islamis, AKP melakukan serangkaian upaya diplomatik untuk menyelesaikan tragedi itu. Kendati Turki mengakui kedaulatan Armenia di 1991, namun Turki tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Armenia. Baru di 2009, Presiden Abdullah Gul melakukan terobosan dengan mengunjungi ibukota Armenia, Yerevan dan mengumumkan roadmap bagi normalisasi hubungan kedua negara. 10 Oktober 2009, kedua negara mengumumkan pembukaan hubungan diplomatik. Setelah menang di 2002, pemerintah AKP menerapkan kebijakan “nol masalah (zero problem)” dengan negara-negara tetangganya. Pemerintah Turki mengijinkan masuk warga Armenia yang hendak mencari nafkah di Turki dan membuka perbatasannya. Pemerintah Erdogan hendak melegalkan para pendatang haram Armenia di Turki. Lebih jauh, Presiden Abdullah Gul menawarkan pembentukan komite arbitrasi yang melibatkan sejarahwan Turki dan Armenia untuk menguji peristiwa 1915. Pemerintah Turki berjanji menerima apapun hasil rekomendasi tim gugus tadi. Namun tawaran itu ditolak mentah pemerintah Armenia. Presiden Armenia, Robert Kocharian mensinyalir tawaran itu hanya manuver politik dan berdalih bahwa normalisasi hubungan politik adalah tugas pemerintah bukan kalangan sejarahwan.
Mengayuh Diantara Dua Kepentingan
Pemerintahan Erdogan sejatinya hendak keluar dari kerangkeng sejarahnya. yakni, victimisasi historis bangsa Armenia oleh publik Turki. Adalah Hrant Dink, jurnalis etnik Armenia Turki didakwa tiga kali untuk kasus yang sama dan dijebloskan penjara karena mengecam penolakan pemerintah atas praktek genosida. Kritik tersebut dipandang sebagai bentuk penghinaan atas perasaan “keturkian” seperti yang dimaksudkan dalam pasal 301 UU Pidana Turki. Akhirnya, Dink dibunuh oleh Ogun Samast, seorang anggota ultra-nasionalis Turki. Selanjutnya, peristiwa itu sendiri menjadi momentum bagi amandemen pasal 301 UU Pidana yang menjadi bagian paket reformasi yang disyaratkan Uni Eropa. Bagi AKP, paket reformasi yang dituntut Uni Eropa sejalan dengan keinginan partai Islamis ini keluar dari bayang-bayang intervensi militer dalam ranah politik. Penyelesaian paket reformasi ketatanegaraan Turki agar sesuai dengan standar Uni Eropa akan mencegah militer melakukan tradisi kudetanya atas pemerintah. Dalam prakteknya, implementasi pasal 301 tersebut dan peraturan perundangan lainnya juga digunakan untuk menjerat aktivitas politik Islam. Erdogan sendiri harus mendekam dalam penjara karena membaca puisi yang dianggap menghina nilai-nilai “keturkian” yang sekuler.
Dalam konteks rivalitas ideologis, kalangan Islamis sendiri bebas dari tuduhan melakukan praktek genosida. “Genosida” dilakukan oleh kalangan sekuler yang tergabung dalam partai Ittihad wa Terekki dan murni menjadi kebijakan politik para Opsir Muda pasca mempreteli kekuasaan politik Dinasti Usmani. Pengadilan membebaskan beberapa pejabat Usmani yang dikenal agamis seperti Celal, Gubernur Aleppo, Mazhar, Gubernur Ankara dan Reshid, Gubernur dari tuduhan keterlibatan dalam kampanye pembasmian etnis. Sementara -menurut kalangan Islamis sendiri, pemakaian terminologi genosida sendiri tidak tepat disandangkan atas imperium Turki Usmani karena realitasnya, mereka melindungi etnik Armenia dari kekejaman Bizantium dan perlindungan bangsa Yahudi dari praktek inkuisisi Gereja Eropa. Imperium Usmani juga menyediakan wilayah Tessalonika sebagai tempat suaka bagi Yahudi yang lari dari Eropa.
Namun demikian, pemerintah Erdogan sangat memahami bahwa isu Armenia lebih merefleksikan isu politik ketimbang semata pengungkapan kebenaran sejarah. Isu ini setidaknya merefleksikan dua hal, pertama, upaya penyanderaan politik yang dilakukan negara-negara seperti Perancis, Jerman, Austria yang hendak menjegal keinginan Turki menjadi anggota Uni Eropa. Mereka lebih menyukai kedudukan Turki sebagai partner istimewa Eropa ketimbang menjadi negara anggotanya. Hal ini dapat dilihat dari ratifikasi UU Genosida dan kriminalisasinya di Perancis saat negara itu memegang tampuk kepemimpinan Uni Eropa. Pengakuan genosida akan menjadi ganjalan politik yang berat bagi Ankara karena -selain tuntutan tersebut dinilai diskriminatif- juga akan ditentang masyarakat Turki. Kedua, keinginan para politisi mainstream di Gedung Putih maupun Konggres yang mulai gerah dengan sepak terjang pemerintahan Islamis di Turki yang dipandang uncontrollable (tidak dapat dikendalikan). Resolusi tidak mengikat ini dapat dibaca sebagai peringatan Washington atas pemerintahan Islamis Ankara. Para politisi AS tidak melihat adanya alasan yang kuat untuk mencegah keluarnya resolusi tersebut setelah sebelumnya gagal diratifikasi di 2002 karena berbarengan dengan rencana invasi Irak.
Lampu Kuning bagi Ankara
Resolusi Konggres tidak lain adalah lampu kuning AS atas pemerintahan Islamis Turki. Ankara tidak lagi dipandang sebagai sekutu tradisional yang loyal. Alih-alih kebijakan luar negeri Turki pasa berkuasanya AKP sejak 2002 dinilai tidak sejalan dengan kepentingan Amerika. Parlemen Turki terang-terangan menolak wilayahnya dijadikan pangkalan militer untuk menginvasi Irak. Kendati Erdogan menyetujui permintaan Bush namun Erdogan tidak dapat berbuat apapun untuk mencegah boikot parlemen yang didominasi AKP, partai yang dia pimpin sendiri. Pemerintah AS tidak suka dengan langkah politik Erdogan yang menjalin hubungan baik dengan Iran maupun Suriah yang menjadi musuh AS dan Israel tanpa restu AS. Lebih jauh, Turki juga semakin menjalin hubungan yang harmonis dengan Rusia. Turki berencana membangun jalur pipa minyak Rusia-Turki yang menjadi jendela bagi ekspor minyak ke Eropa. Sementara itu, Turki melarang kapal perang AS masuk selat Bhosporus untuk mendukung Georgia berperang melawan Rusia.
Dalam perang Gaza, Turki mengecam sikap diam negara-negara Barat dan AS atas pembunuhan rakyat Palestina. Puncaknya, PM Erdogan meninggalkan World Economic Forum di Davos usai berdebat sengit dengan Presiden Israel, Shimon Peres. Turki tanpa sungkan menuduh Israel pembunuh. Sebagai protes, Turki melarang Israel mengikuti latihan militer NATO yang diadakan di wilayah Turki dan menayangkan film documenter tentang praktek keji Zionisme. Aksi tersebut dibalas Israel dengan tindakan mempermalukan Duta Besar Turki didepan kalangan pers saat diundang kantor Kemenlu Israel. Tak pelak, aksi penghinaan tadi membuat Turki marah besar. Presiden Gul mengancam menarik duta besarnya jika Israel tidak meminta maaf atas perlakuan tidak pantasnya tersebut. Walhasil, Israel bertekuk lutut dan meminta maaf.
Resolusi ini adalah akumulasi dari rangkaian ketidaksukaan AS atas tindakan yang dipandang ‘tidak bersahabat’ (baca: independen) Turki dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Pelbagai kebijakan luar negeri Turki dinilai semakin condong kepada patron politiknya, kalangan Islamis. Turki kini semakin dekat dengan dunia Islam sebaliknya mulai menjauh dari sekutu tradisionalnya, AS, Barat dan Israel. Turki dibawah pemerintahan Islamis. Adalah lembaga terkemuka Washington Institute for Near East Policy (WINEP) melalui direktur urusan Turkinya, Soner Cagpatay secara konsisten memberikan input negatif tentang AKP kepada para pemegang kebijakan di Washington. WINEP secara konsisten pula mengasumsikan politik Islam dan AKP sebagai ancaman bagi kepentingan Amerika, Israel dan perdamaian dunia. WINEP sendiri adalah lembaga think tank yang didirikan AIPAC (American Israel Public Affairs Committee), lembaga lobby Yahudi pro Zionis yang sangat berpengaruh di AS. AIPAC dengan dukungan dana besar sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Beberapa petinggi AIPAC baru-baru ini dituduh FBI terlibat dalam praktek mata-mata untuk kepentingan Israel namun tuduhan tersebut dicabut karena tekanan politik yang kuat. Dalam perspektif ini pula, resolusi ini adalah kepanjangan kepentingan lobby Yahudi yang sangat terganggu dengan sikap kritis Turki atas Israel.
Membaca Sikap Politik Turki
Dalam konteks domestik, tuduhan “genosida” Armenia menjadi isu sensitif bagi publik Turki. Pemerintah Erdogan memahami ketidaksukaan publik Turki dengan mengambil tindakan politik yang berani, menarik duta besarnya dari Washington. Ketidaksukaan tersebut sebelumnya telah terefleksikan dalam hasil survey di 2007. 90 persen rakyat tidak menyukai Amerika. Fenomena politik domestik itu bertepatan dengan keinginan Turki dibawah Erdogan untuk mengangkat posisi politik Turki di dunia internasional. Selama ini, Turki dicitrakan sebagai kasta pariah diantara sekutu loyal AS. Kebijakan luar negeri Turki hampir tidak pernah keluar dari kepentingan AS dan Barat. Seiring dengan tumbuhnya ekonomi Turki dan meningkatnya peran regionalnya dibawah AKP, Turki memiliki semangat independensi dan kedaulatan yang tinggi. Turki bangkit menjadi kekuatan regional yang sangat penting namun berani keluar dari script politik yang diinginkan AS dan Barat. Arah politik luar negeri Turki lebih difokuskan kepada pencapaian keseimbangan politik regional dengan membina hubungan baik dengan negara-negara tetangganya baik yang pro maupun anti Amerika.
Penarikan duta besar Turki dari Washington merefleksikan pergeseran tajam yang sulit dikembalikan dalam kebijakan luar negeri Turki atas AS dan Barat. Selama berdekade, Turki terkoyak antara ikatan kesejarahan mereka dengan Muslim dan negara-negara Arab disatu sisi dengan dorongan yang tak terhenti menuju upaya westernisasi, disisi lain. Dorongan yang terakhir ini dalam rentang waktu lama memang sangat mempengaruhi karakter dan identitas Turki baik secara individual, kolektif maupun dalam implementasi dan pandangan politik luar negerinya. Namun, Turki kini kecewa ketika upaya identifikasinya dengan Barat tidak lantas bergayung sambut dengan penerimaan tulus Turki dalam komunitas Uni Eropa. Alih-alih, Uni Eropa menunjukkan sikap diskriminatifnya dalam isu tersebut. Uni Eropa menunda pembicaraan keanggotaan Turki hingga 2011, sebaliknya menerima keanggotaan baru dari negara-negara bekas Uni Soviet dengan mudah. Erdogan dengan sinis menyebut Uni Eropa tidak lebih dari asosiasi Christian Club. Dalam debat sengit antara Erdogan dan Peres di Davos, AS dan Barat lebih menyalahkan Erdogan ketimbang Peres. Padahal, Erdogan berulang kali menegaskan bahwa kemarahannya bukan kepada substansi debat namun lebih karena sikap tidak berimbang yang ditunjukkan moderator, jurnalis Washington Post kepada dirinya. Namun aroma ketidaksukaaan karena latar belakang politiknya lebih mengemuka. Dia dituduh anti Yahudi.
Meski tidak sepenuhnya merefleksikan kepentingan patron politik Islam seperti dituduhkan, Turki dibawah kepemimpinan Erdogan lebih bersikap independen, mandiri dan mengedepankan kepentingan nasionalnya. Erdogan lebih fleksibel bekerjasama dengan negara manapun sepanjang memberikan kemanfaatan bagi Turki dan dengan tetap menjaga kehormatan dan kedaulatan negara. Sekali lagi, isu Armenia lebih merefleksikan kepentingan penyanderaan politik yang dilakukan pihak-pihak yang tidak suka dengan kebangkitan kelompok Islamis. Isu itu sendiri tidak banyak diangkat pada saat Turki berada dibawah kendali kubu sekuler. Seperti ada kesepahaman diantara AS dan negara-negara Barat untuk tidak memberi beban politik kepada sekutu loyalnya. Sebagai gantinya, rejim sekular tidak mengambil sikap apapun atas pelbagai kebijakan AS yang merugikan kepentingan Turki. Namun masa-masa keemasan itu telah berakhir. Kini isu Armenia kembali menjadi senjata untuk menahan laju kebangkitan Islam politik, sekalipun dalam konteks historis, kalangan Islamis berlepas diri dari praktek sejarah brutal Turki di masa lalu. Namun, Erdogan secara jantan mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Erdogan boleh jadi mengambil langkah politik terlalu berani menekan AS. Sebelumnya, Erdogan baru saja menggulung berturut-turut dua kali rencana kudeta yang dikendalikan kelompok ultra nasionalis dan militer. Lebih dari 40 orang ditangkap, termasuk beberapa pejabat militer aktif dan pensiunan. Namun pendulum politik yang belum bisa diprediksikan adalah: “Siapkan Erdogan menghadapi front anti AKP baik dari internal Turki maupun negara-negara sekutunya yang tidak puas dan khawatir dengan bangkitnya kelompok Islamis?” Wallahu A’lam
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: