Pekan lalu, saat Obama mengumumkan penarikan tentara AS dari Irak, ada banyak komentar media yang membahas kebohongan demi kebohongan yang dijadikan alasan berperang.
Dua kebohongan yang mendapat perhatian besar adalah dalih yang menyebutkan bahwa Saddam memiliki program senjata pemusnah massal dan rencana penggunaannya. Sehingga Wapres Dick Cheney dengan semangat menyatakan bahwa ada “kaitan yang jelas” antara Irak dengan serangan teroris, 11 September 2001”.
Keduanya jelas manipulasi seksama namun memainkan peran penting dalam membentuk opini publik dan menjustifikasi invasi. Segala upaya propaganda untuk mendapatkan dukungan perang sebenarnya melibatkan banyak hal.
Seperti yang saya nyatakan dalam buku terbaru saya, Arab Voices, para penganjur perang memanfaatkan keterbatasan informasi publik tentang Irak dan rakyatnya, membuat klaim berlebihan demi menyakinkan publik bahwa perlu upaya yang relatif tidak menyakitkan. Mantan pejabat Pentagon menyebutnya “mudah dilakukan”. Cheney mengatakan,”Ini akan berlangsung cepat. Hanya beberapa minggu ketimbang berbulan-bulan.” Paul Wolfowitz menaksir harga keseluruhan operasi tidak melampaui satu atau dua milyar, dengan pendapatan minyak Irak akan dengan cepat menutupi biaya rekonstruksi. Presiden Bush dan lainnya menambahkan bahwa “Kita akan dikenang sebagai pembebas” karena akan menjadikan demokrasi sebagai simbol baru bagi kawasan Timur Tengah.
Semua media dunia, komentator menyuarakan suara yang sama dan mengesampingkan ancaman Saddam Hussein bahwa Perang Teluk akan menjadi “Ibu dari semua perang.”
Sebelum invasi dimulai, misalnya, Bill O’Reilly dari Fox News mengadakan makan malam terbaiknya di distrik San Diego dengan menyatakan bahwa “aksi militer hanya berlangsung kurang dari satu minggu.” Euforia yang sama dinyatakan oleh Bill Kristol, Editor Weekly Standard bahwa: “Ada jumlah tertentu psikologi pop di Amerika yang menyatakan bahwa Syiah tidak bisa bersama-sama dengan Sunni. Hampir tidak ada bukti tentang hal itu.” Akhirnya, jurnalis Fred Barnes, pemandu berita lainnya di Fox News mengatakan, “Perang adalah hal sulit… dan akan lebih mudah, Maksudya membangun demokrasi sulit sesulit memenangkan perang.”
Ini adalah fabrikasi tanpa akhir namun mematikan hanya dengan invasi. Setengah tahun menuju perang, Zogby International mengadakan polling nasional pertama di Irak. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruh penduduk Sunni dan mayoritas Syiah ingin AS keluar dari negeri itu. Mereka tidak memiliki pandangan positif apapun tentang militer AS serta tidak ingin membangun demokrasi di Irak. Beberapa hari setelah temuan ini dirilis, Cheney dalam “Meet the Press” mengutip polling kami sebagai bukti berita yang “sangat bagus” dan kemudian menyatakan bahwa segala sesuatunya berjalan dengan baik.
Kegemaran yang sama untuk merekayasa kebohongan di sekitar lingkungan pemerintahan Bush dilakukan diawal 2007. Adalah benar jika kekerasan sektarian menurun dalam periode itu. Namun alasan turunnya lebih banyak berkaitan dengan fakta bahwa operasi pembersihan etnis yang dilancarkan kelompok sektarian telah membuah hasil berupa terbelahnya wilayah Baghdad menjadi beberapa wilayah sektarian. Mereka saling mempersenjatai diri untuk melindungi diri mereka, selain itu menghadapi serangan al Qaeda.
Meskipun demikian, semua pemain sama yang melakukan rekayasa perang di AS telah bertindak ceroboh. Mereka mencela Presiden Obama karena tidak memberikan pujian kepada Presiden Bush. Menurut mereka, Bush dipandang sukses melaksanakan kebijakan dalam mengakhiri perang.
Pasukan tempur AS memang telah ditarik, namun perang belumlah berakhir. Tentu hal ini dapat dikatakan belum sukses sehingga tanggung jawab AS belumlah berakhir. Irak masih tetap menjadi negara yang rentan, terpecah secara internal dan dikelilingi oleh para tetangganya yang khawatir dengan instabilitas yang terjadi maupun sebaliknya menginginkan kekacauan itu terus berlangsung. Selain itu, 4400 tentara AS tewas dan puluhan ribu lainnya luka yang hingga kini masih membutuhkan perawatan. Ratusan ribu rakyat Irak binasa dan seperlima penduduknya mengungsi di Suriah dan Yordania sehingga menimbulkan beban berat bagi kedua negara.
Alih-alin menjadi model demokrasi, Irak kini menjadi negara yang secara politik disfungsional yang tidak dengan mudah diakhiri. Dan cerita Irak sendiri tidak demikian berakhir. Dalam hal ini, sejarah akan mencatat bencana yang telah kita lakukan. Kita akan diingat sebagai perekayasa kebohongan yang merenggut korban ratusan ribu nyawa mati sia-sia dan hilangnya sumber daya. Dan hal ini tentu merusak kehormatan kita. Pada titik ini, kesimpulan menyedihkan ini sayangnya tidak kita catat.
* Presiden Arab American Institute.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: