Abdus Sattar al Ghazali, wartawan American Muslim Perspective termasuk yang pesimis dengan janji tersebut. Dalam pandangannya, Obama setali tiga uang dengan Bush melanjutkan jejak perang anti terrornya, sekalipun tidak lagi menggunakan terminologi itu. Jejak itu terlihat dalam tiga hal: melanjutkan perang Afghanistan , menjadi penengah yang tidak adil dalam konflik Palestina-Israel, serta isu tahanan combatant dan praktek rendition.
Perang Afghanistan
Obama bersikukuh melanjutkan perang Afghanistan . Perang Afghanistan dipersepsikannya sebagai perang mewujudkan kebebasan dari rejim fanatik, Taliban dan kelompok teroris Al-Qaeda. Pandangan yang ditolak mentah-mentah Paul Craig Roberts, mantan petinggi dalam pemerintahan Reagan. Menurutnya, “Perang atas Teror” adalah manipulasi dan dalih bagi kepentingan kontrol jalur minyak dan gas di Asia Tengah yang memiliki cadangan terbesar kedua di dunia, memupuk keuntungan bisnis militer dan keamanan (military industry complex), dan kepentingan ekspansif Israel . Adapun Taliban adalah kelompok perlawanan yang menentang hegemoni tadi.
Mengutip John Maresca, wakil Unocal di depan Senat, laut Kaspia di Asia Tengah memiliki tidak kurang 110 hingga 243 milyar barrel atau senilai 4 trilyun dollar cadangan minyak. Dan Afghanistan adalah satu-satunya hub selain Iran untuk jalur pipa minyak di kawasan yang tidak memiliki akses laut ini. Pasca bubarnya Uni Soviet , AS berambisi mengisi kevakuman kekuasaan di Asia Tengah dan menegaskan kembali dominasi Washington atas wilayah kaya sumber alam itu.
Sehari setelah pelantikannya, Obama mengangkat Richard Holbrooke sebagai utusan khusus Presiden untuk Afghanistan dan Pakistan . Holbrooke dikenal sebagai figur pendukung perang (war monger) yang menolak segala bentuk negosiasi dengan Taliban. Setali dengan sang negosiator yang‘hawkish’, Obama menginstruksikan serangan udara ke target Taliban di wilayah pedalaman Pakistan sekurangnya tiga kali dalam rentang sebulan sejak berkantor di Gedung Putih. Anehnya, tak satupun mayat yang diduga pejuang lokal maupun asing ditemukan aparat keamanan Pakistan . Presiden Afghanistan, Hamid Karzai -wilayah kekuasaannya tidak melampaui lingkungan istana kepresidenan- dalam wawancaranya dengan CNN bersikeras bahwa Taliban telah menjadikan wilayah perbatasan Pakistan sebagai basis operasi gerilya mereka.
Namun klaim tersebut tidak berdasar. Pasalnya, laporan terbaru International Council on Security and Development (ICOS), 8 Desember silam menyebutkan Taliban telah mengontrol 72 persen wilayah Afghanistan . Secara de facto, Taliban telah menguasai banyak wilayah perkotaan dan pedesaan, tidak terkecuali ibukota Kabul . Menurut laporan itu, Taliban berbagi aktivitas dan kendali atas tiga dari empat akses jalan raya di ibukota. Sebaliknya, kontrol rejim Karzai atas Kabul telah sampai titik minimum. Dengan kata lain, Taliban mengendalikan hampir semua aktivitas militer dan politik di Afghanistan . Hal itu dibuktikan saat kunjungan Holbrooke ke Kabul . Taliban sukses melakukan serangan atas sejumlah instalasi pemerintah yang berdekatan dengan istana presiden. Walhasil, 26 orang tewas dan lusinan lainnya cedera.
Dengan ikatan sosial yang dimilikinya, eksistensi Taliban semakin popular dimata rakyat. Taliban mengendalikan banyak pemerintahan lokal dan mampu memulihkan keamanan dari kondisi anarkis. AS dalam kenyataannya hanya mampu mengontrol wilayah udara. Sementara beberapa operasi darat hanya mampu mengontrol keamanan untuk waktu singkat. Setelah operasi berakhir, Taliban kembali menguasai wilayah tersebut. Secara umum, sepak terjang pasukan asing tidak disukai. Berdasar laporan PBB 2008, 2118 warga sipil tewas dan 500 diantaranya akibat serangan udara.
Untuk menundukkan Taliban, Obama mengerahkan 17 ribu pasukan tambahan dari rencana 30 ribu. Hingga akhir tahun ini, total pasukan mencapai 100 ribu. Selain itu, AS membangun 8 pangkalan militer yang menurut lembaga think tank semi resmi Rand sebagai upaya persiapan perang panjang. Obama telah memindahkan ambisi perang AS yang gagal di Irak ke medan perang baru di Afghanistan . Doktrin keamanan baru Obama di Afghanistan tidak pelak lebih dari sekedar retorika perang melawan ‘terorisme’.
Dengan demikian, janji perubahan Obama tidak membawa perubahan positif sama sekali bagi rakyat Afghanistan maupun Pakistan. Alih-alih, kampanye militer atas wilayah itu hanya akan memperkuat sentimen anti AS dan semakin memperlemah pemerintahan sipil Islamabad .
Konflik Timur Tengah
AS dibawah Obama masih mengembangkan stereotype ala Bush sepanjang berkaitan dengan kepentingan Israel. AS masih mencap Hamas –pemerintahan yang terpilih secara demokratis- sebagai organisasi teroris sembari menuduh Iran telah mempersenjatai kelompok perlawanan itu. Alasan itu pula yang selalu menjadi dalih AS untuk terus mensuplai persenjataan mutakhir kepada Israel sekaligus justifikasi bagi pelbagai aksi keji Israel atas rakyat Palestina.
Bagi Paul Craig, Hamas tidak lebih dari organisasi perlawanan kecil dengan kemampuan serba terbatas dan persenjataan minim. Hamas dalam kenyataannya tidak dapat mencegah akuisisi tanah oleh para pemukim Yahudi di Tepi Barat. Sementara persenjataan yang dimilikinya tidak cukup mampu membunuh ataupun mencederai musuhnya. Sebaliknya, aksi brutal Israel tidak lain kecuali justifikasi bagi pembunuhan lebih banyak warga Arab dan penghancuran sistemik infrastruktur yang dimilikinya untuk supremasi Israel .
Setelah Gaza luluh lantak, AS tetap tidak bersedia bernegosiasi dengan Hamas. Sekalipun Hamas bersedia berdamai dengan Israel sepanjang negara Zionis itu bersedia mundur ke perbatasan 1967 dan menyerahkan Yerusalem Timur kepada pihak Palestina. Alih-alih, Obama tetap menuntut pengakuan Hamas atas eksistensi Israel dan melucuti senjatanya kendati tanpa konsesi apapun dari pihak Israel . Dalam pandangan Noam Chomsky, tuntutan Hamas lebih dekat dengan pandangan dunia internasional ketimbang Israel sendiri. Hanya saja -kritik Stuart Littlewood- diplomasi Hamas gagal menjelaskan sikapnya kepada dunia internasional karena ketidakmampuannya mereformulasi gagasan ideologinya dalam konsepsi diplomasi yang masuk akal.
Masalahnya, saat Hamas mulai terintegrasi dalam proses damai, sebaliknya posisi Israel pasca kemenangan Likud lebih merepresentasikan ideologi orisinal Zionis tentang Eretz Israel (Israel raya). Netanyahu kandidat Perdana Menteri terpilih, pagi-pagi menawarkan konsep otonomi terbatas ketimbang ide Palestina merdeka. Sementara, kandidat Menlu, Avigdor Lieberman dari partai neo fasis Beitenu Yisrael sejak lama dikenal dengan komentar rasisnya untuk mengusir bangsa Arab dari wilayah Israel dan tanpa tedeng aling-aling menyerukan pengeboman Teheran dan Dam Aswan, Mesir.
Fenomena itu toh tidak menyurutkan komitmen tanpa batas AS atas Israel . Menlu AS , Hillary Clinton berjanji akan bekerjasama dengan pemerintahan Likud sekalipun partai ekstrim kanan itu dinilai banyak pihak akan menghancurkan seluruh proses negosiasi damai. Sebaliknya AS konsisten menolak bernegosiasi dengan Hamas. Lantas, apa perubahan yang ditawarkannya? Sematan nama tengah Hussein ternyata tidak cukup membantu arah politik baru yang lebih berimbang sang presiden atas dunia Islam.
Isu Tahanan dan Praktek illegal Rendition
Perpektif hukum AS kini dapat dilihat dalam kacamata kebijakan pendahulunya Bush. Hal ini dapat dilihat dari sikap Departemen Kehakiman AS yang bersikukuh bahwa semua tahanan pasca 9/11 yang berada di Afghanistan dan Irak adalah tahanan perang (enemy’s combatant) yang berada diluar jurisdiksi hukum AS sehingga tidak dapat menggunakan pengadilan AS untuk kepentingan gugatan mereka. Hingga kini, ribuan tahanan ‘terorisme’ masih meringkuk di pelbagai penjara di Afghanistan dan Irak. Padahal, Mahkamah Agung AS sebelumnya memberikan hak bagi tawanan al-Qaeda dan Taliban di penjara Guantanamo untuk mengajukan gugatan atas penahanan mereka.
Jaksa Agung, Eric Holder di depan Komite Peradilan Senat 15 Januari 2009, menyatakan bahwa kebijakan ini diambil karena AS masih berada dalam kedaan perang. Kondisi ini memungkinkan AS tetap melanjutkan program extraordinary rendition yang dijalankan CIA. Rendition adalah pemidahan tahanan AS di penjara-penjara rahasia CIA di negara ketiga untuk kepentingan interograsi. Penyekapan ini biasanya melibatkan penyiksaan. Praktek ini sejatinya menjadi sumber kecaman dunia internasional karena terungkapnya beberapa kasus salah tangkap serta pelegalan penyiksaan tahanan. Uni Eropa menyebut program ini sebagai instrumen illegal AS yang melanggar hukum internasional. Mengutip Associated Press, lebih separuh dari selusin tuntutan yang mencakup kebebasan informasi dan dugaan pelanggaran HAM ditolak pihak pemerintahan Obama karena alasan keamanan nasional.
Jonathan Turley, Profesor Hukum, Universitas George Washington- menyatakan pemerintahan baru Obama terlalu cepat menyingkirkan pandangan-pandangan sendiri tentang hak sipil dan investigasi atas kejahatan perang. Dukungan bagi pelanjutan kampanye perang anti teror Bush dan jaminan tidak adanya investigasi apapun atas tuduhan kejahatan perang kepada kubu Republikan sudah cukup menggambarkan arah politik luar negeri AS kedepan. Pemerintahan Obama relatif singkat nyaris sempurna bermetamorfosis menuju arah politik pendahulunya. Lagi-lagi, pandangan ini didukung kalangan akademisi. Elena Kagan, Dekan Hukum Harvard dan juga nominator penasehat hukum Obama menegaskan kembali situasi perang yang tengah dihadapi AS. Namun sayangnya, perang ini lahir dari ambisi sepanjang masa negara adidaya ini, yakni hegemoni. Jika demikian benar analisis Hanan Ashrawi, mempersonalisasi negara adidaya itu dalam sosok pemimpinnya adalah tindakan keliru. Siapapun presiden terpilihnya -tidak terkecuali Obama, AS memiliki logika hegemoniknya sendiri. Wallahu A’lam.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: