Pandangan Hamas

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 08.12


*Ali Abunimah 
Dalam pidato politiknya, 25 Juni 2009, Khaled Meshal, kepala biro politik Hamas mencoba melakukan apa yang tampak tidak mungkin bagi Hamas, yakni pada satu sisi memposisikan gerakan itu sebagai partner yang positif dalam proses damai yang diprakarsai AS sementara disisi lain tetap berpegang teguh dengan prinsip dan basis politiknya. 

Ini adalah dilemma yang akan dihadapi hampir setiap pemimpin gerakan pembebasan. Antara pengakuan dan legitimasi. Menurut Tamim Barghouti, pemimpin PLO lebih memilih pengakuan namun minus legitimasi sehingga memberi jalan bangkitnya Hamas. Kini giliran Hamas dituntut AS dan sekutunya untuk melakukan hal, meninggalkan prinsip dimana gerakan ini memperoleh dukungan dan legitimasi politiknya. 

Pidato Meshal yang ditujukan kepada rakyat Palestina dan dunia disampaikan sebagai respon pidato Presiden Barack Obama di Kairo dan PM Israel, Benyamin Netanyahu sebelumnya. 

Dalam pidatonya, Obama menyerukan Amerika dan Muslim untuk melakukan “upaya terus menerus untuk mendengar, belajar, menghormati dan mencari kesamaan satu sama lain”. Jika Obama serius dengan hal itu maka Obama harus memperhatikan pula apa yang disampaikan Hamas kepada para audiensnya baik di dalam negeri, regional dan internasional. Melalui pidatonya, Meshal hendak menyampaikan pesan jika Hamas siap berhubungan dengan AS, menentukan garis politiknya, memberi garansi kepada para pendukungnya dan rakyat Palestina pada umumnya serta melakukan rekonsialiasi dengan faksi lainnya. 

Pidato dimulai dengan merepresentasikan Hamas sebagai gerakan nasionalis Islamis yang menjadi konsensus rakyat Palestina. Meshal secara eksplisit menggunakan pesan persatuan untuk mengkonter klaim eksklusif Netanyahu atas tanah Palestina. Menurut Meshaal, akar bangsa Palestina bermula ribuan tahun di “tanah para nabi yang diberkahi, tempat Isra Mi’raj Nabi Muhammad yang menjadi tempat suci Umat Islam dan Kristen”.

Dia menggambarkan Muslim sebagai representasi nilai-nilai yang dibanggakan bangsa Barat dan melepaskan diri dari segala bentuk penyamaan dengan Taliban. “Kami (Muslim) adalah umat yang memperkenalkan kepada dunia dan umat manusia ilmu pengetahuan, peradaban, kebudayaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai semacam keadilan, kebebasan, persamaan, kasih sayang dan toleransi serta nilai interaksi antara peradaban dan bukannya pertentangan.

Meshal menyambut baik pidato Presiden Obama sembari menekankan bahwa perubahan kebijakan jauh lebih penting. Meshal mengklaim bahwa arah baru AS itu adalah buah keteguhan rakyat yang berjuang di Palestina, Irak dan Afghanistan. Perlawanan itu menurut Meshaal telah membuat frustasi pemerintahan mantan Presiden Bush yang ingin menguasai kawasan tersebut. Pada akhirnya berpengaruh kepada pilihan politik para pemilih Amerika yang hendak mencari jalan baru mengatasi ancaman bencana dan krisis yang mereka hadapi. 

Dia mengecam keras para pemimpin di Timur Tengah yang telah “membantu memasarkan dan mempromosikan” kebijakan Bush. “jika rakyat di kawasan ini mendengarkan mereka, niscaya Bush akan sukses dan sebagai akibatnya situasi akan menjadi buruk ketimbang yang diperkirakan.” Meshaal menyuarakan skeptisme sekaligus harapan jika Obama dapat mewujudkan janjinya, bukannya hanya sekedar kata-kata. 

Menanggapi catatan sejarah Obama, Meshaal tidak menolak peristiwa Holocoust Yahudi namun sebaliknya mencoba menempatkan pada proporsinya.  Dia meminta Obama tidak hanya mengingat penderitaan Yahudi dimasa lalu namun mengabaikan fakta akan penderitaan dan holocaust Israel atas rakyat Palestina yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun. 

Meshaal menekankan bahwa rakyat Palestina hendak melihat aksi nyata AS yang “hendak merekonstruksi Gaza, menghentikan blockade, menghilangkan penindasan dan tekanan keamanan di Tepi Barat dan membiarkan rekonsialiasi berjalan tanpa adanya tekanan pihak luar”. 

Satu hal yang dapat menyakinkan rakyat Palestina, Arab dan Muslim adalah kemauan tulus Amerika dan masyarakat Amerika dalam usahanya mengakhiri pendudukan Israel dan memberikan hak kepada rakyat Palestina menentukan masa depannya. Ketika pemerintahan Obama melakukan inisiatif itu maka –tutur Meshaal “kami dan semua kekuatan rakyat Palestina akan siap bekerjasama dengan AS dalam arah itu.” 

Meshaal menggarisbawahi bahwa bahasa baru Obama atas Hamas adalah dengan mewujudkan dialog langsung tanpa syarat. Menurutnya berhuhungan dengan Hamas hendaknya berdasarkan pengakuan atas mandat demokratik dan bukannya pemaksaan. Quartet bersikeras menuntut Hamas mengakui Israel, meninggalkan kekerasan dan mengakui perjanjian-perjanjian sebelumnya. 

Meshaal menekankan bahwa garis politik Hamas memperhatikan fleksibilitas. Berikut ini pernyataan-pernyataan Meshaal:

-       Menolak negara Palestina yang digagas oleh para pemimpin Israel sebagai  “entitas kosong, laiknya penjara besar untuk menahan dan menyengsarakan rakyat Palestina bukannya rumah nasional bagi mereka yang berhak”.
-       Menolak tuntutan Israel untuk mengakuinya sebagai negara Yahudi karena ini berarti menghalangi hak rakyat Palestina untuk kembali dan membenarkan pengusiran atas mereka di wilayah-wilayah yang kini dikuasai Israel. Permintaan Israel tidak ada bedanya dengan fasis Italia maupun Nazi.
-       Menegaskan kembali penerimaan sebelumnya “program yang merepresentasikan tuntutan minimum rakyat kita untuk pendirian negara Palestina yang berdaulat yang mencakup ibukota Yerusalem dengan batas 4 Juni  1967, penarikan pasukan pendudukan, pembubaran semua pemukiman dan perealisasi hak untuk kembali”.
-       Menegaskan kembali bahwa “hak kembali bagi mereka yang diusir di 1948 adalah hak nasional dan individu yang dipegang para pengungsi” dan tidak ada seorang pemimpin maupun perunding yang dapat membatalkannya maupun mengkompromikannya. 

Meshaal juga menawarkan tanggapan yang berbeda atas ajakan Obama untuk meninggalkan kekerasan “jalan buntu” dan menjalankan perlawanan tanpa kekerasan. “kami tegaskan keyakinan kami bahwa perlawanan adalah pilihan strategis untuk membebaskan tanah air dan mengembalikan hak kami”, tutur Meshaal sambil mengutip sejarah perlawanan Eropa atas Nazi Jerman, perlawanan Amerika atas Inggris sebagai preseden bagi perjuangan perlawanan Palestina. 

Perlawanan tanpa kekerasan hanya cocok untuk perjuangan hak sipil,” bantah Meshaal, “ketika pendudukan militer menggunakan senjata konvensional dan non konvensional, maka rakyat Palestina terpaksa mengangkat senjata.” Meski demikian,  Meshaal juga mengisyaratkan jika rakyat Palestina merubah definisi perjuangan mereka sebagai perjuangan hak sipil maka alat yang tepat bagi perlawanan juga akan berubah. “perlawanan adalah alat bukan tujuan sehingga tidak bersikap membuta dan melihat secara cermat perubahan yang tengah terjadi.” Kendati membela keras hak  untuk mengangkat senjata dan bahkan mengancam akan melakukan operasi baru untuk menawan prajurit Israel sebagai jalan membebaskan tawanan Palestina namun Meshaal juga mengakui bentuk lain perjuangan. Dia menyerukan peningkatan solidaritas Palestina, Arab dan masyarakat internasional termasuk dalam upayanya memecah blockade atas Gaza, menolak pembangunan benteng apartheid dan pemukiman serta mencegah penghancuran rumah dan yahudisasi Yerusalem.

Bagi para pemimpin Hamas, bahaya menyerah tanpa syarat kepada Barat dapat dilihat dalam konteks arah politik PLO yang mengakui Israel, meninggalkan perjuangan bersenjata dan menerima kesepakatan Oslo. Sejak itu pula, -Meshal berargumen- pendudukan dan penindasan semakin merajalela demikian pula pembangunan pemukiman Israel dan tawanan Palestina meningkat tajam.

Kondisi ini tidak kemudian berakhir, ketika negosiator Palestina komit atas suatu hal maka banyak kondisi lainnya yang dipaksakan,” tandas Meshaal. Yang pertama kalinya dituntut adalah pengakuan Israel, berikutnya dipaksa untuk mengakui keyahudian Israel. Kemudian, berturut-turut mengakui Yerusalem ibukota abadi, hak kembali, dan menerima realitas pemukiman. “Rakyat Palestina tidak hanya dipaksa meninggalkan perlawan namun juga bekerja menindas, mengejar dan melucuti perlawanan.”

Pidato Meshaal ini mengacu kepada kampanye penangkapan yang tengah gencar dilakukan di Tepi Barat.  Meshaal menyebutnya sebagai “tindakan represif yang dilakukan otoritas Palestina dibawah supervisi Jendral Amerika Keith Dayton”. Meshaal menuding kerjasama antara pasukan keamanan Ramallah, Israel dan Amerika menjadi hambatan terbesar untuk pembicaraan rekonsiliasi Palestina di Kairo yang menghendaki kepemimpinan nasional yang bersatu.

Setelah Hamas memenangkan pemilu 2006, pemerintah Bush mulai mempersenjatai dan melatih milisi anti Hamas yang loyal kepada Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Kampanye ini diikuti dengan apa yang Hamas dan kelompok HAM sebut sebagai upaya sistemik memberangus para politisi, professor, lembaga amal dan jurnalis yang dianggap bersimpati atau memiliki hubungan dengan Hamas. Hamas kemudian membalasnya dengan menangkap individu yang dituduh memiliki hubungan dengan Fatah di Jalur Gaza. 

Dalam pekan-pekan terakhir, milisi yang disupervisi Dayton telah membunuh beberapa anggota Hamas di Tepi Barat dalam operasi penangkapan. Meshaal hendak menyampaikan bahwa keterlibatan pihak luar telah memecah belah Palestina dan melihat masih sedikitnya upaya yang dilakukan untuk mencegah kejahatan itu pasca Bush. Oleh karena itu, Meshaal meminta Obama menarik pulang Dayton dan konsisten dengan semangat barunya. 

Melalui pidatonya, meshaal juga mencoba menjamin konstituennya bahwa Hamas tidak akan meninggalkan prinsip dasarnya dalam memperoleh pengakuan dan kekuasaan. “Tanah ini lebih penting dari kekuasaan dan kebebasan sebelum negara,” tandasnya. “Tidak ada pemimpin Palestina yang berhak membatalkan kepentingan dan hak nasional rakyat Palestina sebagai harga pengakuan."

Sebagian rakyat Palestina khawatir –meski adanya jaminan tersebut bahwa Hamas sebenarnya telah mematikan jalannya sendiri dan beresiko menyia-nyiakan pengorbanan rakyat Palestina yang dilakukan selama ini, khususnya di Gaza.

Haidar Eid seorang analis independen di Gaza memperingatkan  bahwa respon antusias Hamas yang terlalu awal atas pidato Obama demikian pula penerimaaannya atas konsep dua negara menunjukkan proses pembusukan atau bahkan terjadi upaya Oslonisasi –tidak hanya sekedar retorik namun juga aksi.

Sementara analis lainya melihat bahwa perubahan sikap ini tidak membawa hasil sekalipun dalam syarat minimal karena Israel tidak berhenti dari ambisi agresinya. Dalam dua tahun kedepan diprediksikan tidak ada kemajuan yang signifikan dalam perjanjian negosiasi antara Netanyahu dan Abbas. Dengan demikian, Hamas tidak perlu berdiri dalam sikap barunya sekarang ini. 

Meski demikian kita paham jika para pemimpin Hamas dan rakyat Palestina tengah menghadapi tekanan berat berupa blockade, kelaparan dan kejahatan perang Israel yang terus terjadi. Sejauh ini mayoritas rakyat Palestina masih berdiri dibelakang Hamas untuk tidak menyerah atas tekanan itu. Namun sikap minimalis Hamas ini dilakukan untuk menghindari dipersalahkan atas kegagalan upaya perdamaian karena sikap kukuhnya dengan garis perlawanan. 

Dengan menekankan peran perlawanan dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, Hamas tidak mencoba menjelaskan visinya yang jelas tentang pembebasan kecuali semata solusi dua negara yang dipandang tidak realistis dan menyakinkan. 

Pidato Meshaal hanya mengkonfirmasikan pergeseran jangka panjang dari retorika Islamis ke wacana nasionalis. Pidato ini sendiri menunjukkan Hamas sangat sensitif dengan opini publik Palestina dan dunia internasional. Hamas menyadari pentingnya membangun solidaritas internasional sebagai bagian strategi untuk mengimbangi kedigdayaan Israel. Meski demikian, Hamas tidak hendak mencari pengakuan sama sekali. 

Langkah ini akan membuka ruang debat diantara rakyat Palestina perihal visi masa depan yang akan hendak dicapai dan bentuk  perlawanan yang legitimate yang dapat ditempuh. Namun yang jelas siapapun pemimpin atau organisasinya, Hamas tidak akan mampu memikul beban sendirian mengembalikan hak rakyat Palestina. Hamas sebagaimana organisasi lainnya hanya dapat menjadi penjaga hak fundamental rakyat Palestina.

Langkah Hamas untuk mendapatkan pengakuan atas mandat demokratiknya tanpa kehilangan legitimasi adalah hal yang patut. ANC Mandela di Afrika Selatan dan Tentara Republik Irlandia sukses terlibat dalam negosiasi politik sehingga mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Kedunya juga berhasil menghindari  bencana politik dan militer tanpa mesti mengorbankan prinsipnya dan tunduk dengan persyaratan yang tidak dapat diterima. Namun demikian, langkah ini tidak akan berhasil tanpa adanya kepemimpinan, cara pandang dan keberanian politik dari Hamas sendiri demikian pula pihak lain dalam bernegosiasi dengan Hamas. 
 

*Ali Abunimah adalah penulis dan komentator Timur Tengah dan Hubungan Arab-Amerika. Dia menjadi peneliti penuh di Universitas Chicago dalam bidang kebijakan politik.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget