Kalangan progresif, sekularis dan moderat di Indonesia khawatir dengan agenda Islam konservatif. Hal ini disebabkan kemampuan mereka memenangkan dukungan legislasi yang anti pluralis ‘atas nama Allah’. Belakangan ini, partai-partai nasionalis terpaksa menerima agenda legislasi tersebut demi menghindari tuduhan anti Islam. Ketakutan itu dapat dijelaskan dengan adanya pelarangan bagi aliran Ahmadiyyah menyebarkan ajarannya dan lolosnya RUU anti pornografi. Kedua produk hukum ini muncul dari tekanan partai politik dan kelompok konservatif yang sukses menjalin koalisi dengan kalangan moderat dan nasionalis.
Kekhawatiran ini juga berbarengan dengan keprihatinan mereka atas masa depan Islam politik sebagai kekuatan politik di Indonesia. Beberapa kalangan progresif dan moderat mengkhawatirkan proyeksi partai-partai yang berbasis Pancasila yang selama ini menjadi arus utama perpolitikan di Indonesia dalam Pemilu Legislatif 2009. Kekhawatiran mereka mencakup tidak hanya ketidakmampuan partai-partai nasionalis itu menghadapi interpretasi konservatif Islam namun juga menyangkut kelemahan jangka panjang partai-partai nasionalis itu sendiri.
Hasil pemilu 2009 menunjukkan bahwa pengaruh partai-partai politik Islam menurun. Persentase pemilih yang memilih partai-partai dengan platform Islam –termasuk disini partai-partai nasionalis Islam seperti PAN dan PKB, serta yang lebih konservatif, PKS dan PPP ditambah partai-partai Islam kecil lainnya yang bertarung di pemilu 2009- menurun tajam dari 38 persen di pemilu 2004 menjadi 30 persen. Partai-partai Islam lainnya seperti PBB dan PBR bahkan gagal mencapai syarat minimum electoral threshold sehingga tidak dianggap penting lagi. Kenyataannya, satu-satunya partai politik Islam yang meningkat suaranya adalah PKS kendati kenaikannya kurang dari satu persen (7,9) dan jauh dari pencapaian target yang dicanangkan 20 persen. Dengan kata lain, perolehan suara PKS di 2009 sebenarnya turun dibandingkan di 2004.
Hasil ini menjadi peringatan keras bagi partai-partai Islam yang berambisi memperkokoh otot politiknya di parlemen 2009-2014. Meski demikian salah untuk menyimpulkan jika partai-partai Islam kedepan semakin tidak menarik secara politik. Hasil pemilu juga menguak adanya kecenderungan yang menguntungkan partai-partai Islam, khususnya PKS dalam pemilu mendatang karena kelemahan yang dihadpai tiga partai besar yang berasas Pancasila.
Dominan Namun Lemah
Lihatlah Partai Demokrat. Partai ini mengandalkan mesin individual, SBY sehingga mampu meraih suara 20,6 persen. Meskipun bisa mengalahkan Golkar dan PDIP, namun PD hampir tidak memiliki kekuatan institusional yang dapat diharapkan partai ini kedepan. Sebaliknya partai ini semata mengandalkan daya tarik SBY. Hal ini menguntungkan SBY dan PD dalam jangka pendek namun bukan bagi kepentingan jangka panjang. Terlebih, SBY secara konstitusional tidak dapat lagi mencalonkan dirinya di 2014.
PDI-P dan Golkar sedikit lebih baik. Megawati yang dulunya menjadi kekuatan utama oposisi melawan rejim Orde Baru Suharto, tidak lagi memiliki elektabilitas. Dalam kepemimpinannya, suara PDIP anjlok dari 34 persen di 1999 menjadi 14 persen di 2009. Golkar menghadapi masalah yang kurang lebih sama. Karena keterkaitannya dengan rejim ORBA, Golkar terpuruk dalam pemilu pertama 1999 setelah reformasi. Golkar menjadi rumah politik bagi para pengusaha besar pribumi, seperti Abu Rizal Bakri dan Jusuf Kalla. Sekalipun memori atas rejim Orde Baru memudar, suara Golkar lebih cenderung menurun ketimbang naik.
Situasi ini menjadi trend bagi tiga partai nasionalis terbesar sehingga memiliki implikasi yang penting. Ahmad Suedy, Direktur Eksekutif Wahid Institute, institusi progresif Islam yang membela visi Islam Indonesia yang inklusif dan toleran khawatir jika perolehan suara Golkar dan PDIP akan semakin menurun sementara PD sendiri selain tidak memiliki kandidat yang tepat juga tidak memiliki platform yang relevan di 2014. Dia melihat kesempatan itu ada pada PKS sehingga menjadi pemain utama dalam perpolitikan Indonesia. Ini bukan berarti PKS berada dalam urutan pertama –banyak orang melihatnya sebagai hal yang sulit namun urutan ketiga sekalipun sudah cukup memberikan keuntungan politik yang luar biasa bagi PKS. Riza Sukma –anggota pimpinan pusat Muhammadiyyah dan juga direktur CSIS mengungkapkan kekhawatiran ini. Dia berpendapat bahwa kesuksesan partai-partai Islam bukan karena popularitasnya namun lebih karena kelemahan dan perpecahan diantara para nasionalis. Dalam skenario semacam itu, daya tarik PKS bukan karena platform Islamisnya –kebanyakan pemilih Indonesia tidak peduli dengan hal itu- namun lebih karena jaringan akar rumputnya, kemampuan mobilisasi dan populisme ekonominya.
Namun tidak semua orang peduli dengan hal itu. Bagi PKS, mengambil keuntungan dari merosotnya perolehan suara partai-partai nasionalis dapat dilakukan dengan mengambil suara partai-partai Islam dan pada saat bersamaan menarik dukungan dari partai-partai nasionalis. Namun Luthfi Assyaukanie berpendapat lain. Ketua JIL ini berpendapat bahwa persentase persebaran suara dalam pemilu relatif. Kenyataannya kenaikan dukungan PKS berbarengan dengan merosotnya dukungan atas partai-partai Islam lainnya. Sementara penurunan dukungan bagi Golkar dan PDIP adalah konsekuensi logis dari beralihnya suara kepada partai nasionalis lainnya, PD.
Sementara yang lainnya tidak yakin. apa yang terjadi peta pemilih Indonesia sendiri tidak merefleksikan dua blok yang saling bersaing satu sama lain. Ada setidaknya proporsi pendukung partai nasionalis yang mungkin berpindah mendukung partai-partai Islam karena alasan yang tepat. Ada alasan yang mendukung pandangan ini. Sebuah survey yang dilakukan LSI menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia akan memberikan suara kepada partai Islam jika mereka memiliki platform ekonomi yang jelas. Dengan kata lain, para pemilih sendiri tidak menentang partai-partai Islam karena eksistensinya sebagai partai Islam. Dalam konteks ini pula, perpecahan partai-partai nasionalis dapat memberikan peluang bagi para pemilih karena boleh jadi para pemilih mempertimbangkan pilihannya kepada partai-Islam yang memiliki ideologi yang jelas dan terorganisir dengan baik. Pada saat ini, satu-satunya partai yang cocok dengan deskripsi ini adalah PKS.
Memperbaharui Para Nasionalis
Kedepan, ada empat kemungkinan yang dapat dilakukan kalangan nasionalis dan partai-partai Islam pluralis untuk keluar dari kebuntuan ini. Namun ada kendala dalam mewujudkan dua dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pertama, PDIP memulai dengan mereformulasi gagasan partai kiri tengah dengan platform politik yang jelas dan dukungan akar rumput yang kuat. Ini dapat berarti meninggalkan politik personalisme anak dan cucu Sukarno serta melakukan aksi nyata dan program kampanye yang lebih substantif. Boleh jadi ini akan menjadi tantangan sulit bagai partai seperti PDIP. Masalah yang lebih besar dalam pelaksanaan strategi ini adalah adanya kenyataan kelompok inti di PDIP yang masih mempercayai jika Megawati dan anaknya adalah figur yang tepat memimpin PDIP. Logika yang dikembangkan PDIP tanpa kepala Sukarno berarti akan kehilangan pendukung. Bahkan sekalipun Megawati pensiun dari dunia politik, tidak ada garansi yang jelas tentang perlunya pembaharuan tersebut dalam agenda politik PDIP. Dan yang lebih problematis lagi bagi partai ini di masa datang para pendukung aktifnya banyak yang kecewa dengan dengan langkah partai itu maju bersama dengan Prabowo dalam pencalonan presiden.
Memperbaharui Para Nasionalis
Kedepan, ada empat kemungkinan yang dapat dilakukan kalangan nasionalis dan partai-partai Islam pluralis untuk keluar dari kebuntuan ini. Namun ada kendala dalam mewujudkan dua dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pertama, PDIP memulai dengan mereformulasi gagasan partai kiri tengah dengan platform politik yang jelas dan dukungan akar rumput yang kuat. Ini dapat berarti meninggalkan politik personalisme anak dan cucu Sukarno serta melakukan aksi nyata dan program kampanye yang lebih substantif. Boleh jadi ini akan menjadi tantangan sulit bagai partai seperti PDIP. Masalah yang lebih besar dalam pelaksanaan strategi ini adalah adanya kenyataan kelompok inti di PDIP yang masih mempercayai jika Megawati dan anaknya adalah figur yang tepat memimpin PDIP. Logika yang dikembangkan PDIP tanpa kepala Sukarno berarti akan kehilangan pendukung. Bahkan sekalipun Megawati pensiun dari dunia politik, tidak ada garansi yang jelas tentang perlunya pembaharuan tersebut dalam agenda politik PDIP. Dan yang lebih problematis lagi bagi partai ini di masa datang para pendukung aktifnya banyak yang kecewa dengan dengan langkah partai itu maju bersama dengan Prabowo dalam pencalonan presiden.
Kedua, PKB dan PAN dapat memainkan peran penting sebagai alternative mesin politik bagi para pemilih yang hendak memberikan suara kepada partai-partai Islam. Banyak kalangan progresif dalam komunitas Muslim Indonesia yang melihat partai ini lebih moderat dan lebih cenderung mengadopsi sikap akomodatif yang berkaitan dengan isu agama dan pluralisme. Namun sebagaimana partai-partai nasionalis, PKB dan PAN melihat penurunan dukungan eletoralnya dalam tiga kali pemilu. Terlebih lagi, elit politik dalam partai ini cenderung terlibat dalam konflik internal ketimbang secara efektif mengkomunikasikan visi Islam politik keindonesiannya.
Ketiga, partai-partai nasionalis lainnya yang melampaui ambang batas ET –seperti Hanura dan Gerindra- dapat memperkuat posisi mereka untuk menjaring suara pemilih nasionalis. Masalahnya disini adalah partai-partai ini dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Wiranto, dua mantan Jenderal yang memiliki catatan HAM yang buruk. Tidak jelas apakah kalangan progresif lebih menyukai rejim yang dipimpin Prabowo atau PKS. Luthfi Assyaukanie misalnya mengusulkan Gerindra dan Hanura dapat ‘bergabung dengan kelompok Islamis’ jika menganggap hal itu sebagai kepentingan mereka.
Tantangan SBY
Kemungkinan akhir ini boleh jadi berpeluang sukses. PD dapat mentransformasi dirinya dari semata mesin politik SBY menjadi partai yang terinstitusionalisasi dengan baik. Para penasehat SBY melaporkan jika SBY sendiri berpikir keras pasca kepemimpinannya, namun dia menghadapi masalah serius mengkonstruksi PD menjadi partai yang kuat, yang tidak hanya eksis namun juga berkembang. Masalah itu adalah waktu dan insentif. Membangun partai yang terinstitusionalisasi secara benar melalui mekanisme internal yang produktif membutuhkan waktu, sumber daya dan pengorbanan. Aspek-aspek tersebut lebih mudah dilakukan para pendukung partai politik yang termotivasi secara ideologi namun termajinalisasi secara politik. Entah hal itu baik atau buruk, para pendukung PD tidak memiliki ideologi yang jelas dan jauh dari kesan termarjinalisasi.
Harapan kalangan progresif yang prihatin dengan perkembangan Islamisme di Indonesia adalah SBY sendiri tidak menganggap penting hal itu. Jika SBY dan para pensehatnya yakin jika ancaman atas kepentingan mereka pasca periode kedua kepemimpinannya diidentifikasi maka dia akan bersegera mengkonstruksikan tipe partai politik yang dapat melindungi kepentingan mereka kedepan. Jika SBY ingin aman, dia harus membangun mesin politik yang fleksibel sekarang.
Apakah partai-partai Islam dapat merebut kesempatan politik dalam pemilu kedepan sangat tergantung kemampuan mereka merebut dukungan suara kalangan nasionalis. Tentu saja, tidak semua kalangan progresif khawatir dengan kebangkitan PKS atau Islam politik secara luas. Beberapa mereka lebih konsern dengan pemberdayaan rakyat miskin, memerangi korupsi, memperbaiki pelayanan pemerintah, melindungi lingkungan, memperjuangkan hak sipil dan persamaan gender dan sejumlah isu lainnya. Dalam konteks ini, PKS lebih dipandang mitra ketimbang competitor. Banyak yang percaya bahwa realitas politik demokrasi Indonesia yang masih muda dan carut marut telah memaksa PKS dan partai Islam lainnya memperlunak sikap politik Islamisnya demi mendapatkan pengaruh politik yang lebih luas. Maka mau tidak mau PKS dan partai Islam lainnya selain membentuk koalisi dengan Demokrat namun juga menerima pilihan Boediono sebagai wapres pendamping SBY –yang pada dasarnya mengorbankan tuntutan mereka untuk kandidat wapres yang lebih Islamis dan penerapan ekonomi populis dengan kompensasi representasi mereka dalam kabinet mendatang. Sementara kalangan progresif lainnya terutama para aktivis feminis dan minoritas Kristen dan etnik China masih melihat agenda yang tidak liberal dari semua partai, tidak hanya partai Islam. Singkatnya, masih ada perbedaan di kalangan progresif apakah Islam politik menjadi isu utama dalam politik Indonesia, apakah PKS telah mengalami moderasi, dan apakah ancaman politik Islam datang dari partai-partai Islam seperti PKS.
Apalagi, pantas ditekankan bahwa kekhawatiran atas partai-partai nasionalis yang tidak terorganisir dengan baik sehingga memberi kesempatan bagi partai-partai Islam di masa mendatang sangat tergantung kepada kemampuan paatai-partai Islam itu sendiri menarik dukungan para pemilih nasionalis. Untuk itu, PKS perlu menekankan aksi anti korupsi dan good governance dan pada saat bersamaan tidak kehilangan konstituen inti mereka yang sangat peduli dengan agenda Islam. Jika peluang ini tidak mampu diraih maka pemilu kedepan hanya semata merepresentasikan blok besar partai-partai nasionalis yang tidak terorganisir melawan kalangan Islamis yang terorgansir. Yang pertama mengandalkan identifikasi partai dan politik personalistik sedangkan yang kedua hanya merepresentasikan seperempat kursi DPR. Apa yang jelas adalah bahwa kalangan progresif Indonesia menginginkan masa depan Indonesia yang lebih baik.
Thomas B Pepinsky (pepinsky@cornell. edu) adalah asisten professor studi pemerintahan di Cornell University. Dia sedang melakukan riset tentang ekonomi politik Islam Politik Indonesia.
0 Komentar
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini: