Dibalik Strategi Israel dalam Penghancuran Gaza

Diposting oleh Ahmad Dzakirin On 09.46

John J. Mearsheimer*

 Israel dan para pendukungnya mengklaim bahwa negeri itu telah belajar dari bencana Perang Lebanon, 2006 dan sukses dalam perang terbarunya melawan Hamas. Oleh karena itu, sesaat setelah gencatan senjata sepihak, negeri Zionis itu menyatakan kesuksesannya.  Klaim yang sulit dipercaya karena sejatinya Israel telah menciptakan perang berikutnya yang akan sulit dimenangkannya.

Kampanye di Gaza dikatakan memiliki dua tujuan: 1) mengakhiri serangan roket dan mortar para pejuang Palestina di wilayah selatan Israel sejak menarik mundur dari Gaza, Agustus 2005, 2) memulihkan kemampuan pencegahan (deterrent) Israel yang semakin pudar pasca kegagalan memalukan di Lebanon, penarikan mundur dari Gaza dan ketidakmampuannya menghentikan program nuklir Iran. Namun sejatinya, ini bukan tujuan asli dari operasi Cast Lead.  Tujuan sebenarnya berhubungan dengan visi jangka panjang Israel, yakni menjadikan  jutaan rakyat Palestina dibawah kendalinya. Ini adalah bagian tujuan strategis lebih luas Israel: pembentukan “Israel Raya”. Secara khusus, para pemimpin Israel bertekad mengendalikan semuanya,  apa yang kini dikenal sebagai Mandat Palestina, yang meliputi Gaza dan Tepi Barat. Palestina hanya dibatasi dengan status otonomi terbatas yang terputus dan sangat tergantung secara ekonomi dengan Israel. Israel akan mengendalikan semua perbatasan dan mobilitas baik baik di darat, laut dan udara.

Jalan untuk merealisasikannya adalah dengan menimpakan penderitaan  secara kolektif atas rakyat Palestina sehingga mereka menerima kenyataan sebagai bangsa yang terkalahkan dan selanjutnya Israel bertanggung jawab mengontrol masa depan mereka. Strategi ini dirancang pertama kali oleh Ze’ev Jabotinsky di 1920-an yang dikenal dengan “Dinding Besi” (Iron Wall) dan sangat berpengaruh dalam kebijakan Israel sejak 1948. Apa yang terjadi di Gaza sepenuhnya konsisten dengan strategi ini.

Kita mulai analisis ini dengan keputusan Israel mundur dari Gaza di 2005. Kearifan konvensionalnya adalah bahwa Israel serius dengan upaya perdamaiannya dengan Palestina. Para pemimpinnya berharap dengan keluar dari Gaza akan menjadi langkah besar menuju terciptanya negara Palestina di masa depan. Menurut kolumnis New York Times, Morgan Friedman, Israel sedang memberi kesempatan  Palestina“membangun negara mini yang layak disana –seperti halnya Dubai di Mediteranian,” dan jika berhasil, langkah ini akan “secara fundamental membuka kembali perdebatan di Israel: apakah bangsa Palestina dapat ditempatkan seluruhnya di Tepi Barat.”

Ini sepenuhnya kisah fiksi. Bahkan sebelum Hamas berkuasapun, Israel ingin menciptakan penjara terbuka bagi rakyat Palestina di Gaza dan menekan secara keji mereka hingga mereka tunduk dengan keinginan Israel. Dov Weisglass, penasehat dekat Ariel Sharon pada waktu itu, pernah menyatakan bahwa pengucilan Gaza dimaksudkan untuk menghentikan bukannya  mendorong proses damai. Dia menggambarkan pengucilan ini sebagai “upaya terselubung yang dibutuhkan sehingga tidak ada proses politik dengan Palestina.” Penarikan mundur akan “menempatkan Palestina dibawa tekanan luar biasa sehingga terpojok, suatu hal yang pada akhirnya menjadi langkah yang mereka benci.

Arnon Soffer, pakar demografis terkemuka Israel yang juga penasehat Sharon, menjelaskan seperti apa tekanan itu. “Ketika 2,5 juta rakyat yang tinggal di Gaza akan terisolir, hal ini akan menjadi bencana kemanusiaan.” Orang-orang ini akan menjadi binatang yang semakin membesar lagi dari keadaannya sekarang dengan bantuan Islam fundamentalis. Tekanan di perbatasan akan menjadi buruk. Akan ada perang sengit. Sehingga jika kita ingin hidup, kita harus membunuh dan terus membunuh sepanjang hari dan setiap hari.

Di Januari 2006, lima bulan setelah Israel menarik mundur para pemukim Yahudi dari Gaza, Hamas menang atas Fatah dalam pemilu legislatif. Ini berarti menjadi masalah bagi strategi Israel karena Hamas terpilih secara demokratis, sangat terorganisir dan tidak korup seperti Fatah serta tidak mengakui Israel.  Israel merespon dengan melakukan tekanan ekonomi atas Palestina namun tidak berhasil. Kenyataannya, situasi semakin memburuk, Maret 2007 ketika Fatah dan Hamas bersama-sama membentuk pemerintahan bersatu nasional. Ketika kekuasaan politik Hamas semakin tumbuh dan strategi pecah belah Israel mulai dijalankan.

Masalahnya menjadi semakin runyam, pemerintahan nasional bersatu mulai mendorong gencatan senjata jangka panjang. Palestina akan mengakhiri semua serangan roketnya atas Israel jika Israel bersedia menghentikan penahanan dan pembunuhan rakyat Palestina serta mengakhiri pengepungan, membuka lintas batas ke Gaza.
Israel menolak tawaran itu.  Dengan dukungan Amerika, Israel mulai mendorong pecahnya perang sipil antara Fatah dan Hamas yang dipastikan akan memecah pemerintahan nasional bersatu Palestina serta menjadikan Fatah berkuasa. Rencana itu gagal ketika Hamas berhasil mengusir Fatah keluar Gaza dan meninggalkan Gaza dibawah kendali Hamas. Israel semakin memperkuat tekanan dan blokade atas Gaza, sehingga semakin mempersulit dan menyengsarakan rakyat Palestina yang tinggal disana.

Hamas meresponnya dengan menembakkan roket dan mortar ke Israel sementara menekankan keinginannya untuk mencari gencatan senjata jangka panjang, yang kemungkinan berlangsung 10 tahun lebih. Ini sebenarnya bukan niatan baik Hamas karena Hamas menyadari ketidakseimbangan kekuatan kedua belah pihak. Israel tidak memiliki keinginan sama sekali dengan gencatan senjata dan semakin mengintensifkan tekanan ekonomi atas Gaza. Tetapi Musim Semi 2008, tekanan para penduduk Israel yang tinggal dibawah serangan roket mendorong pemerintah setuju atas gencatan senjata selama enam bulan yang mulai 19 Juni. Perjanjian ini yang formalnya berakhir 19 Desember menjadi jalan bagi perang yang pecah pada 27 Desember.

Para pejabat  Israel menyalahkan Hamas karena merusak gencatan senjata. Pandangan yang secara luas diterima di AS namun sejatinya tidak benar. Para pemimpin Israel tidak suka gencatan senjata dari awal. Menhan Ehud Barak memerintahkan militer Israel mempersiapkan perang saat gencatan senjata dinegosiasikan di Juni 2008. Lebih jauh, Dan Gillerman, mantan duta besar Israel di PBB melaporkan bahwa Israel mulai mempersiapkan kampanye propaganda perang beberapa bulan sebelum perang yang sekarang ini pecah. Sementara dipihak Hamas, gerakan Islam ini secara drastis mengurangi jumlah serangan roketnya selama lima bulan pertamanya gencatan senjata. Total dari dua roket yang ditembakkan di wilayah Israel disepanjang September dan Oktober, taksatupun dari Hamas.

Apa yang dilakukan Israel selama periode yang sama? Israel tetap melakukan penahanan dan pembunuhan orang Palestina di Tepi Barat serta melanjutkan pengepungan yang mematikan atas Gaza. Kemudian 4 Nopember ketika rakyat Amerika sedang memilih Presiden barunya, Israel  menyerang terowongan di wilayah Gaza dan membunuh 6 warga Palestina. Ini adalah pelanggaran besar pertama kali dalam gencatan senjata, Sementara rakyat Palestina yang menurut Pusat Informasi Terorisme dan Intelejen Israel –yang “hati-hati mempertahankan gencatan senjata,” merespon serangan itu dengan meluncurkan roket.

Masa tenang yang terjadi sejak Juni sirna setelah Israel memperketat blockade dan menyerang Gaza sementara Palestina mengirim lebih banyak roket ke Israel. Serangan ini sebenarnya tidak berarti apa-apa karena taksatupun warga Israel yang tewas antara 4 Nopember dan pecahnya perang 27 Desember.

Ketika kekerasan meningkat, Hamas secara tegas menyatakan tidak ada keinginan memperpanjang gencatan senjata setelah 19 Desember –bukan hal yang mengejutkan karena gencatan senjata tidak berjalan seperti yang diinginkan. Pertengahan Desember, Hamas menyampaikan keinginanannya untuk memperpanjang gencatan senjata jika Israel bersedia menghentikan penahanan dan pembunuhan serta mengakhiri blockade. Tetapi Israel menggunakan gencatan senjata bagi persiapan perang melawan Hamas dan menolak tawaran itu. Pemboman Gaza berlangsung 8 hari setelah gencatan senjata secara formal berakhir. 

Jika Israel ingin menghentikan serangan roket dari Gaza, Israel dapat melakukannya dengan menerima tawaran  gencatan senjata jangka panjang dengan Hamas. Jika Israel  tulus ingin menciptakan negara Palestina, Israel dapat bekerja dengan pemerintahan nasional bersatu Palestina untuk mewujudkan gencatan senjata yang lebih efektif dan merubah cara berpikirnya tentang solusi dua negara. Tetapi Israel memiliki agenda lain: Israel hendak menerapkan strategi Iron Wall untuk Palestina.
Gaza harus tunduk sebagai subyek yang tidak punya pilihan bagi Israel Raya.

Kebijakan brutal ini jelas terefleksikan dalam Perang Gaza. Sekalipun Israel dan para pendukungnya mengklaim bahwa militer Israel (IDF) berupaya keras menghindari korban sipil. Betapa tidak? Keraguan ini terlihat dari larangan Israel kepada para jurnalis asing masuk dalam zona perang. Ini artinya Israel tidak ingin dunia melihat apa yang dilakukan tentara Israel dan apa yang mereka bom di dalam Gaza. Pada saat bersamaan, Israel meluncurkan kampanye propaganda untuk mencitrakan secara positif atas kengerian yang tengah terjadi.

Bukti terbaiknya jika Israel secara seksama mencoba menghukum penduduk Gaza adalah dampak kerusakan dan kematian di sekeping wilayah kecil Gaza. Israel membunuh lebih dari 1000 warga Palestina dan melukai 4000 lainnya. Separuhnya warga sipil dan anak-anak. Serangan pembuka Israel terjadi pada 27 Desember pada saat  anak-anak pulang sekolah, dan salah satu target utamanya adalah sekumpulan para lulusan polisi Hamas yang sama sekali tidak layak disebut teroris. Apa yang disebut Ehud Barak sebagai perang habis-habisan (all-out war) Israel, Israel menargetkan  uversitas, sekolah, masjid, perumahan, gedung apartemen, kantor pemerintahan dan bahkan ambulan. Seorang perwira senior Israel, yang enggan menyebutkan jati dirinya menjelaskan dibalik target ekspansifnya. “Ada banyak aspek dari Hamas dan kami hendak menghantam keseluruhan spektrum itu karena segala sesuatunya terintegrasi dan mendukung terorisme melawan Israel.” Kata lainnya, setiap orang Palestina adalah teroris sehingga menjadi target yang sah.

Orang Israel cenderung terus terang dan mereka biasanya akan mengatakan apa yang benar-benar mereka lakukan. Setelah militer Israel membunuh 40 warga sipil yang berlindung di sekolah PBB, 6 Januari, Ha’aretz melaporkan bahwa para pejabat senior mengakui bahwa militer menggunakan serangan besar-besaran. “Saat pertama kita memasuki perang kita bertindak selayaknya berperang, yakni menciptakan kerusakan besar-besaran atas pihak lawan. Saya berharap mereka yang lari dari wilayah kota Gaza akan benar-benar syok demi melihat dampak kehancurannya.”
Orang mungkin akan menerima kenyataan jika Israel sedang melakukan perang habis-habisan dan keji atas 1,5 juta penduduk Palestina, seperti bunyi editorial Haaretz namun mereka berdalih bahwa pada akhirnya toh akan tercapai tujuan perang Israel dan masyarakat dunia dengan cepat akan melupakan kengerian yang diderita warga Gaza.

Ini adalah pemikiran cemerlang. Dari awal, Israel tidak mungkin menghentikan serangan roket dari waktu ke waktu sepanjang Israel tidak menyetujui pembukaan Gaza dan menghentikan penahanan dan pembunuhan atas warga Palestina. Israel boleh saja berupaya memotong suplai roket dan mortar ke Gaza namun senjata itu akan tetap mengalir ke wilayah itu melalui terowongan rahasia dan kapal-kapal kecil  yang mampu menerobos blockade Israel. Tidak mungkin juga mengawasi setiap barang yang dikirim ke Gaza melalui saluran-saluran resmi.

Israel dapat saja menundukkan Gaza dan mengunci penuh. Israel dapat menghentikan serangan roket jika Israel mengerahkan kekuatan cukup besar. Namun ini akan menjadi pendudukan termahal atas penduduk yang sangat memusuhinya.  Merekapun mau tak mau harus mengakhirinya dan serangan roketpun berlanjut. Jika Israel gagal menghentikan serangan maka yang hal terjadi adalah kemampuan pencegahan Israel akan melemah, bukannya semakin kuat.
Namun yang lebih penting, cukup lemah alasan untuk  berkesimpulan jika Israel dapat menundukkan Hamas dan menjadikan rakyat Palestina tinggal diam hidup dalam ketiak Israel Raya. Israel telah menghinakan, menyiksa dan membunuh rakyat Palestina di wilayah pendudukan sejak 1967 sehingga tidak memungkinkan menundukkan mereka. Apalagi bagi Hamas, kebrutalan Israel sebaliknya akan memberikan keyakinan seperti yang diucapkan Nietzsche apa yang tidak dapat membunuhmu akan menjadikanmu semakin kuat.

Bahkan hal yang tak terduga akan terjadi dan rakyat Palestina akan semakin kuat. Sebaliknya Israel akan kalah. Israel akan dicap sebagai negara apartheid. PM Israel, Ehud Olmert sendiri pernah mengatakan bahwa Israel akan menghadapi perjuangan ala Afrika Selatan jika Palestina tidak mendapatkan negaranya sendiri. “Jika demikian cepat atau lambat, negara Israel akan berakhir.” Namun Olmert tidak berbuat apapun untuk menghentikan ekspansi pemukiman dan mendorong terciptanya negara Palestina, alih-alih mengandalkan strategi Iron Wall untuk bernegosiasi dengan Palestina.

Kecil pula kemungkinan bagi orang yang mengikuti konflik Israel-Palestina akan dengan cepat melupakan hukuman luar biasa yang tengah dipertontonkan Israel di Gaza. Kerusakan yang terjadi sulit untuk dilupa dan sangat banyak orang –khususnya dunia Islam dan Arab yang peduli dengan nasib rakyat Palestina. Apalagi, konflik berkepanjangan ini telah sedikit banyak merubah cara pandang masyarakat  Barat. Banyak dari kita yang dulu bersimpati dengan Israel kini melihat Israel sebagai pelaku dan Palestina adalah korban. Apa yang terjadi di Gaza akan mempercepat perubahan gambar sebenarnya dan akan menjadi noda hitam reputasi Israel.

Apapun yang terjadi di medan perang, Israel tidak dapat memenangkan perangnya di Gaza. Kenyataannya, Israel tengah mengejar strategi melalui bantuan sahabat-sahabatnya di Diaspora. Strategi  yang sejatinya telah menempatkan masa depan Israel penuh risiko.

0 Komentar

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar dan masukan yang konstruktif dibawah ini:

Inspiring Quote of The Day: Toleransi (al Samahah) secara terminologi adalah kemurahan hati, memberi tanpa balas. Dengan kata lain toleransi berarti keramahan dan kelemahlembutan dalam segala hal dan interaksi tanpa mengharap imbalan ataupun balas jasa. Toleransi merupakan karakter dasar Islam dan telah menjadi sifat praktis-realis umat di sepanjang sejarahnya yang agung" (Muhammad Imarah)

TITLE--HERE-HERE

Recent Post

Archive

Song of The Day


Mahir Zain - Sepanjang Hidup Mp3
Mp3-Codes.com

Arsip Blog

Penikmat Blog Ini

Komentar Anda:


ShoutMix chat widget